“Menulis Literasi untuk Mencerdaskan Manusia”
by Hanifatus Sholihah
Informasi merupakan sebuah entitas yang berpotensi untuk menjadi
sebuah kekuatan sekaligus sumber kebingungan bagi banyak orang. Setiap hari
kita ditantang untuk berhadapan dengan informasi yang melimpah ruah dan melaju
dengan kencang, menggunakan informasi dari berbagai sumber secara efektif,
menjadi sebuah keahlian yang teramat penting dan harus dikuasai oleh semua
pihak baik pustakawan maupun pengguna.
Konsep “Literasi Informasi” diperkenalkan pertama kali oleh
presiden Paul Zurkowski, information industry association di Amerika
Serikat pada tahun 1974. Beliau merekomendasikan tentang dimulainya sebuah
program nasional untuk pencapaian masyarakat yang melek informasi pada masa yang
akan datang yang telah di prediksikan.
Menurut Zurkowski, “Masyarakat yang mampu dan terampil dalam
menggunakan sumber informasi dalam bidang pekerjaan mereka dapat dikatakan
sebagai masyarakat yang melek informasi.
Informasi bukan lagi sebatas kata-kata atau kalimat. Informasi
bagaikan pisau bermata tajam dimana jika sampai kepada pembaca yang salah dapat
berakibat fatal. Tak dapat dipungkiri informasi apapun, kini dengan mudah dapat
diakses oleh siapapun dan dengan mudah pula dipergunakan untuk tujuan apa saja.
Teknologi informasi yang berkembang demikian pesat telah menjadikan masyarakat
sebagai konsumen yang rakus informasi. Masalahnya adalah sulit sekali
membendung arus informasi. Yang dapat dan harus dilakukan adalah meningkatkan
literasi masyarakat dengan mendidik berfikir kritis terhadap informasi yang
diterima.
Secara sederhana, literacy dapat diartikan sebagai sebuah
kemampuan membaca dan menulis. Kita mengenalnya dengan melek aksara atau
keberaksaraan. Seseorang dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami
sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan tepat serta melakukan sesuatu
berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut.
Para ahli bahasa mengelompokkan periodisasi penggunaan metode dan
pendekatan (aproach), khususnya terhadap pengajaran bahasa asinh kedalam
lima kelompok besar, yaitu:
1.
Pendekatan
struktural dengan grammar translation methods yang prioritas
pembelajarannya pada penggunaan bahasa tulis dan penguasaan tata bahasa. Tata
bahasa tradisional dengan fokus pada bentuk, melatih siswa mengidentifikasi
jenis kata, sintaksis (kata, frase, klause) dan cara menggabungkannya. Ini
melatih siswa dalam menganalisis kesalahan berbahasa (error analysis), sintaksis
kalimat dan wacana.
2.
Pendekatan
audiolingualn atau dengar-ucap (1940-1960) yang memprioritaskan pada latihan
dialog-dialog pendek untuk dikuasai oleh siswa. Kemudian siswa akan beranalogi
pada dialog-dialog saat berkomunikasi secara spontan. Pendekatan ini kurang
memberi ruang terhadap variasi ujaran untuk berbagai fungsi. Dalam kenyataannya
sering muncul hal ihwal tak terduga, yang menuntut variasireson ujaran yang
berbeda. Selain itu, dalam pendekatan ini penguasaan bahasa tulis terabaikan.
3.
Pendekatan
kognitif dan transformatif sebagai implikasi dari teori-teori syntactic
structure (Chomsky, 1957). Fokus pengajarannya terletak pada pembangkitan (generating)
potensi berbahasa siswa sesuai dengan potensi dan kebutuhan lingkungannya.
4.
Pendekatan
communicative competence yang tokoh-tokohnya antara lain Hymes (1967)
dan Widdowson (1978). Pendekatan ini menjadi tren pengajaran bahasa
antara 1980-1990. Tujuan pengajaran bahasa adalah menjadikan siswa mampu
berkomunikasi dalam target bahasa, mulai dari komunikasi terbatas sampai dengan
komunikasi spontan dan alami. Dalam komunikasi manusia tidak sekedar
memproduksi ungkapan yang komunikatif. Komunikasi harus bernalar. Pendekatan
komunikatif juga dianggap kurang eksplisit dalam upaya menjelaskan bentuk, dan
fungsi sehingga lahirlah tata bahasa fungsional atau systemic functional
grammar (SPG) yang dikembangkan oleh Halliday (1985); Martin (2000) dan
lain-lain.
5.
Pendekatan
literasi atau pendekatan genre-based sebagai implikasi dari studi
wacana. Sesuai dengan kurikulum 2004 di Indonesia, tujuan pembelajaran adalah
menjadikan siswa mampu menghasilkan wacana yang sesuai dengan tuntutan konteks
komunikasi. Yang sangat menonjol dalam pendekatan ini adalah pengenalan
berbagai genre wacana lisan maupun tulisan untuk dikuasai oleh siswa.
Definisi Literasi
Metodologi pengajaran dikalangan guru bahaasa yang menjadi buah
bibir adalah genre, wacana, literasi, teks dan konteks. Definisi (lama)
literasi adalah kemampuan membaca dan menulis (7th Edition Oxford
Adv Learner’s Dictionary, 2005 : 898).
Istilah literasi jarang dikenal, tetapi biasa disebut pengajaran bahasa atau
pembelajaran bahasa (Setiadi : 2010). Pada masa silam membaca dan menulis
dianggap “cukup” sebagai pendidikan dasar. Dapat dipahami jika literate kadang
diartikan sebagai educated. Kini pendidikan dasar tidak cukup mengandalkan
kemampuan membaca dan menulis. Literasi selama bertahun-tahun dianggap sekedar
persoalan psikologis, yang berkaitan dengan kemampuan mental, padahal literasi
adalah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik.
Karena itu, para pakar pendidikan dunia berpaling ke definisi baru yang
menunjukkan paradigma baru dalam upaya memaknai literasi dan pembelajaran.
Menurut Freebody & Luke menawarkan model literasi sebagai berikut :
1)
memahami kode dalam teks, 2) terlibat dalam memaknai teks, 3) menggunakan teks
secara fungsional, dan 4) melakukan analisis dan mentrasformasikan teks secara
kritis. Keempat peran literasi dapat diringkas kedalam 5 hal : memahami,
melibatkan, menggunakan, menganalisis, dan mentrasformasikann teks. Itulah
hakikat ber-literasi secara kritis dalam masyarakat demokratis.
Seperti yang tampak dari serpihan definisi tersebut, ada perubahan
makna literasi, yang sudah pasti begitupula dengan yang lain, yang pasti
mengakibatkan perubahan pengajaran.
1)
an
individual’s ability to read, write and speak in English and compute and solve
problems at levels of proficiency necessary to function on the job and in
society, to achieve one’s goals, and to develop one’s knowledge and potentials (The
National Literacy Act di Amerika Serikat, 1991)
2)
the
social institution of writing; by extention the social institution of
communication by any means other than speech. Literacy is not and never has
been a personal attribute or ideologically inert “skill”, simply to be
“acquired” by individual persons. Neither is it a mere technology, through it
does require a means of production both physical (a tool to write with and a
material to write on) and social (a
recognized notation or alphabet and a way of transmitting the knowledge
required to manipulate it) (O’Sullivan, 1994 : 170)
3)
...in
the 21st century, world class standards will demand tha everyone is
highly literate, highly numerate, well – informed, capable of learning
constantly and convidents and able to play their part as a citizen of a democratic
society ... (Barber, dikutip Hayat dan Yusuf, 2010 : 23)
4)
...multiliteracies
as a way to focus on the realities of increasingh local diversity and global
conectedness. Dealing with linguistic differences and cultural differences has
now become central to the pragmatics of our working. Civic, and private lives.
Effective citizenship and productive work now query that we interact...
effectively using multiple language, multiple Englishes and communication
patterns that more frequently cross cultural, community and national
boundaries. Subcultural diversity also extends to the ever broadening range of
specialist registers and situational variations in language, be they technical,
sporting or related to groupings of interest and affiliation. When the proximity
of cultural and linguistic diversity is one of the key facts of our time, the
very nature of language learning has changed (The New London Group, 1996, dikutip Hayat dan Yusuf, 2010 : 24-25)
5)
...the
extent to which people and communities can take part, fluently, effectively and
critically, in the various text – and discourse based events that characterize
contemporary semiotic societies and economies... to be literate is to be an
everyday participant in “literate” societies, themselves comosed of a vast
range of sites, locations and events that entail print, visual, digital and
analogue media. (Bull & Anstey, 2003 : 53).
Terpaparkan lima definisi diatas bahwa makna dan rujukan literasi
terus berevolusi, dan kini maknanya semakin meluas dan kompleks. Sementara itu,
rujukan linguistik dan sastra relatif konstan. Dalam banyak hal literasi
bertumpangtindih dengan objek studi budaya yang berfokus pada hubungan antara
variabel sosial dan maknanya – atau lebih tepatnya bagaimana divisi-divisi
sosial kaya akan makna (O’Sullivan, 1994: 71). Literasi tetap berurusan
dengan penggunaan bahasa, dan kini merupakan kajian lintas disiplin yang
memiliki tujuh dimensi yang saling terkait.
a.
Dimensi
geografis
(lokal, nasional, regional dan internasional)
Literasi seseorang dapat dikatakan berdimensi lokal, nasional,
regional dan internasional bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring
sosial dan vokasionalnya. Diplomat, misalnya, lebih sering ditantang memilih
literasi internasional daripada bupati.
b.
Dimensi
bidang
( pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer dan
lain-lain)
Literasi bangsa terlihat pada bidang pendidikan, komunikasi,
administrasi, militer dan sebagainya. Tingkat dan efisiensi layanan publik dan
militer, misalnya bergantung pada kecanggihan teknologi komunikasi dan
persenjataan yang digunakan. Demikian pula halnya dengan pendidikan. Pendidikan
yang berkualitas tinggi akan menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi
pula. Pasti!
c.
Dimensi
keterampilan
(membaca, menulis, menghitung, berbicara)
Literasi
seseorang tampak dalam kegiatan membaca, menulis, menghitung dan juga
berbicara. Setiap sarjana pasti mampu membaca, tetapi tidak semua sarjana mampu
menulis. Kualitas tulisan bergantung pada “gizi” bacaan yang disantapnya.
“Gizi” akan tampak ketika dia berbicara. Untuk menjadi sarjana yang baik, orang
tidak cukup dengan mengandalkan literasi, dia pun mesti memiliki numerasi
(keterampilan menghitung). Dalam tradisi Barat, ketiga keterampilan ini lazim
disebut 3R, yaitu reading, writing dan arithmatic.
d.
Dimensi
fungsi
(memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan,
mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi diri)
Orang yang literat – karena pendidikannya – mampu memecahkan persoalan
tidak sulit untuk mendapat pekerjaan, memiliki potensi untuk mencapai tujuan
hidupnya, dan gesit mengembangkan serta memproduksi ilmu pengetahuan.
e.
Dimensi
media
(teks, cetak, visual, digital)
Untuk menjadi literat di zaman sekarang, orang tidak cukup
mengandalkan kemampuan membaca dan menulis teks alfabet, melainkan juga harus
mengandalkan kemampuan memca dan menulis teks cetak, visual, dan digital.
Berkembanglah literasi visual, digital, dan virtual. Penguasaan IT (information
technology) sangat penting, sehingga kini kehebatan universitas antara lain
diukur lewat webometrics, yakni sejauh mana universitas itu diperbincangkan
dalam dunia maya.
f.
Dimensi
jumlah
(satu, dua, beberapa)
Jumlah dapat merujuk pada banyak hal, misalnya bahasa, variasi
bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu, media dan sebagainya. Orang multilaterat
mampu berinteraksi dalam berbagai situasi. Kemampuan ini tumbuh karena proses
pendidikan yang berkualitas tinggi. Literasi seperti halnya kemampuan
berkomunikasi, bersifatrelatif. Anda mungkin sangat komunikatif dalam bahasa
indonesia, tapi kurang komunikatif dalam bahasa ibu. Demikian pula halnya
dengan literasi.
g.
Dimensi
bahasa
(etnis, lokal, nasional, regional, internasional)
Ada literacy yang singular; adapula literacy yang
plural. Hal ini beranalogi ke dimensi monolingual, bilingual dan multilingual.
Bila anda orang sunda dan jurusan bahasa Inggris, maka anda adalah orang
multilingual dalam bahasa sunda, Indonesia dan Inggris, maka Anda multilaterat.
Dalam lima dimensi diatas ada 10 gagasan kunci ihwal literasi yang
menunjukkan perubahan paradigma literasi sesuai dengan tantangan zaman dan
perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini.
1.
Ketertiban
lembaga-lembaga sosial
Hidup bermasyarakat ini difasilitasi oleh lembaga-lembaga sosial, misalnya
RT, RW, kelurahan sampai DPR dan presiden sebagai mesin birokrasi untuk
menjamin ketertiban sosial (institutional orders). Lembaga-lembaga itu
menjalankan perannya dengan fasilitas bahasa, sehingga muncul bahasa politik
yang memperlihatkan kekuasaan birokrat terhadap rakyat. Tidak ada literasi yang
netral. Semua praktik literasi dan teks tulis memiliki ideologi, yakni didikte
oleh lingkungan sosial politiknya.
2.
Tingkat
kefasihan relatif
Setiap interaksi memerlukan kefasihan berbahasa dan literasi yang
berbeda. Yang perlu dikuasai adalah kefasihan (literasi) minimal atau
diperlukan untuk memainkan peran fungsional dalam setiap interaksi. Pada
kenyataannya, nilai TOEFL 550 dianggap nilai minimal yang dibutuhkan mahasiswa
untuk bisa survive/rumingkang mengikuti kuliah bahasa inggris di
universitas-universitas Amerika Serikat.
3.
Pengembangan
potensi diri dan pengetahuan
Literasi membekali seseorang mampu mengembangkan segala potensi
dirinya. Penguasaan bahasa ibu adalah alat untuk berekspresi dan apresiasi, serta
juga memikirkan segala hal dalam lingkungan sosial, budaya dan psikologisnya
yang terdekat yakni keluarga. Pada tahap tinggi, literasi untuk memproduksi
ilmu pengetahuan. Menulis akademik adalah bagian dari literasi yang harus
dikuasai calon sarjana. Itu adalah literasi akademik.
4.
Standar
dunia
Dalam persaingan global sekarang ini tingkat literasi suatu bangsa
(baca : kualitas pendidikannya) mudah dibandingkan dengan bangsa lainnya.
Masyarakat dunia kini menggunakan hasil-hasil evaluasi melalui PIRLS (Progress
in International Reading Literacy Study), PISA (Program for Internatinal
Student Assessment), dan TIMSS ( the
Third International Mathematics and Science Study) untuk mengukur literasi membaca, matematika dan ilmu pengetahuan.
5. Warga masyarakat demokratis
Pendidikan harusnya menghasilkan manusia
literat, yakni manusia yang memiliki literasi memadai sebagai warga negara yang
demokratis. Media massa arus utama adalah mesin pemertahanan hegemoni. Media
adalah salah satu pilar demokrasi. Dengan kata lain, pendidikan literasi harus
mendukung terciptanya demokratis bangsa.
6. Keragaman lokal
Manusia literat sadar mengenai keragaman
bahasa dan budaya lokal atau cerlang budaya (Ayatrohaedi : 1986) dan manusia lokal membangun literasi
dalam konteks lokalnya sebelum memasuki konteks nasional, regional dan global.
Dengan demikian, semakin berwawasan global, semakin sensitif dan antisipatif
dia terhadap keragaman lokal.
7. Hubungan global
Sebagai dampak teknologi komunikasi,
warga dunia bersaing di tingkat dunia, semua orang harus memiliki literasi
tingkat dunia. Literasi ini bergantung pada dua hal, yaitu penguasaan teknologi
informasi dan penguasaan konsep atau pengetahuan tinggi.
8. Kewarganegaraan yang efektif
Literasi membekali manusia menjadi warga
yang efektif, yangkin warga negara yang mampu merubah diri, menggali potensi
diri, serta berkonstribusi bagi keluarga dan negaranya.
9. Bahasa Inggris ragam dunia
Hubungan dan jejaring global memerlukan
bahasa yang bisa diterima oleh semua pihak. Bahasa Inggris kini dipelajari oleh
bangsa-bangsa di seluruh dunia. Namun, karena setiap bangsa membangun literasi
dalam bahasa etnis dan budaya lokalnya, bahasa Inggris mereka kental (fossilized)
dengan
kelokalan.
10. Kemampuan berfikir kritis
Literasi bukan sekedar mampu membaca dan
menulis, melainkan juga memakai bahasa dengan fasih, efektif dan kritis.
Berbicara dan menulis adalah tindakan literasi dan merupakan keputusan politik.
Bahasa, termasuk matematika adalah simbol (baca, tulis, hitung) untuk berkomunikasi dan berliterasi.
11. Masyarakat semiotik
Semiotik adalah ilmu tentang tanda,
termasuk ikon, tipologi tanda, kode, struktur dan komunikasi. Budaya adalah
sistem tanda dan untuk memaknai tanda manusia harus menguasai literasi
semiotik. Kita semua adalah praktisi semiotik.
Setelah mengkaji tujuh ranah literasi
dan 10 frase kunci literasi, maka pendidikan bahasa berbasis literasi harus
memiliki prinsip, yaitu :
1. Literasi adalah kecakapan hidup yang
memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
2. Literasi mencakup kemampuan reseptif dan
produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun lisan.
3. Literasi adalah kemampuan memecahkan
masalah.
4. Literasi adalah refleksi penguasaan dan
juga apresiasi budaya
5. Literasi adalah kegiatan refleksi (diri)
6. Literasi adalah hasil kolaborasi.
Membaca-menulis selalu melibatkan kolaborasi antara dua pihal yang
berkomunikasi. Penulis (tidak) menulis sesuatu berdasarkan pemahaman calon
pembacanya. Pembacapun harus mengerahkan segala pengetahuan dan pengalamannya
untuk memaknai tulisan itu.
7. Literasi adalah kegiatan melakukan
interpretasi. Penulis menginterpretasikan alam semesta dan pengalaman
subjektifnya lewat kata-kata, dan pembaca memaknai interpretasi lewat penulis.
Rapor Merah Literasi
Anak Negeri
Sejak tahun 1999, Indonesia ikut dalam
proyeksi penelitian dunia (PIRLS), (PISA) dan (TIMSS) untuk mengukur literasi
membaca, matematika dan ilmu pengetahuan alam.
Dalam penelitian itu, tujuan membaca
meliputi literacy purposes, dan information purposes, sedangkan membaca meliputi interpreting,
integrating and evaluating. Berikut adalah temuannya:
1) Skor prestasi membaca di Indonesia
adalah 407 untuk semua siswa, angka dibawah rata-rata yang biasanya 500, 510
dan 493. Rekor tetinggi diraih oleh Rusia (565).
2) Negara yang skor membaca diatas 500
ditandai dengan pendapatan perkapita dan indeks pembangunan manusia (HDI) lebih
tinggi sekitar 0,9. Indonesia memiliki HDI 0,711 dan GNI/kapita 810 US $.
3) Ada perbandingan skor membaca literacy
purposes (LP) dan informational purposes (IP). Indonesia adalah salah satu negara yang
prestasi LP lebih rendah dibandingkan dengan IP.
4) Di Indonesia hanya tercatat 2 % siswa
yang prestasi membaca dalam kategori sangat tinggi, 19 % kategori menengah dan
55% kategori rendah. Artinya 45% siswa Indonesia tidak dapat mencapai skor 400.
5) Tercatat 44% orangtua Indonesia terlibat
dalam early home literacy activities yaitu membaca buku, bercerita, menyanyi,
bermain huruf, bermain kata dan membaca nyaring. Literasi diukur dari index
of home educational resources (HER) yaitu jumlah buku, buku-buku anak, komputer, meja
belajar, buku milik sendiri, dan akses ke surat kabar. Siswa high
HER memiliki lebih dari 100 buku, lebih dari 25 anak memiliki paling
sedikit tiga jenis sumber belajar lain dan salah satu orangtuanya berpendidikan
universitas. Sebaliknya, mereka yang tergolong low HER memiliki 25 buku atau kurang dari 25
buku, memiliki buku anak-anak 25 buku atau kurang, tidak memiliki sumber
belajar lainnya lebih dari satu jenis, dan orang tuanya tidak lulus SMA.
6) Sekitar 13 % siswa berada dalam kategori
high
HER 77%
kategori medium dan 10% kategori low HER. Indonesia masuk dalam posisi paling bawah yaitu 1% dalam kategori high,
62%
kategori medium dan 37% kategori low HER.
7) Orangtua siswa negara peserta PIRLS
lulusan universitas paling banyak (>40%) adalah Denmark, Georgia, Islandia,
Israel, Belanda, Norwegia, Qatar dan Kanada. Sebaliknya, negara yang pendidikan
orangtuanya paling rendah adalah Indonesia (46%), Iran (35%), Maroko (59%) dan
Afrika Utara (26%).
Dari ketujuh temuan diatas, kita dapat
menarik sejumlah pelajaran:
a) Tingkat literasi siswa Indonesia masih
jauh tertinggal oleh siswa negara lain.
b) Dalam laporan PIRLS tidak ditemukan skor
prestasi menulis, sehingga kita tidak mengetahui bukti korelasi antara skor
prestasi membaca dan menulis.
c) Temuan PIRLS ihwal Indonesia antara
potret besar literasi Indonesia dalam skala Internasional.
Implementasi
Dari perbincangan diatas tampak bahwa
orang literat adalah orang yang terdidik dan berbudaya. Rekayasa literasi
adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik
dan berbudaya lewar penguasaan bahasa secara optimal.
1. Dimensi pengetahuan kebahasaan (fokus
pada teks)
2. Dimensi pengetahuan kognitif (fokus pada
tindakan)
3. Pengetahuan perkembangan (fokus pada
pertumbuhan)
4. Pengetahuan sosiokultural (fokus pada
kelompok)
5. Kegiatan literasi melibatkan empat
dimensi (bahasa, kognitif, sosial, dan perkembangan) yang tidak sederhana.
Dalam garis besarnya, ada tiga paradigma
pembelajaran literasi, yaitu:
1. Paradigma #1 : Decoding,
menyatakan
bahwa grafofonem berfungsi sebagai pintu masuk literasi dan belajar bahasa
dimulai dengan menguasai bagian-bagian bahasa.
2. Paradigma 2 #2 : keterampilan,
bahwa
penguasaan morfem dan kosakata adalah dasar untuk membaca.
3. Paradigma 3 #3 : Bahasa secara utuh,
dilihat dari namanya, paradigma ini menolak pembelajaran yang meletakkan fokus
pada bagian-bagian ataupun serpihan bahasa.
Paradigma ini menolak urutan : belajar
ihwal literasi – belajar literasi – belajar melalui literasi, tetapi
perkembangan literasi adalah belajar melalui literasi – belajar literasi –
belajar ihwal literasi. Paradigma sendiri adalah cara pandang dan pemaknaan
terhadap objek pandang (baca : pengajaran literasi).
Tabel 6.1
Perubahan Paradigma Pengajaran Literasi
Tadinya
|
Kini ....
|
Bahasa adalah sistem struktur yang mandiri
|
Bahasa adalah fenomena sosial
|
Fokus pengajaran pada kalimat-kalimat yang terisolasi
|
Fokus pada serpihan-serpihan kalimat yang saling terhubung
|
Berorientasi kepada hasil
|
Berorientasi kepada proses
|
Fokus pada teks sebagai display kosakata dan struktur tata bahasa
|
Fokus pada teks sebagai realisasi tindakan komunikasi
|
Mengajarkan norma-norma prespektif dalam berbahasa
|
Perhatian pada variasi register dan gaya ujaran
|
Fokus pada penguasaan keterampilan secara terpisah (discrete)
|
Fokus pada ekspresi diri
|
Menekankan makna denotatif dalam konteksnya
|
Menekankan nilai komunikasi
|
(Sumber : Kern 2000 : 19)
Jadi kesimpulannya dari bahan bacaan
“Rekayasa Literasi” adalah bagaimana agar suatu bangsa bisa menjadikan menulis
sebagai budaya dan menjadikan literasi sebagai suatu gaya hidup, kebiasaan atau
malah sebagai budaya bagi negara khususnya Indonesia. Dimana literasi sendiri
adalah kemampuan membaca dan menulis atau lebih dikenal dengan “melek aksara
atau keberaksaraan”. Jika seseorang ingin disebut sebagai literat
maka itu
akan terjadi jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca informasi yang
tepat serta melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan
tersebut. Walaupun pada kenyataannya negara kita (Indonesia) masih menduduki
posisi terendah (walaupun bukan terakhir) dalam budaya menulis dan membaca
literasi, tetapi tidak menutup kemungkinan jika kita bisa berubah posisi
menjadi posisi yang lebih baik, asalkan kita merubah semua hal yang menjadi
kebiasaan buruk kita yaitu “malas” karena rekayasa literasi sendiri adalah
upaya yang di sengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan
berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. So, tiada yang tidak mungkin
jika kita juga berupaya untuk menjadikan bangsa indonesia dan khususnya diri
sendiri untuk melek aksara khususnya dalam literasi.