AGAMA
ITU KRUSIAL LOH!
(by. Endah Jubaedah)
Radikalisme
mulai membungkus rapi kerangka manusia, menjangkau tulang rusuk yang menjadi
inti kehidupan; mudah saja membuat makhluk hidup berakal ini berpikir
radikal. Bukan hal yang sulit untuk
menjeratnya; tak perlu waktu lama menunggu kail berpenghuni, bahkan tanpa umpan
pun tak mustahil pancingan mendapatkan hasil.
Fenomena ini menggambarkan betapa mudahnya sifat ke-radikalan
membelenggu orang-orang, bagaimana kebebasan yang tidak terkontrol begitu diinginkan
tak terkecuali oleh generasi penerus bangsa.
Lalu mau jadi apa bangsa kita ini? Jadi bangsa yang membebaskan
kebebasan sebebas-bebasnya? Arogan!
Bebas bukan berarti se-radikal itu, bebas pun harus teratur dan mempunyai
aturan.
Masalah
sosial semakin pekat dengan perubahan sifat yang “panas” di masyarakat, persoalan
semakin bercabang dan runyam setelah
menyenggol masalah yang berkaitan dengan politik, budaya, dan agama. Ya, agama tak luput dari lumpur yang kian
menenggelamkan kita dalam konflik sesama; beberapa kali problematika pernah
terjadi antar umat berbeda agama sekalipun Undang-Undang telah mengatur
bagaimana kesantunan dan saling menghormati satu sama lain,namun inilah hal
yang tak ter-elakkan bagaimana konflik terus hidup melengkapi. Keyakinan atau kepercayaan adalah kepunyaan
bangsa tercinta, sudah seharusnya kerukunan beragama kita tunjukkan sebagai
bagian dari rasa toleransi dalam perbedaan yang tak membedakan satu diantaranya. Meng-indahkan perbedaan akan membuat kita
merasa saling memiliki satu sama lain, sehingga konflik pun meluruh
Sebagai
warga Negara yang baik, tentu kewajiban bagi siapa pun masyarakat Indonesia
menjaga benteng pertahanan kemakmuran.
Jangan sampai termakan opini-opini yang dapat melepaskan genggaman
tangan, merenggangkan langkah yang tadinya berbarengan dan menjauhkan pelukan
dalam kedamaian terutama yang berkenaan dengan agama. Tidak! Hal itu tidak boleh terjadi,
berhentilah mengikuti ajakan nafsu yang menyesatkan. Kapan kita akan membuang kerikil-kerikil
yang menghambat perjalanan hidup? Tidak nyaman bukan berlama-lama dengan
ketidaknyamanan? Berjalanlah dimana seharusnya kita berjalan dan bagaimana
semestinya kita menjalani, tanpa keluar dari koridor yang telah ditetapkan.
Kerukunan
beragama sungguh menjadi dambaan dan cita-cita bangsa yang memang berlatar
belakang Negara dengan keragaman yang berwarna, menjadikan bangsa ini berwarna
karena perbedaan. Kita selaku generasi
muda harus lebih “nge-rock” membangun keindahan perbedaan, menjadi “rocker”
yang mampu membuat gila dunia dalam perdamaian.
Memulai dari hal yang paling kecil adalah langkah terbaik, dari
lingkungan kelas misalnya bagi para pelajar sekaligus muda-mudi sebagai tokoh
baru pewarna dunia dan masa depan. Lingkugan
sekolah memang bukan satu-satunya tempat pemupukan akhlak atau cara berperilaku
anak-anak, namun sekolah adalah lembaga yang harus mempunyai distribusi baik
bagi para peserta didik paling banyak disamping pendidikan dari keluarganya. Disinilah bagaimana begitu nampak sekolah
sebagai rumah kedua bagi para pelajar, tentulah kenyamanan didalamnya menjadi
prioritas termasuk dalam lingkungan ruang kelas.
Tokoh
ketidakharmonisan di lingkup sosial berasal dari semua lapisan umum masyarakat,
satu diantaranya ialah pelajar; yang tak seharusnya terjun ke dalam
ketidakbaikan sosial masyarakat, harusnya menumbuhkan sifat-sifat yang
berkarakter baik dan terpuji. Namun
berbelok dari harapan, rasa peka dan saling memiliki bukan lagi menjadi
keharusan dari keharusan sesunguhnya. Mental
baja tak tercermin sudah dalam diri para pelaku aksi tawuran dan bentrok antar kelompok
pelajar misalnya, krisis akhlak mulai mengerogoti secara aktif dan intens. Lahirlah generasi-generasi anarkis yang dari
waktu ke waktu semakin bertumbuh kembang layaknya tumbuhan yang di pupuk, kurvanya
pun tak pernah menurun malah meningkat yang nampak dari kesenjangan sosial yang
belakangan terjadi yang mulai menjangkiti masyarakat kita.
Salah
satu dampak dari gesekan radikalisme mulai terasa dan perlahan namun jelas
menggores norma dan karakter anak bangsa, mengikis toleransi dan rasa
kebersamaan antar sesama manusia dan lebih spesifiknya antar sesama umat
beragama. Selain itu penurunan nilai
moral juga menjadi akibat dari udara-udara berpikir radikal yang mulai menyebar
ke semua bagian dalam kerangka kepala manusia.
Benturan keras pun tak mampu menyadarkan para pemilik tengkorak itu
untuk berpikir ulang bagaimana seharusnya menuai kebaikan dunia aturan yang
semestinya, atas nama kebebasan mereka berkoar dan meneriakkan
ke-arogansian dalam makna pasif.
Namun
inilah yang menjadi tantangan bagi para pengajar untuk melakukan yang terbaik
kepada generasi berikutnya sebagai warna Negara yang demokratis dengan karakter
yang baik sebagaimana diatur dalam UU Sisdknas.
Maka dari itu kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah
se-dini mungkin, agar para pelajar menjadi terbiasa dan memahami benar
bagaimana caranya bertoleransi antar sesame umat beragama. Diandaikan sebuah bangunan, pondasi adalah
awal mula penguat dan penegak bangunan.
Seperti halnya manusia, awal generasi yang baik adalah ketika ia mulai
peka setelah terlahir kemudian diberi stimulasi yang baik dan membaikkan, memperkenalkan
pemikiran sehat yang menyehatkan pun adalah landasan mutu berkualitas penanaman
materi generasi berkarakter.
Tatanan
masyarakat yang mulai berubah memang membuat “gunjang-ganjing” konflik sosial
dalam berbagai bidang di dalam muara persoalan, terjadi berulang kali dan tak
pernah jera bertolak pinggang lalu menggandeng masyarakat untuk terus berdekatan
dengannya (konflik sosial) sering kali diikuti oleh berbagai konflik yang
dibelakangya tersangkut agama. Alih-alih
mencapai ketenangan juga kenyamanan,
perubahan zaman tak sedikit memberi ruang kepada masyarakat untuk beselisih
atau terjadi “percecokan”, tak terkecuali bagi para pelajar dengan beregam
konflik dan persoalan yang kian hari kian menajam. Semakin dibiarkan, masalah justru akan
semakin tajam dan tak jarang melukai.
Oleh sebab itu kerukunan beragama begitu dielu-elukan kehadirannya.
Saya
kurang begitu yakin dengan pendapat (Rubin, 2009) yang di tulis atau tertuang
dalam wacana Pak Chaedar, tentang konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah
komponen penting dalam teori pembangunan sosial. Menurut saya pembangunan sosial yang sangat
sesuai “realita” tak memerlukan materi, justru keadaan di lapangan menunjukkan
bahwa pergaulan dibangun atas nama naluriah dan spontanitas saling membutuhkan. Lalu hal ini tak cukup baik dan bagus apalagi
menjadi penting untuk dijadikan materi sosial, karena pergaulan bukan
satu-satunya komponen yang akan membawa seorang pelajar sukses berinteraksi. Faktanya, pergaulan juga menjadi faktor
terciptanya lepas kontrol dari para pelajar yang kehilangan pegangan, pandangan,
serta tujuan sebagai seorang peserta didik, sekalipun niat awal mereka untuk
berinteraksi dengan sesama kawan. Maka
dari itu justru peran orang tua sejak awal memang begitu diharapkan, agar para
pelajar dapat memilah mana dan siapa saja yang bisa dijadikan kawan baik untuk
berinteraksi.
Mengapa
harus orang tua yang berperan? Saya perjelas bahwa koneksi kuat dan pendidikan
awal seorang pelajar dimulai dari tangan-tangan kedua manusia yang disebut
orang tua. Orang tua ibarat desain
pertama ketika kita akan membut sebuah gambar misalnya, desain tersebut yang
akan menghasilkan gambar menjadi indah atau justru sebaliknya. Pemupukan dasar dari darah dagingnyalah yang
sangat kuat mendominasi akan menjadi seperti apakah ia nanti, lalu bagaimanakah
dia akan memilih pergaulan untuk dirinya sendiri. Jika lingkungan pergaulannya kurang patut
untuk dicontoh, maka secara otomatis ia akan menggunakan insting ketajaman berinteraksi yang diajarkan orang tua mereka
untuk berhati-hati memilih pergaulan akan ia tempuh.
Wacana
pendidikan liberal disebut-sebut dapat membebaskan siswa atau pelajar dari
sikap rabun dan jeratan kebutaan atau salah persepsi terhadap orang lain. Namun apakah para pelajar kita siap dengan
penggebrakan ini? Cukup konsistenkah hati mereka menerima perluasan pengetahuan
baru ini? Saya rasa tidak! Nyatanya pendidikan liberal tak banyak yang tahu, apalagi
paham apa isinya dan bagaimana menjalankan roda atas nama pendidikan liberal.
Dalam
koridor peningkatan kualitas pendidikan, pendidikan liberal dapat menjadi
solusi penuntasan masalah yang selama ini “mencengkeram” dunia pendididkan
bangsa kita meski tidak seutuhnya. Namun
ingat, bukan untuk penerapan cepat tapi tidak tepat diberikan kepada para
pelajar terutama, proses adalah cara yang mau tak mau harus dilewati dan
dituntaskan untuk mencapai keinginan tersebut demi tujuan bersama. Maka untuk saat ini pendidikan liberal belum
menjadi solusi dari problematika pendidikan bangsa kita, wacana yang dicenangkan oleh Bapak Chaedar Alwasilah
salah satunya memang masih wacana dan tawaran anggur yang menggoda.
Jadi,
apakah yang dimaksud pendididkan liberal itu? Menurut Oxford Learner’s Dictionary (1989 : 717), adjektiva liberal berari tolerant and open - minded; free from prejudice; yakni toleran
(Arab: tasamuh), bepikiran terbuka, tidak picik dan tidak berburuk sangka. Sinonimnya adalah broad atau general, yakni
luas atau umum. Verba turunannya, to
liberate atau liberalize, berarti membebaskan. Pikiran yang luas berisi pengetahuan yan
luas. Pendidikan liberal adalah
pendidikan yang diniati untuk memperluas wawasan (maha)siswa, tidak sekedar
pelatihan teknis dan profesional.
Nah,
dari pengertian pun dapat kita simpulkan bahwa pendidikan liberal tidak bisa
dengan mudah saja dipindah tangankan atau istilah lainnya ditransferkan kepada
para pelajar yang statusnya masih “siswa”.
Sedangkan jelas tertulis bahwa jenjang pendidikan tersebut diperuntukkan
bagi para tokoh perguruan tinggi yakni “mahasiswa”. Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa para
siswa dapat menganut pendidikan liberal, hanya saja perlu bersahabat dengan
waktu terlebih dulu. Bagi para mahasiswa
pun bukan jaminan bahwa setiap mahasiswa dapat menerapkan dan mengamalkan
pendidikan liberal, tergantung mahasiswa itu sendiri; bagaimana ia harus
meng-eksplor dan merombak pengetahuan untuk menerima dan menambah ilmu. Kok tergantung mahasiswanya? Karena seorang
mahasiswa berbeda dengan para siswa yang masih menganut cara belajar secara
paedagogi, sedangkan tingkat mahasiswa mulai dan juga diharuskan menggunakan
cara belajar andragogi; yakni pembelajaran orang dewasa.
Seiring
dengan perjalanan dan cara berkembang dunia pendidikan yang semakin memuncak,
kendala dan gucangan pun ikut
mengiringi. Kendala yang harusnya menjadikan
kita tertantang untuk prove it
dan survive berada pada jalur
yang benar dan tepat, jika kita mampu lakukan pendidikan itu tentu keberhasilan
akan tergenggam dalam jiwa dan raga; tak hanya untuk pribadi tapi juga generasi
baru dan sesama. Tantangan terbesar
adalah sejauh mana pendidikan liberal mampu
menanamkan prinsip-prinsip pendididkan agar lulusan siap menghadapi perubahan
dunia. Pendidikan liberal harus
membekali mahasiswa dasar-dasar pendidikan “umum” yang memungkinkan mereka
mampu belajar tiada henti dalam dunia kerjanya.
Dalam kehidupan sehari-hari kita jauh lebih mudah belajar dari umum ke
khusus daripada sebaliknya dari khusus ke umum.
Adakah
pendidikan liberal dalam system
pendididkan Indonesia? Dalam UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak ditemukan kosakata liberal. Meski demikian, pasal 3 UU
tersebut, hingga batas tertentu, menggambarkan fungsi pendidikan liberal yang
berbunyi: Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta prradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Setelah
literasi yang tak tertawar lagi hasratnya, pendidikan liberal mampu mencuri
pandangan dan membangunkan “si malas” dari tidurnya agar membuka mata bahwa
dunia sudah terang. Masih ingin
bergelap-gelapan dan meraba saja? Melelahkan.
Malulah pada matahari yang tak pernah tidur, selalu bersinar bukan untuk
dirinya tapi untuk menyinari orang lain.
Tidak seperti kita yang banyak tidur dan sekalinya bersinar karena
kebutuhan pribadi tanpa terlintas bertindak untuk kepentingan orang lain, atau
sesama manusia gitu kek! Begitulah
watak anak cucu adam di zaman ini, perlu tempaan yang tak perlu terlalu keras
yang penting sering agar terbiasa.
Tempaan berliterasi dan mendalami kemudian mengaplikasikan pendidikan
liberal boleh juga tuh! Boleh banget
dong! Harus kali ah!
Kembali
pada fakta yang ditemui, kedua penyelaras berikut hanya dianngap “tulisan
teoritis” saja atau “wacana belaka” (kebanyakan). Begitu pendeknya pemikiran orang-orang yang
telah teracuni radikalisme, sempit sudah masa depan yang akan ia raih dan
pelajari justru bukan menjadi teladan malah menjai tokoh penyokong kemunduran
bangsa. Berhenti! Perjuangan para
pejuang kita memerdekan Indonesia dan kita balas dengan kemalasan? Jika begitu,
hatimu bak padan pasir yang kering dan tandus; mengerikan. Tak adakah yang bisa dilakukan untuk mengisi
kemerdekaan selain rasa malas yang busuk itu? Buatlah hidupmu berguna meski sehari saja, lalu perlahan dibiasakam
agar matahari yang kau lihat tak sia-sia.
Menurut
pendapat Pak Chaedar dalam wacananya kerukunan
dalam beragama menyatakan bahwa di sekolah-sekolah harus disediakan
fasilitas ibadah sesuai dengan agama yang dianut agar siswa lebih
toleransi. Apabila tujuannya untuk
toleransi, mengapa tidak menyatukan semua anak bangsa dalam satu wadah saja?
Maksudnya tidak perlu memilah ia beragama apa dan si dia beragama apa dan
sekolah mereka berbeda, jika memang benar untuk beanr-benar menguatkan
toleransi mengu apa tidak? Hal ini tentu akan dirasa lebih dinamis dan harmonis
dalam kekeluargaan. Namun disamping itu,
kita tentu menghormati dan saling menghargai perbedaan ini, tentunya tidak
boleh keluar dari koridor agamanya masing-masing. Mungkin dengan hal itu akan sedikit menambah
keleluasaan berdiskusi atau pun berdebat ilmu dan pengetahuan, tidak seperi
saat ini yang membedakan sebagai pembeda, membuat kita semakin jauh dan
renggang dari rasa kebersamaan.
Penyesuaian
perilaku manusia terhadap nilai baru memang tidak selalu berjalan lancar,
sering mengakibatkan konflik yang cukup berat.
Di beberapa Negara, perubahan sistem nilai ini dilalui dengan relatif
mulus, karena mereka berhasil meredam potensi konflik dengan melaksanakan
perubahan secara terkonsep. Di Indonesia
pengelolaan terhadap perubahan system nilai sering kali menjurus kepada
terjadinya konflik. Pihak yang satu
melakukan koreksi terhadap pihak lain, sebaliknya pihak yang dikoreksi juga
melakukan hal yang sama. Masyarakat
Indonesia dengan “budaya timurnya” cenderung memberikan resistensi atau bahkan
perlawanan terhadap koresi. Keadaan yang
sepert ini membuat konflik cnderung semakin berkembang dan meruncing, pada
klimaksnya sering kali menyebabkan jatuhnya korban termasuk salah satu
pemicunya adalah soal agama.
Konflik
yang telah menelan jutaan jiwa di seluruh dunia bukan lagi masalah baru bahkan
berkembang seusia manusia, dan terus bergerak menunggu momentum yang tepat untuk
bangkit. Sekaarng ini sudah mulai dirasakan
bahwa lahirnya tata dunia baru menggantikan kekuatan-kekuatan dua kutub perang
dingin lama ditandai tidak hanya dengan munculnya adidaya dan runtuhnya
komunisme, tetapi juga boleh bangkitnya parokial yang didasrka pada kestiaan
etnis dan agama.
Terjadinya
berbagai konflik yang bernuansa agama di tanah air dlam banyak hal tampaknya
lebih sering diboncengi oleh persoalan sosial lain. Penyelesaian yang tidak tuntas dan transparan
misalnya akan mengakibatkan berseminya dendam di kalangan mereka yang merasa
tertindas atau dirugikan. Sementara itu,
jika potensi dan kasus-kasus konflik diredam dengan cara “menindasnya”, ia akan
menjadi bom yang sewaktu-waktu dapat meledak secara tak terkendalikan.
Para
pelajar yang tengah menempuh pendidikan dan pembelajaran justru tak mampu
menahan gejolak metamorfosis dunia, mereka malah berperan aktif sebagai tokoh
tawuran atau tokoh bentrok antar kelompok pelajar. Berbagai alasan terlontar ketika dari mulut
perusak moral itu, dengan dalih yang tak bisa secara umum dan penuh mampu
mewakili mengapa kejadian tersebut bisa terjadi. Sebagai orang yang berpikir jernih, tentu
dapat menyimpulkan mengapa konflik sosial ini muncul karena kesenjangan sosial
yang kurang begitu diterka dengan baik.
Mengarahkan
pada kebaikan memang dibutuhkan kerja keras yang begitu kuat dan atas dasar keyakinan, bebeda dngan ketidaknaikan
yang tanpa diusahakan un dia dengan sendirinya datang meminta berkenalan sering
minta ditemani, selalu meminta menjadi karibnya; dan jadilah ketidakbaikan tak
pernah hilang dari seorang kita. Dengan
semua yang telah terjadi pada tempat persinggahan sementara ini, kita benar-benar
harus memantapkan hati untuk membangun bangsa sesuai dengan tuntunan agama
masing-masing, UUD 1945, dan Pancasila.
Tentu jika kita sendiri kita akan kesulitan, namun selalu ingst jika
kita bersama Allah akan memudahkan apa yang manusia anggap sulit.
Agama
adalah salah satu hal yang amat krusial dalam diri kita, kehidupan kita,
kehidupan keluarga kita,djuga kehidupan bangsa kita. Jangan pernah mempermainkan agama dengan cara
berselisih antar umat berbeda agama, berbeda itu memang tidak sama namun
ketidaksamaan itu harus membuat kita mampu menjadi seorang yang tidak pernah
nampak berbeda (terbuka). Kita sebagai
generasi baru harus dapat menyiasati cara berubah dunia dan apa yang dunia
rubah, agar kita mampu menjadi tombak keberhasilan bangsa yang lebih baik dan
berkarakter lebih terang, bermasa depan cemerlang dan mampu
mempertangungjawabkan dirinya dihadapan Allah kelak (agama), bertanggungjawab
terhadap dirinya, keluarga bangsa dan Negara.
Bersyukurlah
kita tinggal di bumi Indonesia tercinta ini, kebaikan Tuhan yang tak terhingga selalu
melimpah. Limpahan alam yang subur dan
memakmurkan, laut yang begitu luas terbentang untuk menyejahterakan, ladang
yang ajaib tumbuh menghijau; tongkat kayu sekalip pun mampu menjadi tumbuhan
rindang yang meneduhkan. Beragam suku,
bangsa, dan agama adalah limpahan anugerah yang tak ternilai, maka sanggupkah
kita menjadi penjahat negeri kita? Masih maukah kita merusak ketentraman yang
tak akan kita dapatkan di negeri mana pun? Mengapa tak kita bela bangsa ini
dengan segenap ketekatadan hati dan rasa ikhlas? Itu memang yang seharusnya
kita perbuat, rasa nasionalisme jangan
kita kikis! Indahlah dalam suka cita kerukunan agama, ayo bangun dunia di dalam
perbedaan; lewat hati kita, ilmu kita, senyum kita, dan semangat bela negara!