5th Class Review : NO LITERACY, NO HISTORY


5th Class Review
NO LITERACY, NO HISTORY
(by. Endah Jubaedah)
Dunia berubah,  Perubahannya begitu cepat dan nyata, meninggalkan begitu banyak hal lalu mengenduskan nafas atas nama kemerdekaan dan era kemodern-an (tak terkecuali sejarah).  Lalu mengapa dunia terus berubah? Dunia pun kelu, rahasia Yang Maha Kuasa tak mampu diterka.  Namun setidaknya logika mampu mendeteksi pelaku atau tokoh perubahan dunia, yakni para penulis.  Ya, seorang penulis mampu mengubah sejarah dunia dengan tulisan yang mampu memengaruhi dan menyihir; membuktikan bahwa para peliterasi telah lahir sebelum sejarah tertulis.  Tekstualiti yang zigot-nya telah bersemayam sejak dulu memang membuat tempat hidup manusia tak pernah sama (berubah).  Tak akan ada sejarah jika tak ada literasi (penulis).
Pembahasan seorang Howard Zinn pun seolah tak pernah usai, penulis yang mahir membuat pembacanya terbelalak ini adalah salah satu pelaku penggerak arah bumi.  Satu generasi yang berhasil ia ubah cara pandang dan berpikirnya, sedemikian rapi tanpa hasil cacat meski harus terjal terlebih dahulu.  Rasa bangga dari para pembaca selalu teruntuknya sekalipun raganya telah berteman dengan gelapnya kedalaman tanah, pembuat sejarah yang satu ini tak pernah kehilangan pujian sebagai bagian dari sejarah revolusi  dunia menulis.  Ia seorang laki-laki yang begitu tegas dalam bersikap namun lembut dalam bertutur, tergambar dari pribadinya yang tak suka dengan peperangan dan menjadi pelopor perdamaian lewat kumpulan kata yang ia tuangkan dalam tulisannya yang berkilau.  Penulis “beneran” itu ya Howard Zinn salah satunya.
Karya ia mampu mematahkan budaya lisan yang umumnya mampu menarik minat besar di bagian belahan bumi mana pun, mengurangi para pembicara yang tak seharusnya besuara.  Keakraban kontekstualisasi telah membuat orang-orang pandai berbicara dan malas untuk berliterasi, semena-mena terhadap aturan adalah salah satu dampaknya.  Sebagai contoh ketika seseorang hendak membeli tiket di sebuah loket pembelian tiket kereta api misalnya, himbauan atau bahkan perintah bertuliskan “HARAP ANTRI” pun tak lantas ia gubris.  Mulutnya seperti kegelian jika tak bicara lewat keluhannya, dia lewati beberapa orang didepannya dengan dalih sedang terburu-buru.  Malas berliterasi ternyata menumbuhkan mental sosial yang kurang baik, sungguh literasi begitu berpengaruh terhadap kelangsungan hidup.
Budaya tulisan yang terlampir secara tekstual harusnya mampu menukik dunia “hanya sekedar bicara” ini dengan ganas, membantai kekosongan aksi dalam bicara lewat menulis.  Memperdaya pengetahuan dengan baik dan bijak sebagai penganut literasi yang jauh dari arogansi masyarakat sosial, lebih banyak menimbang dan manilai hal yang dianggap lebih baik sesuai aturan.  Membicarakan hal yang bersifat kontekstual memang lebih mudah dilakukan daripada menulis secara tekstual, sehingga lahirlah generasi yang malas menulis bahkan tak bisa menulis.
Menurut Bennet dan Woolacott tentang membaca yang merupakan pembentukan karakter seseorang dengan memengaruhi pembaca melalui sebuah teks atau bacaaan, menyampaikan hubungan antara teks dan konteks.  Menghubungkan satu sama lain dan menghadirkan suatu mekanisme dari keduanya dalam interaksi produktif.  Dalam hal ini konteks tidak memperkenalkan hubungan dirinya sebagai ekstratekstual tetapi sebagai intertekstual dan diskursif yang menghasilkan pembaca untuk teks dan teks untuk pembaca.  Kemudian masih menurut pandangan Bennet dan Woollacott, diskursif dan intertekstual  tidak memengaruhi teks hanya dari luar tetapi juga dari dalam; membentuk teks ke dalam bentuk-bentuk sejarah yang konkret, dimana tersedia teks sebagai bacaan dan dibaca.
Kesinambungan antara pembaca dan teks memang layaknya bubuk kopi dan air panas, saling membutuhkan agar terhidang segelas air kopi yang sedap.   Penulis sebagai perantara keduanya haruslah pandai mencari celah yang harus dilengkapi dan menutup ruang apabila dirasa terlalu terbuka, agar semuanya seimbang dan sewajarnya.
Rohman (1965 : 107-108) menulis yang baik adalah kombinasi ditemukannya kata-kata sehingga memungkinkan seorang integritas mendominasi subjek dengan pola baik, segar, dan asli.  Sedangkan menulis yang buruk menurut penilaiannya adalah gema dari kombinasi orang lain yang bagi kita hanya mengambil alih untuk kesempatan tulisan kita.  Menulis harus menjadi penemuan yang unik oleh orang yang bertanggung jawab.  Akan tetapi lanjut Rohman, pendekatan ini tidak menawarkan prinsip-prinsip teoritis yang jelas dari mana untuk mengevaluasi sebuah tulisan yang baik ataukah itu memberikan saran yang dapat membantu mencapainya.  Hal ini dikarenakan oleh imajinasi tulisan yang bebas tanpa batas.
Menulis tentulah harus baik dan benar, proses penulisan pun merupakan salah satu gambaran terciptanya sebuah tulisan yang layak menjadi sebuah bacaan. Ada sebuah pandangan yang menyatakan bahwa menulis adalah non-linear, yakni proses ekplorasi dan generatif dimana penulis menemukan dan merumuskan ide-ide mereka karena usaha untuk mendekati makna (Zamel, 1983 : 165).  Namun setelah Emig (1983) mendeskripsikan Pre - Menulis àWriting à Postwriting aktivitas, banyak penelitian mengungkapkan kompleksitas sebuah tinjauan menulis.  perencanaan dan peninjauan kegiatan berpengaruh terhadap tugas penelitian yang berbeda dan nilai memeriksa yang penulis lakukan melalui serangkaian tulisan yang terkonsep atau draft.  Studi kasus dan pemikiran yang keras dibutuhkan untuk mendapatkan proses ini.
Proses penulisan dipengaruhi oleh tugas dan jangka panjang ingatan seorang penulis, fitur utamanya sebagai berikut (Bunga dan Hayes : 1981) :
1.      Penulis memiliki tujuan.
2.      Merencanakan secara ekstensif.
3.      Perencanaan melibatkan definisi masalah retoris, menempatkannya dalam konteks, kemudian mengeksplorasi bagian-bagiannya, di solusi akhir menerjemahkan ide-ide pada halaman tulisan.
4.      Perencanaan, penyusunan, merevisi, dan mengedit; rekursif, interaktif, dan berpotensi simultan.
5.      Rencan dan teks terus-menerus dievaluasi dalam umpan balik.
6.      Seluruh proses diawasi oleh control eksekutif yang disebut monitor.
Seberapa pun materi yang tertulis dan yang harus “ditenggak”, kuncinya kita sebagai “pelahap-lah” yang harus mempunyai kemampuan dan trik menguasai segala pengetahuan tersebut.  Berlatih menulis dan tak malas berliterasi adalah langkah yang menawan, menari di atas rangkaian kata yang dengan mudah mengganti posisi dunia dan sejarahnya.
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment