5th
Class Review
NO LITERACY, NO HISTORY
(by.
Endah Jubaedah)
Dunia
berubah, Perubahannya begitu cepat dan
nyata, meninggalkan begitu banyak hal lalu mengenduskan nafas atas nama
kemerdekaan dan era kemodern-an (tak terkecuali sejarah). Lalu mengapa dunia terus berubah? Dunia pun
kelu, rahasia Yang Maha Kuasa tak mampu diterka. Namun setidaknya logika mampu mendeteksi
pelaku atau tokoh perubahan dunia, yakni para penulis. Ya, seorang penulis mampu mengubah sejarah
dunia dengan tulisan yang mampu memengaruhi dan menyihir; membuktikan bahwa
para peliterasi telah lahir sebelum sejarah tertulis. Tekstualiti yang zigot-nya telah bersemayam
sejak dulu memang membuat tempat hidup manusia tak pernah sama (berubah). Tak akan ada sejarah jika tak ada literasi
(penulis).
Karya
ia mampu mematahkan budaya lisan yang umumnya mampu menarik minat besar di
bagian belahan bumi mana pun, mengurangi para pembicara yang tak seharusnya
besuara. Keakraban kontekstualisasi
telah membuat orang-orang pandai berbicara dan malas untuk berliterasi,
semena-mena terhadap aturan adalah salah satu dampaknya. Sebagai contoh ketika seseorang hendak
membeli tiket di sebuah loket pembelian tiket kereta api misalnya, himbauan
atau bahkan perintah bertuliskan “HARAP ANTRI” pun tak lantas ia gubris. Mulutnya seperti kegelian jika tak bicara
lewat keluhannya, dia lewati beberapa orang didepannya dengan dalih sedang
terburu-buru. Malas berliterasi ternyata
menumbuhkan mental sosial yang kurang baik, sungguh literasi begitu berpengaruh
terhadap kelangsungan hidup.
Budaya
tulisan yang terlampir secara tekstual harusnya mampu menukik dunia “hanya
sekedar bicara” ini dengan ganas, membantai kekosongan aksi dalam bicara lewat
menulis. Memperdaya pengetahuan dengan
baik dan bijak sebagai penganut literasi yang jauh dari arogansi masyarakat
sosial, lebih banyak menimbang dan manilai hal yang dianggap lebih baik sesuai
aturan. Membicarakan hal yang bersifat
kontekstual memang lebih mudah dilakukan daripada menulis secara tekstual,
sehingga lahirlah generasi yang malas menulis bahkan tak bisa menulis.
Menurut
Bennet dan Woolacott tentang membaca yang merupakan pembentukan karakter
seseorang dengan memengaruhi pembaca melalui sebuah teks atau bacaaan,
menyampaikan hubungan antara teks dan konteks.
Menghubungkan satu sama lain dan menghadirkan suatu mekanisme dari keduanya
dalam interaksi produktif. Dalam hal ini
konteks tidak memperkenalkan hubungan dirinya sebagai ekstratekstual tetapi
sebagai intertekstual dan diskursif yang menghasilkan pembaca untuk teks dan
teks untuk pembaca. Kemudian masih
menurut pandangan Bennet dan Woollacott, diskursif dan intertekstual tidak memengaruhi teks hanya dari luar tetapi
juga dari dalam; membentuk teks ke dalam bentuk-bentuk sejarah yang konkret,
dimana tersedia teks sebagai bacaan dan dibaca.
Kesinambungan
antara pembaca dan teks memang layaknya bubuk kopi dan air panas, saling
membutuhkan agar terhidang segelas air kopi yang sedap. Penulis sebagai perantara keduanya haruslah
pandai mencari celah yang harus dilengkapi dan menutup ruang apabila dirasa
terlalu terbuka, agar semuanya seimbang dan sewajarnya.
Rohman
(1965 : 107-108) menulis yang baik adalah kombinasi ditemukannya kata-kata
sehingga memungkinkan seorang integritas mendominasi subjek dengan pola baik,
segar, dan asli. Sedangkan menulis yang
buruk menurut penilaiannya adalah gema dari kombinasi orang lain yang bagi kita
hanya mengambil alih untuk kesempatan tulisan kita. Menulis harus menjadi penemuan yang unik oleh
orang yang bertanggung jawab. Akan
tetapi lanjut Rohman, pendekatan ini tidak menawarkan prinsip-prinsip teoritis
yang jelas dari mana untuk mengevaluasi sebuah tulisan yang baik ataukah itu
memberikan saran yang dapat membantu mencapainya. Hal ini dikarenakan oleh imajinasi tulisan
yang bebas tanpa batas.
Menulis
tentulah harus baik dan benar, proses penulisan pun merupakan salah satu
gambaran terciptanya sebuah tulisan yang layak menjadi sebuah bacaan. Ada
sebuah pandangan yang menyatakan bahwa menulis adalah non-linear, yakni proses
ekplorasi dan generatif dimana penulis menemukan dan merumuskan ide-ide mereka
karena usaha untuk mendekati makna (Zamel, 1983 : 165). Namun setelah Emig (1983) mendeskripsikan Pre
- Menulis àWriting
à
Postwriting aktivitas, banyak penelitian mengungkapkan kompleksitas sebuah
tinjauan menulis. perencanaan dan
peninjauan kegiatan berpengaruh terhadap tugas penelitian yang berbeda dan
nilai memeriksa yang penulis lakukan melalui serangkaian tulisan yang terkonsep
atau draft. Studi kasus dan pemikiran yang keras
dibutuhkan untuk mendapatkan proses ini.
Proses
penulisan dipengaruhi oleh tugas dan jangka panjang ingatan seorang penulis,
fitur utamanya sebagai berikut (Bunga dan Hayes : 1981) :
1.
Penulis memiliki tujuan.
2.
Merencanakan secara ekstensif.
3.
Perencanaan melibatkan definisi masalah retoris,
menempatkannya dalam konteks, kemudian mengeksplorasi bagian-bagiannya, di
solusi akhir menerjemahkan ide-ide pada halaman tulisan.
4.
Perencanaan, penyusunan, merevisi, dan mengedit;
rekursif, interaktif, dan berpotensi simultan.
5.
Rencan dan teks terus-menerus dievaluasi
dalam umpan balik.
6.
Seluruh proses diawasi oleh control
eksekutif yang disebut monitor.
Seberapa
pun materi yang tertulis dan yang harus “ditenggak”, kuncinya kita sebagai
“pelahap-lah” yang harus mempunyai kemampuan dan trik menguasai segala
pengetahuan tersebut. Berlatih menulis
dan tak malas berliterasi adalah langkah yang menawan, menari di atas rangkaian
kata yang dengan mudah mengganti posisi dunia dan sejarahnya.