Project Berliterasi (Selami!)
(by Desi Diana)
Pada buku bab 6
yang berjudul “Rekayasa Literasi”
dari Prof.Chaedar Alwasilah. Ada pembahasan
tentang, definisi literasi, rapor merah literasi anak negeri, dan implementasi
atau penerapan dari literasi itu seperti apa.
Kita ketahui bahwa, bangsa yang berliterasi itu sangatlah penting dan
mungkin dapat menjunjung tinggi bangsanya.
Apalagi dalam sebuah pembelajaran disekolah maupun diperguruan
tinggi. Harus ada suatu pembelajaran atau
pengajaran yang berhubungan dengan membaca dan menulis. Itu semua adalah wajib, karena kita harus
memproduksi orang-orang hebat yang produktif menulis.
Artes Liberal
mengatakan bahwa. “human minds cannot be
proportionally develop unless they can learn language,math,social, and natural
sciences in an antegrated way.” Pikiran manusia tidak dapat berkembang
menurut perbandingan kecuali mereka dapat belajar bahasa,ilmu pasti,social, dan
alamiah dengan cara terpadu. Michael
Barber juga mengatakan bahwa, “In the 21st
century,world class standards will demand that everyone is highly
literate,highly numerate,well informed,capable of learning constantly,and
confident and able to play their part as a citizen of a democratic society”.
Para ahli
mengelompokkan periodisasi penggunaan metode dan pendekatan terhadap siswa,
khususnya terhadap pengajaran bahasa asing.
Ada lima kelompok besar yaitu, pendekatan structural dengan grammar
translation methods, pendekatan audiolingual atau dengar-cuap, pendekatan
kognitif dan transformative, pendekatan communicative competence dan pendekatan
literasi. Dari setiap periode metode
pembelajaran memang sangat berbeda dan terus berkembang. Metode yang paling terkahir inilah yang harus
benar-benar kita terapkan di Indonesia, yaitu pendekatan literasi.
Literasi itu
apasih? Dikalangan para pengajar khususnya guru bahasa saat ini dalam
perbincangan metodologi pengajaran, yang menjadi buah bibir adalah genre,
wacana, literasi, teks, dan konteks. Mari
kita pahami pengertian dari kelimanya itu.
1.
Genre
Menurut John Friske, genre merupakan elemen yang paling berpengaruh dari factor
intertextual. John Friske
mendeskripsikan sebagai berikut, “Genre
is cultural practice that attempts to structure some order inti the wide range
of texts and meanings that circulate for the convenience of producers and
audiences.” Genre tidak hanya terdiri dari sebuah teks, tetapi sama
pentingnya dalam way of different expectation systems dan hipotesis yang mana
pembaca membawa teks dan mempengaruhi teks itu sendiri pada saat proses
membaca. Ada dua macam genre yaitu,
fiksi dan nonfiksi.
2.
Wacana
James Deese dalam karyanya “Thought
into speech:the Psychology of a language.”(1984:72) menyatakan bahwa wacana adalah seperamgkat
proposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan suatu rasa kepaduan itu
sendiri harus muncul dari isi wacana, tetapi banyak sekali rasa kepaduan yang
dirasakan oleh penyimak atau pembaca harus muncul dari cara pengutaraan, yaitu
pengutaraan wacana itu.
Pengertian wacana adalah satuan bahasa lisan maupun tulisan yang memiliki
keterkaitan atau keruntutan antar bagian(kohesi), keterpaduan(koheren), dan
bermakna(meaningful), digunakan dalam berkomunikasi dalam konteks social. Ada 4 macam wacana, yaitu wacana langsung,
wacana pembeberan, wacana penuturan, dan wacana tidak langsung. Dengan begitu kita dapat menemukan informasi
yang utuh.
3.
Teks
Teks adalah suatu kesatuan bahasa yang memiliki isi dan bentuk, bai lisan
maupun tulisan yang disampaikan oleh pengirim kepada reader untuk menyampaikan
pesan tertentu.
4.
Konteks
Konteks diartikan sebagai suatu bunyi, kata atau frase yang mendahului dan
mengikuti suatu unsur bahasa dalam ujaran.
Konteks juga dapat diartikan sebagai cirri-ciri alam diluar bahasa yang
menumbuhkan makna pada ujaran atau wacana (Kridalaksana,1984).
5.
Literasi
Definisi (lama) literasi adalah kemampuan membaca dan menulis (7th
Edition oxford Advanced Learners Dictionary, 2005:898). Dalam konteks persekolahan Indonesia, istilah
litersai jarang dipakai. Istilah yang
sering dipakai adalah pengajaran bahasa atau pembelajaran bahasa (Setiadi 2010). Pada masa silam membaca dan menulis dianggap
cukup sebagai pendidikan dasar (pendidikan umum) untuk membekali manusia
kemampuan menghadapi tantangan zamannya.
Dapat dipahami jika literate kadang diartikan sebagai educated. Padahal literasi adalah praktik cultural yang
berkaitan dengan persoalan social dan politik.
Karena itu, para pakar pendidikan dunia berpaling kedefinisi baru yang
menunjukkan paradigma baru dalam upaya memaknai literasi dan pembelajannya.
Ada perubahan makna literasi, yang sudah pasti mengakibatkan perubahan
pengajaran. Makna dan rujukan literasi
terus berevolusi, dan kini maknanya semakin meluas dan kompleks. Literasi tetap berurusan dengan penggunaan
bahasa, dan kini merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi
yang saling terkait yaitu, dimensi geografis (local,nasional,ragional,dan
internasional), dimensi bidang (pendidikan, komunikasi, administrasi, militer
dan sebagainya), dimensi keterampilan (membaca, menulis,menghitung dan
berbicara), dimensi fungsi (memecahkan persoalan,mencapai tujuan dan
mendapatkan pekerjaan), dimensi media (teks,cetak,digital dan visual), dimensi
jumlah (satu,dua dan beberapa), dan dimensi bahasa (etnis, local,dan nasional).
Ada 10 gagasan kunci ihwal literasi yang menunjukkan perubahan paradigma
literasi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, diantaranya
yaitu ketertiban lembaga-lembaga social, tingkat kefasihan relative,
pengembangan potensi diri dan pengetahuan, standar dunia, warga masyarakat
demokratis, keragam local, hubungan global,kewarganegaraan yang efektif, bahasa
inggris ragam dunia, kemampuan berfikir kritis, dan mayarakat semiotic. Dipaparkan juga tentang tujuh prinsip untuk
pendidikan bahasa berbasis literasi.
Tujuh prinsip tersebut, sebagai berikut:
1.
Literasi adalah kecakapan hidup (life skills) yang
memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
2.
Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam
upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan.
3.
Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah.
4.
Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
5.
Literasi adalah kegiatan refleksi(diri)
6.
Literasi adalah hasil kolaburasi, dan
7.
Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi.
Rapor Merah
Literasi Anak Negeri
Membahas tentang
temuan-temuan terpenting dari PIRLS (Progress in Internasional Reading Literacy
Study)2006 yang relevan dengan perbincangan tentang literasi membaca, yakni
prestasi membaca siswa kelas IV Indonesia serta posisinya dibandingkan dengan
siswa Negara lainnya. Dalam penelitian
itu tujuan membaca meliputi literacy purpose dan informatioanal purposes,
sedangkan membaca meliputi interpreting, integrating dan evaluating. Hal itu banyak sekali fakta dan temuannya di Indonesia. Ujung tombak pendidikan literasi adalah guru
dengan langakah-langakah profesioanlnya yanga terlihat dalam 6 hal, yaitu
komitmen profesianal, komitmen etnis, strategi analitis, efikasi diri,
pengetahuan bidang studi dan keterampilan literasi. (Cole dan Chan, 1994
dikutip oleh Setiadi,2010). Tmapak bahwa
orang literat adalah orang yang terdidik dan berbudaya.
Rekayasa literasi
adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik
dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju
ke pendidikan dan pembudayaan. Perbaikan
rekayasa literasi menyangkut empat dimensi.
Dengan demikian,
rekayasa literasi berarti merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat
dimensi. Pengajaran membaca dan menulis
harus ditempatkan dalam keempat dimensi yang saling terkait. Pengajaran bahasa yang baik menghasilkan
orang literat yang mampu menggunakan keempat dimensi ini secara serempak, aktif
dan terintegrasi. Literasi tidak sederhana sekedar
menguasai alphabet atau sekedar mengerti hubungan antara bunyi dengan symbol tulisannya,
tetapi symbol itu difungsikan secara bernalar dalam konteks social. Sekali lagi, literasi adalah kemampuan
berbaca-tulis dan malah bagi sebagian orang literasi berkonotasi “general learnedness and familiarity with
literature” (Kern 2000:3). Artinya
bahwa seorang literat itu tidak sekedar berbaca-tulis, tetapi juga terdidik dan
mengenal sastra.
Dalam garis besarnya ada tiga
paradigma pembelajaran literasi, yaitu decoding,skills, dan whole
language. Paradigma adalah cara pandang
dan pemaknaan terhadap objek pandang. Perubahan
sudut pandang membawa sejumlah konsekuensi sampai ke metode dan teknik
pengajaran yang kasat mata dan hasilnya dapat diukur. Kita tidak boleh mengulangi kesalahan, banyak
sarjana ahli sastra dan linguistic tidak bisa menulis. Banyak ilmuwan bergelar professor dan doctor tapi
tidak menulis buku teks sebagia bendera kepakarannya. Perlu perubahan paradigma pengajaran literasi
di jajaran pengambil kebijakan.
Kesimpulan yang dapat saya ambil,
bahwa mengajarkan literasi pada intinya menjadikan manusia yang secara
fungsional mampu berbaca-tulis, terdidik, dan menunjukkan apresiasi terhadap
satra. Mari kita sebagai bangsa Indonesia,
kita ciptakan bangsa yang suka membaca dan menulis. Kita bangun literasi bangsa dengan
memproduksi orang-orang yang menulis. Tunjukan
pada dunia bahwa kita bisa, kita mampu.