Class Review I


BERBEDA BUKAN PEMBEDA!
(by. Endah Jubaedah)
Hari ini; langit tak melukis pelangi, liukan awan tak ingin membingkai, apalagi sang pencerah yang enggan menyapa hawa dingin.  Hanya mendung sedari pagi menyambut langkahku dengan nafas terengah-engah di anak tangga, perjalanan dalam sendiri ini  menuntutku menuju ruang kelas yang entah mengapa terasa asing. Tak ada rasa hangat dalam suasana, ataupun kehangatan ketika sapaan terlontar.  Dingin es dapat ku tahan, namun dingin suasana kelas sangat sulit tertahankan; bukan hanya sakit tapi melumpuhkan.  Lumpuh sudah hati ini dalam sendu yang tak kunjung berlalu; dari gejolak perasaan yang tertahan, dari kecaman jiwa yang terdiam, dan dari kawanan burung pembawa pesan naluriah mengabarkan kesedihan. 

 Berbeda! Nyaris aku tersesat dalam rumahku sendiri, ada apa Tuhan? Mengapa aku tak mengenali sebagian hidupku disini? Secepat itukah ku harus menelan pahit kehilangan? Kehilangan harga bahagia yang bagiku berharga.  Mungkin karena rasa rindu yang terlalu besar dan tertahan membuat perasaanku didera rasa khawatir yang berlebihan tak ingin kehilangan.  Sungguh, dalam terdiamnya batin ini berbisik dan menyatakan ingin rasanya kembali pada masa silam sebelum ini.  Dimana angin masih menyapa lembut, saat hujan saling menghangatkan, maka tak ada rasa dingin yang melanda.  Dilanda suasana dingin memang tak lebih mudah untuk dihadapi dibanding dilanda cuaca dingin, namun keduanya tak akan berlalu jika kita tak melewatinya.
Aku tetap duduk di barisan pertama walaupun sedikit terlambat datang beberapa menit.  Kemudian ketika kami tengah membahas kontrak belajar dan menyoroti pokok-pokok tujuan menulis, aku merasa mengenali seseorang yang tengah berdiri dihadapan kami.  Beliau adalah salah satu tongkat yang pernah membuatku mampu berdiri dan menulis, mengajarkan bagaimana mencintai menulis juga membongkar rasa malas dengan segudang tugas.  Beliau teramat ku kenali, sekalipun aku hanya mengenalinya saat dalam ruang kelas saja, beberapa jam saja  rasanya sanggup menyatakan bahwa aku begitu mengenalinya.  Dulu! Sekarang romannya berbeda dan nampak enggan ku kenali, semoga tidak. Mungkin karena aku bukan bagian dari ekspektasinya dan aku memang harus bercermin; siapa aku dan bagaimana kemampuanku.  Tapi tak mengapa, ini adalah salah satu energi yang harus membuatku membara mengibarkan semangat pantang menyerah.  Menyerah bukan satu-satunya solusi menghilangkan tumpukan beban, malah hanya akan membuat kita tersakiti.  Maka tak ada alasan untuk aku berhenti belajar dan berapi-api di atas air.
Menyerah saat suasana menulis tak nyaman kadang menjatuhkanku.  Namun ketika aku membaca, aku mampu bangun berkali-kali walaupun akan terjatuh lagi; aku ribuan kali tak akan pernah takut untuk bangun!  Seperti saat aku memperhatikan slide yang beliau sajikan dan mengundang ketertarikan juga motivasi menulis lagi.  Sekalipun rasa tertarik itu muncul ketika aku membaca kembali materi beliau di rumah, bukan pada saat beliau menjelaskan di dalam kelas.  Itulah ajaibnya membaca kemudian menulis, dibanding mendengarkan kemudian menulis.  Isi slide materi yang membuatku ingin tahu siapakah Hyland? Kutipan-kutipannya mengugah mata untuk mengetahui apa yang disebut dengan seorang guru dan bagaimana menulis.
Hyland mengungkapkan bahwa bagaimana menulis atau mampu memenuhi ekspektasi sebuah tulisan karena kemampuan menulis adalah aspek yang paling penting dibandingkan bagaimana kita belajar.  Seperti pengalamanku yang telah mempelajari beberapa aspek-aspek dalam berbahasa sebelumnya, bagiku pribadi menulis memang memiliki arti, ilmu, dan imajinasi lebih kuat dari aspek lainnya (membaca, mendengarkan, berbicara).  Bapak Lala Bumela pun pernah mengatakan, bahwa ketika kita bisa menulis kita pun akan mampu membaca, mendengarkan, dan berbicara.  Namun tidak sebaliknya.  Kemudian meneruskan kutipan Hyland tentang seorang guru atau pengajar; menurutnya seorang guru yang mengesankan ialah ia yang dapat memberitahukan kepada siswanya tentang cara, bahan, dan tata cara pembelajaran yang dilakukan di ruang kelas berdasarkan pemahaman yang gamblang dari perilaku sikap pada zaman ini dan praktek atau aplikasi dari profesinya tersebut.  Ini adalah alah satu tabungan ilmu atau bekal kita kelak ketika menjadi seorang guru atau pengajar sungguhan secara profesional.
Menjadi seorang pengajar atau tenaga pendidik yang berhasil tentu menjadi dambaan semua calon guru, selain harus sukses menyerap ilmu juga dituntut mampu mentransfer ilmu kepada siswa-siswanya.  Dikutip dari Hyland (2002), seorang guru yang bersinar karena keberhasilannya dan juga kemampuannya menggambarkan bayangan pengetahuan untuk diceritakan di dalam aktivitas ruang kelas berdasarkan teori.  Tentu saja seorang guru sukses ialah ia yang mampu menyukseskan siswa-siswanya dan sebagai seorang siswa diharuskan membantu guru (terutama guru bahasanya) menjadi seorang guru yang mampu menulis. 
Ketika keterlenan Hyland mulai meng-adiktif, tiba-tiba pembahasan beliau beralih kepada posisi perolehan nilai mahasiswa semester 4 keseleruhan pada semester lalu, klasifikasi per kelas terpampang jelas bahwa kelas kami berada pada posisi paling bawah.  Lalu sebenarnya apa yang terjadi? Benarkah ini suasana baru yang tak ku kenali? Entahlah, tapi aku yakin bukan karena sumber daya atau kemampuan individunya pasti ada hal lain seperti yang di utarakan Bapak Lala  kemarin.
Begitulah kehidupan, kadang seperti laut; berombak dan menghantam batu karang, pasang surut airnya, badai yang menyapu dan mengguncang air bersama angin, namun kadang pula ia tenang, berombak indah, dan menenangkan.  Selalu ada perbedaan dan pergantian, tapi apakah harus berbeda dibeda-bedakan? Tidak kan? Karena memang berbeda bukan pembeda! Teramat banyak perbedaan terukir namun melimpahlah keindahan yang tercipta karenanya, menciptakan hal yang indah dengan jari-jari tangan yang erat saling melengkapi.  Bersama.
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment