Kegamangan
Skala Tinggi Dalam Elemen-Elemen Literasi
Author:
Astri Rahayu
Rise! Life is a
motion, and I'm stuck in line.
Rise! You can't be neutral, on a moving train.
Rise! You can't be neutral, on a moving train.
-Howard Zinn-
Menyadari kemampuan
yang dimiliki, membuat diri ini merasa tertampar menjadi lebih sadar harus
segera bergerak memperbaiki handcraft yang telah dibuat. Tepatnya sebuah karya
tulis yang akan membuat sejarah dalam hidup ini. Bukan malah terlalu lama
merenung dan tetap berdiam diri, seolah-olah diri ini terjebak dalam sebuah
line antrian yang penuh sesak. Cepat bangkit dari kegamangan di dalamnya dunia
literasi, yang penuh dengan elemen-elemen dasyat yang harus cepat dikupas
tuntas agar semuanya bisa terkuak dan membentuk budaya literasi yang menjadi
tonggak pemersatu bangsa. Berhenti dari kegamangan yang berskala tinggi ini,
sehingga kita bisa menemukan benang merah antara literasi dan elemen-elemennya
yang cetar membahana pengaruhnya untuk kita sebagai khalifah di bumi ini.
“Fixed concentration.”
Konsentrasilah ketika kita membuat handcraft ini, sehingga bentuknya akan
menarik perhatian orang lain dan bahannya akan membuat nyaman orang yang
memakainya. Komentar
mulai ngalir dari bibir sang pelatih, tentunya masih dengan coach yang stay
cool yaitu Mr.Lala Bumela. Beliau always give more attentions dari minggu ke
minggu. Itu yang membuat kami semua semakin bekerja lebih keras sepuluh kali
lipat dan mengharuskan tetap focus.
Mengapa
demikian? Itu karena Mr.Lala
menginginkan kita tidak melakukan weakness lagi seperti minggu kemarin,
selanjutnya akan menjadi “mistakes”, kemudian level yang paling
mengerikan jika kita melakukan kesalahan lagi kita diberi cap sebagai “ignorance.”
Pastinya jika itu terjadi, semuanya tamat sampai disini! Entah apa yang akan diri
ini fikirkan, semuanya akan sia-sia seperti debu yang terbawa angin. Tak berbekas.
Menyebar
ke pokok pembahasan tentang hal yang berkaitan dengan elemen-elemen di dalam
literasi adalah hubungan antara teks sebagai artefak dan peningkatan literasi.
Coba kita tengok negara dengan tingkat
literasi tinggi, seperti Finlandia, Jepang, dan Amerika, secara sistematis
menempatkan buku sebagai pusaran kegiatan pembelajaran. Di Amerika, misalnya,
sejak jenjang pendidikan dini, anak diperkenalkan dengan konsep buku dan
berdialog dengan teks dan gambar. Dengan dibantu guru, sejak belia siswa
dibiasakan bertanya, termasuk pesan apa yang ingin disampaikan oleh pengarang
buku. Mereka belajar berdialog dengan teks, bukan sekadar membaca sambil lewat.
Terpenuhinya hak literasi
memungkinkan kita mengakses sains, pengetahuan teknologi, dan aturan hukum,
serta mampu memanfaatkan kekayaan budaya dan daya guna media. Singkatnya,
literasi menjadi poros upaya peningkatan kualitas hidup manusia. Karena itu, ia
merupakan sumbu pusaran pendidikan.
Pelajaran apa yang bisa kita petik
dari kasus di atas? Satu hal yang pasti, peningkatan literasi terkait erat
dengan pengoptimalan peran buku. Fungsi buku dan teks bukan sekadar rujukan,
tapi juga sebagai medium untuk berpikir kritis dengan cara mendiskusikan makna
yang bukan sekadar permukaan. Pendidikan yang melibatkan buku dan bahan bacaan
(lebih dari sekadar buku teks) sebagai sumber ajar akan memfasilitasi guru dan
siswa dalam proses pembelajaran yang dialogis, aktif, dan kritis.
Buku tentu saja bukan satu-satunya
faktor di sini. Peningkatan literasi siswa juga mengandaikan perlunya
guru dipersiapkan untuk menanamkan pemahaman literasi dan mengajarkannya di
kelas. Dengan begitu, siswa punya kesempatan meningkatkan daya literasi mereka
di sekolah. Saya akan kupas sedikit tentang hubungan guru dan
siswa di dalam class discourse, menurut (Betsy
Rymes: 2008) dalam bukunya Classroom Discourse Analysis: A Tool for
Critical Reflection bahwa
tujuan dari buku ini adalah untuk menyediakan guru-guru dengan alat-alat
untuk menganalisis pengajaran di kelas
mereka sendiri. Mengapa guru mengambil
waktu dari yang sudah terbebani, bergaji rendah, dan kronis keadaannya, sedangkan mereka sibuk hidup
untuk menganalisis pembelajaran
yang dilakukan?
Setidaknya ada empat alasan, bahwa:
1. Wawasan yang
diperoleh dari analisis wacana kelas telah meningkatkan saling pengertian
antara guru dan siswa.
2. Dengan
menganalisis wacana kelas sendiri, guru telah mampu memahami perbedaan lokal
dalam pembicaraan kelas melampaui stereotip atau generalisasi budaya lainnya.
3. Ketika para
guru menganalisis wacana di kelas mereka sendiri, meningkatkan prestasi
akademik.
4. Proses
melakukan analisis wacana kelas dapat sendiri menumbuhkan cinta intrinsik dan
seumur hidup untuk praktek mengajar dan kehidupan umum menegaskan potensi.
Setidaknya
itu hal yang bisa didapatkan bahwa bukan hanya ada hubungan antar peserta didik
atau student, tetapi terdapat hubungan yang sangat erat antara student dan
teacher. Kedua elemen dalam proses peningkatan literasi ini sangat berkaitan
dan mendukung satu sama lain, sehingga bisa tercapainya keinginan bersama yaitu
keberhasilan belajar di class discourse sebagai tempat mediasi untuk proses
penanaman literasi.
Masuk ke
elemen dalam literasi yang lain yaitu reader dan teks. Setiap pembaca yang
berhadapan dengan teks pasti bertarung dengan proses pemaknaan. Ia di dalam
kubangan untuk menentukan bagaimanakah signifikansi teks yang ia baca. Tanpa
dia sadari, kode dan signifikansi yang ada di dalam teks tersebut diperoleh
dari teks-teks yang pernah ia baca sebelumnya. Dengan demikian tanpa ia sadari
pula bahwa sebenarnya tidak ada satupun teks yang benar-benar mandiri. Setiap
teks yang ada selalu terkait dengan teks-teks lain untuk mendapatkan
signifikansi.
Lalu
bagaimana cara memahami teks ilmiah?
Seperti dikutip dari Lehtonen
(2000:53-54), Kemampuan
untuk memahami teks ilmiah, misalnya membutuhkan pelatihan yang berbeda
daripada membaca teks sastra, dan itu harus belajar secara terpisah.
Mendapatkan keaksaraan berarti mentransfer dari satu dunia yang
lain dengan cara lebih dari satu. Dalam keterampilan membaca dan menulis, lebih
cara metodis dan formal interaksi muncul
dibandingkan spontan dan interaksi linguistik informal. Aturan bahasa
memperoleh lebih penting dari sebelumnya, dan sekaligus transfer dari pribadi
ke wilayah public terjadi.
Makhluk
sebagai bahan teks yang nyata dan relatif berbeda, sedangkan sebagai makhluk
semiotik perbatasan teks diatur dalam gerak. Menurut Tony Bennett dan Janet Woollacott, teks sebenarnya tidak harus dianggap ada sama
sekali sebelumnya atau terlepas dari bacaan mereka yang berbeda. Hal ini tidak
sampai pembacaan teks yang diproduksi sebagai “benda dibaca”. Namun, teks yang benda
tidak pasif. Bennett dan Woollacott memang
menyebut mereka “budaya objek dibangun dan “pembaca kultural subyek”. Itu
interaksi keduanya pada gilirannya masing-masing (Lehtonen: 2000).
Dari sudut pandang
sejarah penyebaran keaksaraan juga dapat diperkirakan telah berdampak pada
konsepsi perubahan manusia diri. Dalam budaya lisan, diri belum tentu dipahami
suatu entitas, seperti dalam budaya sastra. Mengubah
diri menjadi teks juga berarti bahwa diri dapat diserahkan kepada pemeriksaan dan
dapat dialami sebagai permanen kesatuan. Oleh
karena itu, lahirnya diri modern dapat dianggap terikat tidak hanya
untuk pengembangan ranah diri pribadi, tetapi juga untuk penciptaan kurang
lebih bahasa umum yang berlaku untuk itu, seperti dalam buku harian dan
otobiografi (Lehtonen: 2000).
Oleh karena itu menulis dan membaca memerlukan perintah dari
sistem-sistem tanda tertentu. Menurut Lehtonen
(2000: 53-54) dalam bukunya The
Cultural Analysis of Text menyebutkan bahwa sistem-sistem tanda tersebut
ada tapi alami, seperti yang ditunjukkan oleh fakta bahwa tugas yang
sama dilayani oleh banyak sistem penulisan yang berbeda (seperti Latin,
Cyrillic, Yunani dan Arab, dan Cina dan Jepang).
Bahasa yang berbeda
juga tidak memiliki sistem penulisan mereka sendiri yang secara alami terkait
dengan mereka. Misalnya, bahasa Karelia,
diucapkan dekat perbatasan barat laut Rusia, yang telah ditulis tergantung pada fluktuasi politik, kadang-kadang dalam alfabet Cyrillic, kadang-kadang dalam satu Latin. Di Tanzania, bahasa utama, Swahili, bahkan hari ini ditulis dalam bahasa Arab dan sistem Latin. Fenomena ini, yang disebut “Bigraphism”, telah banyak aturan daripada pengecualian dalam sejarah bahasa. Setiap salah satu dari sistem-sistem tanda ini merupakan hasil dari pengembangan yang panjang. Secara historis, menulis sangat terkait dengan gambar, ukiran dan lukisan.
diucapkan dekat perbatasan barat laut Rusia, yang telah ditulis tergantung pada fluktuasi politik, kadang-kadang dalam alfabet Cyrillic, kadang-kadang dalam satu Latin. Di Tanzania, bahasa utama, Swahili, bahkan hari ini ditulis dalam bahasa Arab dan sistem Latin. Fenomena ini, yang disebut “Bigraphism”, telah banyak aturan daripada pengecualian dalam sejarah bahasa. Setiap salah satu dari sistem-sistem tanda ini merupakan hasil dari pengembangan yang panjang. Secara historis, menulis sangat terkait dengan gambar, ukiran dan lukisan.
Dalam
sejarah umat manusia, menulis adalah banyak akuisisi paling lambat berbicara.
Bagi warga Barat pada pergantian milenium, membaca dan menulis tampaknya
kegiatan paling alami dalam hidup, tapi berpikir global dan istilah sejarah
mereka apa-apa tapi alami. Seperti
baru-baru 1985, hampir 30 persen dari semua
orang di bumi tidak bisa memahami sebuah teks tertulis. Pada tahun yang sama,
hampir 900 juta dari seluruh populasi orang dewasa di dunia di umur lebih dari
15 tahun yang buta huruf.
Yang
menjadi pertanyaan sekarang adalah “apakah ada hubungannya dengan budaya? Melirik pada Lehtonen (2000: 117-118) bahwa pertemuan teks dan
pembaca yang baik ditandai dengan kata
“membaca” juga dari sudut
pandang teori teks budaya
dari
“konsumsi”
(
dalam arti sehari-hari ) dan
“menerima”. Pertanyaan mengacu pada aktivitas pembaca serta fakta
bahwa aktivitas mengandung belajar,
bahan-bahan budaya. “Membaca
adalah
makna dari dunia, kesadaran
praktis pembaca. Kata “praktis” sangat tepat dalam
hal koneksi, karena
signifikansi semata-mata pertanyaan yang lebih atau kurang
tingkat
abstrak kesadaran, tetapi juga
dan
di atas semua, kegiatan yang
beroperasi
dengan bahan tertentu ( tanda-tanda dan media ) dan praktek ( wacana genre,
konvensi, dll).
Saya selalu beranggapan bahwa jurnalisme dan
historiografi adalah dua hal yang memiliki kemiripan. Keduanya sama-sama fokus
pada sebuah peristiwa, pada sesuatu yang terjadi dan penting untuk dicatat dan
diketahui khalayak. Namun, kendati demikian, sejarah lebih mengambil jarak pada
masa lalu. Ia mencatat peristiwa-peritiwa yang penting untuk diketahui,
menjelaskan mengapa sesuatu itu terjadi dengan data baik dari dokumen-dokumen
tertulis macam arsip atau surat kabar sezaman maupun wawancara dengan saksi
sejarah yang masih hidup.
Jadi literasi adalah
kegiatan sosial dengan karakter. Hal ini dapat digambarkan sebagai praktik di
mana orang menarik dalam situasi membaca yang berbeda. Orang-orang memiliki berbagai jenis keterampilan membaca, yang mereka
memanfaatkan dengan cara yang berbeda dalam berbagai bidang kehidupan.
Namun, segala bentuk keaksaraan mencakup
kemampuan untuk mengontrol sistem yang berbeda dari simbol-simbol di mana
realitas diwakili untuk pembaca. Sebagai
individu, kita semua telah mengembangkan keaksaraan melalui berbagai tahapan
dan pengalaman.
Paradigma baru
literasi, yang tak lagi berpuas diri pada kemampuan baca-tulis, tapi juga
peningkatan daya nalar siswa, tentunya mensyaratkan proses peningkatan literasi
yang berkesinambungan, dari jenjang pendidikan dini hingga dewasa. Tak ada
jalan pintas untuk itu.
Kemudian beralih kearah
teks, apa itu intertextual? Definisi
umum disini adalah sejumlah teks (sastra) yang diduga mempunyai bentuk-bentuk
hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur
intrinsic seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, gaya bahasa
diantara teks yang dikaji.
Menurut Bakhtin, pendekatan intertextual
menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan
sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parody, acuan (Noor 2007:4-5). Menurut Kristeva,
intertextual merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva (Worton
1990:1). Istilah intertextual pada umumnya dipakai sebagai hubungan suatu
teks dengan teks lain. Menurut Kristeva,
tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan
penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain (1980:66).
Melalui budaya,
ideology dan intertextual diselenggarakan sedemikian rupa bahwa perpisahan
mereka menjadi subjek dan objek dipertanyakan. Dengan tanda hubung, Bennett dan Woollacon ingin membedakan
intertextual dari konsep yang lebih tradisional
intertextualitasnya. Menurut mereka, yang kedua berarti referensi
teks-teks lain dapat ditemukan dibeberapa teks, sedangkan intertextualitas
mengacu pada organisasi yang lebih luas hubungannya antara teks dalam pembacaan
sebenarnya (Lehtonen 2000:120-121).
Jadi, intertextualitas
dalam teks mempunyai definisi bahwa hakekat sebuah teks yang di dalamnya
terdapat berbagai teks dan di dalam intertextualitas itu menganalisis sebuah
karya yang berdasarkan aspek yang membinakarya teks tersebut.