Refleksi
Bangsa: Tingkatkan Budaya Literasi Yuk!
By:
Astri Rahayu
Lantainya dilapisi dengan karpet
empuk, kursi bak kasur, suhu ruangan diatur agar selalu hangat, dan ruang bacapun
dibuat cukup luas. Juga harga buku yang tergolong murah dan terjangkau oleh
seluruh kalangan, jauh bila dibandingkan dengan harga buku yang dipatok di
Indonesia. Lantas, bagaimana dengan kondisi literasi di bumi Nusantara ini? Apa kita harus bercermin agar kita sadar
bahwa kita sudah sangat tertinggal jauh dengan Negara-negara tetangga seperti
Malaysia dan Singapura? Saya rasa kita
harus segera bercermin dan melihat refleksi literasi bangsa kita yang masih jauh dari kata “Baik” dan
harus segera ditingkatkan.
Jika kita semua cermati kehidupan
masyarakat Indonesia sehari-hari, budaya lisan telah mendarah daging di hampir
setiap stratifikasi sosial. Proses transfer ilmu dan informasi lebih banyak
dilakukan melalui mulut ke mulut. Budaya lisan ini semakin menguat seiring
dengan kemajuan teknologi informasi. Tidak heran bila saat ini masyarakat kita
merasa asing dengan buku. Mereka lebih fasih dengan nama-nama artis di televisi
daripada nama penulis-penulis buku. Dalam
disiplin ilmu pendidikan, kemampuan nalar sejatinya bertaut erat dengan
literasi. Perlu dicatat, konsep literasi di sini tak lagi dimaknai secara
sempit yang terbatas pada kemampuan baca-tulis, tapi juga berkaitan dengan
kemampuan memaknai teks, seperti huruf, angka, dan simbol kultural, seperti
gambar dan simbol secara kritis.
Literasi dalam arti luas seperti ini sejatinya sudah cukup
lama menjadi acuan UNESCO. Ini bisa kita baca dari Literacy for Life,
laporan UNESCO tahun 2006 tentang literasi dunia. Di situ dinyatakan, literasi
adalah hak dasar manusia sebagai bagian esensial dari hak pendidikan.
Literasi
an activity, a way of thinking not a set of skills. And it is a purposeful
activity—people read, write, talk and think about real ideas
and information in order to ponder and extend what they know, to communicate
with others, to present their points of view, and to understand and be
understood (Langer, 1987).
Terpenuhinya hak literasi memungkinkan kita mengakses sains,
pengetahuan teknologi, dan aturan hukum, serta mampu memanfaatkan kekayaan
budaya dan daya guna media. Singkatnya, literasi menjadi poros upaya
peningkatan kualitas hidup manusia. Karena itu, ia merupakan sumbu pusaran
pendidikan. Dalam
pengertian lebih luas literasi juga dapat diartikan sebagai kemampuan nalar
manusia untuk mengartikulasikan segala fenomena sosial dengan huruf dan
tulisan.
Walaupun saat ini literasi lebih banyak mempunyai
makna sesuai dengan perkembangan zaman
saat ini, seperti yang dijelaskan di dalam Rekayasa
Literasi (Chaedar, 2004) bahwa bukan
hanya sekedar persoalan psikologis, yang berkaitan dengan kemampuan mental dan
keterampilan baca tulis. Saya
sependapat dengan pak Chaedar. Mengapa demikian? Ini semua dikarenakan konteks dari literasi
sekarang sudah berubah, bukan hanya berkaitan dengan budaya baca tulis saja
tetapi sudah menjalar ke arah politik, teknologi, ilmu pengetahuan alam,
matematika, virtual, dll. Contohnya adanya literasi computer, literasi media,
literasi sains dan literasi virtual.
Menurut saya, literasi bukan hanya tentang
pendidikan, tapi merupakan investasi utama untuk masa depan dan langkah pertama
menuju semua bentuk-bentuk baru literasi yang diperlukan dalam abad kedua puluh
satu. Kita semua ingin melihat satu abad
di mana setiap anak dapat membaca dan menggunakan keterampilan ini untuk
mendapatkan otonomi.
Literasi
juga ternyata mempunyai tujuh dimensi yang saling terkait, diantaranya:
Dimensi
geografis (local, nasional, regional, dan internasional)
Dimensi
bidang (militer, pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, dll)
Dimensi
keterampilan (membaca, menulis, menghitung, berbicara)
Dimensi
fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi.
Dimensi
media (teks, cetak, visual, digital)
Dimensi
jumlah (satu, dua, tiga)
Dimensi
bahasa (etnis, local, nasional, regional, internasional)
Minat baca
anak Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Berdasarkan studi lima tahunan yang
dikeluarkan oleh Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) pada
tahun 2011 yang melibatkan siswa sekolah dasar (SD) kelas IV, hanya menempatkan
Indonesia pada posisi 42 dari 45 negara yang dijadikan sampel penelitian dengan
nilai rata-rata 428. Dibawahnya ada Qatar, Oman, dan Maroko. Itu hanya salah
satu fakta yang menyebutkan bahwa sangat ironis sekali kondisi literasi siswa Indonesia saat ini.
Telah banyak dijelaskan
temuan-temuan rapor merah literasi anak negeri yang tertoreh di proyek
penelitian dunia. Kita mengenal seperti PIRLS (Progress in International
Reading Literacy Study), PISA (Program in International Student Assessment),
dan TIMSS (the Third International Mathematics and Science Study) untuk
mengukur literasi membaca, matematika dan ilmu pengetahuan alam. Namun, fakta
menyebutkan sunggu ironis hasil penelitian kondisi literasi anak Indonesia.
-
Skor
Prestasi membaca Indonesia adalah 407 (untuk semua siswa). Angka ini dibawah
rata-rata Negara peserta yaitu 500, 510 dan 593. Jauh berbeda dibandingkan
dengan Rusia (565), Hong Kong (564), Kanada/Alberta (560), dan Singapura (559).
Indonesia menempati urutan ke-5 dari bawah, yakni sedikit lebih tinggi daripada
Qatar (356), Kuwait (333), dan Afrika Utara (304).
- Orang
tua siswa Negara peserta PIRLS yang lulus universitas 25%, lulus SMA 21%, lulus
SMP 31%, lulus SD 15%, dan tidak tamat SD 8%. Negara yang paling banyak
memiliki orang tua lulusan universitas (>40%) adalah Denmark, Georgia,
Islandia, Israel, Belanda, Norwegia, Qatar, Kanada. Sebaliknya, negara yang
berpendidikan orang tua siswanya rendah (25% orang tua siswa tidak lulus SD)
adalah Indonesia (46%), Iran (35%), Maroko (59%) dan Afrika Utara (26%). Dalam
ruang lingkup PIRLS diketahui bahwa rata-rata skor capaian prestasi membaca 544
didapatkan oleh sekelompok siswa yang orang tuanya lulusan universitas, dan
rerata skor 425 didapatkan oleh sekelompok siswa yang oleh orang tuanya tidak
tamat SD. (Hayat dan Yusuf, 2010:73-81).
Dua temuan diatas sudah memberikan
gambaran bahwa kita harus memperbaiki dan meningkatkan literasi siswa
Indonesia. Ada beberapa variable yang berkaitan dengan pendidikan literasi,
yakni pendapatan perkapita, pendidikan orang tua, fasilitas belajar, lama
belajar di sekolah, human development index (HDI), dll. Manusia literat adalah
merupakan SDM yang memiliki potensi untuk membangun bangsa. Pendidikan literasi
adalah investasi jangka panjang yang berfungsi formatif, untuk meningkatkan HID
dan menjamin kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik (Wagner, 1999 dan Barton,
2001 dalam Setiadi, 2010). Jadi, pendidikan literasi pasti mengubah pendapat
dan pendapatan.
Dalam sejarah peradaban umat manusia
kemajuan suatu bangsa tidak dapat dibangun hanya dengan bermodalkan kekayaan
alam melimpah, melainkan juga berawal dari peradaban buku atau penguasaan
literasi yang berkelanjutan. Sebagai ilustrasi,dalam lingkup Asia Tenggara
jumlah penerbitan buku di Indonesia tertinggal jauh. Menurut data Kompas pada
tahun 2009, Indonesia baru sanggup menerbitkan sekitar 8.000 judul buku per
tahun. Sementara itu, Malaysia mencatat 10.000 judul buku, Singapura 12.000
judul buku. Lebih lanjut, di kawasan Asia Pasifik Cina dan Jepang menerbitkan
masing-masing 60.000 judul buku.
“Hari ini Anda adalah orang yang sama
dengan Anda di lima tahun mendatang, kecuali dua hal : orang-orang di
sekeliling Anda dan buku-buku yang Anda baca.” – Charles Jones.
Selain itu, jumlah penulis pun
dinilai belum memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sehingga satu buku dibaca
untuk lima orang. Sedangkan di Amerika, satu orang minimal mengakses buku
sehari sebanyak 20 judul buku. Angka ini tentu saja menjadi semacam
tamparan bagi bangsa dan juga penghuni di dalamnya. Betapa tidak, Indonesia
sebagai negara berkembang yang seharusnya menempatkan pentingnya membaca dan
memperbanyak karya tulis di urutan teratas, kini dinilai semakin tahun semakin
menurun.
Untuk mengatasi ketertinggalan Indonesia di bidang literasi
ini, yang paling mendesak untuk dilakukan adalah merevisi paradigma usang
literasi dan menggantinya dengan paradigma yang lebih merefleksikan kebutuhan
berliterasi di era ketika siswa dikelilingi teks, informasi, dan gambar dari
berbagai penjuru. Upaya strategis yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan daya
literasi Indonesia secara menyeluruh dan berkesinambungan adalah dengan
memulainya dari pendidikan di sekolah.
Ini berkaitan dengan penjelasan yang disampaikan pak Chaedar
dalam Rekayasa Literasi bahwa ujung tombak pendidikan literasi adalah guru
dengan langkah-langkah profesionalnya yang terlihat dalam enam hal: (1)
komitmen professional, (2) komitmen etis, (3) strategi analitis dan reflektif,
(4) efikasi diri, (5) pengetahuan bidang studi, dan (6) keterampilan literasi
dan numeriasi (Cole dan Chan, 1994 dikutip oleh Setiadi, 2010). Dengan kata
lain, membangun literasi bangsa harus berawal dengan membangun guru yang
professional, dan guru professional hanya dihasilkan oleh lembaga pendidikan
yang professional juga.
Dari penjelasan yang saya jelaskan diatas, kita bisa tarik
kesimpulan bahwa rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis
untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara
optimal (Chaedar, 2004:172-1173). Perbaikan rekayasa literasi senantiasa menyangkut
empat dimensi menurut Kucer (2005:
293-4) terdiri atas:
1. Membaca dan menulis memerlukan
pengetahuan yang mencakup
Ø System bahasa utuk membangun makna
seperti jenis dan struktur teks, morfologi, sintaksis, semantic, ortografi,
dll.
Ø Persamaan dan perbedaan bahasa lisan
dan tulis.
Ø Ragam bahasa yang mencerminkan
kelompok, daerah, etnis, agama, pekerjaan, status sosial, dll.
2. Kognitif
atau focus minda
Membaca dan menulis itu memerlukan
pengetahuan dan keterampilan:
Ø Aktif, selektif, dan konstruktif
saat membaca dan menulis
Ø Memanfaatkan pengetahuan yang ada
(schemata), schemata disini adalah semua yang kita lihat dengan mata yang
berfungsi untuk membangun makna.
Ø Menggunakan proses mental dan
strategi untuk menghasilkan makna (memprediksi, memonitor, mengevaluasi,
merevisi, merespons, menarik kesimpulan, membangun koherensi, dll. Disesuaikan
dengan jenis teks, tujuan dan penoton. Maknanya, membangun literasi itu adalah
membangun semua keterampilan tersebut.
3. Sosiokultural
atau focus kelompok
Membaca dan menulis memerlukan pengetahuan
tentang:
Ø Tujuan dan pola literasi yang
beragam sesuai dngan kelompok, daerah, lembaga, etnis, agama, pekerjaan, status
sosial, dll.
Ø Aturan dan norma dalam melakukan
transaksi dengan bahasa tulis.
Ø Fitur-fitur linguistic dari berbagai
teks untuk berbagai tujuan di dalam dan untuk silang kelompok dan lembaga
seperti terkait suku bangsa, budaya, agama, dll.
Ø Bagaimana menggunakan literasi untuk
memproduksi, menggunakan, mempertahankan, dan mengontrol pengetahuan di dalam
dan silang kelompok sosial dan lembaga seperti terkait suku bangsa, keluarga,
sekolah, dll.
Ø Bentuk-bentuk dan fungsi literasi
tertentu yang bernilai tinggi dan dipertahankan oleh berbagai kelompok terkait
suku bangsa, agama, dll. Maknanya, literasi itu mengajarkan sejumlah kepekaan
tekstual dan cultural lintas kelompok dan lembaga.
4. Perkembangan
atau focus pertumbuhan
Menjadi literat itu adalah proses
“menjadi” atau secara berangsur menguasai sejumlah pengetahuan tentang:
Ø Pembelajaran aktif dan konstruktif
dalam perkembangan literasinya.
Ø Pemakai berbagai strategi dan proses
menginstruksi berbagai dimensi literasi seperti pengumpulan data, mengajukan
hipotesis, menguji hipotesis, dan memodifikasi hipotesis.
Ø Pengamatan atas dan melakukan
transaksi dengan mereka yang lebih fasih di dalam dan diluar kelompok sosial
dan lembaga seperti terkait etnik, budaya, agama, keluarga, pekerjaan, sekolah
dan pemerintahan.
Ø Bagaimana menggunakan dukungan dan
mediasi dari pelaku literasi yang lebih fasih di dalam dan di luar kelompok sosial
dan lembaga terkait etnik, budaya, agama, dll.
Ø Pemanfaatan pengetahuan yang
diperoleh lewat membaca untuk mendukung kegiatan (perkembangan keterampilan)
menulis dan sebaliknya.
Ø Bagaimana menegosiasi makna tekstual
melalui pemakaian dan dukungan system komunikasi alternative seperti seni
music, matematika, dll. Perlu disadarkan bahwa berliterasi itu sebuah proses
“menjadi” secara berkelanjutan yakni melalui pendidikan sepanjang hayat.
Mengajarkan literasi pada intinya
menjadikan manusia yang secara fungsional mampu membaca –tulis, terdidik,,
cerdas, dan menunjukkan apresiasi terhadap sastra. Selama ini Indonesia
relative berhasil memproduksi manusia yang terdidik tapi pada umumnya kurang
memiliki apresiasi terhadap sastra khususnya. Meluruskan rekayasa literasi seharusnya
diawali dengan pemahaman atas berbagai paradigma atas berbagai paradigm
pengajaran literasi. Secara garis besar, ada tiga paradigma yaitu:
1. Decoding, menyatakan bahwa
grafofonem berfungsi sebagai pintu masuk literasi, dan belajar bahasa dimulai dengan
menguasai bagian-bagian bahasa. Dengan kata lain siswa membangun literasi
dengan diajari terlebih dahulu tentang literasi, yakni bagaimana memaknai kode
bahasa.
2. Keterampilan, bahwa penguasaan
morfem dan kosa kata adalah dasar untuk membaca. Dengan kata lain, siswa
membangun literasi dengan cara siswa memaknai bentuk-bentuk bahasa seperti
morfem dan kosa kata.
3. Bahasa secara utuh, paradigma ini
menolak pembelajaran yang meletakkan focus pada bagian atau serpihan bahasa.
Pengajaran bahasa mesti berfokus pada pembelajaran makna, yakni kegiatan
mengajarkan makna secara utuh, tidak parsial.
Paradigma baru literasi, yang tak lagi berpuas diri pada
kemampuan baca-tulis, tapi juga peningkatan daya nalar siswa, tentunya
mensyaratkan proses peningkatan literasi yang berkesinambungan, dari jenjang
pendidikan dini hingga dewasa. Tak ada jalan pintas untuk itu. Oleh karena itu, marilah kita
memulai dunia literasi kita dari diri sendiri, keluarga, sahabat, teman, dan
juga kalangan kerabat terdekat lainnya. Semoga dengan semangat literasi ini
mampu membawa negeri ini, bukan hanya terhenti pada persoalan pemberantasan
buta huruf, namun terlebih untuk mewujudkan cita-cita nasional dalam
pembangunan sosial, budaya, ekonomi dan sebagainya. Sebagai warga negara yang
peduli akan kemajuan bangsa, kita wajib perduli dengan kondisi generasi bangsa
saat ini yaitu tugas kita sebagai mahasiswa.
So Woke up Guys!!
Posted by
Unknown
at
3:43 PM