Class Review 2 : “Literacy” Again??!

“Literacy” Again??!
(By : Friska Maulani Dewi)


Mentari pagi kembali menyapaku.  Seketika ia pun membuatku terperanjat dari alam mimpi.  Aku berharap bisa menyapanya dengan senyum cerah seraya mengatakan “Hello, Monday! Glad to see you again!”  Tapi nyatanya mulutku terkunci rapat untuk mengucapkan kalimat tersebut.  Mulutku seakan menolak dengan sekuat tenaga untuk mengucapkan kalimat yang kelewat manis itu.  “Aaaahhhh Monday! Monster Day! Kau terlalu cepat datang kepadaku!” itulah kalimat yang keluar dari mulutku.

Monster day kali ini kembali menyapaku bersama dengan rekan sejawatnya (baca: Writing 4).  Yap, senin ini 10 Februari 2014 merupakan pertemuan kedua kami dengan Mr. Lala Bumela di Writing 4.  Tentunya kami tidak bertemu dengan Writing 4 dengan tangan kosong belaka pada pertemuan kedua ini.  Kali ini kami membawa sesuatu sebagai buah tangan untuk Mr.Lala. Buah tangan kami (tidak lain dan tidak bukan) adalah tugas yang telah diberikan oleh Mr.Lala pada pertemuan yang lalu.  Yang bisa kami harapkan adalah semoga saja “buah tangan” kami tidak mengecewakan beliau.
Ruang lingkup kami minggu ini ternyata masih sama dengan minggu lalu.  Literacy, again? Yap, minat untuk membaca dan menulis, atau bahasa kerennya disebut budaya literasi masih membuat suasana di hari yang cerah ini menjadi semakin seru.  Seakan ditodong oleh senjata api, kami langsung ditanya oleh Mr.Lala untuk menjawab pertanyaan yang beliau ajukan kepada kami.  Pertanyaannya adalah “Apa sih akibat yang akan ditimbulkan apabila literasi kita tertinggal dari yang lain?” Well, pertanyaannya memang pendek dan terlihat tidak begitu rumit, namun untuk menjawab pertanyaan tadi ternyata tidak se’simple’ dan semudah yang kita kira.  Jika dijelaskan secara gamblang, niscaya akan menghabiskan waktu yang tidak sedikit, atau jika kita menulisnya maka pasti akan menghabiskan berlembar-lembar kertas.  Akan tetapi, inti utama dari jawaban atas pertanyan tersebut sebenarnya sudah terlihat amat jelas bagi kita semua.  Jika literasi kita tertinggal dari yang lain jelas akan berakibat buruk bagi kita, seperti: kita pasti akan tertinggal dari segi apapun (baik pedidikan, politik, ekonomi, teknologi dan lain-lainnya) dari negara yang literasinya jauh lebih unggul dari negara kita.
Tinggi rendahnya budaya literasi dari suatu negara ternyata akan berbanding lurus dengan kualitas yang dimiliki oleh negara tersebut.  Seperti yang terlihat jelas pada negara Indonesia ini.  Budaya literasi yang masih terbilang sangat rendah menyebabkan kita tertinggal jauh dari negara-negara lain di dunia ini. Kita tidak usah dulu melihat negara Amerika, Cina ataupun Jepang yang notabene memang telah lama menjabat sebagai negara besar yang telah sukses mempengaruhi dunia dalam segala bidang.  Mari kita tengok sebuah negara yang bernama “Korea Selatan” yang akhir-akhir ini telah menunjukkan ‘taringnya’ di kancah dunia.  Siapa yang bisa menyangka negara yang sempat dilanda krisis kemiskinan parah tersebut bisa sesukses sekarang ini?  Mereka benar-benar sekuat tenaga membangun diri untuk bangkit dari keterpurukan.  Lalu, apa sebenarnya rahasia dibalik kesuksesan yang mereka dapatkan sekarang?  Jawabannya ternyata cukup dengan satu kata sederhana yaitu “LITERASI”!  budaya literasi mereka sangatlah tinggi.  Tingginya budaya literasi akan menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu tinggi.  Dengan sumber daya manusia yang bermutu tinggi itulah akan tercipta suatu negara yang berkualitas tinggi.  Itulah yang terjadi pada Korea Selatan.  Dampaknya sangat jelas terlihat oleh mata kepala kita sendiri.  Zaman sekarang ini siapa yang tidak mengenal Korea Selatan dengan Samsung-nya? Atau dengan Hyundai-nya? Atau bahkan Korean Wave (Hallyu Wave) yang sekarang menjadi trending topik worldwide?
Dari negara kecil yang bernama Korea Selatan itulah seharusnya kita semua bisa memetik pelajaran.berharga.  Jika mereka saja bisa, mengapa kita tidak?  Yang perlu kita lakukan adalah bekerja sama untuk membangun negeri ini.  Caranya? Ayo kita bangun dulu budaya literasi kita!  Karena kemajuan budaya literasi akan menjadi fondasi kokoh yang akan menyokong kemajuan suatu negara.
Mr.Lala berkata, “Ciri-ciri dari kemajuan literasi suatu bangsa adalah ketika orang-orangnya senang membaca sastra.”  Mengapa harus sastra?  Karena dengan mengenali karya sastranya merupakan akses masuk untuk lebih mengenal suatu negara.  Kita ambil saja contoh begini: kita ingin membantu seorang teman yang sedang mempunyai masalah yang sangat rumit di hidupnya, dan untuk membantunya kita perlu melakukan pendekatan agar kita bisa mengetahui pasti apa sebenarnya yang menjadi sumber permasalahannya.  Nah, seperti itu pulalah yang perlu kita lakukan terhadap negara ini.  Sebagai warga negara yang baik dan juga sebagai generasi penerus bangsa kita perlu mengetahui apa permasalahan yang terjadi pada negara ini sehingga membuat kita masih tertinggal dengan negara-negara lainnya di berbagai aspek kehidupan.  Caranya bisa kita lakukan dengan budaya membaca tadi.  Dengan banyak membaca, niscaya literasi kita akan maju.  Dan dengan kemajuan literasi niscaya akan membuat negara ini lebih maju lagi dan mampu bersaing di kancah dunia.
Jika kita membahas tentang literasi, berarti kita tidak hanya cukup membahas tentang dunia membaca saja. Selain membaca, tiang utama literasi suatu bangsa adalah menulis.  Jadi, apa sih menulis (writing) itu?  Menurut Hylland, “Writing is a practice based on expectation: the reader’s chances of interpreting the writer’s purpose are increased if the writer takes the trouble to anticipate what the reader might be expecting based of previous texts he or she has read of the same kind” (Hylland 2004: 4).  Sedangkan Mr.Lala mengungkapkan, “Writing is a way of knowing, representing & reproducing something”.
Melalui writing kita semua dituntut untuk berpikir secara kritis dan lebih cermat.  Writing merupakan cara yang tepat untuk mengetahui, menunjukkan dan juga mereproduksi suatu hal.  Suatu hal yang dimaksudkan disini adalah ide pokok tentang segala suatu yang kita tulis tadi.  Pada dasarnya, ada 3 tahap utama yang dilalui oleh seseorang ketika mengetahui tentang suatu hal.  Pertama, suatu hal tersebut akan menjadi sebuah informasi baru bagi kita.  Setelah mendapatkan informasi-informasi baru tadi, lahirlah sebuah pengetahuan baru yang kita ketahui.  Dan dari pengetahuan tersebut akan menjadikan pengalaman baru dalam hidup kita ini.  Pengalaman itulah yang kelak akan menjadi sebuah “proses” yang menjadikan kita semua semakin baik dari waktu ke waktu.  Dalam hal menulis (writing) proses itulah yang pada akhirnya akan menghasilkan tulisan dengan gaya khas dan ciri yang unik, karena berbeda pengalaman akan berbeda pula tulisan yang dihasilkannya.  Namun, selain berdasar pada pengalaman dan proses kita juga tetap perlu memperhatikan sistematik agar tulisan kita menjadi lebih baik dan benar.
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya (di Class Review 1), kita sekarang sedang berada pada zona “Academic Writing”.  Dengan sifatnya yang “unik” (formal, impersonal, evidence based, objective, systematic, analytical), Academic Writing menghiasi hampir setiap langkah dari seorang mahasiswa. Academic Writing merupakan tugas mutlak bagi seorang mahasiswa sejati.  Mengapa bisa dikatakan demikian?  Tentu karena sebagai syarat kelulusannya mahasiswa S1 harus menunjukkan “taringnya” dengan membawa “buah tangan” yang disebut skripsi, mahasiswa S2 dengan tesisnya, dan mahasiswa S3 dengan disertasinya.  Jadi, masih berpikir untuk mangkir dari “horror”-nya Academic Writing?  Jangan jadi mahasiswa!
Sangat jelas terlihat bagaimana pentingnya budaya literasi bagi kehidupan kita (khususnya sebagai mahasiswa).  Jika kita membahas tentang literasi pasti ujung-ujungnya tetap akan kembali membahas tentang kemampuan membaca dan menulis.  Mr. Lala memberikan tugas kepada kami untuk mencari hubungan antara text, context, writer, reader dan juga meaning yang terdapat pada buku karya Lehtonen.  Hal ini tentunya akan sangat membantu kami untuk lebih mengerti lagi tentang fondasi-fondasi pokok yang terdapat pada budaya literasi khususnya dalam zona membaca dan menulis.
Dalam bukunya yang berjudul “The Cultural Analysis of texts” Lehtonen dengan gamblang mengungkapkan pendapat dari Barthes yang berkenaan tentang text, context, writer, reader, dan meaning serta bagaimana hubungan yang terjalin diantara mereka.
      ●    Text
            Sebuah teks ternyata bisa dipelajari melalui dua sudut berbeda, yaitu: physical beings dan semiotic beings.  Berkenaan dengan physical beings, text merupakan artefak yang komunikatif.  Dengan kata lain, teks merupakan instrumen manusia yang dihasilkan dari proses komunikasi.
            Perihal dengan semiotic beings, teks dapat berupa tulisan, pidato, gambar, musik ataupun simbol-simbol lainnya.  Pada dasarnya, teks dapat bersifat semiotic beings hanya jika teks tersebut memiliki physical form.  “Texts are characterized by three features: materiality, formal relations and meaningfulness” (Lehtonen 2000: 73).
      ●    Context
            Dalam pemahaman tradisional mengenai teks dan konteks, konteks dilihat sebagai “backgrounds” dari teks yang juga bisa dibilang sebagai “informasi tambahan” yang bisa menjadi bantuan untuk memahami teks tersebut.
            Menurut Cook, konteks cukup praktis yaitu: “faktor eksternal untuk teks” (situasi pembaca dan fungsi yang ditujukan untuk teks) yang sangat ditampilkan.
            “Context does not exist before the author or the text, neither it exist outside of them” (Lehtonen 2000: 111).
      ●    Writers
            Menurut Barthes, penulis bukanlah agen yang benar-benar bebas dalam menciptakan makna.  Sebagai penulis ynag beroperasi dalam bahasa, kegiatannya juga diatur oleh batas-batas bahasa, tekstual pendahulu, sastra dan konvensi lainnya yang bukan buatan sendiri.
            “A writer is not a writer previous to the art of writing, but takes shapes as one while writing” (Lehtonen 2000: 75)
      ●    Readers
            Menurut Lehtonen, teks dan pembaca tidak pernah ada secara independen satu sama lain, tetapi sebenarnya menghasilkan satu sama lainnya.  Teks tidak semiotically tanpa adanya pembaca, begitu pula tidak akan ada pembaca jika tanpa adanya teks untuk dibacanya.
            “To Barthes, linguistic texts were productivity, stages of production, where producers of texts and their readers met each other” (Lehtonen 2000:75).
      ●    Meaning
           Makna merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh seorang penulis kepada para pembaca yang membaca karyanya.  Makna juga bisa berarti sesuatu yang didapat atau diciptakan oleh si pembaca dari teks yang dibacanya.
            Pada dasarnya, sebuah teks yang ditulis oleh seorang penulis merupakan sesuatu yang mati atau bahkan ada pula yang menyebutnya sebagai “kuburan”.  Teks tersebut akan hidup hanya apabila ada yang menghidupkannya.  Disinilah peran pembaca dibutuhkan, karena pembacalah yang akan menghidupkan teks tersebut.  Pembacalah yang akan menciptakan makna yang terkubur dalam teks tersebut.
            Dari beberapa penjelasan diatas, kita dapat mengetahui betapa pentingnya budaya literasi bagi kehidupan umat manusia.  Apalagi kita semua merupakan generasi penerus bangsa yang kelak akan menjadi tulang punggung bangsa ini.  Sudah menjadi tuntutan utama kita untuk menjadi seorang literat demi menyokong kesuksesan bangsa ini.  Di bahasan terakhir kita juga dapat mengetahui bagaimana pendapat-pendapat yang ada pada buku Lehtonen yang berkaitan tentang text, context, writers, readers dan meanings.  Jelas terdapat hubungan antara satu dan lainnya.  Text, context, writers dan readers bisa dibilang sebagai titik keberangkatan untuk suatu proses yang akan menghasilkan meanings (makna).  Tentunya semua ini adalah fondasi utama untuk membangun budaya literasi yang sedang kita diskusikan ini.


Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment