Class Review 2: Perbedaan adalah Kekhasan


Perbedaan adalah Kekhasan
Author: Aulia Priangan

            Perbedaan menjadi ciri khas dari banyaknya kesaamaan yang kita miliki. Begitu pula dengan banyaknya tulisan yang ada di dunia ini. Perbedaan karakteristiknya menjadi ciri tersendiri bagi tulisan tertentu. Misalnya saja tugas paper yang ada di bawah naungan payung bernama academic writing (penulisan akademik) tentu akan memiliki karakteristik yang berbeda dengan tugas menulis lainnya. Seperti yang kita ketahui bahwa beberapa produk penulisan akademik yang populer ditelinga kita adalah makalah, essay, skripsi, tesis dan disertasi. Produk-produk academik writing tersebut akan sangat berbeda dalam hal karakteristik dengan tugas menulis biasa, misalnya saja menulis dengan menggunakan genre narrative atau recount. Perbedaan diantara keduanyalah yang mampu menjadi ciri khusus bagi masing-masing tulisan.
            Penulisan akademik memiliki beberapa ciri/ karakteristik utama yang menjadi pembeda diantara tulisan-tulisan lainnya. Ciri yang pertama dari penulisan akademik adalah menggunakan bahasa yang formal. Penulisan academic writing menggunakan bahasa yang formal karena memang mereka (tulisan akademik) diciptakan demi tujuan akademik. Oleh karenanya mau tidak mau memang harus menggunakan bahasa yang formal dalam penulisannya. Ciri yang kedua adalah sistematis. Sistematis sangat penting dalam penulisan akademik karena jika tidak sistematis akan membuat pusing para pembaca tulisan kita. Misalnya saja dalam penyusunan sebuah makalah. Sistematis menjadi esensinya. Jika susunannya tidak sistematis maka penulisan makalah tersebut telah keluar dari jalurnya dan kehilangan makna sebagai penulisan akademik. Ciri yang ketiga adalah rigid. Maksudnya adalah penulisan akademik itu kaku. Harus berdasarkan stuktur serta urutannya tidak dapat diubah-ubah. Selain itu dari dulu sampai sekarang, misalnya saja dalam penulisan makalah, pendahuluan selalu diletakkan diawal dan penutup/ kesimpulan diakhir makalah.
            Pemikiran kritis diperlukan dalam penulisan akademik. Misalnya saja saat minggu lalu (3/02/2014) pada pertemuan sebelumnya kita disuruh oleh Mr. Lala untuk membuat appetizer essay. ketika membuatnya kita disuguhkan tiga buah artikel berbeda judul dari buku rekayasa literasi-nya Pak Chaedar Alwasilah. Seorang penulis yang berpikir kritis akan bertanya dalam hati dan pikirannya kenapa bacaan tersebut yang diberikan dan tidak akan menerima bacaan tersebut dengan mudah. Seperti yang dituliskan oleh Mr. Lala pada pertemuan kedua (10/02/2014) dalam mata kuliah writing and composition 4, “you will not take a text for granted.”. setelah berpikir seperti itu, penulis yang kritis akan menghubungkan teks-teks yang telah dia baca dan menggunakan sudut pandang yang banyak pula. Oleh sebab itu, critical thinking atau pemikiran yang kritis sangat diperlukan.
            Menulis merupakan kegiatan yang lumrah dilakukan oleh semua pelajar dan mahasiswa. akan tetapi, ada sebagaian dari mereka yang hanya mengetahui makna dari menulis adalah proses menuangkan ide kedalam bentuk tulisan atau hanya sekedar merekan memory dalam bentuk tulisan. Padahal, ada 3 definisi maha hebat tentang menulis yang belum diketahui oleh banyak orang. Oleh sebab itu, pada Senin pagi yang memesona dipertengahan Februari ini, Mr. Lala berbaik hati memberitahu kami tiga definisi menulis yang spektakuler. tiga definisi tersebut adalah:
1.      Writing is a way of knowing something.
2.      Writing is a way of representing something.
3.      Writing is a way of reproducing something.
Dalam tiga difenisi maha hebat tentang menulis di atas, adaa pengulanagan kata something sampai 3 kali. Kata something dalam ketiga definisi tersebut bisa berati informasi, pengetahuan dan pengalaman.
            Menulis bukan melulu tentang menuangkan ide dalam bentuk tulisa, tetapi menulis mempunyai pengertian yang lebih penting lagi. Ada sebagian pengertian menulis menulis yang belum diketahui oleh banyak orang, seperti 3 definisi di atas. Definisi pertama tentang menulis adalah cara untyk mengetahui sesuatu. Hal ini karena ketika kita akan menulis sesuatu, tentu kita membutuhkan informasi yang banyak tentang sesuatu yang akan kita tulis. Oleh karenanya kita harus membaca dan membaca lagi. Dengan membaca sumber pengetahuan tersebut kita menjadi mengetahui tentang informasi-informasi baru yang sebelumnya kita tidak tahu. Definisi yang kedua mengatakan bahwa menulis merupakan cara untk menggambarkan sesuatu. Seperti yang kita ketahui bahwa setiap orang mempunyai cara berpikir dan sudut pandang yang beragam tentang sesuatu. Begitupun dengan menulis. Menulis membantu kita menggambarkan cara berpikir atau sudut pandang kita terhadap sesuatu. Definisi yang terakhir dari menulis adalah cara untuk memproduksi sesuatu. Menulis erat kaitannya dengan menghasilkan tulisan dan karya tulis lainnya.
            Membaca dan menulis memang memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Literasi adalah istilah yang sering digunakan untuk mengganti istilah tersebut. Budaya literasi di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Hal ini dapat tercermin dari perbuatan yang dilakukan oleh penduduk Indonesia sendiri. misalnya saja membuang sampah sembarangan, padahal sudah jelas-jelas ada himbauan yang menyatakan dilarang membuang sampah sembarangan. Dari hal-hal kecil tersebut saja terlihat rendahnya budaya literasi di bangsa kita ini. Budaya baca memang sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu negara. Contohnya saja Jepang, sebuah negara yang keranjingan membaca dan dapat kita lihat bahwa Jepang merupakan negara yang sangat maju. Jangan jauh-jauh ke Jepang, kita tengok saja negara tetangga kita, Singapura. Singapura lebih maju dibandingkan Indonesia. Hal ini karena budaya literasi disana bagus.
            Minat membaca Indonesia masih kurang, apalagi denagan minat menulisnya? Hal ini dapat dilihat dari digunakannya multiple choice dalam Ujian nasional (UN) di Indonesia. Multiple choice menggambarkan bahwa Indonesia masih terpaku pada membaca, belum kepada budaya menulis (essay/ uraian). Menggunakan multiple choice dalam ujian membuat peserta ujian dituntut untuk mengikuti definisi yang diyakini secara umum kebenarannya, tanpa bisa mengeluarkan pendapatnya sendiri tentang suatu masalah. Maka tak heran budaya baca-tulis di Indonesia sangat minim. Oleh karenanya tak mengherankan jika Indonesia merupakan negara konsumen, selalu mengimpor apa-apa dari luar negeri. Hal ini karena salah satu ciri bangsa yang kurang berliterasi adalah mengimpor banyak barang (konsumen besar).
            Membaca mempunyai keterikatan yang sangat kuat dengan teks. Dalam segala bentuknya teks ditandai dengan tiga ciri, yaitu: materialitas, hubungan formal dan kebermaknaan. Dalam buku “The Cultural Analysis of Texts” karya Mikko Lehtonen, teks dianggap sebagai makhluk semiotik (2000:73). Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda berhubungan dengan bahasa karena bahasa merupakan sistem tanda. Dalam Semiotik dikenal dua tokoh yang terkenal, yaitu Saussure dan Barthes. Saussure adalah orang yang membagi semiotik kedalam dua bagian, yaitu signifier dan signified. Sedangkan Barthes mengembangkan teori Saussure mengenai tanda. Barthes mengembangkan semioka menjadi dua tingkatan, yakni tingkat denotasi dan konotasi. Selain itu, ada mitos juga didalam teori Semioka Barthes. Dalam bahasa dan makna pun Saussure dan Barthes berbeda pendapat. Saussure mengatakan, “Language was a system which itself definied its meanging.” Sedangkan Barthes, “Saw the role of the people who practised linguistic activity also being central in the information of meaning.”
            Barthes dalam essaynya “Death of Writer” mengatakan bahwa ketika sebuah pikiran telah dituangkan kedalam buku, maka yang terjadi kemudian adalah penulisnya mati. Hal ini berarti saat karya sastra telah dituangkan dalam buku, buku itu memiliki kehidupannya sendiri ditangan pembaca. Dengan kata lain, matinya penulis diikuti dengan kebangkitan pembaca untuk berpartisipasi menghasilkan pluralitas makna dalam teks.
            Dalam buku “the Cultural of Analysis Text” dijelaskan hubungan antara teks, konteks, pembaca, penulis dan makna. Text dalam buku ini disebut sebagai makhluk semiotik. Text selalu mempunyai konteks yang melingkupi dan merasukinya. Kedua hal tersebut menghubungkan teks yang satu dengan yang lainnya. Arti sebuah teks pada akhirnya tidak mungkin melepaskannya dari konteksnya. Sejak itu, teks sebagai makhluk semiotik tidak dapat hidup tanpa adanya pembaca, interteks, situasi dan fungsi yang saling berhubungan setiap waktu. Konteks dalam sebuah teks merupakan latar belakang dari pemberian makna oleh pembaca. Teks tidak akan hidup secara semiotik tanpa adanya pembaca, sama halnya dengan pembaca. Ia tidak akan ada tanpa adanya teks. Oleh sebab itu, kelima hal tersebut di atas saling berhubungan. Teks dilatar belakangi oleh konteks yang membantu pembaca dalam pemaknaan. Setelah pemaknaan ditemukan maka akan meghantarkan penulis menuliskan makna yang diperolehnya tatkala membaca.
            Pemaparan yang cukup panjang mengenai pertemuan kedua dalam mata kuliah writing and composition 4. Perbedaan memang menjadi kekahasan yang dianugrahkan oleh sang Maha Kuasa diantara berlimpahnya kesamaan. Kekhasan tersebut menjadi pembeda kita dari yang lainnya. Misalnya saja perbedaan dalam menulis. Setiap orang tentu akan menulis secara beragam bergantung pada pemahamannya dan tingkat pengetahuannya. Tingkat pemahaman penulis terbangun tatkala ia sedang menjadi seorang pembaca. Makna yang dapat dikumpulkan oleh pembaca terdapat pada konteks yang melatar belakangi suatu teks tertentu. Oleh karenya, ada hubungan yang kompleks diantara keduanya.
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment