1 st Critical Review: Mengentalkan Toleransi beragama dalam Pendidikan




1 st Critical Review

   

Mengentalkan Toleransi beragama dalam Pendidikan
(by Dewi Patah Andi Putri)
Pendidikan merupakan salah satu karakter dari cermin bangsa.  Kualitas bangsa sangat bergantung dengan pendidikan.  Begitupun sangat erat hubungannya dengan sistem dan metode pengajarannya.  Salah satu metode pengajaran yaitu diskusi dalam kelas.  Muhibbin syah (2000), mendefinisikan bahwa metode diskusi adalah metode mengajar yang sangat erat hubungannya dengan memecahkan masalah (problem solving).  Metode ini lazim juga disebut diskusi kelompok (group discussion) dan resitasi bersama (socialized recititation).  Beberapa keunggulan dari metode belajar diskusi salah satunya yaitu:  mendorong siswa berfikir kritis, mendorong siswa mengekspresikan pendapatnya secara bebas dan memecahkan masalah.  Dengan adanya diskusi, maka adanya interaksi dengan komponen kelas tersebut.  Dalam konteks sekolah interaksi antar siswa sangat dibutuhkan, karena ini berhubungan dengan rasa saling menghormati, membantu, berbagi dan sopan santun terhadap satu sama lain.

Dalam pendidikan juga terdapat perbedaan antara pendidikan umum dan pendidikan liberal.  Liberal menurut Oxford Learner’s Dictionary (1989: 717) berarti tolerant and open-minded; free from prejudice; yakni toleran (Arab: tasamuh), berpikir terbuka, tidak picik dan tidak berburuk sangka.  Pendidikan liberal adalah pendidikan yang diniati untuk memperluas wawasan (maha)siswa, tidak sekedar pelatihan teknis dan profesional.  Tantangan terbesar dari pendidikan liberal adalah sejauh mana pendidikan liberal mampu menanamkan prinsip-prinsip pendidikan agar lulusan siap menghadapi perubahan dunia.  Dengan kata lain, pendidikan liberal harus membekali mahasiswa dasar-dasar pendidikan “umum” yang memungkinkan mereka mampu belajar tiada henti dalam dunia kerjanya. 
Dalam kehidupan sehari-hari kita jauh lebih mudah belajar dari umum ke khusus dari pada sebaliknya, dari khusus ke umum.  Dalam wacana pendidikan istilah pendidikan umum (general education) sering dipertukarkan dengan pendidikan liberal, karena fungsi dari keduanya itu hamper sama, yaitu menyiapkan individu sebagai pribadi utuh, bukannnya menyiapkan tenaga vokasional.  Namun juga terdapat perbedaan antara pendidikan liberal dan pendidikan umum, yaitu pendidikan liberal terfokus pada mata pelajaran sebagai warisan tradisi (klasik) dan lebih mengembangkan aspek intelektual.  Sedangkan pendidikan umum, lebih berfokus pada pengembangan pribadi dalam skala yang lebih luas tidak sekedar aspek intelektual, tetapi semua aspek yaitu intelektual, emosi, sosial, dan moral peserta didik.  Pendidikan nilai lebih terwadahi oleh pendidikan umum dari pada oleh pendidikan liberal.  
Dalam konteks Indonesia, pendidkan liberal harus mencangkup pengetahuan etnis, agama, dan minoritas bahasa dan budaya.  Dengan demikian, pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun terhadap propinsi orang lain.  Namun, masalah sosial berulang seperti tawuran pelajar, bentrok antar pemuda yang disebabkan oleh kurangnya rasa hormat terhadap kelompok orang lain yang berbeda.  Seperti konflik sosial dan ketidak harmonisan agama.  Konflik ini, disebabkan karena kurangnya rasa menghargai dan saling hormat antar individu.  Perbedaan konsepsi di antara agama-agama yang ada adalah sebuah realitas, yang tidak dapat dimungkiri oleh siapa pun. 
Perbedaan itu terjadi pada hampir semua aspek agama.  Hal ini dalam prakteknya, cukup memicu konflik fisik antara umat berbeda agama.  Sejumlah kerusuhan dan konflik sosial telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia, beberapa tahun terakhir. Beberapa di antaranya berskala besar dan berlangsung lama, seperti kerusuhan di Ambon, (mulai 1998), Poso (mulai 1998), Maluku Utara (2000).  Konflik lain juga terjadi antar etnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas (2008), Papua (2010) dan Singkawang (2010).  Kemudian kasus bunuh diri, pemboman gereja di Surakarta.
Dengan demikian, kerukunan umat beragama harus dikembangkan disekolah pada usia sedini mungkin, hal ini bertujuan untuk membentuk karakter seseorang untuk saling menghargai dan menghormati orang lain dalam kelompok yang berbeda. Berbagai penelitian menunjukan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka.  Dengan adanya konteks seperti ini, akan timbulnya hubungan saling menghormati, berbagi, dan sopan terhadap satu sama lain.  Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan social (Rubin, 2009).
Sebuah laporan penelitian Apriliaswati (2011) menyimpulkan bahwa interaksi teman sebaya dalam dalam kelas, merupakan kegiatan postif dikalangan siswa.  Oleh karena itu, pada sekolah dasar, disarankan agar mempromosikan interaksi sebaya harus dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan rutin kelas.  Studi Apriliaswati mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan tidak hanya penalaran ilmiah, tetapi juga wacana sipil positif.  Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam pengembangan warga intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga Negara yang beradab.
Mengenai tulisan pak chaedar saya setuju jika kerukunan beragama harus dikembangkan di sekolah pada awal usia mungkin.  Karena ini sangat berpengaruh untuk membentuk karakter seseorang untuk saling menghargai orang lain yang berbeda kelompok.  Sebagai makhluk sosial manusia tentunya harus hidup dalam sebuah masyarakat yang kompleks akan nilai karena terdiri dari berbagai macam suku dan agama. Untuk menjaga persatuan antar umat beragama maka diperlukan sikap toleransi.dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sikap memiliki arti perbuatan dsb yang berdasarkan pada pendirian, dan atau keyakinan sedangkan toleransi berasal dari bahasa Latin yaitu tolerare artinya menahan diri, bersikap sabar,membiarkan orang berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki pendapat berbeda (W.J.S Poerwodarminto; wartawarga.gunadarma.ac.id/).
Anak-anak diperkenalkan pada nilai-nilai agama lain. Bahwa ada yang sama dan ada yang berbeda-beda dari agama-agama di lingkungannya.  Lalu, mereka akan melihat dengan jelas segala perbedaan di sekelilingnya. Dengan demikian mereka akan tertanam rasa saling menghargai antara satu dengan yang lain, seperti antar suku, agama, ras, dan antar-golongan.  Karena di Indonesia adanya multikultural, yang mana siswa berasal dari latar belakang etnis, agama dan sosial yang berbeda.  Oleh karena itu disarankan agar pendidikan pada usia dini lebih mengedepankan interaksi sebaya, yang  mana bertujuan untuk berinteraksi antara satu dengan yang lain, khususnya interaksi dengan kelompok yang berbeda. 
Namun dalam hal ini saya sedikit kurang setuju jika dalam pembelajaran pada sekolah usia awal atau pada sekolah dasar, siswa diajak untuk melakukan pembelajaran menggunakan diskusi karena dalam hal ini siswa sekolah dasar belum cukup mampu untuk menganalisis sebuah kasus dan belum bisa untuk mengekspresikan pendapatnya.  Di paparkan kan juga dari studi ariliaswati, yang meneliti tindakan tiga siklus yang dilakukan dengan kelas empat dari 43 siswa disebuah sekolah dasar di Pontianak, kota dimana bentrokan antar etnis yang cukup sering terjadi.  Dalam studi ini membuktikan bahwa sekolah harus berfungsi sebagai laboratorium, karena siwa sekolah dasar belum mampu memberikan alas an informasi dan bukti argument, sehingga dalam hal ini diskusi tidak berjalan dengan maksimal.
Di Indonesia, masih kurangnya menjaga hubungan baik terhadap sesama individu dan ini salah satu yang menyebabkan terjadinya konflik antar kelompok, salah satunya yaitu konflik perbedaan konsepsi di antara agama-agama yang ada ini adalah sebuah realitas, yang tidak dapat dimungkiri oleh siapa pun. Perbedaan bahkan benturan konsepsi itu terjadi pada hampir semua aspek agama, baik di bidang konsepsi  tentang Tuhan maupun konsepsi pengaturan kehidupan. Hal ini dalam prakteknya, cukup sering memicu konflik fisik antara umat berbeda agama.  Sejumlah kerusuhan dan konflik sosial telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia, beberapa tahun terakhir. Beberapa di antaranya berskala besar dan berlangsung lama, seperti kerusuhan di Ambon, (mulai 1998), Poso (mulai 1998), Maluku Utara (2000), dan beberapa tempat lain.
Selain itu juga kerusuhan di Situbondo pada Oktober 1996.  Pada penghujung Desember 1996 muncul kerusakan serupa di Tasik Malaya.  Sebelumnya (1990), kasus yang cukup signifikan untuk dikemukakan yaitu ketika Arswendo Atmoditolo yang mengadakan kuis di Tabloid monitor yang merengking Nabi, yang hasilnya melecehkan umat islam tahun 1996.   Kemudian pada awal 1997 konflik serupa pecah di Rengas Dengklok.  Tahun 1998 pecah Insiden Ketapang yang kemudian berlanjut pada Tragedi Ketapang.  Pada tahun yang sama pula, terjadi konflik pertikaian antar agama di Halmahera dan Poso. Lalu pada 28 Mei 2000 terjadi pengeboman terhadap rumah-rumah ibadah di Medan. 
Terjadinya berbagai konflik yang bernuansa agama di tanah air ini, banyak hal yang tampaknya tidak berakar pada teologis.  Setiap terjadinya konflik antar umat beragama kita merasa kesulitan untuk mendeteksi akar tunggal yang menjadi penyebab utamanya.  Beberapa faktor yang perlu dicermati sehubungan dengan terjadinya konflik sosial yang membonceng faktor etnis dan agama, salah satuya yaitu kita harus menyadari gerakan etnis yang merupakan gerakan yang muncul sebagai respon pada kapitalisme dan budaya manusia berdasarkan pada teknologi modern, tatanan komunikasi, dan informasi, yang juga melahirkan model baru yang homogenitas seluruh Indonesia.    
Oleh karena itu manusia dituntut untuk mencari titik-tik tertentu yang memungkinkan adanya titik temu atau paling tidak kebersamaan, sehingga terbuka peluang untuk tumbuhnya sikap toleran dalam menyikapi perbedaan antar kelompok.  Untuk dapat sampai ketingkat kebersamaan antara manusia, kita perlu mengarahkan pandangan ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih dalam, Sehingga perbedaan-perbedaan yang biasanya berada pada ranah material dan simbolis dapat terlampaui.  Dengan demikian toleransi antar kelompok sangat lah dibutuhkan, terutama toleransi beragam
Dalam hal ini sangat pentingnya pendidikan liberal, karena pendidikan liberal bertujuan untuk membebaskan siswa dari rabun dari budaya orang lain.  Dalam konteks Indonesia pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama, dan minoritas bahasa dan budaya.  Rovsky (1990) menyebutkan lima indikator standar pendidikan pada jebolan S-1 di AS, yaitu (1) mampu berfikir dan menulis secara jelas dan efektif atau mampu berfikir kritis, (2) mampu mengapreasikan secara kritis cara kita memperoleh pengetahuan dan memahami alam semesta (yakni menguasai dasar-dasarmetode matematik dan eksperimen dalam pengetahuan fisika dan biologi), (3) tidak buta ihwal budaya-budaya asing, (4) memiliki pengetahuan dan pengalaman memikirkan persoalan-persoalan moral dan etika, dan (5) memiliki pengetahuan mendalam di bidang tertentu, yakni dibidang keahliannya.  Dengan demikian pendidikan liberal dimaksudkan untuk menjadikan manusia seutuhnya.
Namun beberapa orang melihat kelemahan dalam pendidikan liberal, seperti orientasi yang berlebihan terhadap teks klasik menutup pintu bagi pengetahuan terkini yang merupakan buah kemajuan ilmu dan teknologi yang sulit dihindari.  Lalu orientasi pada pengembangan intelektual bisa mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan seutunya, seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks.  Serta spesialisasi yang berlebihan, seperti yang tampak pada mata pelajaran, bisa berarti reduksi terhadap kemanusiaan.  Spesialisasi mempersempit diri, sementara tantangan hidup semakin menglobal, kompleks, dan lintas disiplin.
Saya juga setuju jika kebijakan ditegakan dalam sebuah sekolah yang ditangani oleh guru yang berbeda agama, etnis dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda.  Lalu dalam sekolah ini juga harus menyediakan tempat ibadah bagi semua agama, karena dengan demikian kita akan belajar bagaimana orang menghargai ritual keagamaan dan dengan demikian kita lebih saling menghargai perbedaan kelompok disekitar kita.  Seperti sebuah kasus yang terjadi di Potret lokasi Salatiga, Magelang dan Semarang memperlihatkan eksistensi kampung-kampung muslim dan area-area non muslim.  Sebut saja Kauman, adalah nama kampung-kampung dekat masjid tertentu di sebagian besar Jawa Tengah sebagai  tempat tinggal orang-orang Islam  yang  melaksanakan agama secara sungguh-sungguh (Hurgronje (1988: 24).  
Adapun Pastoran adalah nama tempat di Jawa Tengah sebagai pusat kedudukan  pastor sebagai pemimpin agama Kristen Katolik. Kauman dan Pastoran sebagai sebuah kampung mempunyai ciri khas yang membedakan dengan kampung-kampung lain.  Kedekatan lokasi kauman dan pastoran di Muntilan, misalnya yang tergolong unik secara morfologis, karena keduanya berdampingan langsung.  Hal ini berbeda dengan kauman dan kampung “indo-Belanda” di Yogyakarta dan Surakarta yang sering menjadi rujukan kota di Jawa. Pasalnya, kampung  kauman di Yogyakarta berjauhan jarak dengan kampung “indo-Belanda”.  Kampung “indo-Belanda”  berada di  Loji Kecil dan Kota Baru.  Begitu pula perkampungan “Indo-Belanda” di Surakarta berjauhan jarak dengan kauman, sebab kampung ini berada di daerah Babarsari.  Kauman dan Pastoran di Muntilan juga berbeda secara morfologis dengan kota-kota pantai, seperti Semarang, Kendal, Tegal, dan Jepara yang tidak memiliki kraton (Daldjoeni, 1998: 19-20).
Di wilayah Magelang, khususnya Muntilan merupakan tonggak  kekuatan historis bagi perkembangan Kristen-Katolik  pribumi. Vriens (1972: 207-209) mencatat Muntilan sebagai tempat Kweeschool pertama di Indonesia (1904) untuk guru-guru asli Indonesia. F.v. Lith, S.J. (1863-1926)  sebagai misionaris paling terkenal di antara bangsa Jawa akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 memilih Muntilan sebagai tempat karya misinya. Bagi umat Islam, terutama kalangan tarekat, Muntilan juga mempunyai gaung spesifik, karena kedudukan para ulamanya.
Salatiga, sebagai sebuah kota kecil sarat dengan kaum pendatang yang kemudian membentuk kelompok, berkembang umat di Wilayah Salib Putih, sementara kaum Muslim berdiam di Kauman juga senada sebagaimana terjadi pada kasus daerah Muntilan sebagaimana tersebut di atas. Menyimak posisi Kauman dan  Pasturan secara morfologis tersebut, maka ada beberapa pertanyaan historis, antropologis,  sosiologis, dan politis  yang layak diteliti secara serius. Pertanyaan-pertanyaan yang terumuskan dalam pokok masalah proposal ini berkait kelindan dengan beberapa kondisi  aktual berikut ini.  Pertama, dialog antaragama sedang terus mencari bentuk yang tepat untuk kasus-kasus Indonesia.  Adat masyarakat seperti Pela Gangong  di Ambon dan Maluku Tengah  ternyata telah mengalami degradasi fungsional (Sihbudi 2001).  Konflik antarkampung berdampingan yang berbeda agama  pun terjadi dan menorehkan sejarah pahit di Indonesia. (Triyono, 2001). 
Negara tentu berkehendak agar terhindar dari konflik-konflik seperti itu, sehingga  memerlukan masukan dini secara akademis. Kedua, Sinyal Huntington tentang  the Clash of Civilization awal tahun 1990-an (Tamara dan Taher, 1995: 3-34) memang tidak benar  secara menyeluruh, tetapi Nurcholish Madjid  (1995: 42) berpendapat agar bangsa Indonesia tetap memperhatikannya secara serius.  Hal ini didasarkan atas kondisi empirik Indonesia yang plural agama.  Ketiga, Arus pluralisme di tengah umat manusia adalah tantangan serius bagi agama-agama dunia (Coward, 1994: 5). Agama-agama subyek pluralisme itu ada dan berkembang di Indonesia.  Di antaranya disebut Komarudin Hidayat (1995: 125) adalah Yahudi, Nasrani, Islam, dan Hindu-Budha.
Saya juga setuju, jika pada sekolah dasar, guru kelas berfungsi untuk mengawasi siswa sepanjang hari.  Seorang guru sekolah dasar harus memberitahu bagaimana cara merancang dan memfasilitasi interaksi teman sebaya dengan benar, yang mana ini juga termasuk kedalam salah satu mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan.  Dengan guru memberikan cara interaksi yang benar antara kelompok yang berbeda, akan membangun karekter anak yang lebih bertoleran terhadap antar kelompok.  Dengan cara memperkenalkan budaya-budaya serta khususnya memperkenalkan agama yang dimiliki bangsa.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia memiliki keberagaman budaya, tak terkecuali sistem kepercayaan atau agama.  Yang mana memiliki 6 agama yang diakui Negara yaitu: Islam, Kristen Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu.  Disamping toleransi antar umat beragama, Negara juga mengaturnya dalam UUD 1945 pasal 29 yang bunyinya: (1) Negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Kebebasan beragama termasuk kebebasan untuk menukar agama dan tidak mengikut mana-mana agama.  Dalam negara yang mengamalkan kebebasan beragama, agama-agama lain bebas diamalkan dan ia tidak menghukum atau menindas pengikut kepercayaan lain yang lain daripada agama rasmi.  Perkara 18 dalam Kovenan Antarabangsa PBB tentang Hak-Hak Sivil dan Politik menyatakan dasar yang menafikan kebebasan seseorang untuk mengamalkan agamanya merupakan satu kezaliman rohaniah. Kebebasan beragama merupakan satu konsep perundangan yang berkaitan, tetapi tidak serupa dengan, toleransi agama, pemisahan diantara agama. 
Perisytiharan Hak Asasi Manusia Sejagat yang diterima oleh 50 anggota.  Perhimpunan Agung PBB pada 10 Disember 1948, dengan lapan berkecuali, di Paris, mentakrifkan kebebasan beragama sebagai: “Setiap orang berhak kepada kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak-hak ini termasuk kebebasan untuk menukar agama atau kepercayaan, dan kebebasan, sama ada sendirian atau dalam masyarakat bersama orang lain dan dalam ruang awam atau peribadi, untuk menzahirkan agama atau kepercayaannya dalam pengajaran, amalan, penyembahan dan pengamalan agama”.










Jadi text A chaedar Alwasilah yang berjudul “Wacana Kelas Untuk Memupuk Kerukunan Beragama” ini berisikan tentang mengankat masalah sosial yang terjdai berulang-ulang seperti tawuran antar pelajar, bentrok pemuda dan yang menguak yaitu kurangnya semata-mata kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda.  Konflik ini terjadi karena tidak adanya karakter saling bertoleran antar kelompok.
Namun dalah hal ini, diharapkan pembentukan karakterisktik yang mengundang rasa toleransi terhadap antar kelompok yang berbeda ditanamkan pada pendidikan usia awal atau sekolah dasar.  Dengan demikian seorang guru sekolah dasar diharapkan untuk lebih memperhatikan interaksi siswa dan lebih pemperkenalkan budaya-budaya khususnya agama yang ada pada bangsa ini. 
Selain itu kita juga bisa belajar dari sebuah kasus yang terjadi di Potret lokasi Salatiga, Magelang dan Semarang memperlihatkan eksistensi kampung-kampung muslim dan area-area non muslim.  Sebut saja Kauman, adalah nama kampung-kampung dekat masjid tertentu di sebagian besar Jawa Tengah sebagai  tempat tinggal orang-orang Islam  yang  melaksanakan agama secara sungguh-sungguh (Hurgronje (1988: 24).  Ini merupakan salah satu bentuk kerukunan beragama, karena kita bisa saling bertoleran tanpa menganggap adanya perbedaan antar kelompok.
Dengan demikian Indonesia harus menguatkan pendidikan liberal, dalam konteks ini pendidikan liberal di Indonesia harus mencakup pengetahuan etnis, agama, dan minoritas bahasa dan budaya.  Dengan demikian pendidikan liberal bertujuan untuk memebebaskan siswa dari rabunnya budaya kelompok yang berbeda.




   

Referensi:
Alwasilah Chaidar, Pokonya Rekayasa Literasi
www.scribd.com/.../Makalah-Kerukunan-Antar-Umat-Beragama - Tembolok - Mirip
file:///G/model Kerukunan Antar Umat Beragama, STAIN Salatiga,htm
file:///G/Kerukunan Umat dalam Beragama,htm
file:///G:/tugas-tugas kebebasan menurut pasal 29 UUD 1945,htm











Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment