Lagi,
Sejarah dan yang Lainnya
Since
history is endless process of human creation. Saya akan memulai dari titik ini.
Masyarakat dan sejarahnya merupakan proses yang komlpleks dan multi-dimensi. Dan
apabila bagian sejarah ingin masuk akal dan nyata, maka kita kan membutuhkan
berbagai konsep. Akal manusia yang selama berabad-abad telah dipupuk oleh
berbagai kenyataan, telah berkembang berbagai konsep untuk menjelaskan proses
sejarah dunia.
Seperti
kata Fowler (1996: 10) “Like the
historian critical linguist aims to understand the values which underpin
social, economic, and political formations, and diachronically, changes in
values and changes in formations.”
Pada pertemuan kali ini terdapat suatu
‘rumus’ baru yaitu: poets = historian = linguist → to understand values. Dalam menulis,
seorang sastrawan haruslah dapat menghancurkan dinding yang menyembunyikan
rahasia-rahasia besar yang ada dibaliknya. Seperti juga seorang sejarahwan dan
ahli linguistik, mereka semua juga sama-sama mempunyai tugas ‘to reveal something new’. Karena untuk menjadi mereka pun tidaklah
sembarang orang. Hanya orang-orang yang
berliterasi tinggilah yang akan bisa seperti mereka semua.
The Flam That Fires Up My Soul: Milan Kundera comments (in
L’Art duroman , 1986) :
“to
write,means for the poet to crush the wall behind which something that ``was always there'' hides.” Arinya
bagi sastrrawan menulis itu seperti menghancurkan tembok untuk melihat atau
mengungkap sesuatu yang selalu disana dan tersembunyi di balik tembok. Ini berarti tugas dari penulis atau sastrawan
tidak berbeda dengan historian atau sejarawan, yang juga menemukan dari pada
membuat.
“In this respect, the task of the poet is not different from the work
of history, which also discovers rather than invents. History, like poets, uncovers, in ever new situations, the human possibilities heretofore
hidden” or nother source
of inspiration : “What history does matter of factly, is a mission for the poet. “ Artinya apa yang dilakukan sejarah
tentang fakta adalah misi untuk para sastrawan atau penyair.
Kata- kata tersebut mengartikan bahwa seorang penyair dan
sejarawan memiliki tugas dan misi yang sama.
Seperti kata Fowler (1996 : 10) “Like the historian critical linguist
aims to understand the values which underpin social, economic, and
political formations, and diachronically, changes in values and changes in
formaitons.
Ini berarti seorang penyair dan sejarawan memiliki tujuan
yang sama, yaitu memahami value. Value
di sini yang mendukung formasi sosial, ekonomi, dan politik berdasarkan dengan
ilmu linguistik, merubah atau perubahan nilai dan perubahan atau merubah
formasi.
Semogenesis, the creation of meaning-penciptaan
makna, telah
dipromosikan oleh Halliday & Matthiessen (1999) sebagai 'guiding principle'
dalam presentasi mereka tentang A Systemic
Functional Theory of Language –that language has within itself the
resources by which people can create new meaning. Halliday dan Matthienssen
mengatakan bahwa setidaknya ada tiga dimensi atau bingkai waktu untuk proses
tersebut, yaitu:
A Phylogenetic
Dimension, Ontogenetic
Dimension, dan Logogenetic
Dimension.
Halliday & Matthiessen (1999 : 18-22) kemudian
menggambarkan tiga jenis proses dimana berarti potensi dapat diperluas . A new
liguistic sign can be produced: we will call this process “Innovation”, or a
linguistic sign can be split for semantic delicacy; we will call this process
“Differentation”, and a sign can be “Deconstructed”, that is the meaning and
its realization in wording can be detached from each other and re-attached to
other wordings as meaning.
Jadi dapat disimpulkan bahwa eksistensi sejarah dapat muncul
apabila manusia dalam kehidupannya telah beranjak dari hari ini menuju hari
esok. Sejarah terletak dalam sebuah dinamika. Dinamika timbul akibat sifat
manusia yang dinamis, ini membuktikan bahwa sejarah akan muncul apabila terjadi
perubahan pada manusia.