Class review 10
Jumat 4 April 2014
Dapatkah Indonesia merangkul Papua Barat?
Meneliti
sebuah sejarah dan menguak fakta-fakta yang ada dalam sejarah tersebut adalah
bukan hal yang mudah, para peneliti harus memberikan fakta-fakta hasil penemuan
penelitiannya untuk dijadikan sebuah persentasi. Tidak jauh berbeda dengan saya
dan teman-teman seperjuangan yang dimana kita di tugaskan untuk dapat
berargumen dalam sebuah artikel S.Eben Kirksey yang isinya sangat fenomenal
yang sampai sekarangpun permasalahannya masih dibicarakan. Tak hanya itu ketika
kita berargumen maka kita juga harus memberikan bukti yang jelas untuk argument
kita sehingga menguatkan argument kita.
Pada
pertemuan kali ini masih membahas tentang bagaimana permasalahan yang ada di
Papua Barat dan siapa saja yang terlibat dalam permasalahan tersebut.
Permasalahan atau konflik yang ada di Papua Barat dapat kita lihat dari sebuah
artikel Eben Kirksey yang dimana ia telah menguak permasalahan-permasalahan
yang ada di Papua. Salah satunya adalah Papua ingin merdeka dan melepaskan diri
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ada beberapa sumber yang saya
temukan mengenai permasalahan apa saja dan seperti apa permasalahan mengenai
Papua Barat.
Kejahatan
terhadap kemanusiaan di Papua Barat. Demi persatuan dan pembangunan nasional, oleh
John Rumbiak yaitu.
Di papua barat akhir-akhir ini di beritakan terjadi
berbagai kekerasan negara yang berakhir dengan pelanggaran hak asasi manusia
sebagai respon terhadap berbagai aksi yang dilakukan rakyat Papua Barat untuk
menuntut Papua Barat merdeka. Aksi-aksi tersebut sebagai protes terhadap
pelanggaran hak menentukan nasib sendiri yang melibatkan masyarakat
internasional. Suatu sikap yang menurut rakyat dapat mengakhiri penindasan
ditanah Papua serta tindakan untuk menyelamatkan bangsa Papua dari suatu proses
pemusnahan. Mulai dari kasus biak berdarah juli 1998” insiden Marauke oktober
1999”. “Timika berdarah Desember 1999”. Insiden Nabire Febuari/Maret 2000”.
Jika situasi ini tidak berubah maka akan semakin banyak peristiwa-peristiwa ini
terjadi. Puluhan orang telah dibunuh, ratusan orang ditahan secara
sewenang-wenang dan disiksa serta belasan lainnya dinyatakan hilang, itu adalah
bukan cerita baru, pengalaman selama 38 tahun (1963-2000)integrasi dengan
republic Indonesia dengan berbagai operasi militer yang dilakukan telah
berakhir dengan ribuan orang Papua dibantai, ditangkap dan dilakukan secara
sewenang-wenang dan disiksa, perempuan-perempuan diperkosa. Semua “Crime Agains
Humanity in West Papua” itu dibuat demi persatuan Nasional dan Pembangunan.
Mengapa terus terjadi “Crime Agains Humanity in West
Papua?”Kebijakan apapun yang diambil oleh suatu pemerintah dimanapun didunia
ini terhadap suatu kelompok masyarakat yang dikuasai tidak terlepas dari
persepsi yang ada pada penguasa, persepsi itu terbangun dari latar belakang
kebudayaan, sejarah dan keinginan-keinginan juga kekhawatiran bagaimana
kelompok masyarakat yang ditargetkan itu mesti diatur. Frantz Fannon seorang Psikiator asal Caribia
yang kemudian mendukung perjuangan kemerdekaan rakyat Aljazair dari penjajah
Perancis berpendapat bahwa, penjajahan didukung oleh teori-teori kebudayaan
yang realisis. Kaum penjajah beranggapan bahwa kelompok yang dijajah tidak
berkebudayaan atau kebudayaannya rendah dan oleh karena itu berbagai kebijakan
dilakukan untuk memperadabkan sekaligus menaklukkan kelompok masyarakat
tersebut.
Dalam kaitan Crime Agains Humanity in West Papua tidak
bisa dilihat lepas dari suatu persepsi pemerintah Indonesia terhadap rakyat dan
Papua Barat. Pemerintah Indonesia memandang Papua Barat adalah wilayah integral
dari Indonesia yang telah direbut dengan darah melalui komando Trikora dibawah
pimpinan jenderal Soeharto, mantan presiden RI yang otoriter. Papua Barat juga
dilihat sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, dapur masa depan
Indonesia. Ali Martopo dalam ceramahnya di aula University Cenderawasih di
Jayapura “Irian Jaya adalah dapur masa depan Indonesia”. tetapi Papua Barat
juga dipandang sebagai wilayah dimana berlangsung apa yang oleh Jakarta disebut
sebagai ‘Gerakan Separatis’ yang dapat membahayakan persatuan bangsa. Penduduk
asli Papua ini dipandang sebagai ‘primitif’ dan terbelakang sehingga mereka
harus diperadabkan.
Persepsi pemerintah tersebut harus mendasari lahirnya
dua kebijakan utama dalam menangani Papua Barat, yaitu militerisme, dan
kebijakan-kebijakan pembangunan (transmigrasi, keluarga berencana, turisme,
pertanian, pertambangan dan lain lain). Semua itu dilakukan demi persatuan
nasional dan pembangunan, kebijakan ini
selanjutnya melegalkan terjadinya Crime Agains Humanity in West Papua ini.
Sejak integrasi Papua Barat kedalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia pada tahun 1963 perang pun di gelar melawan bangsa Papua.
Gerakan Papua Merdeka (OPM) menjadi alasan bagi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) sekarang TNI pisah dari POLRI, untuk melancarkan
operasi-operasi militer diberbagai wilayah di Papua Barat. Secara garis besar
akan digambarkan beberapa peristiwa besar yang telah berakibat terhadap
terjadinya ‘Crime Agains Humanity in West Papua’.
Periode 1963 – 1969
Masa transisi dimana sesudah kedaulatan Papua Barat,
berdasarkan New York Agreement 15 Agustus 1962, dilimpahkan dari pemerintah
Belanda ke pemerintah Indonesia dan persiapan menuju ke ‘Act of Free Choice’
pada tahun 1969 pada masa ini pemerintah dan ABRI memasukkan ribuan aparat
keamanan dan petugas-petugas pemerintah untuk memastikan bahwa rakyat Papua
Barat menjadi bagian integral dari Republik Indonesia bilamana ‘Act of Free
Choice’ terjadi, rakyat di intimidasi terjadinya penangkapan dan penahanan di
luar hukum, pembunuhan-pembunuhan. Akibatnya hanya 1025 saja dari total 800.000
rakyat Papua waktu itu yang ditentukan oleh pemerintah Indonesia untuk secara
terpaksa memilih menjadi bagian dari NKRI.
Periode 1970 – 1984
Perlawanana rakyat Papua yang memprotes hasil Act of
Free Choice dalam bentuk berdirinya Organisasi Papua Merdeka (OPM)
menjastifikasi berlangsungnya operasi-operasi militer di wilayah yang di
identifikasi sebagai kantong-kantong gerakan OPM, ribuan pasukan militer
diturunkan di wilayah-wilayah tersebut. Kebebasan rakyat dipasung dan
pembantaian terhadap rakyat pun digelar, operasi-operasi militer tersebut
antara lain : kasus Biak (1970/1980), kasus Wamena (1977) dan kasus Jayapura
(1970/1980). Kasus 1984 dimana Arnold C. Ap dan Eduard Mofu, dua seniman Papua
dibunuh dan 12.000 penduduk kemudian mengungsi ke Papua New Guinea.
Periode 1985 – 1995
Operasi militer untuk menumpas OPM terus dilancarkan
aparat keamanan, terutama dikawasan pegunungan tengah Papua Barat . dari semua
peristiwa yang terjadi “kasus Timika 1994/1995” yang melibatkan PT. Freeport
Indonesia yang dilaporkan keuskupan Gereja Katolik Jayapura dimana 16 orang
dibunuh, 4 orang hilang dan puluhan lainnya ditahan dan disiksa serta 5
perempuan ditahan dan diperkosa.
Periode 1996 – 1998
Operasi militer menumpas OPM pimpinan Kelly Kwalik
yang menyandera para ilmuan barat di wilayah Mapnduma, pegunungan tengah Papua
Barat dalam jangka waktu 1996 – 1998. Menurut ELS-HAM Papua Barat (Mei 1998)
drama penyanderaan ini menjadi alasan bagi pihak militer Indonesia untuk
kemudian melanarkan operasi militer baik pada waktu penyanderaan, operasi
pembebasan sandera dan pasca pembebasan sandera dimana sekitar 35 penduduk sipil
dibunuh, 13 perempuan diperkosa, 166 rumah penduduk dan 13 gereja dibakar
musnah.
Periode 1999 – 2000
Sejak tumbangnya Presiden Soeharto pada Mei 1998
berbagai tindak kekerasan dilakukan oleh aparat keamanan terhadap rakyat Papua
Barat yang melakukan hak kebebasan berekspresi dengan berdemonstrasi dan
mengibarkan bendera Papua Barat (Bintang Kejora) diberbagai kota di Papua
Barat, berbagai Crime Agains Humanity in West Papua mempunyai implikasi baik
psikologi, social, ekonomi dan budaya terhadap diri bangsa Papua. Mereka mengalami
jiwa yang patah, hilang percaya diri, frustasi, apatis, mengendapkan dendam dan
kebencian yang mendalam terhadap pihak yang membuat mereka menderita. Secara
social rakyat terpecah belah dan saling tidak percaya satu sama lain, suatu
kenyataan yang lain berbagai faktor lainnya yaitu melatarbelakangi mengapa
rakyat Papua ini menuntut untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.
Masalah “Crime Agains Humanity in West Papua” pada
dasarnya terjadi karena ada suatu persepsi nasional yang bersifat rasis,
eksklusif dan penuh kecurigaan terhadap keberadaan orang Papua. Persatuan
nasional dan pembangunan telah menjadi dalih yang sangat kuat untuk lahirnya
militerisme di Papua Barat yang telah menyebabkan terjadinya Crime Agains
Humanity, adalah telah menyebabkan terjadinya rakyat Papua mengalami “A Broken
Soul”. Orang Papua harus diakui sebagai suatu kelompok masyarakat yang secara
ras berbeda dengan bangsa indonesia lainnya serta harus diterima sejajar dengan
yang lainnya. Pendekatan militer di
Papua Barat harus segera dihentikan karena telah menyebabkan terjadinya
berbagai “Crime Agains Humanity”, pemerintah Indonesia harus memiliki kemauan
politik secara sungguh-sungguh dan membawa keadilan remedy kepada rakyat Papua
Barat. Membangun kultur penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia dan demokrasi
melalui berbagai bentuk pendidikan HAM dan Demokrasi.
Tidak hanya itu, dalam
sejarah perkembangan ilmu antropologi, Koentjaraningrat dikenal sebagai
perintis ilmu budaya di Indonesia. Ia juga merupakan sosok ilmuan Indonesia
pertama yang melakukan penelitian budaya di Papua. Koentjaraningrat tidak hanya
mempelajari budaya masyarakat asli Papua, namun ia juga merekomendasi kepada
pemerintah untuk melakukan pendekatan budaya kepada provinnsi yang baru
bergabung dengan Indonesia di akhir 60-an. Koentjaraningrat menilai bahwa
pendekatan budaya merupakan cara yang paling tepat untuk meng-Indonesiakan
Papua sebagai salah satu rpovinsi muda. Hal ini sangat penting karena mengingat
Papua memiliki budaya minoritas dan kebangsaan yang berbeda dengan daerah di
Indonesia lainnya.
Di tengah peliknya persoalan konflik
di Papua saat ini, maka mungkin kita perlu kembali mengingat pemikiran
Koentjaraningrat mengenai pendekatan budaya. Oleh karena itulah, maka Forum
Kajian Antropologi Indonesia Indonesia (FKAI) serta Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) bekerja sama dengan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia
(Setwapres RI) menyelenggarakan Koentjaraningrat Memorial Lecture 2011 berjudul
“Meneropong Keindonesiaan dalam Kepapuaan: Menuju Dialog untuk Memutus Siklus
Konflik dan Kekerasan di Papua” pada tanggal 29 November 2011. Oleh karenanya,
Forum Koentjaraningrat Memorial Lecture 2011 tidak hanya hadir untuk mengenang
pemikiran Koentjaraningrat tetapi juga menelaah kembali gagasan-gagasan yang
dibawa Bapak Antropologi Indonesia itu untuk memperbaiki hubungan Indonesia dan
Papua. Bukan tidak mungkin bahwa kekerasan dan konflik terus berlangsung di
Papua karena dilupakannya pendekatan kebudayaan yang memanusiakan Orang Papua
seperti yang digagas Koentjaraningrat dahulu.
Konflik Papua telah menorehkan
sejarah panjang di Indonesia. Muridan S. Widjojo melihat bahwa konflik Papua
yang berlangsung selama 49 tahun disebabkan oleh digunakannya pendekatan
keamanan dengan sangat kuat untuk menghadapi sikap kritis Orang Papua. Negara
disimbolkan dengan kekerasan bukan kesejahteraan; karena tingkat pelayanan dan
fasilitas dasar seperti kesehatan, pendidikan dan pemberdayaan ekonomi
diabaikan. Oleh sebab itulah, Muridan menyatakan bahwa keindonesiaan diangap
sebagai antitesis dari ideal kepapuaan yang dimimpikan oleh banyak orang asli
Papua. Meutia Hatta dan Phil Erari meyakinkan bahwa sejarah masuknya Papua
menjadi bagian dari Negara Indonesia merupakan sebuah titik awal lahirnya
konflik yang berkelanjutan hingga kini. Phil Erari bahkan menilai bahwa proses
bergabungnya Papua dengan Indonesia diwarnai oleh tindakan penyimpangan,
manipulasi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang memilukan.
Negara tidak mempertimbangkan nilai
budaya masyarakat asli Papua, sebaliknya kekerasan dan operasi militer
mendominasi kebijakan negara di tanah paling timur Indonesia ini. Sebelum
reformasi, tidak ada pendekatan budaya yang coba dilakukan negara untuk
mengkonstruksi jiwa kebangsaan Orang Asli Papua sebagai bagian dari Indonesia.
Abdurrahman Wahid merupakan presiden pertama yang mendekati Masyarakat Papua
dengan penghargaan terhadap nilai kultur Papua. Beliau mengakui Bendera Bintang
Kejora sebagai lambang kultur Masyarakat Papua. Hal ini sangat bertolak
belakang dengan situasi saat ini yang menilai bahwa Bendera Bintang Kejora
merupakan lambang separatis Orang Papua.
Phil Erari menyatakan bahwa Indonesia
membutuhkan pendekatan baru untuk mengatasi persoalan konflik di Papua.
Pendekatan baru ini tentu saja disesuaikan dengan situasi budaya Papua.
Gambaran budaya Papua diperlukan untuk memahami secara baik bagaimana karakter
asli Orang Papua, sehingga dapat dibuat sebuah kebijakan yang diterima dengan
baik oleh masyarakat. Dengan demikian, intensitas konflik pun semakin lama akan
semakin menurun dan menghilang. Namun begitu, membaca kultur Masyarakat Papua
tidak lah mudah karena kebudayaannya yang sangat kaya. Agapitus Dumatubun
menyatakan bahwa empat zona ekologi di Papua turut mempengaruhi terbentuknya
budaya yang berbeda. Budaya itu terklasifikasi menjadi lima sebaran wilayah
budaya dengan empat tipe kepemimpinan masyarakat yang berbeda. Dumatubun
menyatakan bahwa nilai budaya tersebut dapat menjadi kerangka membangun sistem
pemerintahan yang baik di Papua, misalnya terkait dengan pembagian dan
pemekaran wilayah pemerintahan. Pendekatan kebudayaan ini juga penting untuk
menentukan alat mediasi bagi pemerintah untuk berdialog dengan Masyarakat
Papua.
Dialog merupakan cara non-militer
yang baru-baru ini ditawarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada
9 November 2011. Dialog dapat menjadi pendekatan baru yang mungkin saja selama
ini dibutuhkan oleh negara dan Papua untuk menghapus konflik diantara mereka.
Masyarakat Papua sesungguhnya merupakan masyarakat berdialog karena segala
sesuatu yang penting dalam kehidupannya ditentukan secara damai dalam dialog.
Sebagai contoh, suku-suku di Papua menentukan proses adat berperang dengan
dialog antar suku sebelumnya yakni mengenai kapan perang akan dimulai dan kapan
akan dihentikan. Merujuk pada nilai budaya Masyarakat Papua tersebut, maka
sesungguhnya dialog dapat menjadi cara yang baik untuk memperkuat keindonesiaan
di Papua.
Lalu dialog apa yang dapat dibangun
oleh Jakarta dan Papua? Forum Koentjaraningrat Memorial Lecture 2011
mencatatkan setidaknya terdapat lima hal terkait Budaya Papua yang yang perlu
tercerminkan di dalam dialog. Pertama, dialog harus mampu
mempertahankan identitas-identitas kultural dan posisi-posisi politik yang
berlawanan sebagai sesuatu yang wajar. Unsur-unsur representasi, format,
mekanisme, dan agenda dialog harus merupakan kesepakatan pihak-pihak yang
berkonflik. Kedua, dialog harus mampu membuka ruang gerak kultural
Orang Papua yang lebih besar. Ketiga, pemerintah harus menyadari
wujud keragaman persepsi kultural Masyarakat Papua mengenai cara dan mekanisme
dialog politik. Keempat, perlu diwujudkan sebuah dialog yang
mengarah kepada tercapainya proses rekonsiliasi dan proses permintaan maaf atas
kesalahan di masa lalu oleh pemerintah maupun masyarakat Papua. Kelima, dialog
harus mampu merekonstruksi paradigma negara yang melihat Papua selalu sebagai
bangsa separatis yang mengusik keutuhan Negara. Dengan lima poin tersebut maka
Forum Koentjaraningrat Memorial Lecture 2011 telah membungkus dialog sebagai
sebuah alat penyelesaian konflik Papua yang sarat dengan pendekatan cultural.
Pada minggu lalu saya dan
teman-teman sekelompok saya dimana ada waktu luang yang secara bersamaan kita
semua kumpul untuk mendiskusikan sebuah artikel “Don’t Use youre Data as
Pillow” yang dimana sekarang kita harus bisa memberikan pendapat terhadap
artikel tersebut. Lebih dari 5 kali kita mendiskusikannya, Sebelumnya saya
hanya menuliskan rangkuman dari paragraf ke paragraf dan ini adalah hasil dari
diskusi saya dan kelompok saya.
Paragraf
1: Sebuah pesta oleh salah satu salah satu pekerja HAM untuk penulis, untuk
menandai akhir penelitiannya di Papua.
Paragraf
2: Alasan penulis datang ke Papua. Namun
pada akhirnya penulis tertarik dengan hal lain yang terjadi di Papua.
Paragraf
3: Penulis baru dapat memahami mengapa banyak orang Papua yang ingin merdeka,
bukannya sebuah reformasi.
Paragraf
4: penulis
melakukan perjalanan ulang ke Papua Barat, ia juga mencatat apa yang terjadi di
Papua Barat dan di terbitkan kedalam cetakan harian. Tak hanya itu dia juga
mendapatkan teman dari berbagai bangsa dan menemukan hal-hal baru, ia juga
mengetahui bahwa militer indonesia secara sembunyi-sembunyi mendukung Papua
Barat untuk merdeka.
Paragraf
5: Oleh penduduk Papua, penulis dianggap sebagai sekutu yang sangat potensial
sehingga banyak diantara orang Papua yang mencarinya untuk dijadikan
sekutu. Pada akhirnya penulis juga
merasa bahwa dirinya sudah terlibat jauh serta cukup memahami apa yang
sebenarnya terjadi di Papua.
Paragraf
6: Kembali berbicara mengenai pesta perpisahannya, dimana penulis dapat
berkenalan dengan salah satu anggota KOMNAS HAM dari Papua, yang bernama Telys
Waropen. Pada paragraf ini pula penulis
mengungkapkan beberapa hal tentang Telys Waropen.
Paragraf
7: Penulis menuliskan lebih tentang asal-usul daerah dari Telys Waropen, yaitu
sebuah daerah yang pernah dilanda konflik yaitu Wasior.
Paragraf
8: Menceritakan tentang pengalaman penulis ketika meneliti di Wasior.
Paragraf
9: Menceritakan tentang keinginan dari penulis yang ingin mewawancarai dukun
yang berada di dekat gunung.
Paragraf
10: Kembali lagi pada pesta perpisahannya.
Penulis menganggap bahwa teman barunya tersebut (Telys Waropen),
merupakan sumber yang sangat penting yang dapat memenuhi kekosongan dalam
penelitian penulis.
Paragraf
11: Penulis berpendapat untuk menyembunyikan narasumber, namun Waropen
berpendapat sebaliknya, Waropen berpendapat bahwa “tidakkah sebuah data akan
lebih kuat jika penulis mencantumkan nama dari sumber tersebut.
Paragraf
12: Penulis mendapatkan saran dari teman dan pembimbingnya untuk menjaga
kerahasiaan dari sumber-sumbernya, ini dilakukan untuk mendapatkan pengecualian
dari dewan lembaga review yang ada di universitasnya. Penulis berpendapat bahwa melakukan
penelitian di Papua telah membawanya pada kesimpulan bahwa menjaga menjaga
narasumber tetap rahasia tidak hanya untuk melindungi mereka (narasumber) dari
omong kosong birokratis, tetapi juga untuk menghapus identitas mereka sama
sekali.
Paragraf
13: Pandangan orang terhadap koran atau majalah yang tidak mencantumkan nama
dari narasumber. Mencantumkan nama dari
narasumber untuk menghindari penulis yang nakal (tidak etis), dan mencegah
penyebaran informasi yang salah.
Paragraf
14: Penulis menunjukkan kepada Waropen bagaimana sebuah wawasan dari budaya
kritis dan paska teori strukteral yang mungkin dapat menyegarkan pandangan pada
konflik di wilayah Papua Barat.
Paragraf
15: Ketika perbincangan dengan Waropen memanas, penulis memberikan alasan
mengapa dia tidak menuliskan nama dari narasumbernya. Penulis berkata “ sungguh ada kasus dalam HAM
yang telah dilaporkan dimana narasumber harus dilindungi.
Paragraf
16: Disadari oleh penulis, bahwa saat dia berbincang-bincang dengan Waropen
penulis secara tidak langsung telah diprovokasi oleh Waropen.
Paragraf
17: Penulis ditanya dan didorong oleh Waropen untuk menjadi penulis yang lebih
baik dan lebih autoritatif dalam memahami cultural
anthropology.
Paragraf
18: Penulis sudah mempublikasikan beberapa artikel mengapa papua barat. Waropen
mendorong penulis untuk bertindak bukan hanya menulis dan mempublikasikan
masalah, tetapi harus melakukan perubahan untuk mengatasi fakta-fakta yang ada.
Paragraf
19: Saat penulis dan Denny di Wasior mereka meneliti rumor yang menghubungkan
BP dengan kekerasan yang terjadi baru-baru ini. Penulis di paragraph ini
menebak siapa saja yang terlibat dalam kekerasan yang terjadi.
Paragraf
20: Penulis berhasil mewawancarai Papua double-agent “perjuang kemerdekaan”
dari wawancara tersebut penulis mengetahui dan berhasil mengaitkan rumor
kekerasan yang terjadi di Wasior dengan peroyek BP. Agen ganda merasa khawatir akan keselamatan
dirinya karena mengetahui terlalu banyak rahasia kerja sama antara militer dan
BP.
Paragraf
21: Dua minggu setelah Waropen menuntut penulis, tepatnya akhir mei 2003
Rumbiak meminta penulis untuk bergabung dengan pertemuan di London sehingga
penulis bisa menyajikan temuan-temuannya tentang kekerasan milisi di Wasior
Paragraf
22: Saat di London penulis bertemu dengan Rumbiak, mereka tersesat saat menuju
pertemuan dengan BP mereka terlambat 20 menit. Saat diperjalanan mereka
menceritakan perjalanan yang telah dilakukan.
Paragraf
23: Paragraf ini menceritakan keadaan penulis saat dipertemuan BP dengan CFO
Byron Grote dan John O’Reilly yang menjadi senior wakil president BP untuk
Indonesia
Paragraf
24: Paragraf ini menceritakan keadaan saat diskusi, penulis menyajikan pesan
yang jelas kepada Dr. Grote dan John O’reilly.
Paragraf
25: Dr. Grote mengatakan kekerasan tidak baik untuk bisnis dan yang baik adalah
membangun kerjasama.
Paragraf
26: Rumbiak meminta penulis untuk mempresentasikan temuannya di Wasior. Penulis
pun mengemukakan temuannya dengan jantung berdebar-debar.
Dan
ini adalah hasil rangkuman dari keseluruhan paragraph menurut pendapat saya dan
kelompok saya. Sebelum kami merangkum, disini kami terlebih dahulu
akan menyebutkan siapa saja atau pihak mana saja yang terkait.
1. S. Eben Kirksey
sang penulis artikel.
2. Denny Yomaki, a human rights
worker .
3. Telys Waropen a member of Komnas
HAM, the National Human RightsCommission.
4. Dr. Byron Grote, the Chief Financial Officer
(CFO).
5. John O’Reillywas BP’s Senior Vice President
for Indonesia.
6. Richard Gozney British Ambassador.
7. John Rumbiak, a Papuan human rights defender.
8. Polisi Indonesia.
9. Militer Indonesia.
10. Pejuang kemerdekaan ( OPM ).
11. Agen ganda.
12. BP ( British Petroleum ).
13. Pemerintah Indonesia.
14. Pemerintah Inggris.
15. Pemerintah Amerika Serikat.
Penulis adalah seorang mahasiswa S2 yang datang ke
Papua untuk meneliti tentang musim kering yang pernah melanda Papua. Namun, sangat disayangkan ketika penulis
datang ke Papua kemarau di sana sudah berakhir.
Penulis tidak mungkin langsung pulang ke negri asalnya dengan tangan
kosong. Bisa jadi penulis memutuskan
untuk tetap tinggal di sana, hingga akhirnya penulis menemukan sebuah fakta
yang menarik yang terjadi di Papua.
Di
Papua penulis melakukan penelitian mengenai kekerasan yang terjadi di
sana. Tentu tidak mudah untuk
menyelidiki hal tersebut, tanpa bantuan dari penduduk lokal. Selama tinggal di sana selama kurang lebih
lima tahun penulis telah mewawancarai lebih dari 350 orang.
Selama penelitian tersebut penulis menemukan
beberapa hal yang membingungkan, seperti:
·
Adanya pihak yang disatu
sisi saling bertentangan, namun disisi lain ada rumor yang mengatakan bahwa
mereka saling kerjasama.
·
Keterkaitan antara
perusahaan multi-nasional yang ada di sana dengan pihak yang bertikai.
·
Tempat terjadinya
keributan yaitu Wasior.
Meskipun pada awalnya penulis merasa bingung, namun
pada akhirnya penulis dapat mengerti keterkaitan dari semuanya itu. Penulis berpendapat bahwa melakukan
penelitian di Papua telah membawanya pada kesimpulan bahwa menjaga narasumber tetap
rahasia tidak hanya untuk melindungi mereka (narasumber) dari omong kosong
birokratis, tetapi juga untuk menghapus identitas mereka sama sekali.
Setelah selesai melakukan penelitian di Papua, tiba
saatnya bagi penulis untuk mengungkapkan hasil temuannya tersebut. Ketika penulis mengungkapkan hasil
penelitiannya tersebut, penulis berkesempatan mengenal beberapa orang penting
dari British Petroleum ( BP ). Dalam
kesempatan ini penulis berniat untuk membantu Papua untuk terbebas dari
Indonesia, dalam kesempatan kali ini
penulis pun membantu salah satu aktivis HAM yang mengajaknya dalam rapat
tersebut, John Rumbiak, namun ternyata salah
seorang dari petinggi BP mengatakan bahwa keributan yang terjadi di sana adalah
bukan lah skenario dari
BP. Namun hal tersebut bertentangan dengan pernyataan yang
diungkapkan oleh salah satu narasumber (salah seorang militer) yang diinterview
penulis.
Jadi kesimpulannya adalah dimana konflik Papua Barat
sampai saat ini masih belum terselesaikan pemerintah Indonesia masih belum bisa
menyelesaikan dan belum bisa menindonesiakan Papua Barat untuk menjadi bagian
dari Indonesia tersebut. Dan pada artikel dari S Eben Kirksey yang berjudul
“Don’t Use Your Data as a Pillow” yang diman penulis pada awalnya adalah hanya
untuk meneliti kekeringan El Nino yang terjadi di Papua Barat tetapi hasil
penelitiannya berbanding terbalik dengan rencana awal yang dia akan lakukan. Ia
justru terlibat dalam kasus-kasus Papua Barat, tidak hanya itu saja ia juga
mendapatkan berita lain tentang peristiwa yang dialami bangsa Indonesia. Lalu sampai
kapankah masalh atau konflik Papua ini akan berakhir?