Perbedaan adalah
Kekhasan
Author:
Aulia Priangan
Perbedaan menjadi ciri khas dari banyaknya kesaamaan yang
kita miliki. Begitu pula dengan banyaknya tulisan yang ada di dunia ini.
Perbedaan karakteristiknya menjadi ciri tersendiri bagi tulisan tertentu.
Misalnya saja tugas paper yang ada di bawah naungan payung bernama academic writing (penulisan akademik) tentu
akan memiliki karakteristik yang berbeda dengan tugas menulis lainnya. Seperti
yang kita ketahui bahwa beberapa produk penulisan akademik yang populer
ditelinga kita adalah makalah, essay, skripsi, tesis dan disertasi.
Produk-produk academik writing tersebut akan sangat berbeda dalam hal
karakteristik dengan tugas menulis biasa, misalnya saja menulis dengan
menggunakan genre narrative atau recount. Perbedaan diantara keduanyalah yang
mampu menjadi ciri khusus bagi masing-masing tulisan.
Penulisan akademik memiliki beberapa ciri/ karakteristik
utama yang menjadi pembeda diantara tulisan-tulisan lainnya. Ciri yang pertama
dari penulisan akademik adalah menggunakan bahasa yang formal. Penulisan
academic writing menggunakan bahasa yang formal karena memang mereka (tulisan
akademik) diciptakan demi tujuan akademik. Oleh karenanya mau tidak mau memang
harus menggunakan bahasa yang formal dalam penulisannya. Ciri yang kedua adalah
sistematis. Sistematis sangat penting dalam penulisan akademik karena jika
tidak sistematis akan membuat pusing para pembaca tulisan kita. Misalnya saja
dalam penyusunan sebuah makalah. Sistematis menjadi esensinya. Jika susunannya
tidak sistematis maka penulisan makalah tersebut telah keluar dari jalurnya dan
kehilangan makna sebagai penulisan akademik. Ciri yang ketiga adalah rigid.
Maksudnya adalah penulisan akademik itu kaku. Harus berdasarkan stuktur serta
urutannya tidak dapat diubah-ubah. Selain itu dari dulu sampai sekarang, misalnya
saja dalam penulisan makalah, pendahuluan selalu diletakkan diawal dan penutup/
kesimpulan diakhir makalah.
Pemikiran kritis diperlukan dalam penulisan akademik.
Misalnya saja saat minggu lalu (3/02/2014) pada pertemuan sebelumnya kita
disuruh oleh Mr. Lala untuk membuat appetizer essay. ketika membuatnya kita
disuguhkan tiga buah artikel berbeda judul dari buku rekayasa literasi-nya Pak
Chaedar Alwasilah. Seorang penulis yang berpikir kritis akan bertanya dalam
hati dan pikirannya kenapa bacaan tersebut yang diberikan dan tidak akan
menerima bacaan tersebut dengan mudah. Seperti yang dituliskan oleh Mr. Lala
pada pertemuan kedua (10/02/2014) dalam mata kuliah writing and composition 4,
“you will not take a text for granted.”. setelah berpikir seperti itu, penulis
yang kritis akan menghubungkan teks-teks yang telah dia baca dan menggunakan
sudut pandang yang banyak pula. Oleh sebab itu, critical thinking atau pemikiran yang kritis sangat diperlukan.
Menulis merupakan kegiatan yang lumrah dilakukan oleh
semua pelajar dan mahasiswa. akan tetapi, ada sebagaian dari mereka yang hanya
mengetahui makna dari menulis adalah proses menuangkan ide kedalam bentuk
tulisan atau hanya sekedar merekan memory dalam bentuk tulisan. Padahal, ada 3
definisi maha hebat tentang menulis yang belum diketahui oleh banyak orang.
Oleh sebab itu, pada Senin pagi yang memesona dipertengahan Februari ini, Mr.
Lala berbaik hati memberitahu kami tiga definisi menulis yang spektakuler. tiga
definisi tersebut adalah:
1.
Writing is a way of knowing something.
2.
Writing is a way of representing something.
3.
Writing is a way of reproducing something.
Dalam tiga difenisi maha hebat
tentang menulis di atas, adaa pengulanagan kata something sampai 3 kali. Kata
something dalam ketiga definisi tersebut bisa berati informasi, pengetahuan dan
pengalaman.
Menulis bukan melulu tentang menuangkan ide dalam bentuk
tulisa, tetapi menulis mempunyai pengertian yang lebih penting lagi. Ada
sebagian pengertian menulis menulis yang belum diketahui oleh banyak orang,
seperti 3 definisi di atas. Definisi pertama tentang menulis adalah cara untyk
mengetahui sesuatu. Hal ini karena ketika kita akan menulis sesuatu, tentu kita
membutuhkan informasi yang banyak tentang sesuatu yang akan kita tulis. Oleh
karenanya kita harus membaca dan membaca lagi. Dengan membaca sumber
pengetahuan tersebut kita menjadi mengetahui tentang informasi-informasi baru
yang sebelumnya kita tidak tahu. Definisi yang kedua mengatakan bahwa menulis
merupakan cara untk menggambarkan sesuatu. Seperti yang kita ketahui bahwa
setiap orang mempunyai cara berpikir dan sudut pandang yang beragam tentang
sesuatu. Begitupun dengan menulis. Menulis membantu kita menggambarkan cara
berpikir atau sudut pandang kita terhadap sesuatu. Definisi yang terakhir dari
menulis adalah cara untuk memproduksi sesuatu. Menulis erat kaitannya dengan
menghasilkan tulisan dan karya tulis lainnya.
Membaca dan menulis memang memiliki hubungan yang tidak
dapat dipisahkan. Literasi adalah istilah yang sering digunakan untuk mengganti
istilah tersebut. Budaya literasi di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan
dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Hal ini dapat
tercermin dari perbuatan yang dilakukan oleh penduduk Indonesia sendiri.
misalnya saja membuang sampah sembarangan, padahal sudah jelas-jelas ada
himbauan yang menyatakan dilarang membuang sampah sembarangan. Dari hal-hal
kecil tersebut saja terlihat rendahnya budaya literasi di bangsa kita ini.
Budaya baca memang sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu negara. Contohnya
saja Jepang, sebuah negara yang keranjingan membaca dan dapat kita lihat bahwa
Jepang merupakan negara yang sangat maju. Jangan jauh-jauh ke Jepang, kita
tengok saja negara tetangga kita, Singapura. Singapura lebih maju dibandingkan
Indonesia. Hal ini karena budaya literasi disana bagus.
Minat membaca Indonesia masih kurang, apalagi denagan
minat menulisnya? Hal ini dapat dilihat dari digunakannya multiple choice dalam
Ujian nasional (UN) di Indonesia. Multiple choice menggambarkan bahwa Indonesia
masih terpaku pada membaca, belum kepada budaya menulis (essay/ uraian).
Menggunakan multiple choice dalam ujian membuat peserta ujian dituntut untuk
mengikuti definisi yang diyakini secara umum kebenarannya, tanpa bisa mengeluarkan
pendapatnya sendiri tentang suatu masalah. Maka tak heran budaya baca-tulis di
Indonesia sangat minim. Oleh karenanya tak mengherankan jika Indonesia
merupakan negara konsumen, selalu mengimpor apa-apa dari luar negeri. Hal ini
karena salah satu ciri bangsa yang kurang berliterasi adalah mengimpor banyak
barang (konsumen besar).
Membaca mempunyai keterikatan yang sangat kuat dengan
teks. Dalam segala bentuknya teks ditandai dengan tiga ciri, yaitu:
materialitas, hubungan formal dan kebermaknaan. Dalam buku “The Cultural
Analysis of Texts” karya Mikko Lehtonen, teks dianggap sebagai makhluk semiotik
(2000:73). Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda
berhubungan dengan bahasa karena bahasa merupakan sistem tanda. Dalam Semiotik
dikenal dua tokoh yang terkenal, yaitu Saussure dan Barthes. Saussure adalah
orang yang membagi semiotik kedalam dua bagian, yaitu signifier dan signified.
Sedangkan Barthes mengembangkan teori Saussure mengenai tanda. Barthes
mengembangkan semioka menjadi dua tingkatan, yakni tingkat denotasi dan
konotasi. Selain itu, ada mitos juga didalam teori Semioka Barthes. Dalam
bahasa dan makna pun Saussure dan Barthes berbeda pendapat. Saussure
mengatakan, “Language was a system which itself definied its meanging.” Sedangkan
Barthes, “Saw the role of the people who practised linguistic activity also
being central in the information of meaning.”
Barthes dalam essaynya “Death of Writer” mengatakan bahwa
ketika sebuah pikiran telah dituangkan kedalam buku, maka yang terjadi kemudian
adalah penulisnya mati. Hal ini berarti saat karya sastra telah dituangkan
dalam buku, buku itu memiliki kehidupannya sendiri ditangan pembaca. Dengan
kata lain, matinya penulis diikuti dengan kebangkitan pembaca untuk
berpartisipasi menghasilkan pluralitas makna dalam teks.
Dalam buku “the Cultural of Analysis Text” dijelaskan
hubungan antara teks, konteks, pembaca, penulis dan makna. Text dalam buku ini
disebut sebagai makhluk semiotik. Text selalu mempunyai konteks yang melingkupi
dan merasukinya. Kedua hal tersebut menghubungkan teks yang satu dengan yang
lainnya. Arti sebuah teks pada akhirnya tidak mungkin melepaskannya dari
konteksnya. Sejak itu, teks sebagai makhluk semiotik tidak dapat hidup tanpa
adanya pembaca, interteks, situasi dan fungsi yang saling berhubungan setiap
waktu. Konteks dalam sebuah teks merupakan latar belakang dari pemberian makna
oleh pembaca. Teks tidak akan hidup secara semiotik tanpa adanya pembaca, sama
halnya dengan pembaca. Ia tidak akan ada tanpa adanya teks. Oleh sebab itu,
kelima hal tersebut di atas saling berhubungan. Teks dilatar belakangi oleh
konteks yang membantu pembaca dalam pemaknaan. Setelah pemaknaan ditemukan maka
akan meghantarkan penulis menuliskan makna yang diperolehnya tatkala membaca.
Pemaparan yang cukup panjang mengenai pertemuan kedua
dalam mata kuliah writing and composition 4. Perbedaan memang menjadi kekahasan
yang dianugrahkan oleh sang Maha Kuasa diantara berlimpahnya kesamaan. Kekhasan
tersebut menjadi pembeda kita dari yang lainnya. Misalnya saja perbedaan dalam
menulis. Setiap orang tentu akan menulis secara beragam bergantung pada
pemahamannya dan tingkat pengetahuannya. Tingkat pemahaman penulis terbangun
tatkala ia sedang menjadi seorang pembaca. Makna yang dapat dikumpulkan oleh
pembaca terdapat pada konteks yang melatar belakangi suatu teks tertentu. Oleh
karenya, ada hubungan yang kompleks diantara keduanya.