Appetizer essay: Membuat Garis Besar yang Detail



Appetizer essay 1
Membuat Garis Besar yang Detail
(by: Iiz Lailatus Saidah)
            Sepanjang perjalanan yang ditempuh, telah kita ketahui kebanhyakan mahasiswa di Indonesia tidak mampu untuk menulis dan minimnya minat untuk membaca. Pdahal hubungn antara menulis dan membaca sangatlah berkaitan, seperti artikel Pa Chaidar dan C W Watson kemukakan, saya hanya bisa mengambil penyebab umum bahwa kita harus sama-sama bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas membaca dan menulis.
            Para mahasiawa sangat sulit untuk membaca apalagi untuk menulis. Apakah dengan masalah itu kita akan diam saja dan membiarkannya, tidak banyak orang berfikir tentang ini dan itu adalah bagian dari masalah. Ini adalah masalah terbesar mahasiswa di perguruan tinggi di Indonesia.
            Banyak para mahasiswa mengakui membaca buku bukan hal yang disukai, apalagi buku-buku yang akan dibaca itu adalah buku-buku tebal yang penuh dengan teori-teori yang sulit dipahami. Alsannya adalah budayannya orang Indonesia sejak dulu memang sudah tidak suka untuk membaca dan kurangnya masyarakat Indonesia yang berliterasi.
              Minat baca mahasiswa saat ini sangat memprihatinkan, ketika mereka membaca buku yang kualitasnya jauh diatas kemampuan mereka, mereka terkadang tidak percaya diri dengan kapasitas pengetahuannya. Alasan lain adalah system pembelajaran yang belum bisa memaksa mahasiawa membaca buku, mencari informasi atau mencari lebih dari apa yang dikerjakan. Seharusnya pendidik mampu membuat mahasiswa penasaran sehingga timbul rasa ingin tahu dan sikap kritis, dan dari situ akan muncul keinginan untuk membaca. Sebagaian mahasiswa di Indonesia beranggapan bahwa untuk membaca dan memahami teks yang di luar kapasitas pengetahua mereka sangatlah sulit.
              Menurut penelitian, kemampuan menulis dikalangan mahasiswa di Indonesia sangat minim sekali, dan kalah saing oleh Negara Malaysia yang jumlah penduduknya lebih sedikit daripada penduduk Indonesia. Sampai-sampai Direktur Jendral Pendidikan Tinggi pun kecewa mendengar kenyataan ini semua.
              Bukan hanya mahasiswanya saja yang tidak mampu menulis, para dosennya pun sangat jarang sekali mengeluarkan bbuku-buku terbitan mereka sendiri. Padahal kewajiban menulis jurnal merupakan kewajiban para dosen sebagai bukti kepakaran dan spesialisasi keilmuan penulisnya. Selain itu, jurnal juga sebagai ajang silaturahmi inte;ektual dan professional bagi para peneliti atau dosen agar ilmunya tetap terbarukan, tidak ketinggalan zaman.
            Jika mendengar kenyataan itu semua Indonesia sungguh sangat memprihatinkan, padahal diberbagai universitas di Indonesia mewajibkan para mahasiswanya untuk menulis, seperti skripsi, tesis, desertasi untuk melatih keterampilam menulis mereka.
            Akan tetapi sungguh berbanding terbalik dengan fakta yang ada, baynyak mahasiawa yang tidak mampu menulis. Ketidak mampuan mereka untuk menulis bukan hanya karena mahasiswa itu sendiri, akan tetapi bisa saja karena dosennya yang tidak mampu membuat mahasiswanyauntuk bisa menulis. Ataupun karena salah pengajarannya, karena hanya duduk dan mendengarkan tidak membimbing mahasiswanya.
            Alasan lain mengapa mahasiswa tidak mapu menulis, karena kapasitas pengetahuan mereka terbatas dan juga karena jarang atau malah tidak suka membaca. Otomatis idenya sedikit dan tidak bisa memaparkan pengetahuan yang lebih rinci.
            Antar menulis dan membaca terdapat hubungan yang sangat erat. Bila kita menuliskan sesuatu pada prinsipnya kita ingin agar tulisan itu dibaca oleh orang lain, paling tidak dapat kit abaca kembali diwaktu lain. “ Hubungan antara menulis dan membaca pada dasarnya dalah hubungan antara penulis dan pembaca: (Henry, 2008).
            Di Indonesia jarang dan mungkin tidak akan muncul pembaca yang kritis, karena minat bacanya saja sangat rendah. Seperti apa yang dipaparkan oleh Pa Chaedar, kebanyakan para pembaca mengatakan bahwa “Saya tidak memiliki latar belakang pengetahuan yang sama, atau keahlian penulis sangat tinggi adapun yang mengatakan sya belum mencapai tingkat itu atau retorikannya terlalu tinggi bagi saya”. Mereka berbicara seperti itu ketika mereka tidak faham dengan teks yang mereka baca.
            Mereka mengevaluas diri mereka seolah-olah mereka tidak memiliki pengetahuan atau kapasitas untuk berinteraksi dengan penulis. Bagaimana Indonesia bisa mencetuskan pembaca yang kritis apabila pembacanya saja sudah beranggapan seperti itu. Seharusnya apabila kita tidak memahami teks tersebut berarti penulisnya yang tidak kompeten untuk menghadirkan ide untuk menghibur para pembaca, itu pembaca yang kritis.
            Kesimpulannya adalah kita harus merubah pola fikir mahasiswa dan juga masyarakat Indonesia tentang membaca dan menulis. Caranya adalah ada pada diri masing-masing, karena diri kita sendirilah yang akan merubah pola fikir kita sendiri. Kalau bukan kita sendiri siapa lagi.

Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment