Literasi, Do it More,,,!!! (Appetizer Essay-1)



Literasi, Do it More,,,!!!
(By: Aneu Fujie Lestarie)
            Bangsa Indonesia mempunyai masalah yang sangat besar yaitu rendahnya budaya literasi di negara kita.  Rendahnya literasi di Indonesia ini membuat Indonesia jatuh dan mudah diperdaya oleh negara lain.  Sebenarnya masyarakat di Indonesia itu bukan tidak mampu untuk menulis dan membaca, akan tetapi mereka tidak mau untuk membudayakan literasi tersebut.  Padahal, berliterasi itu dapat mengasah otak kita agar lebih berwawasan luas.
            Berdasarkan data UNESCO, tingkat literasi di Indonesia termasuk tertinggi di Asia Pasifik dalam rentang tahun 1990-2015.  Presentasenya bahkan bersaing dengan China-superpower Asia yang merangsek naik di kancah perekonomian global.  Namun, indeks pembangunan pendidikan UNESCO menyatakan bahwa negara Indonesia berada di urutan 69 dari 127 negara, yakni hanya satu diantara seribu yang berminat untuk membaca dan menulis.
            Banyak mahasiswa di Indonesia yang tidak suka membaca.  Mereka lebih suka hal-hal yang instan untuk memenuhi kebutuhan kuliahnya.  Padahal membaca sangatlah penting bagi mereka.  Dengan membaca maka akan menambah ilmu pengetahuan baru, berwawasan luas dan mengasah otak untuk lebih berpikir kritis.  Dengan membaca juga dapat membantu penyelesaian tugas-tugas dalam menulis karya ilmiah, esai dan sebagainya.  Namun, mereka hanya melibatkan media internet untuk mencari bahan materi dan langsung mengcopy-paste tanpa dibaca terlebih dahulu.  Hal itu disebabkan karena kebanyakan dari mahasiswa beranggapan bahwa membaca dan menulis itu hal yang melelahkan dan sangat menyita waktu mereka untuk melakukan kegiatan yang lain.
            Mahasiswa harus dilatih membaca dan menulis dalam tugas-tugas ilmiahnya agar mereka menjadikan hal itu hobi baru mereka sehingga Indonesia dapat meluncurkan sarjana-sarjana yang berintelektual tinggi dan mempunyai tingkat literasi yang tinggi juga.  Maka, ketika lulusan Perguruan Tinggi di Indonesia banyak yang berliterasi tinggi, Indonesia pun tidak akan menjadi peringkat terbawah dalam urutan negara-negara yang tingkat literasinya sangat tinggi.
            Jika mahasiswa diwajibkan untuk bisa menulis dan mencintai budaya literasi, maka seorang dosen pun harus bisa menulis.  Bagaimana mungkin Indonesia dapat meluncurkan sarjana muda yang berliterasi tinggi apabila dosennya pun tidak bisa menulis bahkan tidak mencintai sama sekali kegiatan tulis-menulis.  Ungkapan saya ini dikutip dari kata-kata Mr. Chaedar yang menyatakan bahwa “Seseorang yang tidak mampu dan tidak bisa menulis sebaiknya jangan bermimpi jadi dosen, karena para dosen setiap tahunnya wajib untuk menulis artikel jurnal atau buku teks”.
            Selain dosen yang diwajibkan untuk menulis, para guru pun harus bisa menulis, karena seharusnya kegemaran membaca dan menulis harus dimulai sejak kecil.  Sehingga perlu bimbingan seorang guru untuk mengasah kemampuan menulis para peserta didik.  Mr. Agus Sartono, Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri Kementerian Pendidikan Nasional mengatakan bahwa guru harus membiasakan dan mencotohkan peserta didikinya untuk menulis, karena kenaikan golongan guru dari IV/a ke IV/b mensyaratkan karya tulis ilmiah berupa artikel ilmiah populer, makalah buku, diktat, modul maupun karya peneitian.  Sehingga seorang guru tentu harus terampil menulis demi pengembangan potensi guru selaku pengajar, dan lewat menuli guru pun dapat menyampaikan aspirasi dan berbagai ilmu, wawasan dan pengalamannya dalam bentuk tulisan yang akan disajikannya.
            Untuk bisa menulis diperlukan sebuah keberanian, yakni berani untuk menuangkan ide-ide yang ada dalam pikiran, ketika kita tidak berani untuk memulai menulis maka tidak akan ada tulisan yang dihasilkan.  Berani melawan rasa malas untuk menulis, karena menulis merupakan kemampuan yang perlu diasah sehingga dalam menulis membutuhkan waktu untuk memikirkan ide-ide cemerlang dan kemudian dituangkan ke dalam bentuk tulisan.  Berani untuk tidak takut salah.  Banyak orang-orang yang enggan menulis karena mereka takut hasil tulisannya salah, tidak bagus bahkan disepelekan oleh orang lain.  Seharusnya, jika memang ada kesalahan maka kesalahan itu harus dijadikan pengalaman dan motivasi yang membuat kita terus berlatih dan berlatih menulis agar tulisan kita semakin membaik dan dibaca oleh yang lain.
            Selain diperlukan keberanian untuk menulis, diperlukan juga kebiasaan membaca.  Orang yang terbiasa dalam hal membaca akan mudah menuangkan ide-ide gagasannya dalam bentuk tulisan karena ia telah mempunyai banyak wawasan atau pengetahuan dari berbagai sumber yang dibacanya.
            Kegemaran menulis dan membaca tidak hanya bermanfaat dalam memberikan wawasan atau pengetahuan baru saja.  Akan tetapi, jika kegemaran literasi dimulai sejak kecil ternyata dapat memberikan manfaat yang baik bagi otak kita hingga usia tua mendatang.  Ada sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa orang yang sering menggunakan otaknya untuk berpikir, menulis dan membaca itu cenderung memiliki otak yang cemerlang ketika mereka menginjak usia yang lebih tua.  Hal itu disebabkan karena otak mereka yang selalu diasah untuk berpikir, diibaratkan sama halnya dengan sebuah pisau, jika sebuah pisau sering diasah maka pisau itu akan semakin tajam.  Budaya literasi juga dapat mencegah kepikunan kelak disaat tua.
            Jadi, menulis merupakan keterampilan berbahasa yang sifatnya menghasilkan, memberi dan menyampaikan.  Kegiatan menghasilkan, memberi dan menyampaikan juga merupakan proses perubahan bentuk pemikiran menjadi sebuah tulisan.  Selain itu, sebagai pembaca juga harus bersifat kritis dalam membaca sebuah tulisan.  Hal itu diperuntukkan agara penulis mengetahui sejauh mene hasil tulisannya.  Maka dari itu kita harus membudayakan literasi agar bangsa Indonesia mampu bersaing dalam level internasional dan sebagai cermin kemajuan bangsa.    
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment