“Kehidupan
Layak yang dirindukan Si Hitam dan Keriting”
(By : Hanifatus
Sholihah)
Mentari
pagi, bersinar lagi. Menampakkan cahayanya yang mampu menerangi dunia,
menghangatkan seluruh jiwa-jiwa manusia yang berada dalam suasana suka maupun
duka. Satu statement yang bisa saya katakan untuk saat ini adalah “welcome
back, welcome again.” Setelah sekian lama kelas kita vakum dari mata kuliah
Writing and Comprehension 4, setelah sekian lama tertidur lelap,
terpenjara, terjebak dalam mulut ikan paus serta setelah sekian lama dirundung
kegalauan, akhirnya kita bisa berkumpul, belajar dan bersua dan mengeksplor
diri bersama Mr Lala Bumela lagi.
Pagi
hari ini, tepatnya tanggal 25 April 2014 pada hari jum’at pukul 06.00 WIB, kami
seperti orang yang mati suri (sekian lama tidur, lalu terbangun) dan bagaikan
seorang bayi yang baru saja dilahirkan ke muka bumi ini, yaitu dalam keadaan
suci, fresh dan tanpa dosa, kita mulai lagi berpetualang, bertarung melawan
segala bentuk rintangan yang menghadang bersama master kita, Mr Lala Bumela.
Kita
mulai bekerja keras, bergelut dalam dunia yang banyak sekali tantangan yang
mengahadang didepan, dan bagaimana caranya kita bisa survive dan bisa
selamat setelah adanya seleksi alam.
Pada
hari ini, saya harus banyak membuka buku, banyak searching informasi
mengenai Papua, aspek-aspek yang bersangkutan dengan yang terjadi di Papua,
konflik-konflik Papua, serta keterkaitan Papua dengan artikel Eben Kirksey yang berjudul “Don’t Use
Your Data As a Pillow”. Berdiskusi
bersama kelompok saya (Alifah, Astri, Eva, dan Evi).
Dalam kelompok saya, membahas bersama-sama apa sih
Papua itu, Mengapa Papua sempat berubah nama menjadi Irian Jaya, apa
hubungannya Papua dengan “British Petroleum”, NKRI, PEPERA, Agresi Militer
Belanda 1 dan 2, TRIKORA, dan lain-lain.
Namun, sebelum membahas secara detail detail
tentang masalah artikel Eben Kirksey “Don’t Use Your Data As a Pillow” saya ingat akan beberapa “Trivia Quiz”
yang harus saya jawab dari beberapa pertanyaan tersebut adalah:
1. What is West Papua ? And where is it located?
Papua adalah provinsi yang paling luas di Indonesia
yang terletak di bagian tengah pulau Papua atau bagian paling timur dari Irian
Jaya. Papua Barat (sebelumnya Irian Jaya Barat) adalah sebuah provinsi dari
Indonesia yang terletak di bagian barat pulau Papua. Ibu kotanya yaitu
Manokwari. Nama provinsi ini sebelumnya adalah Irian Jaya Barat yang diterapkan
dalam Undang-Undang No.45 tahun 1999. Berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 24
tahun 2007 pada tanggal 18 April 2007, nama provinsi ini diubah menjadi Papua
Barat. Papua Barat dan Papua merupakan provinsi yang memperoleh status Otonomi
Khusus. Wilayah provinsi ini mencakup kawasan kepala burung pulau Papua dan
kepulauan-kepulauan di sekelilingnya. Di sebelah Utara provinsi ini, dibatasi
oleh Samudera Pasifik, bagian barat berbatasan dengan provinsi Maluku Utara dan
Provinsi Maluku. Provinsi Papua Barat ini meskipun telah dijadikan provinsi
tersendiri, namun tetap mendapat perlakuan khusus sebagaimana provinsi
induknya. Provinsi ini mempunyai potensi yang luar biasa, baik itu pertanian,
pertambangan, hasil hutan maupun pariwisata. (id.wikipedia.org/wiki/papua)
2. What the differences can you spot
between Papua and Irian Jaya?
Pada masa kolonial Hindia – belanda, Papua dikenal
dengan nama Nugini Belanda (Nederlands Nieuw – Guinea), kemudian setelah Nugini
Belanda lepas dari kolonial, namanya diubah menjadi Irian Barat pada tahun 1969
sampai 1973. Pada pemerintahan Soeharto, nama Irian Barat itu diubah kembali
menjadi Irian Jaya dan diresmikan pada tahun 2002. Singkat cerita, nama Irian
Jayapun diubah kembali menjadi Papua. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor
21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pada tahun 2003, tepatnya pada
kepemimpinan Soeharto, pemerintah membagi Papua menjadi dua, yakni Papua dan
Irian Jaya Barat. Papua adalah wilayah bagian timur dan Irian Jaya Barat adalah
Papua bagian barat. Jadi, Papua adalah nama pulau setelah perubahan nama Irian
Jaya yang diresmikan pada tahun 2002, sedangkan Irian Jaya adalah nama Papua
yang dirubah oleh Soeharto (www.wordpress.com)
3. In what year the land called Papua
integrated into NKRI?
Pada tanggal 31 Desember 1962, bendera Belanda
diturunkan di wilayah Papua Barat dan sebagai gantinya dikibarkanlah bendera Indonesia
berdampingan dengan bendera PBB (UNTEA).
4. What is TRIKORA?
Sejarah Peristiwa TRIKORA
Tindakan Belanda dengan mendirikan negara “Boneka”
Papua itu merupakan sikap yang menantang kepada bangsa Indonesia untuk
bertindak cepat. Oleh karena itu, pemerintah segera mengambil tindakan guna
membebaskan Irian Barat.
Dalam rangka mempersiapkan kekuatan militer untuk
merebut Irian Barat, pemerintah republik Indonesia mencari bantuan senjata
kepada luar negeri. Pada mulanya pembelian senjata diharapkan berasal dari
negara-negara Barat terutama pada negara Amerika Serikat. Namun, harapan itu
tidak terwujud. Kemudian pemerintah mengalihkan pembelian senjata kepada
negara-negara komunis dibawah pimpinan Uni Sovyet. Pada tanggal 19 Desember
1961, presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah dalam rangka perjuangan
pembebasan Irian Barat yang dikenal dengan nama Tri Komando Rakyat (Trikora)
yang dilaksanakan di Yogyakarta, isinya adalah sebagai berikut:
a. Gagalkan pembentukan “Negara Boneka”
Papua bentukan kolonial Belanda.
b. Kibarkan sang saka merah putih di Irian
Barat tanah air Indonesia.
c. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna
mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.
Dengan dikeluarkannya Trikora, maka mulailah
konfrontasi total terhadap Belanda dan pada bulan Januari 1962 pemerintah
membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat yang berkedudukan di Makasar. Realisasi
pertama dari Trikora adalah pembentukan Komando Operasi Militer (Komando
Mandala) yang dibentuk pada tanggal 2 Januari 1962 dengan komandannya Mayjen
Soeharto. (http://cv-teknologi.blogspot.com/2014/01/peristiwa-tri-komando-rakyat-trikora.html)
5. What are the roles of Soekarno in the
integration of Papua into NKRI?
Soekarno melakukan Perundingan Linggarjati, KMB
(Konferensi Meja Bundar), Perjanjian Renville, dan KAA (Konferensi Asia Afrika)
untuk memerdekakan Papua agar masuk ke wilayah NKRI. Perjuangan Bung Karno ini
membuahkan hasil. Pada tanggal 15 Agustus 1962, Indonesia – Belanda
menandatangani NewYork Agreement yang difasilitasi oleh PBB. Untuk maksud itu,
dibentuklah Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA). Selain itupun, Soekarno
menjalankan Trikora sebagai langkah awal pelaksanaannya adalah pembebasan suatu
komando operasi, yang diberi nama “Komando Mandala Pembebasan Irian Barat”
sebagai panglima komando adalah Brigjen Soeharto yang kemudian pengkatnya
dinaikkan menjadi Mayor Jenderal. (http://indomiliter.mywapblog.com/trikora-operasi-pembebasan-irian-barat-xhtml)
6. What did the Dutch Colonial do in Papua?
Lamanya penjajahan Belanda di Indonesia tidak sama
dengan lamanya penjajahan Belanda di Papua Barat. Indonesia dijajah oleh
Belanda selama sekitar 350 tahun dan berakhir ketika Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Papua Barat, secara
politik praktis dijajah oleh Belanda selama 64 tahun (1896-1962)
(Anneahira.com). Pada awal pemerintahan Belanda di Papua sejak tahun 1896, tak
seorangpun warga pribumi membentuk gerakan anti Belanda sehingga tak seorangpun
dibunuh sehingga terjadi kehidupan yang harmonis.
Hal ini sebagai bukti (evidence) nyata bahwa rakyat
Papua tidak merasa pernah dijajah oleh Belanda seperti daerah Indonesia yang
lain. Namun, pada saat pemerintahan Jepang, banyak rakyat pribumi yang disiksa,
dipotong tangannya, serta dibunuh.
7. What are the roles of US-UN (United
State – United Nations) and our neighbouring countries in the Papua conflicts?
Presiden Amerika Serikat yang baru saja terpilih
yaitu John Fitzgerald Kennedy merasa risau dengan perkembangan yang terjadi di
Irian Barat. Dukungan Uni Sovyet (P.M Nikita Kruscher) kepada perjuangan RI
untuk mengembalikan Irian Barat dari tangan Belanda, menimbulkan terjadinya
ketegangan politik dunia, terutama pada pihak sekutu (NATO) pimpinan Amerika
Serikat yang semula sangat mendukung Belanda sebagai anggota sekutunya. Apabila
Uni Sovyet telah terlihat dan Indonesia terpengaruh kelompok ini, maka akan
sangat membahayakan Posisi Amerika Serikat di Asia dan dikhawatirkan akan
menimbulkan masalah pasifik barat daya. Apabila pecah perang Indonesia dengan
Belanda, maka Amerika Serikat akan berada dalam posisi yang sulit. Amerika
Serikat sebagai sekutu Belanda akan dicap sebagai negara pendukung penjajah dan
Indonesia akan jatuh dalam Uni Sovyet.
Untuk itu, dengan meminjam tangan Sekjen PBB U
than, Kennedy mengirimkan diplomatnya yang bernama Eisworth Bunker untuk
mengadakan pendekatan kepada Indonesia – Belanda. Sesuai dengan tugas dari
Sekjen PBB (U Than), Eisworth Bunker pun mengadakan penelitian masalah ini dan
mengajukan usulan yang dikenal dengan “Proposal Bunker”. Adapun isi Proposal
Bunker adalah sebagai berikut : “Belanda harus menyerahkan kedaulatan atas
Irian Barat kepada Indonesia melalui PBB dalam jangka waktu paling lambat dua
tahun.
Usulan ini menimbulkan reaksi, seperti :
-
Dari Indonesia : meminta supaya waktu penyerahan
diperpendek
-
Dari Belanda : setuju melalui PBB, tetapi tetap
diserahkan kepada Negara Papua Merdeka
Lalu, apa yang terjadi dalam Persetujuan NewYork?
Setelah operasi-operasi infiltrasi mulai mengepung beberapa kota penting di
Irian Barat, sadarlah Belanda dan sekutu-sekutunya, bahwa Indonesia tidak
main-main untuk merebut kembali Irian Barat. Atas desakan Amerika Serikat,
Belanda bersedia menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia melalui persetujuan
NewYork.
Isi Pokok Perjanjian:
1. Paling lambat tanggal 1 Oktober 1962
pemerintah sementara PBB (UNTEA) akan menerima serah terima pemerintahan dari
tangan Belanda dan sejak saat itu bendera merah putih diperbolehkan berkibar di
Irian Barat.
2. Pada tanggal 31 Desember 1962, bendera
merah putih berkibar disamping bendera PBB.
3. Pemulangan anggota-anggota sipil dan
militer Belanda sudah harus selesai tanggal 1 Mei 1963.
4. Selambat-lambatnya tanggal 1 Mei 1963
pemerintah RI secara resmi menerima penyerahan pemerintahan Irian Barat dari
tangan PBB.
5. Indonesia harus menerima kewajiban untuk
mengadakan Penentuan Pendapatan Rakyat (PEPERA) di Irian Barat, paling lambat
sebelum akhir tahun 1969.
Sesuai dengan Perjanjian NewYork tanggal 1 Mei 1963
berlangsung upacara serah terima Irian Barat dari UNTEA kepada pemerintah RI.
Upacara berlangsung di Holandia (Jayapura). Dalam peristiwa itu, bendera PBB
diturunkan dan berkibarlah merah putih, menandai resminya Irian Barat menjadi
provinsi ke-26. Nama Irian Barat dirubah menjadi Irian Jaya (sekarang Papua)
(info pengetahuan.com)
8. What is Organisasi Papua Merdeka (OPM)
dan who is finances them?
Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah sebuah
organisasi yang didirikan tahun1965 dengan tujuan membantu dan melaksanakan
penggulingan pemerintahan yang saat ini berdiri di provinsi Papua dan Papua
Barat di Indonesia, sebelumnya Irian Jaya, memisahkan diri dari Indonesia, dan
menolak pembangunan ekonomi dan modernitas. Organisasi ini mendapatkan dana
dari pemerintah Libya, pemimpin Muammar
Gaddafi dan pelatihan dari grup gerilya “New People’s Army” beraliran maosis
yang ditetapkan sebagai organisasi teoris asing oleh Departemen Keamanan
Nasional Amerika Serikat.
Organisasi ini dianggap tidak sah di Indonesia.
Perjuangan meraih kemerdekaan ditingkat provinsi dapat dituduh sebagai tindakan
penghianatan terhadap negara. Sejak berdiri, OPM berusaha mengadakan dialog
diplomatik, mengibarkan bendera bintang kejora, dan melancarkan aksi militan
sebagai bagian dari konflik Papua. Para pendukungnya sering membawa-bawa
bintang kejora dan simbol persatuan Papua lainnya., seperti lagu kebangsaan
“Hai Tanahku Papua” dan lambang nasional. Lambang Nasional tersebut diadopsi
sejak tahun 1961 sampai pemerintahan Indonesia diaktifkan bulan Mei 1963 sesuai
Perjanjian NewYork (http://id.wikipedia.org/wiki/organisasi-papua-merdeka)
9. Will you personally support Papua become
a newly separates country?
Secara pribadi, saya tidak setuju jika Papua
melepaskan diri dari Indonesia. Alasannya karena Papua menjadi salah satu aset
yang berharga yang dimiliki Indonesia. Seharusnya Indonesia khususnya rakyat
Papua dapat mengeksplorasi kekayaan alam yang terkandung atau dimiliki oleh
bumi tanah Papua, sehingga bisa menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar
bagi negara.
Alasan lainnya adalah jika Papua ingin memisahkan diri dari Indonesia,
jelas sekali bertentangan dengan prinsip kedaulatan sebuah negara yang sudah 67
tahun merdeka. Tidak ingatkah bahwa untuk memerdekakan Indonesia, kita berjuang
mati-matian dan berusaha sekuat tenaga agar merebut Papua dari tangan Belanda.
Disisi lain, banyak sekali tuntutan yang tidak mempunyai hakikat yang
jelas. Namun, tuntutan tersebut justru lebih banyak dijadikan alat bagi pihak asing
untuk memenuhi kepentingan wilayah dan ekonomi mereka. Walaupun sebenarnya
Papua ingi memisahkan diri dari Indonesia karena mereka merasa tidak puas
terhadap bangsa Indonesia, mereka merasa dijajah oleh bangsanya sendiri (adanya
diskriminasi) antara warga Indonesia (jawa, sunda) dengan warga kulit hitam
yang mendapat perlakuan tidak adil (semena-mena) dari TNI-Polri dan BP. Tetapi
kedudukan Papua lebih pasti setelah diadakan sebuah referendum “Act of Free
Choice”. Pada tahun 1969, dimana rakyat Papua tetap memilih menjadi bagian dari
Indonesia namun mungkin untuk sekarang ini tidak lagi.
Setelah Trivia Quiz dapat dijawab, maka diskusi
kelompok kami beralih ke Artikel Eben Kirksey yaitu “Don’t Use Your Data As a
Pillow” yang jumlah keseluruhannya ada 49 paragraf dan ini telah dibuat
rangkuman sebagai berikut:
Pada
paragraf pertama, kita bisa lihat dari kalimat pertama yaitu menjelaskan
tentang sebuah pesta kecil, namun di papua bisa jadi pesta kecil itu adalah
sebuah pesta besar dan mewah, karena kemungkinan orang-orang papua jarang
mengadakan suatu pesta. Pesta tersebut berlangsung beberapa hari sebelum
Eben Kirksey mengakhiri penelitiannya yang dilakukan di Papua, bisa dikatakan
sebagai pesta duka untuk Eben karena ia akan pergi. Pesta tersebut diatur
oleh Denny Yomaki, pekerja HAM di Papua yang terjadi pada bulan Mei 2003.
Pada paragraf kedua, penjelasannya
adalah bahwa pada tahun 1998, untuk pertama kalinya Eben datang ke Papua
Barat. Itu dimaksudkan untuk melakukan penelitian tesis pasca sarjana di
New College Florida. Pada awalnya Eben akan mempelajari tentang
kekeringan El Nino, namun ketika Eben datang, hujan turun. Itu
mengakibatkan Eben mengurungkan niatnya meneliti kekeringan. Bertepatan
dengan kekecewaan Eben saat itu, Papua Barat secara resmi dikenal (berganti
nama) sebagai Irian Jaya. Subyek pada hari itu tentang kebebasan
(merdeka). Soeharto, penguasa lama Indonesia baru saja digulingkan oleh
gerakan reformasi. Pada saat itu merdeka adalah gerakan inspirasi untuk
kemerdekaan dari Indonesia di Aceh, Papua barat, dan Timor timur, itulah seruan
dari nasionalis Indonesia dalam perjuangan mereka untuk bebas dari kolonialisme
Belanda.
Pada paragraf ketiga, disini keinginan orang-orang papua
untuk mengambil jalan kemerdekaan, bukannya reformasi. Hal itu
kemungkinan agar tidak ada lagi pembantaian militer Indonesia. Hal itu
menyadarkan Eben akan keinginan Papua untuk merdeka. Saat munculnya kampanye
sistematis genosida, militer di Indonesia terus berdatangan ke Papua. Kejadian
ini adalah suatu hal yang telah direncanakan oleh para militer.
Pada paragraf keempat, bermunculan cerita-cerita yang
mengejutkan, seperti cerita tentang penyiksaan, tentang peran pemerintah
Amerika Serikat dalam mendukung kedudukan militer, dan keinginan mereka untuk
merdeka. Kolaborasi yaitu strategi utama dari gerakan politik adat di
Papua Barat daripada resistensi (sikap untuk berperilaku, melawan, atau
menentang), seperti perusahaan multi-nasional dan koperasi militer rahasia
Indonesia yang memberikan dukungan penuh kepada aktivis kemerdekaan Papua.
Pada paragraf kelima, aktivis HAM
mendorong Eben untuk meneliti kampanye terror yang dilakukan oleh pasukan
keamanan Indonesia, dan Eben berfikir dapat menolong orang Papua terbebas dari
terror dalam rezim dengan mempelajari dimensi kekerasan. Pada saat pesta
kepergian Eben, ternyata Eben ditentang oleh orang Papua. Maksudnya
adalah orang-orang Papua tidak merelakan Eben pergi dari Papua.
Pada paragraf keenam, menceritakan
mengenai suasana pesta kepergian Eben bersama orang Papua dirumah Denny.
Mereka menikmati makanan dan sambil bersantai, serta saling bertukar lelucon
dengan memakai logat Papua yaitu bahasa kreol regional. Pada pesta itu,
Denny selaku tuan rumah mengundang Telys Waropen juga, seorang anggota komnas
HAM, dan juga seorang penghasut muda diakhir tahun 20an.
Pada paragraf ketujuh, berbicara tentang Wasior, dimana Wasior adalah
tempat polisi Indonesia yang baru-baru ini melakukan serangan berkelanjutan
pada dugaan separatis Papua yang bernama “Operasi Penyisiran dan
Pemusnahan”. Waropen adalah berasal dari Wasior. Eben dan Denny telah
mngunjungi Wasior, menyelidiki rumor bahwa agen-agen militer Indonesia
diam-diam mendukung milisi Papua.
Pada paragraf kedelapan, masih tentang penelitian di Wasior yang berlangsung
dibawah pengawasan intens. Denny dan Eben menghubungi narasumber, yaitu
hanya orang-orang yang sudah mengetahui resikonya apabila menjadi seorang
narasumber serta berani menanggung resiko tersebut apabila kemungkinan terlihat
sedang diwawancarai oleh peneliti asing untuk kisah mereka.
Pada paragraf kesembilan, rencana untuk mewawancarai dukun terkenal di
pegunungan yang dekat dengan tempat Eben tinggal yang mengklaim bahwa dirinya
(dukun) bertanggung jawab atas penyebab gempa bumi dipulau sentral Indonesia
Jawa dan untuk menenggak sebuah pesawat yang membawa petinggi militer
Indonesia. Itu termasuk agenda penelitian ambisius yang dilakukan Eben
dan Denny, namun gagal karena mereka tidak jadi menghubungi (menemui) dukun.
Pada paragraf kesepuluh, dipesta Eben mengetahui dan belajar bahwa Telys
Waropen telah mempelajari perdukunan wasior untuk tesis sarjana di universitas
local. Dengan begitu Eben bisa belajar tentang dukun tersebut untuk
memenuhi penelitiannya, dan waropen adalah sebagai sumber penting untuk Eben.
Pada
paragraf kesebelas, Eben mewawancarai Waropen, dan menjelaskan bahwa Eben
akan tetap membuat anonim (tanpa nama) sumber wawancaranya seperti sumber
sebelumnya. Waropen mundur dan menanyakan jenis penelitian dan identitas sumber
penting yang ada dalam data Eben dan Waropen menyarankan agar mengutip
sumber-sumber yang terkait agar data menjadi lebih kuat. Eben mengatakan, pada
saat ia akan pergi ke pesta ia telah mewawancarai lebih dari 350 narasumber,
dengan politisi papua, korban kekerasan, tahanan politik, pejuang gerilya,
aktifis HAM, dan pemimpinnya, bahwa semua sumber wawancara ini telah di
anonimkan karena jumlah narasumbernya yang terlalu banyak.
Pada
paragraf keduabelas, Saran dari rekan-rekan dan mentor Eben bahwa ia
harus tetap membuat sumber-sumbernya anonim (tanpa nama), terkecuali apabila
Universitasnya meminta untuk memunculkan sumber penting tersebut. Setelah
melakukan penelitian di Papua Barat, Eben mengambil kesimpulan bahwa menjaga
sumber anonim itu bukan hanya sebuah sarana untuk menghindari birokrasi. Dengan
menjaga identitas sumber-sumber Eben yang telah di anonim, jelas saja orang
Papua seperti Waropen ingin mencantumkan identitasnya sebagai sumber dari
penelitian Eben, karena ia ingin diakui sebagai orang intelek dan terkenal. Ini
membuat Eben mempertimbangkannya karena ini menyangkut dengan profesionalitas,
hukum dan kewajibannya dalam pembuatan tesis ini.
Pada
paragraf ketigabelas, bahwa sebuah sumber yang disembunyikan dapat
menimbulkan kecurigaan pembaca. Namun, para jurnalis dan editor
memiliki hukum untuk menyembunyikan identitas narasumber, guna melindungi diri
dari gugatan pencemaran nama baik, karena ada beberapa hal tertentu yang tidak
bisa dipublikasikan.
Pada
paragraf keempat belas, yaitu Waropen merupakan salah satu sumber
informasi penting untuk penelitian yang dilakukan oleh Eben. Eben
menawarkan beberapa saran untuk mencapai kebebasan di Papua. Saran
Eben tersebut sudah terpikirkan oleh Waropen. Namun, Waropen tidak
mempunyai cukup bukti. Sedangkan sistem hukum sekarang adalah
mengharuskan segala sesuatunya berdasarkan bukti. Waropen melihat
Eben sebagai sekutu. Tetapi disisi lain, Eben membutuhkan keterangan
Waropen untuk penelitian dari Universitasnya.
Pada
paragraf kelima belas, yaitu percakapan antara Waropen dan Eben mulai
memanas dan mereka saling beradu argumen mengenai disembunyikan atau tidaknya
identitas narasumber. Bahkan Eben mulai menyinggung mengenai kasus
HAM bahwa identitas korban dan saksi dalam kasus HAM pun pastinya harus
dilindungi. Waropen pun bersikeras sehingga mengatakan “Jangan
menggunakan data kamu sebagai bantal dan pergi tidur ketika kamu kembali ke
Amerika,” Waropen bersikeras. “Jangan hanya menggunakan ini sebagai
jembatan untuk peluang profesional dirimu sendiri.”
Pada
paragraf keenam belas, yaitu Waropen menginginkan Eben untuk menjadi
seorang ahli regional yang handal (seseorang yang mengetahui hal-hal yang
pasti), dengan alasan karena banyak antropolog budaya yang terlalu berhati-hati
dalam melakukan penelitiannya, jika researchnya tersebut berhubungan dengan
kekuasaan. Setelah kritik yang dilakukan oleh Edward Said (1979), seorang ahli
orientalis dan karakteristik Gayatri Spivak (1988) mengenai intelektual kaum
liberal membicarakan mengenai kekuasaan. Selain itu, ahli regional sering
mengabaikan tuntutan akuntabilitas dari orang-orang yang mereka pelajari
(narasumber), sehingga kritikan-kritikan ahli regional yang ditunjukkan kepada
para penguasa tidak pernah mendapatkan respon yang serius, dan dianggap sebagai
angin lalu saja (tidak penting).
Pada
paragraf ketujuh belas, yaitu tentang Waropen yang meminta Eben
untuk memikirkan kembali apa yang disebut sebagai “data” dalam antropologi
budaya. Karena baru-baru ini Charles Hale (2006) mendesak antropolog untuk
mengambil metodologi positif yang serius
dalam setiap penelitian.
Pada
paragraf kedelapan belas, yaitu saat Eben bertemu dengan
Waropen, dia sudah menerbitkan sejumlah artikel dalam bentuk koran mengenai
Papua Barat. Waropen mendorong Eben untuk menunjukkan fakta dan
tindakan nyata dalam tulisannya. Konfrontasi yang dilakukan oleh
Waropen membuat Eben berpikir bagaimana caranya agar dia bisa mulai masuk untuk
membawa pengetahuan dan penelitiannya tentang Papua Barat pada dunia.
Pada
paragraf kesembilan belas, yaitu ketika Eben dan Denny pergi ke Wasior,
Eben hendak meneliti tentang kekerasan yang terjadi di perusahaan
BP. BP sebelumnya bernama “British Petroleum” kemudian diubah menjadi
“Beyond Petroleum”, baru saja mulai mengeksploitasi ladang gas alam di Papua
Barat yang diperkirakan akan menghasilkan keuntungan dan hasil yang sangat
besar. Kabarnya, agen militer Indonesia memprovokasi kekerasan dalam
upaya konvensional untuk menguntungkan “perlindungan” kontrak.
Pada
paragraf keduapuluh, Eben berhasil mewawancarai dua orang agen
Papua. Salah satunya yaitu mengatakan bahwa dia mendapatkan dukungan logistik
dan intelijen untuk membunuh para perwira polisi. Wawancara tersebut
membuktikan rumor yang menghubungkan kekerasan yang terjadi di Wasior untuk
proyek BP. Agen yang sama tersebut mengatakan bahwa seorang perwira militer
aktif telah mencoba untuk membunuhnya karena ia tahu terlalu banyak. Dia
meminta bantuan Eben untuk melarikan diri, namun Eben tidak bisa melakukan
apapun untuk membantunya.
Pada
paragraf keduapuluh satu, yaitu mengenai seorang John Rumbiak,
seorang Papua yang berperan sebagai pelindung HAM, meminta Eben untuk
menghadiri sebuah pertemuan di markas London BP (British Petroleum) dengan
Dr Byron Grote, Chief Financial Officer (CFO) dari raksasa minyak
ini. Dengan menghadiri pertemuan itu, sehingga Eben bisa mempresentasikan
hasil penemuannya tentang kekerasan militer yang ada di Wasior. Secara
tidak langsung Eben telah dijadikan sebagai saksi dipertemuan itu.
Pada
paragraf keduapuluh dua, yaitu Eben bertemu dengan Rumbiak sebelum
menghadiri pertemuan di kantor pusat. Mereka bercerita tentang
pengalaman atau perjalanan terakhirnya dengan menggunakan bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris (L1 & L2) saat mengobrol.
Pada
paragraf keduapuluh tiga, yaitu Eben merasa tersanjung dan terhormat
karena bisa bertemu dengan orang-orang yang paling berkuasa di Eropa.
Pada
paragraf keduapuluh empat, mengenai Rumbiak yang merasa keberatan jika
diskusi tersebut (antara ia dan Eben) tidak direkam. Dia ingin apa
yang terjadi saat pertemuan tersebut direkam untuk ditunjukan kepada rakyat
Papua Barat. Tetapi perwakilan BP menolak karena khawatir akan
keamanan perusahaan mereka. BP menolak untuk melakukan kekerasan.
Pada
paragraf keduapuluh lima, yaitu Dr. Grote yang menolak melakukan kekerasan
untuk dapat mengeksplor wilayah di Papua. Membuka masyarakat
maksudnya memberikan peluang aspirasi dari masyarakat adalah cara yang
baik. Dia menjamin semua masyarakat akan tetap
bekerja. Dr. Grote tidak ingin perusahaan lain yang tidak punya kode
etik mengembangkan ladang tersebut. Eben terpukau dengan perkataan
yang dilontarkan oleh Dr. Grote.
Pada
paragraf keduapuluh enam, yaitu Eben mempresentasikan penemuannya
di Wasior. Seorang anggota milisi Papua mengaku membunuh sekelompok
polisi Indonesia atas bantuan dari militer Indonesia.
Pada paragraf keduapuluh tujuh, Seorang pria berkaca mata bulat tebal yaitu O’reilly yang terlihat
menipu itu, mengintrogasi Eben. Dia bertanya kepada Eben, apakah para anggota
milisi yang membunuh petugas polisi secara eksplisit mengatakan bahwa serangan
itu direncanakan bertepatan dengan kunjungan Eben di papua. Lalu Eben menjawab ‘tidak’. Para agen militer Indonesia yang mengarahkan
milisi ini telah mengirimkan surat kepada mereka dengan instruksi untuk
meluncurkan serangan pada minggu yang sama ketika O’reilly sedang berkunjung. Tapi surat-surat ini tidak menyebut secara
explisit siapa saja pejabat-pejabat yang berkunjung. Selama pertemuan singkat dengan O’reilly,
Eben merasa telah gagal membuat kompleksitas aktor dan peristiwa nyata
tersebut.
Pada paragraf
keduapuluh delapan, terdapat tindakan John Rumbiak yang berusaha melerai bentuk
perseteruan dengan cara menyediakan banyak konteks; polisi Indonesia dan militer sering melakukan
persaingan sengit mengenai sumber daya.
Baku tembak di antara berbagai cabang aparat keamanan sering
terjadi. Cerita Eben mengenai
double-agen tidak seperti kolaborasi. Koperasi militer Indonesia dan gerilyawan
Papua yang bekerjasama terdengar tidak lagi masuk akal. O’reilly melangkah
lebih jauh untuk benar-benar memenuhi discount link bahwa John Rumbiak telah
terjebak di antara kekerasan operasi isolat dan pemusnahan proyek gas BP : Wasior yang jaraknya jauh dari lokasi proyek
kami. Tidak ada jalan yang menghubungkan
dua lokasi tersebut karena terbentangnya pegunungan dan trek hutan yang luas.
Eben menegaskan bahwa kita tidak membaca apa yang terjadi di Wasior sebagai
suatu sinyal.
Pada paragraf
keduapuluh sembilan, terdapat penggambaran salah satu dari wawancara yang
dilakukan Eben, Eben menjawab lokasi Wasior mencapai dua minggu dari situs
O’reilly. Anggota milisi yang membunuh petugas polisi menempuh perjalanan ini
pada bulan Februari 2001 untuk melakukan pengintaian di dekat base camp
O’reilly.
Pada paragraf
ketigapuluh, Dr. Grote melakukan suatu kesalahan dengan terlambatnya ia datang
ke pertemuan berikutnya. Eben terburu-buru menyimpulkan percakapannya dengan
O’reilly, Rumbiak telah membuat permintaan khusus untuk menggunakan pengaruh
O’reilly terhadap pemerintah dalam rangka memastikan bahwa pelaku kekerasan
yang terjadi di Wasior telah dituntut.
Pada paragraf ketigapuluh satu, membahas tentang Rumbiak yang
membujuk Eben untuk mempublikasikan hasil penelitiannya. John O’reilly
mengemukakan bahwa dirinya belum memiliki cukup bukti dalam kasus ini untuk
mendekati orang-orang Indonesia yang memiliki wewenang. Eben terus berusaha
untuk mengungkapkan rahasia perusahaan melalui media surat kabar, The Sunday
Times.
Pada paragraf ketigapuluh dua, Rumbiak berusaha
menyodorkan hasil penelitian Eben ke surat kabar untuk dipublikasikan. Namun,
Grimston sang editor belum bisa menerimanya karena belum ada komitmen
sepenuhnya. Di sini juga mengulas tentang konflik antara polisi dan militer di
Papua yang saling berseteru. Eben ingin mengungkapkan fakta-fakta yang ada pada
konflik tersebut. Eben membuat sendiri laporan atas berita konflik karena John
Rumbiak tidak merespon apa yang Eben inginkan.
Pada
paragraf ketigapuluh tiga, Grimston selalu menjaga komunikasi dan konfirmasi
mengenai kerjasama yang dilakukannya dengan BP. Perusahan BP begitu ketat
dijaga oleh brimob. Anggota milisi disinggung dalam artikel yang akan
dipublikasikan oleh Eben. Perusahaan terbesar BRITAIN’S, BP, telah membuat
marah kelompok-kelompok HAM yang melibatkan pasukan keamanan brutal Indonesia
dalam upaya melindungi skema produk gas E 28000000000.
Pada paragraf ketigapuluh empat, muncullah sudut
pandang dari belakang yang berasal dari Eben setelah mengalami dan menganalisa
permasalahan yang terjadi di Papua. Eben
berusaha merealisasikan kemungkinan sejarah yang radikal yang terjadi di Papua
lewat artikelnya ini. Untuk ini Eben bekerja sama dengan aktivis HAM Papua dan
seorang wartawan dari Inggris.
Pada paragraf ketigapuluh lima, Eben beserta Rumbiak
merasa sangat tertantang dalam menerjemahkan pengetahuan dan penelitian ini.
Sebenarnya “The Sunday Times” belum begitu sempurna dalam menerjemahkan sebuah
penelitian atau pengetahuan. Dengan adanya hal tersebut, Eben memunculkan
ide-ide barunya yang brilliant.
Pada paragraf ketigapuluh enam, Eben
merasa telah mengecewakan Waropen dan orang-orang Papua akibat cerita yang dia
buat. Ceritanya yang tidak sesuai dengan apa yang Waropen dan teman-teman
harapkan. Sikap Waropen berubah terhadap Eben karena hal tersebut. Namun Eben
menyadari bahwa ia sebaiknya mementingkan kepentingannya ketimbang harus
mementingkan hal lain yang masih belum pasti tujuannya, seperti memikirkan
kekecewaan Waropen dan yang lainnya.
Pada paragraf ketigapuluh tujuh, Eben menemukan
informasi yang baru mengenai proyek BP. Eben mengetahui latar belakang BP,
khususnya tentang kebusukan BP yang membiayai beberapa peristiwa dalam kongres
Papua.
Pada paragraf ketigapuluh delapan, Eben ikut serta
dalam sidang BP, kemudian dia mencoba melakukan wawancara di BBC bersamaan
dengan Viktor Kaisiepo. Dalam wawancaranya, ia membahas tentang kebijakan
keamanan komunitas BP.
Pada paragraf ketigapuluh sembilan, dalam wawancara
yang Eben lakukan, Eben sedikit menyinggung tentang kekerasan anggota militer
di lokasi proyek BP. Namun dia juga membuka kebusukan proyek BP yang ingkar
janji terhadap militer Indonesia. Di situasi yang sama, Kaisiepo langsung
menegaskan tentang Hak Asasi Manusia di Papua. Namun Eben tidak berani untuk
mengungkapkan argumen orang-orang Papua yang tidak setuju atas berdirinya
proyek papua.
Pada
paragraf keempatpuluh, adanya bentuk
konfrontasi, yang biasanya sebagai penanda suatu kegagalan dalam mediasi
lintas-budaya. Pada saat pertama kali Eben datang, ia telah mengetahui Viktor
Kaisiepo tepatnya dengan penelitiannya mengenai cita-cita kebebasan rakyat
Papua. Setelah program BBC terealisasikan, Kaisiepo mengirim E-mail kepada Eben
yang meminta agar proyek BP tetap dilanjutkan. Menurut Clifford 1997 : 182,
aliansi praktis seperti konfrontasi, dapat menghasilkan kesadaran akan hubungan
kekuasaan yang mendasari transfer pengetahuan di seluruh domain budaya.
Pada
paragraf keempatpuluh satu, tidak sedikit
orang di Papua barat yang menginginkan Eben menjadi sekutu. Seperti John
Rumbiak dan rekan-rekan lainnya yang mendorong Eben melakukan penelitian
kolaborasi dari Dewan Presidium Papua dan pemimpin kemerdekaan yang terkenal lainnya.
Selain itu, Eben juga menjadi sekutu (bekerjasama) dengan gerakan fraksi
tertentu.
Pada
paragraf keempatpuluh dua, para aktivis
HAM yang merekrut Eben kedalam proyek mereka membuat Eben bertemu dengan
orang-orang yang tidak dibayangkan sebelumnya sebagai teman yang berpotensi
sebagai sekutu. Para aktivis juga mengajarkan Eben betapa pentingnya suatu
kemenangan. Pertemuan yang dilakukan Eben dengan para aktivis itu bisa membuat
dia belajar, dan bisa menjadi prestasi Eben yang signifikan. Eben menemui dirinya
sedang dalam suatu rapat / pertemuan dengan pemerintah di Washington, London
dan Jakarta serta mempelajari tentang arsitektur kekuasaan.
Pada
paragraph ke empatpuluh tiga, bahwa seorang Eben yang melayani
layaknya seorang advokat membawa Eben dalam fikiran jernih dan sengaja bertanya
pada diri sendiri mengapa saya menulis dan siapa sajakah yang akan membaca
tulisan saya. Eben juga menemukan dirinya berjam-jam menerjemahkan laporan HAM
berbahasa Indonesia dengan harapan dapat dibaca oleh beberapa tokoh kunci
pejabat pemerintah. Eben menemukan kasus lain, dimana dia menemukan dirinya
menulis berita singkat untuk distribusi elektronik untuk sekelompok kecil
pendukung internasional yang aktif berkampanye untuk Papua Barat.
Pada paragraf ke
empatpuluh empat, bahwa
nasib dari setiap kelompok itu disokong oleh para sarjana itu sendiri. Disini
juga penulis memberikan contoh dari tindakan penyelamatan kelompok, contohnya
seorang Charles Hale yang menggunakan ketelitian bentuk koleksi data, serta
menggunakan metode analisis sebab musabab dan program pemetaan dasar komputer
yang baru dapat digunakan sebagai kelemahan perjuangan politik. Pemikiran
panjang yang biasanya digunakan oleh para positivisme politik yang mempunyai
pengaruh untuk membersihkan penelitian yang tidak penting. Charles juga
memikirkan kembali tentang pendekatan “aktivis” antropologi serta menguji
pendekatan tersebut dengan meminta menyebarkan metode ilmu positif sosial dan
subjeknya yang disertai kritik yang sangat teliti untuk mengetahui kognitif
ketidaksesuaian dari hasilnya.
Pada paragraf ke empatpuluh lima, bahwa pendekatan teori
ketidakcocokan dalam politik harus dihindari oleh siapapun. Proyek penelitian
politik tidak pernah bebas dari hasil dan ketertarikan dari bagian lokasi
sosial yang biasanya bentuk dari politik tersebut berbentuk tipe pertanyaan
yang harus mereka jawab. Namun menurut Sandra Harding, bentuk subjek yang
digunakan politik itu jauh dari kelemahan strategis untuk memaksimalkan
objektivitas hasilnya. Sebuah kelompok atau group membutuhkan sarjana terpadu
untuk mempercepat proyek, maka Sandra Harding menyebutnya objektivitas yang
kuat.
Pada paragraph keempatpuluh enam, dalam proyek penelitiannya
penulis memadukannya dengan teori pengalamannya (seperti yang dicontohkan
Harding). Penulis juga mempersilahkan untuk bertanya dan melakukan negosiasi
lagi, tentang semua hal yang dipertanyakan dengan para intelek Papua dan selama
penulis dalam proses penelitian dan menulis. Dengan melakukan pertanyaan dan
negosiasi selama proses penelitian dan menulis dengan begitu penulis
mendapatkan peluang untuk mengkritik meskipun terkadang menjadi penulis yang
marah dan pengkritik atau pemberi pertanyaan yang akan terkena imbasnya.
Pada paragraph
keempatpuluh tujuh, membahas mengenai seorang Sandra Harding, yang menetapkan
sebuah teori sudut pandang yang bertentangan secara langsung dengan
"Trik Tuhan” (Harding 2004: 128). Ia juga mengatakan bahwa untuk
menghindari godaan agar dapat melihat segala sesuatu, kita bisa menerapkan
dengan hal-hal yang baik dan berbicara pengetahuan kita dengan suara otoritas.
Menandai apa yang kita kenal sebagai "pengetahuan aktivis" adalah
sebuah kesalahan. Kita bisa tiba-tiba mengabaikan segala bentuk arsitektur
pengetahuan / kekuasaan, kemudian ditambah dengan wawasan yang tak terduga.
Pada paragraf keempatpuluh delapan, dalam menciptakan sebuah antropologi, kita harus siap menghadapi
tuntutan multi-arah untuk akuntabilitas dari orang-orang yang memberi informasi
“untuk berbicara kembali”, undang-undang pencemaran nama baik, dari masyarakat
pembaca yang menginginkan bentuk narasi tertentu. Sehingga menjadi seorang penipu yang
menyajikan klaim pengetahuan tipis, akan jelas tidak membantu perjuangan
politik orang-orang yang mencari kami sebagai sekutu. Belajar untuk mengikuti
standar epistemologis yang beroperasi di kubu yang berbeda dan mediasi di
antara sistem ini diketahui dapat menghasilkan klaim pengetahuan yang melekat
dalam diri.
Pada paragraf keempatpuluh sembilan, menceritakan saat Eben telah
menyelesaikan esainya pada bulan November 2007, ia melihat ke arah
minggu-minggu terakhir menyelesaikan Ph.D. disertasinya, dan diluar esai nya ia
juga sedang membuat buku. Dalam proyek yang lebih besar, ia menyulap beberapa
genre dan bentuk narasi, seperti: perumpamaan adat, realisme figural,
etnografi, sejarah lisan, dan memoar. Dalam tugasnya sebagai seorang penerjemah
yang setia, ia bermimpi akan kebebasan di Papua Barat, dan ia juga melakukan
lebih dari sekedar menempel pada fakta-fakta, namun ditafsirkan. Eben juga bekerja untuk kerajinan potret
etnografi beberapa realitas hidup berdampingan di Papua Barat. Mimpi
orang-orang Papua akan sebuah kemerdekaan bahkan diduga , harapan tersebut juga
dapat menghasilkan kemungkinan politik muncul.
Setelah selesai membahas mengenai Artikel Eben
Kirksey yang berjumlah 49 paragraf yang berjudul “Don’t Use Your Data As a
Pillow” maka saya ingin membahas apa saja yang pernah terjadi di Papua.
Mungkin penjelasan lebih lengkapnya seperti yang akan saya paparkan
sebagai berikut :
-
Mengenai Konflik Papua
Akar konflik vertikal Papua relatif mirip Aceh, terutama karakter diametralnya dengan
pemerintah pusat. Papua masuk ke wilayah Indonesia pada 1 Mei 1963 berdasarkan
kesepakatan yang ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda di
New York pada 15 Agustus 1962. Kedaulatan Indonesia atas Papua kembali
ditegaskan lewat Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang berlangsung pada
Juli-Agustus 1969. Sejak saat itu Papua terus dilanda gejolak separatisme
hingga kini.
Jika
di Aceh ada GAM, maka di Papua ada OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang berdiri
tahun 1964. Manuver awal OPM terjadi tahun 1965 di Ransiki, Manokwari, tatkala
Indonesia tengah berada dalam krisis politik 1965-1966. Aktitivitas umum OPM
adalah manuver-manuver sporadis untuk menyerang pos-pos polisi dan tentara,
sabotase sarana vital dan strategis seperti Freeport, menyerang transmigran,
atau penghasutan massa. Esther Heidbuchel menyebutkan, konflik Papua dapat
dirunut kepada faktor-faktor berikut :
1. Kurang mulusnya pelaksanaan Pepera yang pernah
diadakan Indonesia tatkala mengambil alih Papua dari Belanda,
2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia, baik yang dilakukan
pasukan Indonesia, utamanya dalam penegakkan hukum atas mereka,
3. Pengabaikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat asli
Papua. Ini termasuk marginalisasi sosial ekonomi mereka serta terbentuknya
stereotip yang mendiskreditkan orang Papua.
Dalam
perkembangan kemudian, masih menurut Heidbuchel, tersedia tiga jalan yang
penyelesaian konflik. Jalan pertama adalah Merdeka, yang dimotori OPM.
Komposisi mereka yang pro kemerdekaan terdiri atas rakyat biasa berpendidikan
rendah, OPM, dan sebagian kecil elit terdidik Papua. Jalan kedua, pro Indonesia
yang kini menduduki status quo. Kelompok ini didukung kaum migran (orang-orang
dari luar Papua) yang menetap di Papua, sebagian elit terdidik Papua, dan
sebagian elit pemerintah pusat. Jalan ketiga adalah Otonomi Khusus, yang
didukung mayoritas elit Papua, mayoritas elit pemerintah pusat,
komunitas-komunitas agama, dan LSM.
Jalan
ketiga, Otonomi Khusus, secara formal disepakati lewat terbitnya Undang-undang
Nonmor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang diundangkan Presiden
Megawati Soekarnoputri tanggal 21 Nopember 2001. Namun, kesulitan utamanya
adalah realisasi amanat undang-undang ke dalam dunia nyata.[14] Kendati punya sumber daya alam yang
melimpah, Provinsi Papua tercatat sebagai provinsi termiskin di Indonesia:
Alamnya kaya tetapi mayoritas penduduk aslinya miskin, bahkan sangat miskin.
Ans
Gregory da Iry merilis hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) yang selama beberapa tahun mengadakan riset atas konflik Papua. Tim
peneliti merangkum empat hal pokok yang harus dipikirkan oleh pemerintah pusat
di Papua. Pertama, marginalisasi ekonomi dan tindakan diskriminatif dalam
pembangunan ekonomi terhadap orang asli Papua sejak tahun 1970, yang hasilnya
membuat mereka kalah bersaing dengan pendatang. Kedua, pemerintah kurang
berhasil melakukan pembangunan Papua, terutama di bidang pendidikan, kesehatan,
dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga, belum ada kesamaan paradigma seputar
sejarah integrasi Papua ke dalam Indonesia. Keempat, belum adanya rekonsiliasi
serta pertanggungjawaban formal dalam kasus-kasus kekerasan atas masyarakat
Papua oleh negara di masa lalu.
Pembangunan yang timpang adalah salah satu variabel
kunci yang membuat Papua terus bergolak. Padahal, UU Otonomi Khusus secara
obyektif membuka ruang besar bagi rakyat Papua untuk berpartisipasi dalam
pembangunan ekonomi daerahnya. Banyak kalangan di Papua menghendaki proses
pembangunan yang memberi peran besar pada empat pilar kepemimpinan lokal yang
terdiri atas: Pemerintah lokal, pemimpin adat, pemimpin agama, dan kaum
perempuan.[17] Komisi yang
khusus menyelidiki proses penyelesaian konflik Papua bentukan pemerintah dan
masyarakat sampai pada kesimpulan bahwa kunci bagi perdamaian dan kemajuan di
Papua adalah penerapan secepatnya UU Otonomi Khusus Papua No. 21 tahun 2001. http://setabasri01.blogspot.com/2012/04/konflik-konflik-vertikal-di-indonesia.html
ADA campur tangan pihak luar terkait konflik yang
berkepanjangan di Provinsi Papua. Sangat mungkin, konflik yang kerap
terjadi di Papua tidak berdiri sendiri. Adalah Wakil Ketia DPR Pramono Anung
menilai, apa yang terjadi di Papua, tidak berdiri sendiri dan ditengarai ada
pihak di luar NKRI, coba ambil kentungan yang terjadi di
Papua. Namun, apapun yang terjadi Papua tetap bagian NKRI.
Konflik itu harus diselesaikan dengan cepat oleh pemerintah. Tetapi,
konflik itu jangan diselesaikan dengan kekerasan. Karenanya akan lebih baik
jika diselesaikan dengan pendekatan humanistik dengan mengedepankan dialog.
Ketegangan dan konflik di tanah Papua yang mengarah kepada disintegrasi
bangsa tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengandalkan pendekatan keamanan (security approach),
tetapi harus lebih holistik dengan memadukan pendekatan budaya dan ekonomi.
Pendekatan keamanan yang kerap menghadirkan kekerasan fisik harus dibarengi
dengan pendekatan budaya dan ekonomi untuk mengangkat harkat dan martabat
rakyat Papua agar mereka merasa nyaman dan damai sejahtera sebagai bagian dari
NKRI.
Ikhwal konflik berkepanjangan antara PT Freeport dengan
karyawan dan melibatkan kepolisian, disikapi serius DPR, yang mengeluarkan
sikap tegas menyikapi permasalahan yang terjadi di perusahaan Amerika Serikat
yang beroperasi di Timika, Papua itu.
DPR mendesak PT Freeport Indonesia untuk mematuhi
peraturan ketenagakerjaan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan dan peraturan terkait lainnya yang berlaku di negeri
ini.
Pemerintah melalui Kemenakertrans dan kementerian terkait lainnya untuk
memantau, memasilitasi, mensupervisi serta mengasistensi upaya-upaya
penyelesaian permasalahan melalui dialog langsung dengan Serikat Pekerja PT
Freeport Indonesia.
Dalam dua pekan terakhir, tercatat delapan orang tewas akibat kekerasan
di Papua. Satu orang tewas dalam bentrok saat aksi demonstrasi menuntut
kenaikan upah karyawan PT Freeport Indonesia, di Papua.
Tiga lainnya tewas terkait dengan acara Kongres Rakyat Papua, dan tiga
lainnya tewas di wilayah Kilometer 38 dan 39 Timika. Korban tewas terakhir
adalah Kapolsek Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, Ajun Komisaris Dominggus
Oktavianus Awes yang ditembak di Bandar Udara Mulia.
-
Akar
Konflik Papua
Sejarah integrasi tidak jelas, Pelanggaran HAM, kegagalan
Pembangunan, dan Marginalisasi Orang papua,
Jika dilihat dari sejarah,
konflik di tanah papua sudah bisa di rasakan sejak awal kemerdekaan indonesia.
Kekisruan makin terlihat ketika daerah ini tergabung kepadaIndonesia setelah adanya penandatangan
kesepakan politik antara RI-Belanda yang difasilitasi PBB pada 1962
Awalnya saat bergabung,
provinsi yang memiliki luas 427,981 km persegi dan terletak di koordinat 130
derajat- 141 derajat lintang timur, dan 2,25 derajat utara-9 derajat selatan
ini memiliki nama Irian Barat (1962-1963) dan berubah menjadi Irian Jaya (1973-2001) nama “Iryan” di
perkenalkan oleh Marcuc W kaisepo pada september 1945, yang dalam bahasa Biak Numfor berarti sinar matahari atau tanaha yang panas (the hot land) barulah oleh presiden Abdul
rahman Wahid pada 1 januari 2000, namaprovinsi Papua kemudian di legalkan melalui UU No 21
tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi papua, dan sejak 10 november
2004 dengan keputusan mahkama konstitusi No 018/PUU-I/2003 area ini terdiri dari dua
Provinsi: Provinsi Papua Barat dan papua yang terdiri dari 29 daerah
pemerintahan dan dua kota praja.
Kesehatan masyarakat di daerah
cukup sangat memprihatinkan. Penyakit-penyakit seperti malaria, infeksi
pernapasan, dan disentri adalah penyebab utama dari kematian anak, dengan
tingkat kematian anak yang berkisar sampai 70 sampai 200 per 1,000 jiwa.
Lebih dari 50% anak yang di bawah umur 5 tahun bergizi buruk, dan tingkat
imunisasi pun rendah. Penyebaran HIV/AIDS berkisar 40 kali lebih
buruk dari rata-rata nasional penyebaran penyakit kematian ini di perparah
dengan aktifitas seksual bebas yang meingkat, tingkat buta hrurf yag
tinggi, dan pencegahan dan penahan yang minim untuk penyakit ini.
Semenjak terintegrasi dengan Indonesia, pergolakan di Papua tidak juga surut, hal ini di sebabkan dari
ada perbedaan presepsi mengenai landasan historis penyatuan kawasan tersebut
dengan Indonesia. Gerakan-gerakan separatis bersenjata bermunculan dan
menyeruak di sepanjang lebih dari tiga dekade bergabungnya papua dengan
indonesia, juga bermunculan adanya indikasi pelanggaran Hak asasi manusia.
Secara sederhana, terminologi
konflik dapat di definisikan sebaga relasi yang menggambarkan
ketidaksejalanan sasaran yang dimiliki atau yang di rasa dimiliki oleh
dua pihak atau lebih. Sedangkan kekerasan di artikan sebagai kegiatan yang
mmencakup tindakan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan
fisik, mental sosial atau lingkungan dan atau menghalangi seseorang meraih
potensi penuh. Konflik atau perang internal di bagi dalam dua jenis pertama, perang atau konflik yang
terjadi antara pemerintah dengan gerakan separatis yang ingin memerdekakan diri
( konflik fertikal); kedua, konflik terjadi antar kelompok di dalam negara atau
lebih di kenal sebagai perang sipil ( konflik horisontal)
Selanjutnya, Muscat
mengungkapkan, konflik biasanya muncul ketika adanya beberapa pemicu (triggers)
dalam situasi yang tengah rentan terjadinya pertikaian. Konflik menurutnya
ditimbulkan karena adanya perbedaan politik, ekonomi, yang cukup mencolok antar
dua kelompok, ia melihat sumber utama terjadinya kekerasan dalam konflik
yang di sebabkan oleh politik, etnis dan budaya adalah tidak adanya
pembangunan dan ekonomi yang bisa menggeliminasi kemiskinan.
|
||||
|
Konflik Horizontal meliputi konflik antar warga sipil, sedangkan
konflik Vertikal adalah konflik antara pemerintah Indonesia dan masyarakat
Papua – banyak korban.
Kecamuk di tanah Papua seperti tidak ada habisnya. Selain
konflik horizontal antar warga sipil, konflik vertikal yang terjadi
antara pemerintah Indonesia dan masyarakat Papua juga telah
memakan banyak korban.
Menurut Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus
Hasanuddin, konflik berkepanjangan ini disebabkan oleh empat hal.
"Pertama,
gagalnya otonomi khusus terutama pembangunan di bidang kesejahteraan ekonomi,
kesehatan dan pendidikan," ujarnya dalam diskusi bertajuk 'Papua: Konflik
Dari Masa ke Masa', di Bakoel Coffe, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (27/3/2013).
Kedua,
imbuh Hasanuddin, konflik disebabkan oleh adanya diskriminasi dan marjinalisasi
terhadap masyarakat asli Papua.
"Ketiga,
adanya perasaan traumatis dari sebagian wargaPapua sebagai akibat
tindakan represif aparat masa lalu, yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM,
namun tidak diusut secara tuntas."
"Dan terakhir, masih terdapatnya perbedaan
persepsi tentang terintegrasinya Papua ke dalam
wilayah NKRI melalui Pepera 1969," ungkapnya.
Table penyebab yang dekat
dari konflik internal (the proximate cause of internal conflict)
Pendorong dari internal
Internality driven)
|
Pendorong dari external
(Externaliti-driven)
|
|
Elite-level
|
Pemimpin yang buruk (bat leaders)
|
Negara tetangga yang buruk
( bat neighbors)
|
Problem domestic yang buruk
(bad domestic problems)
|
Lingkungan sekitar yang buruk
(but neighborhoods)
|
Jika melihat literatur ada
banyak riset yang mncermati konflik di tanah papua. Ester Heidbuchel (2007)
misalnya mengkategirikan konflik papua dalam empat level; pertama adalah subjective level yakni perbedaan stereotip orang papua
dengan indonesia, perbedaan ras,ketakutan disintegrasi versus ketakutan untuk
dimusnahkan, ketidakpercayaan pemerintah terhadap warga papua dan begitu
pula sebaliknya; kedua adalah issue level yakni inkonsistensi kebijakan,
pelanggaran HAM dan korupsi. ketiga adalah damand level, yakni integritas atau
persatuan nasional versus tuntutan merdeka atau pelurusan sejarah. Keempat compromissie level, yakni otonomi khusus.
Konflik papua secara sederhana
menururt amich Alhumani dapat di lihat dari dua sisi, yakni sisi Ekonomi dan
politik. Faktor utama yang bisa
menjelaskan sisi dimensi ekonomi adalah ekspoloitasi sumber daya alam (SDA) Papua yang tidak di
rasakan oleh warga setempat. Semua orang tahu bahwa propinsi Papua adalah propinsi yang kaya di Indonesia. Akan
tetapi fakta menunjukan standar hidup penduduk
asli masih dibawah rata-rata daerah lain. Kebijakan pemerintah pusat telah
menghasilkan adanya kesenjangan kesejahteraan ekonomi yang besar di
antara penduduk Papua tidak puas dengan strategi
pembangunan nasional yang disiapkan pemerintah pusat yang telah nyata bahwa
ketidak sejajaran kesejahteraan
Tidak ada respon yang memadai atas ketidakpuasan itu juga yang kemudian membawa masalah ke
wilayah politik. Kekecewaan atas praktik marjinalisasi yang di lakukan
pemerintah pusat akhirnya membuat beberapa kelompok elit
memperjuangkan kemerdekaan.meski
pemerintah sudah menerapkan Otonomi Khusus (Otsus) sejak tahuin 2001, beberapa
elemen di Papua sudah tetap menyuarahkan pemisahan diri dari Indonesia .
selain melakukan konsolidasi di tingkat akar rumput, mereka juga menggalang
dukungan Internasional dengan melakukan kampanye dalam sejumlah forum
Internasional.
-
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Sementara tim Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) membagi sumber konflik Papua ke dalam empat isu Utama: Pertama, sejarah integrasi dan status identitas politik. Pada problem ini konflik papua di
dasarkan pada adanya perbedaan cara pandang antara nasionalis Indonesia dan nasionalis Papua atas
sejarah peralihan papua kekuasaan papua dari Belanda ke Indonesia. Nasionalis
Indonesia memandang polemik penyerahan kekuasaan dan status politik Papua telah
selesai dengan adanya PEPERA 1969 dan di terimanya hasil penentuan
tersebut oleh majelis umum sidang PBB. Sementara, nasionalis Papua
berpandangan PEPERA 1969 itu sendiri terjadi banyak kecurangan yang di
lakukan oleh pemerintah Indonesia, kalah itu termasuk dalam 1.025 perwakilan
warga.Terlebih nasionalis papua berpegang pada insiden 1 desmber 1961.
Kedua, problem kekerasan politik dan
pelanggaran HAM.
Lipi mencatat problem ini muncul sebagai ekses dari pandangan dari
keutuhan NKRI adalah harga mati dan gagasan memisahkan diri
merupakan tindakan melawan hukum yang di kemudian di identifikasikan secara
militeristik sehingga upaya tersebut di artikan dengan menggunakan pendekatan
keamanan sebagai solusi untuk mengakhiri perbedaan. Hasilnya rakyat Papua
mengalami kekerasan politik dan terlanggar hak asasinya akibat pelaksanaan
tugas memerangi organisasi Papua Merdeka (OPM). Negara seharusnya hadir sebagai
institusi yang mensejahterahkan justru muncul sebagai sosok yang berwajah
sangar.
Ketiga, adalah
problem kegagalan pembangunan. Topik pembangunan di jadikan salah
satu isu utama yang menjadi akar konflik di Papua di karenahkan adanya
ketimpangan yang terjadi. Gap ekonomi dan pembangunan, jika di bandingkan
dengan daerah lain, lalu diskriminasi kebijakan pusat ke daerah dan eksploitasi
besar-besaran yang di lakukan terhadap kekayaan alam Papua adalah
beberapa hal yang menjadikan pemerintah gagal melakukan pembangunan di
Papua. Ironisnya, data menunjukan pembangunan ekonomi justru lebih banyak di
lakukan di erah sebelum dari pada setelah pelaksanaan otsus.kondisi ini
di perparah dengan adanya tingkat kecemburuan sosial yang tinggi antara
penduduk asli dan pendatang atas penguasaan sektor perekonomian.
Terakhir, persoalan
marginalisasi orang papua dan inkonsistensi kebijakan otsus.
Seperti juga telah di singgung Amich Alhumami,praktek marginalisaidapat jelas
terlihat di Papua. Tim lipi menjelaskan marginalisasi dapat di lihat pada asprk
demografi, sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya, seringkali di
identikan dengan kegiatan separatisme. Sedangkan dari bidang politik terutama
di erah orde baru, orang Papua tercatat beberapa kali menduduki jabatan
gubernur.
Sedangkan inkonsistensi kebijakan otonomi dapat di
lihat beberapa contoh kasus, seperti adanya pemekaran provinsi Papua menjadi
tiga bagian yakni Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, seiring dengan
keluarnya Inpres No 1 tahun 2003 tentang percepatan pelaksanaan
undang-undang no 45 tahun 1999 tentang pembentukan propinsi Irian Jaya Tengah,
Irian Jaya Barat, kabupaten Paniai, kabupaten Mimika, kabupaten Puncak Jaya,
dan kota Sorong,yang berisi inplementasi UU no 45 tahun 1999
tentang pembentukan propinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah,
kabupaten Puncak Jaya, kabupaten Paniai, kabupaten Mimika, dan kota Sorong,
pada hal secara hukum. Pemekaran ini mengabaikan UU No 21 tahun 2001 tentang
otonomi ksusus bagi provinsi Papua yang jelas mengamanatkan pemekaran provinsi
Papua di lakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua.
Dengan memperhatikan kesatuan sosial budaya. Apa yang di lakukan pemerintahan
presiden Megawati juga di artikan sebagai bentuk pengingkaran atas upaya yang
pernah di lakukan. Pemerintahan B.J. Habibie dalam mencari solusi damai
mnegakhiri konflik papua.
Sedari awal, kebijakan otsus dapat di ambil sebagai
salah satu cara untuk memenangkan hati dan pikiran rakyat Papua, termasuk
perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua dan keuntungan secara ekonomi.
Meski disisi lain pemerintah pusat tetap menjaga pengaruh terhadap pemerintah
propinsi dan tidak membuka peluang untuk pengakuan terhadap hak tanah
bagi warga Papua. Otto Ondowame juga mencatat pemerintah pusat juga memiliki
hak untuk mengontrol ketak perda khusus, perdasi dan keputusan Gubernur.
Dan pada akhirnya, otsus tidak mencerminkan kebutuhan semua warga Papua.
-
Sekretariat Keadilan dan perdamaian
jayapura
Tinjauan sedikit berbeda mengenai sumber konflik Papua
di uraikan tim sekretariat kedilan dan perdamaian (SKP) keuskupan
Jayapura. Setidaknya ada empat sumber konflik yang di temukan yaitu: pertama, suasanna peradilan (Budaya). Tim SKP
melihat perubahan dengan cepat di Papua seiring bergulirnya waktu
yang membawa kompleksitas tersendiri ternyata tidak bisa di imbangi
denngan nilai-nilai adat istiadat yang selama ini menjadi pegangan warga Papua.
Ketidakadilan pegangan inilah yang membuka celah konflik menjadi besar., kedua, suasana kependudukan (
kemajemukan) tingginya arus transmigrasi ke Papua yang pada awalnya di dorong
pemerintah pusat- telahmenimbulkan kecemasan etrsendiri bagi penduduk
asli. Warga pendatang yang memiliki perbedaan budaya,gaya hidup, gaya
religiusitas,kedudukan,kekuasaan dan lain-lainn kemudian dilihat sebagai
sebuah kemajemukan yang harus di terimah melainkan lahan konflik penduduk asli
sering merasa di perlakukan diskriminatif dan di anggap tradisional sehingga
fenomena multikultur yang sejatinya tidak menonjolkan perbedaan justru malah
memperuncing keadaan.
Lebih lanjut, sumber konflik yang ke tiga adalah suasana ekonomi,(
kesejahtraan), gesekan antara warga pendatang dan penduduk asli apua ternyata
juga di ikuti dengan kecemburuan dari sektor ekonomi. Warga pendatang sering
kali memiliki posisi yang lebih baik pada wilayah ekonomi dari pada penduduk
asli kenyataan ini tidak hanya antara pendatang dengan penduduk
asli bahkan terjadi pula antar suku, kelompok ataupun keluarga, yang ada
di Papua.kondisi ini di perpara dengan masih kentalnya, budaya proyek praktik
perebutan kekuasaan lingkungan di papua.
Khusus konflik komunal maupun pendatang pedudukk
asli,pemandangan ini bukanlah hal yang baru terjadi di bumuh cenderawasih ini.
Sebagai sebuah daerah yang di huni kurang lebih dari 250 suku, konflik antar
penduduk asli menjadi sesuatu yang wajar. Konflik jenis ini sering kali
berhubungan dengan adat kebiasaan yang berbeda dan di akhiri dengan perang
antar suku/ meskipun demikian, mekanisme resolusi konflik secara adat telah
melembaga dalam kehidupan masyarakat papua.
Sumber konflik Papua yang ke empat adalah suasana sosial politik (
hak-hak dasar). Tidak bisa di pungkiri lagi, suasana sosilal politik di papua
sering kali di nilai rawan. Intimidasi,kekerasan fisik dan nonfisik misalnya
sudah mnejadi pemandangan sehari hari di tanah papua. Kondisi ini di perparah
dengan masih belum jelasnya sejarah masyarakat papua terutama misalnya,
yang menyangkut penghargaan dan pengakuan jati diri serta hak dasar untuk
menentukan nasip sendiri telah menjadikan masyarakat memiliki mimpi untuk
menghirup kebebasan. Dan inilah yang memicu ketegangan dan konflik.
-
Sejarah Konflik
Papua
1960
- 2000
- 1966-67: pemboman udara Pegunungan Arfak
- 1967: Operasi Tumpas (penghapusan operasi). 1.500 diduga tewas di Ayamaru, Teminabuan dan Inanuatan.
- Mei 1970: Pembantaian perempuan dan anak-anak oleh tentara Indonesia. Saksi melaporkan melihat seorang wanita memusnahkan, membedah bayinya di tempat dan pak bibi bayi-diperkosa.
- Jun 1971: Bapak Henk de Mari melaporkan bahwa 55 orang dari dua desa di Biak Utara dipaksa untuk menggali kuburan mereka sendiri sebelum ditembak
- Mei 1978: Lima OPM (Organisasi Papua Merdeka) pemimpin menyerah untuk menyelamatkan desa mereka tertangkap masuk Mereka dipukuli sampai mati dengan batang besi panas merah dan tubuh mereka dilemparkan ke dalam lubang jamban. 125 penduduk desa maka mesin ditembak sebagai simpatisan OPM dicurigai.
- pertengahan 1985: 2.500 tewas di wilayah Kabupaten Paniai Danau Wissel, termasuk 115 dari desa-desa Iwandoga dan Kugapa dibantai oleh pasukan 24/6/1985, 10 orang, desa, taman makanan, dan ternak desa Epomani, Obano Sub-distrik; 15 orang, desa, dan ternak dari kabupaten desa Ikopo Monemane, dan 517 orang, 12 desa, taman makanan, dan hidup-stok Monemane. Dsb.
2000
- 2010
- Pada tanggal 31 Agustus 2002: pemberontak menyerang pada sekelompok profesor dari Amerika Serikat. 3 tewas dan 12 lainnya luka-luka. Polisi menuduh OPM bertanggung jawab.
- Pada tanggal 1 Desember 2003: Sekelompok 500 orang mengibarkan bendera separatis, beberapa tindakan lain telah terjadi 42 orang ditangkap.
- Pada tanggal 9 April 2009: Sebuah serangan bom di Jayapura menewaskan 5 orang dan beberapa orang terluka. Sementara itu, sekitar 500 militan menyerang sebuah pos polisi dengan busur dan anak panah dan bom bensin.. Polisi bereaksi dan membunuh seseorang.
- Pada 24 Januari 2010: Pemberontak menyergap sebuah konvoi penambang PT Freeport McMoran. Sembilan orang terluka, OPM menyangkal Tanggung Jawab.
-
Tahun
2014, Papua Daerah Rawan Konflik Urutan Pertama
[foto: int]
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW),
Neta Pane memberikan rekomendasi kepada Polri terkait wilayah yang paling rawan
konflik di tahun 2014 ini. Dengan rekomendasi tersebut diharapkan agar
mendapat perhatian serius dari pihak kepolisian.
Berdasarkan data yang
disampaikan, Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) menjadi wilayah urutan
pertama sebagai wilayah rawan konflik. Selain Papua, terdapat 5 wilayah lainnya
yang juga ikut dirilis Neta sebagai wilayah-wilayah rawan konflik.
“Keenam wilayah itu yakni Papua, Jabar, Jakarta, Sumut, Sulteng, dan
Jateng. Tingginya potensi kerawanan ini mengingat di sepanjang 2013, di keenam
wilayah tersebut paling banyak terjadi konflik sosial,” ujar Neta, Minggu
(05/01/14).
Menurut Dia, di Papua terjadi 24 peristiwa konflik sosial, yang menewaskan
59 orang (termasuk 3 Polisi dan 9 TNI), 92 luka (termasuk 6 Polisi dan 4 TNI),
1 pos polisi dibakar, 11 rumah dibakar, 3 mobil dibakar, 1 mobil dirusak, 3
sepeda motor dibakar, dan 2 motor dirusak pada tahun 2013 lalu.
Bahkan lebih lanjut, seperti dikutip majalahselangkah.com, Papua menjadi
pemegang rekor konflik terbanyak selama tahun 2013.
“Ada 27 yang diterjang konflik social dari 33 propinsi di Indonesia.
Pertikaian antar warga dan antar kelompok mendominasi hilangnya nyawa rakyat,
terutama di Papua sebagai pemegang peringkat tertinggi di 2013,” terang Neta.
Untuk itu, Neta S Pane berharap agar keenam wilayah di atas, khususnya
Papua diperhatikan dengan serius dan dilakukan tindakan-tindakan preventif
sejak dini. (as)