1 st Critical Review: Pendidikan Toleransi


1 st Critical Review
Pendidikan Toleransi 
 (By: Evi Alfiah)
Di muka bumi ini tidak ada hal yang sama. Meskipun itu ada, tetapi pasti terkait dengan kuantitas dan itu tidak bisa dipungkiri.  Tidak ada hal yang sama seluruhnya.  Apalagi di negeri Indonesia tercinta ini, darisemboyan Bhinneka Tunggal Ika sudah jelas tergambar bahwa Indonesia ini terdiri dari kumpulan perbedaan dari hal yang sederhana seperti bahasa dan dialek, sampai hal yang rumit seperti kepercayaan dan adat-astiadat yang dianut. Indonesia adalah sebuah negara yang penduduknya majemuk dari segi suku bangsa, budaya dan agama.
Perbedaan konsepsi di antara agama-agama yang ada adalah sebuah realitas, yang tidak dapat dimungkiri oleh siapa pun. Perbedaan dan perselisihan terjadi pada hampir semua aspek agama.  Hal ini sering memicu konflik fisik antara umat berbeda agama.  Semua ajaran agama pada dasarnya ba­ik dan mengajak kepada kebaikan. Na­­­mun, nyatanya tidak semua yang di­anggap baik itu bisa bertemu dan se­iring sejalan. Bahkan, suatu waktu da­pat terjadi pertentangan antara yang sa­­­­tu dengan yang lain. Alasannya tentu ber­­ma­cam-macam. Misalnya, tidak mes­ti yang dianggap baik itu benar. Juga, a­pa yang benar menurut manusia belum tentu dibenarkan oleh Tuhan dan alasan lain  yang dapat dimuncul­kan.
Untuk menanggulangi persoalan-persoalan itu, dibutuhkanlah sebuah sistem pendidikan yang mengajarkan siswa untuk dapat hidup rukun dan toleransi terhadap setiap perbedaan.  Berkaitan dengan upaya pengembangan sikap toleransi beragama di Indonesia, peran institusi pendidikan formal, termasuk institusi pendidikan yang dikelola oleh organisasi keagamaan khususnya Islam dan Kristen sangat penting.
Agama pada dasarnya memiliki faktor integrasi dan disintegrasi. Faktor integrasi, antara lain, agama mengajarkan persaudaraan atas dasar iman, kebangsaan dan kemanusiaan. Agama mengajarkan kedamaian dan kerukunan di antara manusia dan sesama makhluk. Agama mengajarkan budi pekerti yang luhur, hidup tertib dan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku dalam masyarakat.   Seorang Guru kiranya mampu menjadi pengajar dan pendidik di dalam kelas agar peserta didik bisa diarahkan pada suatu budi pekerti yang baik, pendidikan yang efektif  , pendidikan nilai, pendidikan moral dan pendidikan karakter.  

Kualitas suatu bangsa bisa dilihat dari kualitas dan praktek sistem pendidikannya.  Hampir semua negara-negara maju menyadari akan hal itu.  Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan siswa keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat, dan warga negara.  Konflik sosial dan ketidakharmonisan agama khususnya merupakan tantangan bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga negara yang demokratis dengan karakter yang baik.
Untuk mewujudkan tujuan ini, kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah seawal mungkin. Siswa berasal dari latar belakang etnis, agama dan sosial yang berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang mereka. Program sekolah harus bisa memfasilitasi interaksi siswa untuk mengembangkan perilaku positif.
Indikator civil discourse yaitu mendengarkan penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat dan ini berlaku untuk setiap mata pelajaran sekolah.  Siswa harus dilatih untuk mendengarkan secara aktif dengan mempertahankan kontak mata langsung, berdiri diam dan bergiliran dalam berbicara. Mereka juga harus diajarkan bagaimana untuk menyumbangkan ide-ide yang relevan dengan topik diskusi.  Pada sekolah dasar, guru kelas berfungsi untuk mengawasi siswa hampir sepanjang hari.
Pada penyelesaian pendidikan formal mereka, siswa memasuki dunia di mana kemampuan untuk menjaga hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan individu. Sebaliknya, ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik dapat merugikan individu dan dapat menyebabkan tingkat tertentu konflik sosial dalam suatu masyarakat tertentu.  Bentuk-bentuk radikalisme telah mengganggu hubungan sosial dan dapat menghasilkan saling tidak percaya di antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat.  Oleh karena itu, disarankan agar mempromosikan interaksi sebaya harus dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan rutin kelas. Siswa harus diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan satu sama lain melalui tugas-tugas kelompok untuk berlatih mendengarkan penuh perhatian, berdebat hormat dan suara mengorbankan untuk mempersiapkan mereka untuk hidup sebagai anggota fungsional dari suatu masyarakat yang demokratis. Sekolah harus berfungsi sebagai laboratorium untuk latihan masyarakat sipil .
Sebagai siswa SD, anak-anak yang belum mampu memberikan alasan informasi dan bukti dari argumen mereka tapi bisa mengekspresikan kesepakatan dan ketidaksepakatan dengan cara yang sopan. Selain itu, para siswa tampak percaya satu sama lain, sehingga kompromi dan konsensus dapat dicapai dengan cara sipil. Pendidikan harus mengembangkan tidak hanya pada penalaran ilmiah, tetapi juga pada wacana sipil positif.  Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang beradab.
Pendidikan kita saat ini gagal untuk memberikan para siswa dengan kompetensi wacana sipil. Sebagian besar politisi dan birokrat telah datang ke kekuasaan karena pendidikan yang mereka telah diperoleh. Sayangnya, banyak dari mereka tidak memiliki kompetensi tersebut. Guru SD harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu, interaksi dengan siswa yang berbeda agama, etnis dan kelompok-kelompok sosial yang berbeda.
Idealnya kebijakan harus ditegakkan dimana sekolah yang dikelola oleh guru dan tenaga yang berbeda agama, etnis dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Maka sekolah tersebut juga harus menyediakan tempat ibadah bagi siswa dari semua agama. Siswa akan belajar bagaimana orang lain melakukan ritual keagamaan. Dan ini akan menjadi bentuk efektif pendidikan agama dalam lingkungan sekolah multikultural.  Cara tradisional pengajaran agama telah dikritik karena menekankan aspek teologis dan ritual, sementara mengabaikan aspek-aspek sosial, interaksi yaitu horizontal dan toleransi antar pengikut agama yang berbeda.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa dan budaya. Siswa harus diberikan pengetahuan yang memadai pada setiap daerah.  Dengan demikian didefinisikan, pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsial terhadap orang lain. Pada dasarnya, itu penempaan kamil insan , yaitu orang yang ideal yang memenuhi kriteria untuk mengasumsikan setiap pekerjaan atau penunjukan sebagai warga negara yang demokratis. 


Pada penjabaran yang tertera dalam postingan The Jakarta Post, oktober 22, 2011 oleh A. Chaedar Alwasilah dalam bukunya yang berjudul Pokoknya Rekayasa Literasi, membahas tentang pendidikan di kelas dalam rangka menjaga keharmonisan beragama.  Hampir seluruhnya pernyataan dalam wacana ini selaras dengan kebenaran yang ada.  Seperti pernyataan yang mengungkapkan bahwa If you want to know the qualities of a nation, just look at the quality and practices of its education system. Almost all advanced nations realize this link and have thus established good education systems.
Kualiatas suatu bangsa dapat dilihat dari system pendidikannya, jika sistem pendidikan suatu bangsa itu baik maka bangsa tersebut adalah baik begitupun sebaliknya jika sistem suatu bangsa itu buruk maka bangsa itu buruk.  Sistem pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan dan dibuat dengan sebaik mungkin agar terciptanya suatu pembelajaran yang baik sehingga mencetak pelajar-pelajar yang baik pula.  Negara-negara majupun menyadari akan hal itu dan menerapkannya sehingga terbentuklah negara maju.
Dalam wacana ini juga menjelaskan bahwa One of the goals of elementary education is to provide students with basic skills to develop their lives as individuals, members of the community and citizens of the country. These basic skills are also the foundation for further education. Pentingnya pendidikan dasar dalam sistem pendidikan di Indonesia dalam rangka menumbuh kembangkan kehidupan mereka, menanamkan pemabelajaran dan pemahaman terhadap anak didik sejak dini untuk memiliki pribadi yang baik.  Toleran terhadap segala perbedaan agar mereka siap untuk berperan sebagai individual, masyarakat dan warga negara.
Sehingga dalam wacana ini menjelaskan bahwa To materialize this goal, religious harmony should be developed at school at as early an age as possible. It is most urgent that we promote creative and innovative programs to support positive civil discourse among students.  Pendidikan dasar sangatlah penting untuk menanamkan pembelajaran dan pemaham untuk mencegah masalah perselisihan yang bisa saja muncul sewaktu-waktu.  Contohnya perselisihan antarumat beragama seperti konflik Maluku, Poso, ditambah sejumlah kasus terpisah di berbagai  tempat di mana kaum Muslim terlibat konflik secara langsung dengan umat Kristen.  Hal ini dipicu oleh perbedaan konsep di antara kedua agama ini.
Contoh yang lainnya yaitu Perang Salib (1096-1271) antara umat Kristen Eropa dan Islam, pembantaian umat Islam di Granada oleh Ratu Isabella ketika mengusir Dinasti Islam terakhir di Spanyol, adalah konflik antara Islam dan Kristen yang terbesar sepanjang sejarah. Catatan ini, mungkin akan bertambah panjang, jika intervensi Barat (Amerika dan sekutu-sekutunya) di dunia Islam dilampirkan pula di sini.  Tercatat pula yang terjadi di Indonesia 2.883 konflik agama terjadi pada tahun 2012. (Sindo News : 2012).
Mentri Agam Surya Dharma Ali mengungkapkan bahwa konflik agama itu wajar karena itu fitrah manusia.  Manusia diciptakan oleh Allah SWT termasuk di dalamnya sifat amarah, tetapi amarah itu diatur oleh agama yang mengajari kita untuk tidak marah dan cepat marah apa lagi menyakiti orang.  Bahkan dalam oleh Undang-undangpun diatur tentang kebebasan beragama.  Pentingnya menanamkan sikap toleran di kalangan siswa. Hal ini bisa di lakukan di dalam kelas karena para siswa cenderung berinteraksi di kelas untuk itu seorang pengajar bisa memberikan pemahaman tentang interaksinya.
Pendidikan pada umumnya dan pendidikan budi pekerti pada khususnya merupakan sarana untuk mengadakan perubahan secara mendasar, karena membawa perubahan individu sampai ke akar-akarnya.  Pendidikan kembali akan merobahkan tumpukan pasir jahiliyah (kebodohan),  membersihkan, kemudian menggantikannya dengan bangunan nilai-nilai baru yang lebih baik, kokoh (dewasa), dan bertanggung jawab.   Pada saat pertumbuhan anak perlu ditanamkan nilai-nillai tersebut sejak dini sehingga sejalan dengan fitrah Allah SWT.  Anak bagaikan benih yang harus ditanam di tempat persemaian yang cocok, agar dapat berkembang dan orang tua (pendidik) dapat memeliharanya.  Oleh karena itu, mereka perlu diberi materi makanan yang sesuai, dijaga dari bahaya dan badai yang dapat mengganggu atau menyebabkan pertumbuhannya berkembang secara tidak normal.  (Dra. Nurul Zuriah, M. Si. Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, 6 : 2007).
Namun, dalam pembahasan dalam wacana ini terdapat satu hal yang kurang realistis bahwa Elementary school teachers should provide opportunities to students to foster meaningful experiences, i.e., interactions with other students of different religion, ethnicity and from different social groups.  Memang benar sikap toleran harus diajarkan dan diterapkan kepada siswa sejak dini, tetapi jika konteksnya tentang masalah agama mungkin seorang anak seperti halnya anak SD, kurang bisa memahami hal itu apalagi dengan konfliknya beragama itu sendiri.  Seorang anak masih sangat polos untuk menghadapi permasalahan yang sekiranya diperdebatkan oleh orang dewasa.  Hal tersebut malah dikhawatirkan menganggu psikologi anak tersebut.  Seorang guru SD mungkin bisa mengajarkan secara global dan dengan pemahaman yang halus tentang perbedaan itu sendiri, agar peserta didik mudah menerima dan menaplikasikannya ketika berinteraksi di dalam kelas dengan pemahaman saling menghormati satu sama lain.
Ideally a policy should be enforced whereby schools are staffed by teachers and personnel of different religions, ethnicities and from different social groups. The campus should also provide places of worship for students of all religions. Students will learn how others perform religious rituals. And this would be an effective form of religious education within a multicultural school setting.  Pernyataan ini bisa saja diterapkan dalam lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Indonesia dengan catatan di dalamnya merupakan siswa-siwa yang sudah memahami apa itu perbedaan agama.  Namun jika diterapkan pada sekolah dasar mungkin hal ini kurang memadai. Karena jika seorang anak dihadapkan dengan tatacara beragama dalam satu wadah yang memiliki berbagai agama,  kiranya itu akan berpengaruh buruk pada dirinya karena seorang anak hanya bisa menerima apa yang ia tahu.
Berdasarkan pernyataan di atas,  sudah sewajarnya para pendidik melakukan berbagai usaha dalam melakukan perbaikan pelaksanaan pendidikan dalam rangka mengajari budi pekerti  untuk mengisi jiwa peserta didik dengan perbuatan yang baik.  Penerapan pendidikan budi pekerti tersebut dapat diwujudkan melalui upaya keteladanan, pembiasaan, pengalaman, dan pengkondisian lingkungan.
  Pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran di sekolah yang bertujuan mengembangkan watak atau tabiat siswa dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, dan kerja sama (Banks, 1990 : 429; Jarolimek, 1990 : 53).  Menurut Jarolimek (1990 : 53-57) untuk menghindari kerancuan pendidikan budi pekerti dengan jenis pendidikan afektif, pendidikan nilai, pendidikan moral, dan pendidikan karakter.
 Pendidikan afektif yang berusaha mengembangkan aspek emosi atau perasaan yang umumnya terdapat dalam pendidikan humaniora dan seni, namun juga dihubungkan dengan nilai-nilai hidup, sikap, dan keyakinan untuk mengembangkan moral dan watak sesorang.  Pendidikan nilai yang mengembangkan pribadi siswa tentang pola keyakinan yang terdapat dalam system keyakinan suatu masyarakat tentang hal baik yang harus dilakukan dan hal buruk yang harus dihindari.  Pendidikan moral yang berusaha mengembangkan pola perilaku sesorang sesuai dengan kehendak masyarakatnya. Pendidikan karakter yang hampir sama dengan pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran di sekolah yang bertujuan mengembangkan watak atau tabiat siswa.
Berlanjut pada pendidikan liberal, dalam wacana ini menyatakan bahwa In an Indonesian context, liberal education must include knowledge of ethnicity, religion and minority languages and cultures. Regardless of their career — politician, engineer, farmer, or businessman — students should be provided with adequate knowledge in these areas.  Thus defined, liberal education aims at liberating students from myopic and provincial attitudes toward others. Basically, it is forging insan kamil, namely an ideal person who fulfills the criteria to assume any job or appointment as a democratic citizen.
Menurut Oxford Learner’s Dictionary (1989 : 717) kata liberal berarti tolerant and open minded; free from prejudice; yakni toleran (Arab : tasamuh), berfikir terbuka tidak picik dan tidak berburuk snagka.  Ideology pendidikan liberal dapat diartikan sebagai model dalam teori ilmu pengetahuan dalam usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat yang sesuai dengan paham teori, dan tujuan yang merupakan satu program social politik yang bebas berpandangan luas dan terbuka.
Melihat pengertian tentang pendidikan liberal dan disangkut pautkan dengan pembahasan di atas, terlihat cocok dan sesuai jika diterapkan sebagai suatu system pendidikan.  Saling toleran menjadi poin yang sangat penting untuk menghadapi setiap perbedaan dalam lingkungan khususnya lingkungan pendidikan.  Ketika toleran itu dapat dipelajrai dan diaplikasikan oleh setiap peserta didik maka akan terciptanya kerukunan semua dari perbedaan yang ada.
                                                                                                                                                                                                                                                                 
Dari critical review di atas dapat disimpulakan bahwa kualitas bangsa yang baik adalah bangsa yang memiliki system pendidikan yang baik.  System pendidikan yang baik adalah sebuah system yang bisa membangun hal yang positif dan tidak menimbulkan persengketaan.  Pengajaran yang tepat juga merupakan system yang baik. Kerukunan umat beragama adalah salah satu system pendidikan yang baik.
 Mengkritik dari wacana Prof. Chaedar, memang benar sikap toleran harus diajarkan dan diterapkan kepada siswa sejak dini, tetapi jika konteksnya tentang masalah agama mungkin seorang anak seperti halnya anak SD, kurang bisa memahami hal itu apalagi dengan konfliknya beragama itu sendiri.  Seorang anak masih sangat polos untuk menghadapi permasalahan yang sekiranya diperdebatkan oleh orang dewasa.  Hal tersebut malah dikhawatirkan menganggu psikologi anak tersebut.  Seorang guru SD mungkin bisa mengajarkan secara global dan dengan pemahaman yang halus tentang perbedaan itu sendiri, agar peserta didik mudah menerima dan menaplikasikannya ketika berinteraksi di dalam kelas dengan pemahaman saling menghormati satu sama lain.
Berdasarkan pernyataan di atas,  sudah sewajarnya para pendidik melakukan berbagai usaha dalam melakukan perbaikan pelaksanaan pendidikan dalam rangka mengajari budi pekerti  untuk mengisi jiwa peserta didik dengan perbuatan yang baik.  Penerapan pendidikan budi pekerti tersebut dapat diwujudkan melalui upaya keteladanan, pembiasaan, pengalaman, dan pengkondisian lingkungan.
Pendidikan liberal terlihat cocok dan sesuai jika diterapkan sebagai suatu system pendidikan.  Saling toleran menjadi poin yang sangat penting untuk menghadapi setiap perbedaan dalam lingkungan khususnya lingkungan pendidikan.  Ketika toleran itu dapat dipelajrai dan diaplikasikan oleh setiap peserta didik maka akan terciptanya kerukunan semua dari perbedaan yang ada.  Pendidikan liberal mengajarkan suatu kebebasan dan keterbukaan, untuk pendidikan dasar tentulah diawasi oleh pendidik agar bisa terkontrol dengan baik dan mengajarkan pesert didiknya dengan teori-teori yang mudah dicerna seperti yang bersangkutan dengan interaksi di dalam kelas. Disinilah peran pendidik tidak cukup sebagai pengajar tapi pengajar dan pendidik yang mengarahkan peserta didik kepada moral yang baik, saling memahami dan menghormati.
Referensi
Sindo News : 2012
Oxford Learner’s Dictionary (1989 : 717)
(Banks, 1990 : 429; Jarolimek, 1990 : 53). 
Jarolimek (1990 : 53-57)
Dra. Nurul Zuriah, M. Si. Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, 6 : 2007).



Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment