Multilingual Writer is Me
(By: Enok Siti Jaenah)
Kegiatan
menulis telah menempati kedudukan yang fenomenal di semester 4 ini. Semua warga
semester 4 dibuat sibuk olehnya. Peluh kita memang sepertinya tidak membanjiri
tubuh, tapi sungguh isi kepala terasa dikoyak-koyak, benda lunak di sudut dada
kiri seringkali berkata “menyerah”, dan sepuluh jarikita pun hampir keriting akibat
ulahnya. Fortunately, fenomena ini lantas tidak membuat kita menyesal berada di
sini, bahkan seringkali tangan kita mengangkat kerah baju sebagai simbol rasa
bangga atas hasil karya amatir kita.
Rasa
bangga kian membual manakala dipertemuan kedua tepatnya hari Senin, 10 Februari
2014 Mr. Lala Bumela menyebut kita sebagai Multilingual Writer selama berada
dalam Writing Class ini. Menurut beliau “You are a MULTILINGUAL WRITER, who writes effectively in L1 and L2 effectively;
who serves as a critical reader both in L1 and L2; who
transforms yourself from a student of language into a student of writing; who
can make informed choices in life; who can change the world.”
Maka dari itu muncul satu pertanyaan untuk kita, “Lalu, nikmat dari writing
apalagi yang engkau dustakan?”
Still Aroud The Academic Writing
Masih
seputar Academic Writing. Kali ini kita membahas tentang sifat academic
writing. Kita sepakat bahwa academic writing memiliki sifat formal, impersonal,
evidence based, objective, systematic, prestise, analytical, and rigid (kaku).
Dalam
academic writing kita dituntut untuk memiliki critical thinking. Lalu yang
seperti apa critical thinking tersebut? Beliau said that, you take a text for
guaranted. Artinya seseorang yang memiliki critical thinking tidak bisa percaya
hanya pada satu text, mereka akan terus mencari teks-teks lain untuk
menguatkannya. Selain itu, si empu critical thinking itu akan selalu menggunakan
point of view yang kaya raya.
Dalam
pandangan Mr. Lala writing means: a way of representing something; a way of
reproducing something; and a way of knowing something. Something yang
disebut-sebut sampai tiga kali itu ternyata yaitu information, knowledge, and
experience. Saya harus menganggukkan kepala sebagai tanda setuju untuk pendapat
ini, dan harus saya katakana dengan lantang bahwa writing itu adalah keguiatan
yang terkeren dari segala yang keren. Not everyone can do it. Seperti sebuah
pepatah dari Oscar Wilde, “Anybody can make history. Only a great man can write
it.” So, day after day dugaan saya semakin kuat, semakin yakin dan semakin
mantap bahwa writing itu tidak as easy as I thought before. It is too
complicated.
Why
writing is so complicated? Jawabannya bisa kita temukan di sini “writing is a practice based on expectations: the reader’s
chances of interpreting the writer’s purpose are increased if the writer takes
the trouble to anticipate what the reader might be expecting based on previous
texts he or she has read of the same kind”. (Hyland 2004:4)
Sedangkan
Barthes mendeklarasikan bahwa the death of the author, simultaneously
signifying the birth of the reader. Artinya
bahwa apabila kita telah menyelesaikan tulisan, tulisan tersebut layaknya
sebuah kuburan. Tetapi tulisan tersebut bisa hidup kembali saat ada pembaca
yang membaca tulisan tersebut. Pembaca tersebut bisa me-reborn tulisan ketika
ia menjadi seorang critical reader.
A Little about Literacy
Litersi
menjadi mantra sakti dalam dunia peradaban manusia. Bukti Negara yang penerapan
literasinya gagal, atau kita sebut illiterate adalah masih banyak masyaratnya
yang membuang sampah anywhere serta masih berjubelnya konsumen-konsumen rokok. Mereka
yang melakukan itu tidak pernah ’membaca’ himbauan ataupun peringatan, padahal
goal terbesar literasi itu adalah empowerment.
Literasi
juga melahirkan orang-orang yang qualified, yaitu mereka yang menjadikan sukses
bukanlah sebuah akhir. Tapi mereka yang menjadikan sukses sebagai perjalanan
berkualitas sepanjang hidup. Ketika kita memiliki target untuk mencapai sesuatu
di umur sekian, maka usaha yang harus dilakukan harus sejumlah waktu yang kita
targetkan tersebut. Jangan berharap kata “bim salabim” bisa menyulap anda
menjadi orang yang sukses tanpa kerja keras.
TextàContextàReader
= Meaning
Dalam
bukunya THE CULTURAL ANALYSIS OF TEXT, Lehtonen telah menganalisis bahwa adanya
hubungan antara text, context dan reader dalam pembentukan sebuah makna. Text,
context, dan reader memperoleh identitas mereka sendiri dalam berinterasi satu
sama lainnya.
Meskipun
mereka (text, context, and reader) saling ketergantungan, tetapi mereka tidak
dapat dipelajari dengan cara yang sama. Ketika interaksi textual dalam posisi
terbaik, itu tidak hanya menyebabkan kecocokan penulis dengan pembaca, tetapi
kemampuan mereka untuk bertindak.
Untuk
menggambarka keterkaitan ketiganya, Lehtonen telah membuat sebuah grafik, dia
tidak berusaha mengklaim bahwa untuk membedakan ketiganya dengan jelas haruslah
terpisah dalam menentukan sebuah makna. Dalam situsai membaca yang
sesungguhnya, semua hal yang terpisah itu dibentuk dalam jalinan sebuah grafik.

![]() |
CULTURAL
ANALYSIS
OF TEXTS
SUBJECTS TEXTS
Ketika
meneliti grafik tersebut, kita mungkin bertanya-tanya mengapa Lehtonen
mengabaikan context produksi dan produser. Sebenarnya ada alas an kontekstual
untuk keputusannya tersebut. Pertama,
ada fakta bahwa terdapat bahan yang lebih nyata tertulis pada hal-hal yang
dimaksud, dari pada ada pada konteks membaca dan pembaca. Namun dilator belakangi
pengecualian ini, ada juga yang berkeyakinan bahwa penerimaan merupakan
kegiatan yang jauh lebih kompleks.
Kedua,
penulis dan pembaca adalah agen aktif dalam pembantukan makna textual. Mereka para
penulis akan membentuk artefak sebgai tana, tapi pada akhirnya pemaknaan
terletak pada pembentukkan makna oleh pembaca sendiri.
Dapat
disimpulkan bahwa pembaca terangkat ke nucleus dari pembentukan makna itu
sendiri, dan pembaca menjadi tempat makna tersebut dimiliki. Text dan reader
itu tidak pernah berdiri sendiri-sendiri. Membaca termasuk didalamnya memilih
apa yang harus dibaca, mengorganisirnya, dan menghubungkan mereka untuk
membentuk makna. Juga membawa pengetahuan pembaca itu sendiri ke dalam text
yang dibacanya.