Class Review 7



Berkisah Tentang Perjumpaan Ketujuh
Author: Aulia Priangan

Kebisuan menjebak kami dalam permaianan dugaan,
lingkaran tebak-menebak,
agar yang tersirat tetap tak tersurat.”

Cuaca demi cuaca melalui kami,
Dan kebenaran akan semakin dipojokkan.
Sampai akhirnya nanti, badai meletus
Dan menyisakan kejujuran yang bersinar.
Entah menghangatkan atau menghanguskan.”
— Dee, Filosofi Kopi

Ini merupakan pertemuan ketujuh. Tujuh bukanlah angka yang kecil, karena ia tlah melampaui angka-angka sebelumnya serta menyisakan sejarah yang tergores syahdu di setiap lembar kertas logbook. Menjadikannya saksi bisu perjalanan panjang yang sedang dijalani. Telah 7 kali pertemuan terlewati. 630 menit tlah berlalu bersama mata kuliah writing. Kalikan enam puluh. Kalikan lagi enam puluh pula. Maka akan kita dapatkan angka : 2.268.000. Itulah banyaknya milisekon catatan perjalanan waktu yang telah terlewati.

Senin kelabu, 17 Maret 2014, yang beratmosfirkan melankolis bercampur kesal dan sedikit kecewa menjadikan pertemuan kali ini tak terlupakan. Pertemuan ketujuh akan terpatri jelas di pikiran dan memory setiap mahasiswa PBI A. Peristiwa tersebut menjadi cambuk berduri yang membuat kami semua bangkit dan kembali meneruskan perjalan yang baru setengahnya.  Ini memang bukan sebuah perjalan biasa-biasa saja. Diperlukan banyak persiapan dan perbekalan guna menuntaskannya. Oleh karenanya, walau beratmosfirkan melankolis dan bernuansa kelabu, kami tetap harus melanjutkan  dan menyelesaikan perjalanan yang tlah kami mulai. Berhenti dan menyerah di tengah perjalanan terasa sebuah hal yang tidak akan kami lakukan.
Minggu ini pun masih membicarakan persoalan sejarah dan hal-hal yang terkait di dalamnya. Ada banyak persoalan yang dikorelasikan dengan sejarah dan sejarahwan. Sejarahwan ternyata memiliki tugas yang sama dengan penyair dan linguistik yakni menghancurkan tembok-tembok penghalang yang menyimpan berjuta rahasia yang disembunyikan. Seperti yang komentar Milan Kundera (di L’Art duroman, 1986) : “to write, menas for the poet to crush the wall behind which something that “was always there hides.” Di samping itu, tugas seorang penyair ternyata tidak jauh berbeda dengan tugas yang dilakukan oleh sejarahwan, yakni also discover rather than invents. Selain dua persamaan tentang penyair dan sejarahwan, ternyata ada satu hal lagi yang memiliki kesamaan diantara keduanya. Kesamaan yang terakhir adalah sejarahwan sama seperti penyair, mempresentasikan hal-hal yang dianggap disembunyikan oleh dunia.
Sejarah selalu membicarakan tentang hal yang tlah terjadi di kehidupan manusia. Oleh karenanya maka tak ada salahnya jika kita mereview kembali apa yang tlah terjadi di pertemuan minggu lalu (10/03/2014). Salah satu tugas utama dari seorang penulis adalah membongkar kemungkinan-kemungkinan baru dari sebuah pemahaman. Dalam mencapai bentuk-bentuk pemahaman baru, seseorang harus melewati tiga proses crucial, yakni emulate, discover dan create. Orang-orang yang kreatif telah melewati dua prose crucial yang tlah disebutkan di atas, yakni proses emulate dan discover.
Menulis merupakan persoalan tentang menciptakan affordance dan mengeksplorasi kekuatan makna. Dalam wikipedia online, affordance memiliki arti “An affordance is a property of an object, or environment, wgich allows an individual to perfrom an action.” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa menulis termasuk kedalam semogenesis.
Semogenesis, the creation of meaning penciptaan makna, telah dipromosikan oleh Halliday & Matthiessen ( 1999) sebagai 'guiding principle' dalam presentasi mereka tentang A Systemic Functional Theory of Language –that language has within itself the resources by which people can create new meaning. Halliday dan Matthienssen mengatakan bahwa setidaknya ada tiga dimensi atau bingkai waktu untuk proses tersebut, yaitu:
1.      A Phylogenetic Dimension (Dimensi Filogenetik)
Dimensi ini mencakup evolusi dalam bahasa dan dalam bahasa tertentu.
2.      Ontogenetic Dimension (Dimensi Otogenetik)
Dimensi ini mencakup perkembangan linguistik dalam individu, yaitu meningkatkan repertoar linguistik setiap individu.
3.      Logogenetic Dimension (Dimensi Logogenetik)
Dimensi ini mencakup terungkapnya makna dalam wacana aktual.

Halliday & Matthiessen (1999 : 18-22 ) kemudian menggambarkan tiga jenis proses dimana berarti potensi dapat diperluas . A new liguistic sign can be produced: we will call this process “Innovation”, or a linguistic sign can be split for semantic delicacy; we will call this process “Differentation”, and a sign can be “Deconstructed”, that is the meaning and its realization in wording can be detached from each other and re-attached to other wordings as meaning.
Pemaparan sejarah yang oanjang mengenai pertemuan ketujuh minggu ini. Sejarah yang akan terpatri dalam reulng hati paling dalam. Selain itu, ternyata beberapa pekerjaan memiliki kesamaan dalam beberapa hal. Seperti yang telah diulas tadi, penyair dan sejarahwan. Dalam pemaparan kali ini dikemukakan tiga persamaan diantara keduanya.
Menulis merupakan semogenesis, yaitu proses tentang penciptaan makna. Halliday dan Matthienssen membagi tiga dimensi waktu semogenesis, yakni: Phylogenetic, Ontogenetic dan Logogenetic. Disamping itu, mereka juga menggambarkan tiga jenis proses perluasan potensi makna, yakni: Innovation, Differentation dan Deconstruction.
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment