(By. Aneu Fuji Lestarie)
Menurut Langeveld, pendidikan adalah setiap usaha,
pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan
anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas
hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya
dari dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku
putaran hidup sehari-hari, dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang
belum dewasa.
Lembaga pendidikan seyogianya dapat mengubah tingkah laku
manusia dari hal-hal yang negatif menjadi hal-hal positif. Hal tersebut menjadi acuan penting dalam
ranah pendidkan, namun dalam kenyataannya banyak sekali radikalisme dalam dunia
pendidikan seperti tawuran, penganiayaan guru terhadap siswanya dan juga
kekerasan yang dilakukan oleh tingkat senior terhadap junior.
Tidak dapat dipungkiri jika di berbagai tempat dan setiap waktu sering terjadi kecenderungan sebagian
pemeluk agama untuk “tidak cocok” dengan umat beragama yang lain, yang oleh
beberapa tokoh agama dinilai merupakan semacam “muntahan” dari situasi
ketidakadilan yang sering terjadi di berbagai dunia, termasuk di Indonesia
sepanjang sejarah. Hal ini merupakan
dampak dari perubahan sosial yang terjadi yang akhirnya menimbulkan krisis
dimana sebagian orang mengalami dislokasi dan disorientasi dan hal tersebut
terbawa ke dalam arus pendidikan yang mana sering sekali terjadi konflik
permasalahan agama antar siswa.
Untuk dapat mengurangi tingkat radikalisme dalam dunia
pendidikan maka diperlukan program yang dirancang untuk dapat menunjang konsep
ideologis kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan nilai-nilai pancasila
yang ada. Dengan demikian, peran lembaga
pendidkan dalam membangun sebuah masyarakat sangatlah besar, terutama dalam
menentukan tumbuh kembangnya suatu masyarakat untuk maju dalam bidang ilmu
pengetahuan, teknologi, sosial kemasyarakatan, kehidupan beragama dan
penegakkan hukum.
Dalam membangun masyarakat yang berintelektual tinggi,
maka dalam lembaga pendidikan harus ada yang namanya sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang dirancang di Indonesia
harus sesuai dengan Undang – Undang nomo 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Undang – Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
dan Undang – Undang nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Ketiga UU tersebut mengarahkan Indonesia
untuk membangun sebuah sistem pendidikan yang menjunjung tinggi nilai - nilai
pancasila yang dijabarkan melalui sejumlah program seperti pendidikan berbasis
karekter, pendidikan berbasis gender, pendidikan berbasis hak asasi manusia,
pendidikan berbasis kearifan local, pendidikan berbasis perdamaian dan
pendidikan berbasis multikultural.
Menurut Mr. Chaedar Al-Wasilah dalam artikelnya yang berjudul asli “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”, pendidikan yang berkualitas ialah pendidikan yang tersusun dan mempunyai konsep dalam pengajarannya serta mempunyai sistem pendidikan yang mana sistem itu terus berjalan. Jika banyak pendidikan yang berkualitas dalam suatu negara maka negara tersebut sudah dikatakan negara yang maju, karena negara yang maju dilihat dari kualitas bangsanya dan suatu bangsa dikatakan berkualitas yaitu jika ia memiliki pendidikan yang berkualitas juga.
Tujuan tingkat pendidikan satuan dasar adalah meletakkan
dasar kecerdasan pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan
untuk hidup mandiri, bermasyarakat dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Konflik sosial atau ketidak harmonisan dalam agama dinilai
sebagai pembelajaran bagi pendidik dan tantangan hidup untuk meluncurkan
generasi berikutnya yang lebih baik dan memiliki sikap demokratis yang tinggi
sebagai warga negara yang mampu serta siap menghadapi brutalnya zaman.
Untuk mewujudkan generasi yang lebih baik, maka wacana
sipil yang positif harus dimulai dari pendidikan dasar agar para siswa lebih
memahami terhadap adanya suatu perbedaan terutama dalam perbedaan agama. Hal imi disebabkan karena setiap siswa
berasal dari latar belakang etnis, agama dan sosial yang berbeda sehingga pola
pikir mereka terdominasi oleh latar belakang mereka sendiri.
Dalam hal ini, interaksi dengan rekan sebaya adalah
komponen penting dalam teori pembangunan sosial (Rubin, 2009), dimana antar
siswa harus saling menghargai, menghormati, berbagi terhadap satu sama
lainnya. Sehingga muncul kerukunan dan
keharmonisan diantar mereka. Selain itu,
siswa juga harus diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan yang lain di luar
lingkungan sekolah dan juga perlu adanya latihan berdebat hormat dan suara
untuk mempersiapkan dan menciptakan generasi yang demokratis.
Dalam konteks
Indonesia, pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama dan
minoritas bahasa dan budaya. Sehingga
setiap lembaga pendidikan seyogianya menyediakan tempat ibadat untu siswa dari
semua agama.
Saya setuju dengan Pak Chaedar yang menyarankan wacana
sipil positif dimulai dari Pendidikan Dasar yaitu SD dan belajar untuk menjalin
kerununan dan keharmonisan dalam beragama, karena proses pendidikan bukanlah
sesuatu yang instan dan memerlukan waktu yang cukup lama, bukanlah sekedar dari
satu fase ke fase yang lain, tapi pendidikan merupakan proses yang
berkesinambungan.
Ketika penerapan hal-hal positif yang dimulai sejak SD
maka sama halnya dengan membangun karakter yang lebih baik kepada para siswa,
sehingga mereka memahami arti pendidikan yang sebenarnya dan akan siap dan
mampu membangun dunia pendidikan yang liberal, karena pendidikan merupakan
wahana ampuh untuk membawa bangsa dan negara menjadi maju dan terpandang dalam
pergaulan bangsa-bangsa dan dunia internasional. John Naisbitt dan Patrici Aburdence dalam
Megatrend 2000 mengatakan “Tepi Asia Pasifik telah memperlihatkan, negara
msikin pun bangkit tanpa sumber daya alam melimpah asalkan negara melakukan
investasinya yang cukup dalam hal sumber daya manusia. Oleh karena itu terobosan yang paling
menggarahkan dari abad ke-21 bukan karena teknologi, melainkan karena konsep
yang luas tentang apa artinya manusia itu, maka dijadikanlah Pendidkan
sebagai Praksis Pembangunan Bangsa”.
Secara operasional pendidikan dasar (dinyatakan di dalam
Kurikulum Pendidikan Dasar) yaitu memberi bekal kemampuan dasar membaca,
menulis dan berhitung, pengetahuan dan keterampilan dasar yang bermanfaat bagi
siswa sesuai dengan tingkat perkembangannya, serta mempersiapkan mereka untuk
mengikuti pendidikan yang lebih lanjut.
Selain itu, proses penyelenggaraan pendidikan harus
dibantu oleh adanya struktur kurikulum dalam sejumlah mata pelajaran seperti
pendidikan kewarganegaraan, ilmu pendidikan sosial, dan pendidikan agama karena
akan membangun dan menciptakan siswa-siswa yang berprikebadian sosial dan
menjadi sebuah masyarakat yang berbhineka tunggal ika yang menjadi pedoman
bangsa. Sehingga untuk kedepannya mereka
mampu mewujudkan sebuah masyarakat yang harmonis dan dinamis dalam membangun
masyarakat Indonesia.
Sebenarnya, fungsi yang sangat mendasar dan menonjol dari pendidikan
dasar adalah fungsi edukatif daripada fungsi pengajaran, dimana upaya bimbingan
dan pembelajaran diorientasikan pada pembentukan landasan kepribadian yang
kuat. Dari sudut perkembangan individu, fungsi
tersebut sangat sesuai dengan tingkat dan karakteristik perkembangan siswa
SD. Fungsi ini diwujudkan dengan
modeling, yaitu memberikan contoh konkret dan keteladanan perilaku yang etis,
normatif dan bertanggungjawab dalam setiap berinteraksi dengan siswa. Fungsi pengembangan dan peningkatan merupakan
penjabaran dari fungsi edukatif yang harus dilaksanakan secara sistematis dan
berkesinambungan melalui kegiatan bimbingan dan konseling.
Maka, jika ingin menuju bangsa yang
cerdas maka diperlukan penanaman kemampuan untuk mengkritik, menganalisa,
sintesis, inovasi, kreativitas dan demokrasi sejak pendidikan dasar. Karena mengelola pendidikan pada hakikatnya
adalah mengelola masa depan. Ali bin Abi Thalib menyatakan “Didiklah dan
persiapkanlah anak-anakmu untuk suatu Zaman yang bukan zamanmu, sebab mereka
akan hidup pada suatu zaman yang bukan zamanmu”.
Dalam penanaman dan pengembangan wacana sipil di tingkat SD tidak
seyogianya selalu difasilitasi dengan berinteraksi dengan sebaya, karena jika
mereka selalu berinteraksi dengan teman sebaya, pola pikir mereka tidak akan
berubah. Mereka mampu untuk mengutarakan
pendapat dan berdebat hormat. Namun pendidikan sikap dan kepribadian mereka
akan tetap seperti itu (tidak dewasa).
Sehingga untuk mencapai tujuan tingkat pendidikan dasar, dituntut peran
guru dalam proses pembelajaran agar siswa memiliki keseimbangan antara
kognitif, afektif dan psikomotorik.
Keberhasilan hidup manusia tidak hanya ditentukan oleh bagaimana tingkat
kecerdasan intelektualnya.
Sepandai-pandainya manusia, jika tidak ditunjang dengan sikap dan
kepribadian yang memadai juga tidak akan mencerminkan individu yang sehat dan
matang. Mengingat begitu banyaknya
tantangan yang akan dihadapi anak dalam kehidupannya kelak maka orang tua
maupun guru perlu memberikan bimbingan dan pengarahan untuk mencerdaskan
kemampuan dan emosinya.
Sekarang ini sekurang-kurangnya ada tiga tantangan besar yang dihadapi di
dunia pedidikan di Indonesia. Pertama,
mempertahankan hasil-hasil yang telah dicapai.
Kedua, mengantisipasi era glabalisasi.
Ketiga, melakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional
yang mendukung proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keragaman
kebutuhan / keadaan daerrah dan peserta didik, serta mendorong partisipasi
masyarakat. Tiga tantangan tersebut
secara konstitusional ditetapkan melalui UU No. 25 Tahun 2000 tentang program
Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-20004.
Dengan adanya tantangan tersebut, maka peran guru dalam menyediakan dan
memberikan pengalaman belajar yang bermakna sangat dibutuhkan untuk para siswa,
guru yang dapat memberikan pembelajaran dengan berbagai cara akan dapat membuat
siswa memahami pembelajaran lebih lama dan akan meningkatkan hasil belajar
siswa. Karena, kunci terlaksananya
berbagai bentuk dan jenis pendidikan formal dan non-formal yang tembuh dan
berkembang di masyarakat dilihat dari sejauh mana seorang guru terlibat dalam
pembangunan kepribadian siswanya.
Guilford juga berpendapat bahwa “orang tua maupun guru diharapkan dapat
memberikan rangsangan yang optimal untuk unsur-unsur yang terdapat dalam
seluruh aktifitas siswa”.
Dalam dunia pendidikan, terkadang ditemukan siswa yang berkemampuan kurang
atau siswa yang berkemampuan sangat baik.
Mereka yang memiliki kecerdasan jauh di bawah atau jauh di atas
rata-rata dikenal dengan siswa ekstrem.
Hal inilah yang harus dipahami oleh guru dan juga harus memberikan
rangsangan yang sesuai dengan yang dibutuhkan siswa. Sehingga pengembangan
sikap ilmiah dalam siswa SD harus dijiwai oleh nilai-nilai budi pekerti serta
moralitas yang luhur.
Dengan adanya penegmbangan wacana sipil dalam clasroom discourse
dapat membantu mengurangi konflik-konflik sosial yang terjadi, seperti konflik
antar siswa dalam perbedaan agama. Kenneth J. Gergen menjelaskan bahwa wacana sipil itu sebagai
“the language of dispassionate objectivity” dan menganjurkan bahwa
seseorang itu harus saling menghormati satu sama lain, menghargai setiap
perbedaan pendapat, menghindari permusuhan atau persuasi yang berlebihan.
Namun, pada kenyataannya banyak sekali konflik-konflik
yang terjadi dalam masyarakat. Contohnya
pada masa A. Malik Fadjar menjadi Menteri Agama, eskalasi situasi kehidupan
beragama dan etnis sedang kritis, seperti pertikaian etnis di
Sambas dan Sampit antara suku Madura dan Dayak/Melayu, konflik agma di Mataram,
pembakaran rumah-rumah ibadat dan warga di Maluku.
Maka, jika teologi kerukunan yang menyembulkan kesadaran pluralitas tidak
dapat ditegakkan dan dikembangkan, maka di kalangan umat beragama akan menebal
primordialisme radikal dalam pendidikan. Sehingga banyak sekali kasus kekerasan yang
berujung pada kematian. Contohnya saja
pada kasus yang terjadi kemarin di IAIN Syekh Nurjati, terjadi kekerasan
terhadap sesama mahasiswa dalam pelaksanaan orientasi yang berujung pada
kematian.
Untuk membangun
pendidikan yang liberal maka diperlukan program penyadaran pendidikan tentang
hak asasi manusia yang bertujuan untuk mengedepankan nilai-nilai karakter
individu yang dibangun melalui proses pembelajaran tentang pemahaman jati diri
manusis, sehingga lebih menghargai hak-hak individu, bertanggungjawab, memiliki
kesadaran untuk saling menjaga, menolong, menghargai dan menjunjung tinggi
hukum legal formal sehingga tidak akan terjadi bullying, intimidasi, pemaksaan
yang mencabut hak asasi individu baik secara sistematik.
Agama dapat menjadi suatu faktor pemersatu (uniting
factor). Namun dalam beberapa hal, agama
dapat juga dengan mudah disalahgunakan sebagai alat pemecah belah (devending
factor). Pakar sosiologis Islam klasik,
Ibnu Khaldun menyimpulkan bahwa perasaan seagama mungkin perlu, namun tidak
cukup menciptakan perasaan memiliki kelompok (sense of group belonging) atau
kesatuan sosial. Harus ada faktor-faktor
lain yang lebih memperkuat dan mempertahankan kohesi sosial.
Setiap agama juga memiliki landasan teologisnya sendiri
untuk mengklaim kebenaran dirinya. Namun
dalam waktu yang sama semua agama juga mempunyai dasar teologis untuk
menyatakan bahwa hanya Tuhan dan wahyulah yang merupakan kebenaran absolut, dan
tetap nisbi seiring dengan keterbatasannya selaku manusia. Dengan semangat dan sikap ini, kemudian
dasar-dasar pengertian kerukunan dan keharmonisan beragama dapat dicapai.
Dialektika antar-agama dan perubahan sosial selalu
berkaitan satu sama lain. Selain ikut
memunculkan kondisi dialogis yang lebih intens antar-pemeluk agama yang satu
dengan yang lain, perubahan sosial dapat menjadi titik penentu dalam
perkembangan agama. Perubahan itu bisa
dilakukan dalam lembaga pendidikan, apalagi jika dimulai sejak pendidikan
dasar.
Semua agama mengajarkan humanisme sehingga semuanya mengajarkan: “Jika
Tuhan memuliakan manusia, mengapa kita selaku penganut agama tidak saling
memuliakan.” Semua agama mengajarkan
positive thingking (husnu al-zhann).
Oleh karena itu, salah satu pesan teologi kerukunan yaitu mengembangkan
sikap positif terhadap komunitas lain.
Kemuliaan dan martabat seseorang akan lebih tinggi bila dia menghormati
dan memandang mulia setiap kebaikan yang dikerjakan oleh komunitas lain.
Kalau-kalau agama ingin berperan dalam menjaga kebersamaan dan keselamatan
masyarakat, maka umat beragama harus melakukan komunikasi yang aktif dan
produktif agar keberadaaan mereka menjadi cagar bagi harmonitas kehidupan
masyarakat. Disinilah peran penting
harus diadakannyanya classroom discourse yaitu menciptakan keharmonisan
dalam kehidupan dan pembangunan pendidikan yang intelektual dan internasional.
Ibn ‘Atha’illah al-Sakandary (w 709 h), menyatakan bahwa manusia memiliki
dua kemungkinan kedudukan khusus dalam menapaki kehidupannya, yaitu maqam
tajrid dan maqam ashab. Manusia yang
berada pada maqam tajrid mengalami gerak hidup yang fluktuatif dan bahkan tak
bisa diprediksi. Sebaliknya, manusia
yang berada pada maqam ashab gerak hidupnya akan mengikuti laju kausalitas,
kondisional dan konstektual sejarah yang dibangunnya.
Menurut Jimly, “dalam sebuah masyarakat yang plural seperti Indonesia,
yang mesti menjadi pedoman dalam bermuamalah antar sesama warga negara bukanlah
pandangan subjektif dari setiap kelompok agama yang berbeda-beda, lebih dari
itu adalah kesepakatan tertinggi”.
Dalam konteks bangsa ini, kesepakatan tertinggi itu tertuang dalam
Pancasila dan UUD 45. Sehingga Pancasila
dan UUD 45 yang ada pada pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sangat penting
diterapkan sejak pendidikan dasar (SD).
Hasil penelitian yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Islam dan
Perdamaian (LAKIP) menunjukkan bahwa tingkat intoleransi di dunia pendidikan
meningkat. Kajian ini mengungkap fakta
kondisi keberagaman di sekolah-sekolah umum yang ternyata memperlihatkan angka
yang sangat mencengangkan. Tidak kurang
dari 60 % guru-guru dan 25 % siswanya mengenal yang namanya “radikalisme”.
Jika hasil penelitian itu dipercaya, berarti situasi dunia pendidikan di
negara kita menunjukkan permasalahan yang sangat serius. Karena pada dasarnya pendidikan merupakan
gambaran umum dari masyarakat yang sedang mengalami tingkat radikalisme.
Mohammad Nuh yaitu Menteri pendidikan nasioanal (Mendiknas) mengatakan,
guna meredam radikalisme yang terjadi dikalangan pelajar, maka seluruh pihak
terkait dihimbau untuk lebih gencar mengedepankan pendidikan karakter kepada
para peserta didik dengan menanamkan rasa cinta tanah air dan rasa empati
terhadap sesama sehingga tidak akan ada pemikiran untuk melakukan tindakan
radikal.
Tidak ayal, perdamaian adalah hajat manusia sedunia. Persoalannya adalah pemenuhan akan hajat ini
tidaklah mudah bahkan dalam batas tertentu agaknya musykil. Sejarah menyatakan bahwa selain perdamaian,
perang merupakan bagian tidak terelakkan dari kehidupan manusia. Damai dan perang sebagai silih berganti
mengisi dalam sejarah hidup manusia.
Damai dilihat dari dimensi waktu adalah masa jeda diantara perang dan perang. Bahkan Fuad Hasan, mantan Mnteri Pendidikan
nasional RI, pernah mengatakan bahwa “perdamaian adalah sesuatu yang absurd”.
Dari berbagai penjelasan diatas, kerukunan beragama sangatlah penting dalam
kehidupan dan pendidikanlah yang menunjang semua itu. Jika dalam pendidikan tidak ada pengajaran
untuk saling bertoleransi dengan berinteraksi antar sesama dalam classroom
discourse. Karene pada hakikatnya Tuhan telah menciptakan manusia dalam keragaman dan dalam
kesatuan, sehingga memungkinkan untuk menjalin toleransi antara keadaan bersatu
dan kenyataan berbeda. Sifat kasih
sayang Tuhan telah mendorongnya untuk mengajarkan agama kepada manusia sebagai
wadah untuk menemukan dan mempertahankan kemanusiaannya. Oleh karena itu, setiap agama tentu menjadi
pendukung dan pembela kelestarian kemanusiaan, karena dalam ajaran setiap agama
dinyatakan, bahwa agama itu sendiri merupakan fitrah manusia.
Jika seumpama terjadi konflik dalam hubungan sosial itu sangatlah wajar,
karena konflik merupakan unsur dinamika sosial.
Akan tetapi pada sisi lain konflik bisa mengancam harmoni bahkan
integrasi sosial dalam lingkup lokal, nasioanl, regional dan internasional. Sehingga diperlukannya perdamaian untuk
menjalin hubungan yang harmonis kembali
Maka dalam membangun sebuah pendidikan yang berkualitas
diperlukan sebuah sistem pendidikan yang menjunjung tinggi nilai - nilai pancasila
yang dijabarkan melalui sejumlah program seperti pendidikan berbasis karekter,
pendidikan berbasis gender, pendidikan berbasis hak asasi manusia, pendidikan
berbasis kearifan local, pendidikan berbasis perdamaian dan pendidikan berbasis
multikultural.
Chaedar
Alwasilah, The Jakarta Post, October 22, 2011
Harahap,
Syahrin. 2011. Teologi Kerukunan. Prenada Media. Jakarta
Al
Wasilah, A. Chaedar, Pokoknya Rekayasa
Literasi, 2012