1st Critical Review : Memahami Arti "Kerukunan" Melalui Lensa Pendidikan



Memahami Arti “Kerukunan” Melalui Lensa Pendidikan

(By. Aneu Fuji Lestarie)
Pendidikan merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk dapat mandiri, bertahan hidup dan bertanggungjawab atas kehidupannya.  Menurut Langeveld, pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.  Pengaruh itu datangnya dari dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku putaran hidup sehari-hari, dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa.

Lembaga pendidikan seyogianya dapat mengubah tingkah laku manusia dari hal-hal yang negatif menjadi hal-hal positif.  Hal tersebut menjadi acuan penting dalam ranah pendidkan, namun dalam kenyataannya banyak sekali radikalisme dalam dunia pendidikan seperti tawuran, penganiayaan guru terhadap siswanya dan juga kekerasan yang dilakukan oleh tingkat senior terhadap junior.  Padahal negara Indonesia memiliki konsep kehidupan masyarakat dengan berpedoman pada pancasila.  Lalu mengapa radikalisme itu masih terjadi dalam dunia pendidikan?
Tidak dapat dipungkiri jika di berbagai tempat dan setiap waktu sering terjadi kecenderungan sebagian pemeluk agama untuk “tidak cocok” dengan umat beragama yang lain, yang oleh beberapa tokoh agama dinilai merupakan semacam “muntahan” dari situasi ketidakadilan yang sering terjadi di berbagai dunia, termasuk di Indonesia sepanjang sejarah.  Hal ini merupakan dampak dari perubahan sosial yang terjadi yang akhirnya menimbulkan krisis dimana sebagian orang mengalami dislokasi dan disorientasi dan hal tersebut terbawa ke dalam arus pendidikan yang mana sering sekali terjadi konflik permasalahan agama antar siswa.
Untuk dapat mengurangi tingkat radikalisme dalam dunia pendidikan maka diperlukan program yang dirancang untuk dapat menunjang konsep ideologis kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan nilai-nilai pancasila yang ada.  Dengan demikian, peran lembaga pendidkan dalam membangun sebuah masyarakat sangatlah besar, terutama dalam menentukan tumbuh kembangnya suatu masyarakat untuk maju dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, sosial kemasyarakatan, kehidupan beragama dan penegakkan hukum.
Dalam membangun masyarakat yang berintelektual tinggi, maka dalam lembaga pendidikan harus ada yang namanya sistem pendidikan.  Sistem pendidikan yang dirancang di Indonesia harus sesuai dengan Undang – Undang nomo 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang – Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Undang – Undang nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.  Ketiga UU tersebut mengarahkan Indonesia untuk membangun sebuah sistem pendidikan yang menjunjung tinggi nilai - nilai pancasila yang dijabarkan melalui sejumlah program seperti pendidikan berbasis karekter, pendidikan berbasis gender, pendidikan berbasis hak asasi manusia, pendidikan berbasis kearifan local, pendidikan berbasis perdamaian dan pendidikan berbasis multikultural.

Menurut Mr. Chaedar Al-Wasilah dalam artikelnya yang berjudul asli “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony, pendidikan yang berkualitas ialah pendidikan yang tersusun dan mempunyai konsep dalam pengajarannya serta mempunyai sistem pendidikan yang mana sistem itu terus berjalan.  Jika banyak pendidikan yang berkualitas dalam suatu negara maka negara tersebut sudah dikatakan negara yang maju, karena negara yang maju dilihat dari kualitas bangsanya dan suatu bangsa dikatakan berkualitas yaitu jika ia memiliki pendidikan yang berkualitas juga.

Tujuan tingkat pendidikan satuan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri, bermasyarakat dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Konflik sosial atau ketidak harmonisan dalam agama dinilai sebagai pembelajaran bagi pendidik dan tantangan hidup untuk meluncurkan generasi berikutnya yang lebih baik dan memiliki sikap demokratis yang tinggi sebagai warga negara yang mampu serta siap menghadapi brutalnya zaman.
Untuk mewujudkan generasi yang lebih baik, maka wacana sipil yang positif harus dimulai dari pendidikan dasar agar para siswa lebih memahami terhadap adanya suatu perbedaan terutama dalam perbedaan agama.  Hal imi disebabkan karena setiap siswa berasal dari latar belakang etnis, agama dan sosial yang berbeda sehingga pola pikir mereka terdominasi oleh latar belakang mereka sendiri.
Dalam hal ini, interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial (Rubin, 2009), dimana antar siswa harus saling menghargai, menghormati, berbagi terhadap satu sama lainnya.  Sehingga muncul kerukunan dan keharmonisan diantar mereka.  Selain itu, siswa juga harus diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan yang lain di luar lingkungan sekolah dan juga perlu adanya latihan berdebat hormat dan suara untuk mempersiapkan dan menciptakan generasi yang demokratis.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa dan budaya.  Sehingga setiap lembaga pendidikan seyogianya menyediakan tempat ibadat untu siswa dari semua agama.
Saya setuju dengan Pak Chaedar yang menyarankan wacana sipil positif dimulai dari Pendidikan Dasar yaitu SD dan belajar untuk menjalin kerununan dan keharmonisan dalam beragama, karena proses pendidikan bukanlah sesuatu yang instan dan memerlukan waktu yang cukup lama, bukanlah sekedar dari satu fase ke fase yang lain, tapi pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan.
Ketika penerapan hal-hal positif yang dimulai sejak SD maka sama halnya dengan membangun karakter yang lebih baik kepada para siswa, sehingga mereka memahami arti pendidikan yang sebenarnya dan akan siap dan mampu membangun dunia pendidikan yang liberal, karena pendidikan merupakan wahana ampuh untuk membawa bangsa dan negara menjadi maju dan terpandang dalam pergaulan bangsa-bangsa dan dunia internasional.  John Naisbitt dan Patrici Aburdence dalam Megatrend 2000 mengatakan “Tepi Asia Pasifik telah memperlihatkan, negara msikin pun bangkit tanpa sumber daya alam melimpah asalkan negara melakukan investasinya yang cukup dalam hal sumber daya manusia.  Oleh karena itu terobosan yang paling menggarahkan dari abad ke-21 bukan karena teknologi, melainkan karena konsep yang luas tentang apa artinya manusia itu, maka dijadikanlah Pendidkan sebagai Praksis Pembangunan Bangsa”.
Secara operasional pendidikan dasar (dinyatakan di dalam Kurikulum Pendidikan Dasar) yaitu memberi bekal kemampuan dasar membaca, menulis dan berhitung, pengetahuan dan keterampilan dasar yang bermanfaat bagi siswa sesuai dengan tingkat perkembangannya, serta mempersiapkan mereka untuk mengikuti pendidikan yang lebih lanjut.
Selain itu, proses penyelenggaraan pendidikan harus dibantu oleh adanya struktur kurikulum dalam sejumlah mata pelajaran seperti pendidikan kewarganegaraan, ilmu pendidikan sosial, dan pendidikan agama karena akan membangun dan menciptakan siswa-siswa yang berprikebadian sosial dan menjadi sebuah masyarakat yang berbhineka tunggal ika yang menjadi pedoman bangsa.  Sehingga untuk kedepannya mereka mampu mewujudkan sebuah masyarakat yang harmonis dan dinamis dalam membangun masyarakat Indonesia.
Sebenarnya, fungsi yang sangat mendasar dan menonjol dari pendidikan dasar adalah fungsi edukatif daripada fungsi pengajaran, dimana upaya bimbingan dan pembelajaran diorientasikan pada pembentukan landasan kepribadian yang kuat.  Dari sudut perkembangan individu, fungsi tersebut sangat sesuai dengan tingkat dan karakteristik perkembangan siswa SD.  Fungsi ini diwujudkan dengan modeling, yaitu memberikan contoh konkret dan keteladanan perilaku yang etis, normatif dan bertanggungjawab dalam setiap berinteraksi dengan siswa.  Fungsi pengembangan dan peningkatan merupakan penjabaran dari fungsi edukatif yang harus dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan melalui kegiatan bimbingan dan konseling.
Maka, jika ingin menuju bangsa yang cerdas maka diperlukan penanaman kemampuan untuk mengkritik, menganalisa, sintesis, inovasi, kreativitas dan demokrasi sejak pendidikan dasar.  Karena mengelola pendidikan pada hakikatnya adalah mengelola masa depan. Ali bin Abi Thalib menyatakan “Didiklah dan persiapkanlah anak-anakmu untuk suatu Zaman yang bukan zamanmu, sebab mereka akan hidup pada suatu zaman yang bukan zamanmu”.
Dalam penanaman dan pengembangan wacana sipil di tingkat SD tidak seyogianya selalu difasilitasi dengan berinteraksi dengan sebaya, karena jika mereka selalu berinteraksi dengan teman sebaya, pola pikir mereka tidak akan berubah.  Mereka mampu untuk mengutarakan pendapat dan berdebat hormat. Namun pendidikan sikap dan kepribadian mereka akan tetap seperti itu (tidak dewasa).  Sehingga untuk mencapai tujuan tingkat pendidikan dasar, dituntut peran guru dalam proses pembelajaran agar siswa memiliki keseimbangan antara kognitif, afektif dan psikomotorik.
Keberhasilan hidup manusia tidak hanya ditentukan oleh bagaimana tingkat kecerdasan intelektualnya.  Sepandai-pandainya manusia, jika tidak ditunjang dengan sikap dan kepribadian yang memadai juga tidak akan mencerminkan individu yang sehat dan matang.  Mengingat begitu banyaknya tantangan yang akan dihadapi anak dalam kehidupannya kelak maka orang tua maupun guru perlu memberikan bimbingan dan pengarahan untuk mencerdaskan kemampuan dan emosinya.
Sekarang ini sekurang-kurangnya ada tiga tantangan besar yang dihadapi di dunia pedidikan di Indonesia.  Pertama, mempertahankan hasil-hasil yang telah dicapai.  Kedua, mengantisipasi era glabalisasi.  Ketiga, melakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional yang mendukung proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keragaman kebutuhan / keadaan daerrah dan peserta didik, serta mendorong partisipasi masyarakat.  Tiga tantangan tersebut secara konstitusional ditetapkan melalui UU No. 25 Tahun 2000 tentang program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-20004.
Dengan adanya tantangan tersebut, maka peran guru dalam menyediakan dan memberikan pengalaman belajar yang bermakna sangat dibutuhkan untuk para siswa, guru yang dapat memberikan pembelajaran dengan berbagai cara akan dapat membuat siswa memahami pembelajaran lebih lama dan akan meningkatkan hasil belajar siswa.  Karena, kunci terlaksananya berbagai bentuk dan jenis pendidikan formal dan non-formal yang tembuh dan berkembang di masyarakat dilihat dari sejauh mana seorang guru terlibat dalam pembangunan kepribadian siswanya.  Guilford juga berpendapat bahwa “orang tua maupun guru diharapkan dapat memberikan rangsangan yang optimal untuk unsur-unsur yang terdapat dalam seluruh aktifitas siswa”.
Dalam dunia pendidikan, terkadang ditemukan siswa yang berkemampuan kurang atau siswa yang berkemampuan sangat baik.  Mereka yang memiliki kecerdasan jauh di bawah atau jauh di atas rata-rata dikenal dengan siswa ekstrem.  Hal inilah yang harus dipahami oleh guru dan juga harus memberikan rangsangan yang sesuai dengan yang dibutuhkan siswa. Sehingga pengembangan sikap ilmiah dalam siswa SD harus dijiwai oleh nilai-nilai budi pekerti serta moralitas yang luhur.
Dengan adanya penegmbangan wacana sipil dalam clasroom discourse dapat membantu mengurangi konflik-konflik sosial yang terjadi, seperti konflik antar siswa dalam perbedaan agama.  Kenneth J. Gergen menjelaskan bahwa wacana sipil itu sebagai “the language of dispassionate objectivity” dan menganjurkan bahwa seseorang itu harus saling menghormati satu sama lain, menghargai setiap perbedaan pendapat, menghindari permusuhan atau persuasi yang berlebihan.
Namun, pada kenyataannya banyak sekali konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat.  Contohnya pada masa A. Malik Fadjar menjadi Menteri Agama, eskalasi situasi kehidupan beragama dan etnis sedang kritis, seperti pertikaian etnis di Sambas dan Sampit antara suku Madura dan Dayak/Melayu, konflik agma di Mataram, pembakaran rumah-rumah ibadat dan warga di Maluku.
Maka, jika teologi kerukunan yang menyembulkan kesadaran pluralitas tidak dapat ditegakkan dan dikembangkan, maka di kalangan umat beragama akan menebal primordialisme radikal dalam pendidikan.  Sehingga banyak sekali kasus kekerasan yang berujung pada kematian.  Contohnya saja pada kasus yang terjadi kemarin di IAIN Syekh Nurjati, terjadi kekerasan terhadap sesama mahasiswa dalam pelaksanaan orientasi yang berujung pada kematian.  Hal tersebut menandakan bahwa dunia pendidikan Indonesia selalu dipicu dengan adanya tindak kekerasan dan budaya menghukum.
Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, pendidikan liberal harus diciptakan.  Untuk membangun pendidikan yang liberal maka diperlukan program penyadaran pendidikan tentang hak asasi manusia yang bertujuan untuk mengedepankan nilai-nilai karakter individu yang dibangun melalui proses pembelajaran tentang pemahaman jati diri manusis, sehingga lebih menghargai hak-hak individu, bertanggungjawab, memiliki kesadaran untuk saling menjaga, menolong, menghargai dan menjunjung tinggi hukum legal formal sehingga tidak akan terjadi bullying, intimidasi, pemaksaan yang mencabut hak asasi individu baik secara sistematik.
Agama dapat menjadi suatu faktor pemersatu (uniting factor).  Namun dalam beberapa hal, agama dapat juga dengan mudah disalahgunakan sebagai alat pemecah belah (devending factor).  Pakar sosiologis Islam klasik, Ibnu Khaldun menyimpulkan bahwa perasaan seagama mungkin perlu, namun tidak cukup menciptakan perasaan memiliki kelompok (sense of group belonging) atau kesatuan sosial.  Harus ada faktor-faktor lain yang lebih memperkuat dan mempertahankan kohesi sosial.
Setiap agama juga memiliki landasan teologisnya sendiri untuk mengklaim kebenaran dirinya.  Namun dalam waktu yang sama semua agama juga mempunyai dasar teologis untuk menyatakan bahwa hanya Tuhan dan wahyulah yang merupakan kebenaran absolut, dan tetap nisbi seiring dengan keterbatasannya selaku manusia.  Dengan semangat dan sikap ini, kemudian dasar-dasar pengertian kerukunan dan keharmonisan beragama dapat dicapai.
Dialektika antar-agama dan perubahan sosial selalu berkaitan satu sama lain.  Selain ikut memunculkan kondisi dialogis yang lebih intens antar-pemeluk agama yang satu dengan yang lain, perubahan sosial dapat menjadi titik penentu dalam perkembangan agama.  Perubahan itu bisa dilakukan dalam lembaga pendidikan, apalagi jika dimulai sejak pendidikan dasar.
Semua agama mengajarkan humanisme sehingga semuanya mengajarkan: “Jika Tuhan memuliakan manusia, mengapa kita selaku penganut agama tidak saling memuliakan.  Semua agama mengajarkan positive thingking (husnu al-zhann).  Oleh karena itu, salah satu pesan teologi kerukunan yaitu mengembangkan sikap positif terhadap komunitas lain.  Kemuliaan dan martabat seseorang akan lebih tinggi bila dia menghormati dan memandang mulia setiap kebaikan yang dikerjakan oleh komunitas lain.
Kalau-kalau agama ingin berperan dalam menjaga kebersamaan dan keselamatan masyarakat, maka umat beragama harus melakukan komunikasi yang aktif dan produktif agar keberadaaan mereka menjadi cagar bagi harmonitas kehidupan masyarakat.  Disinilah peran penting harus diadakannyanya classroom discourse yaitu menciptakan keharmonisan dalam kehidupan dan pembangunan pendidikan yang intelektual dan internasional.
Ibn ‘Atha’illah al-Sakandary (w 709 h), menyatakan bahwa manusia memiliki dua kemungkinan kedudukan khusus dalam menapaki kehidupannya, yaitu maqam tajrid dan maqam ashab.  Manusia yang berada pada maqam tajrid mengalami gerak hidup yang fluktuatif dan bahkan tak bisa diprediksi.  Sebaliknya, manusia yang berada pada maqam ashab gerak hidupnya akan mengikuti laju kausalitas, kondisional dan konstektual sejarah yang dibangunnya.
Menurut Jimly, “dalam sebuah masyarakat yang plural seperti Indonesia, yang mesti menjadi pedoman dalam bermuamalah antar sesama warga negara bukanlah pandangan subjektif dari setiap kelompok agama yang berbeda-beda, lebih dari itu adalah kesepakatan tertinggi”.  Dalam konteks bangsa ini, kesepakatan tertinggi itu tertuang dalam Pancasila dan UUD 45.  Sehingga Pancasila dan UUD 45 yang ada pada pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sangat penting diterapkan sejak pendidikan dasar (SD).
Hasil penelitian yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP) menunjukkan bahwa tingkat intoleransi di dunia pendidikan meningkat.  Kajian ini mengungkap fakta kondisi keberagaman di sekolah-sekolah umum yang ternyata memperlihatkan angka yang sangat mencengangkan.  Tidak kurang dari 60 % guru-guru dan 25 % siswanya mengenal yang namanya “radikalisme”.
Jika hasil penelitian itu dipercaya, berarti situasi dunia pendidikan di negara kita menunjukkan permasalahan yang sangat serius.  Karena pada dasarnya pendidikan merupakan gambaran umum dari masyarakat yang sedang mengalami tingkat radikalisme.
Mohammad Nuh yaitu Menteri pendidikan nasioanal (Mendiknas) mengatakan, guna meredam radikalisme yang terjadi dikalangan pelajar, maka seluruh pihak terkait dihimbau untuk lebih gencar mengedepankan pendidikan karakter kepada para peserta didik dengan menanamkan rasa cinta tanah air dan rasa empati terhadap sesama sehingga tidak akan ada pemikiran untuk melakukan tindakan radikal.  Beliau juga menjelaskan, dalam pendidikan karakter, ada tiga hal utama yang harus ditanamkan yaitu kesadaran sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa, keilmuan dan kecintaan, serta kebanggaan terhadap tanah air.
Tidak ayal, perdamaian adalah hajat manusia sedunia.  Persoalannya adalah pemenuhan akan hajat ini tidaklah mudah bahkan dalam batas tertentu agaknya musykil.  Sejarah menyatakan bahwa selain perdamaian, perang merupakan bagian tidak terelakkan dari kehidupan manusia.  Damai dan perang sebagai silih berganti mengisi dalam sejarah hidup manusia.  Damai dilihat dari dimensi waktu adalah masa jeda  diantara perang dan perang.  Bahkan Fuad Hasan, mantan Mnteri Pendidikan nasional RI, pernah mengatakan bahwa “perdamaian adalah sesuatu yang absurd”.
Dari berbagai penjelasan diatas, kerukunan beragama sangatlah penting dalam kehidupan dan pendidikanlah yang menunjang semua itu.  Jika dalam pendidikan tidak ada pengajaran untuk saling bertoleransi dengan berinteraksi antar sesama dalam classroom discourse.  Karene pada hakikatnya Tuhan telah menciptakan manusia dalam keragaman dan dalam kesatuan, sehingga memungkinkan untuk menjalin toleransi antara keadaan bersatu dan kenyataan berbeda.  Sifat kasih sayang Tuhan telah mendorongnya untuk mengajarkan agama kepada manusia sebagai wadah untuk menemukan dan mempertahankan kemanusiaannya.  Oleh karena itu, setiap agama tentu menjadi pendukung dan pembela kelestarian kemanusiaan, karena dalam ajaran setiap agama dinyatakan, bahwa agama itu sendiri merupakan fitrah manusia.
Jika seumpama terjadi konflik dalam hubungan sosial itu sangatlah wajar, karena konflik merupakan unsur dinamika sosial.  Akan tetapi pada sisi lain konflik bisa mengancam harmoni bahkan integrasi sosial dalam lingkup lokal, nasioanl, regional dan internasional.  Sehingga diperlukannya perdamaian untuk menjalin hubungan yang harmonis kembali
Institusi pendidikan sangatlah berperan penting dalam penciptaan kepribadian siswa.  Karena pada dasarnya pendidikan merupakan tempat untuk memanusiakan manusia.  Artinya bahwa ada upaya-upaya nyata, sadar dan sistematis yang dilakukan secara terus menerus untuk merubah pola pikir dan pola sikap seseorang yang sebelumnya tidak baik bahkan jahat menjadi baik, lebih baik dan sangat baik. konsep dasar pendidikan inilah yang seharusnya menjadi acuan dan pedoman nyata bagi para pendidik dalam rangka memanusiakan manusia.  Kekerasan demi kekerasan apabila terus berlanjut maka akan mematikan kreatfitas dan semangat belajar peserta didik.  Institusi pendidikan yang diharapkan dapat menjadi media bagi pengembangan ajang transfer dan transformasi budaya kekerasan dan budaya menghuum yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai dari konsep dasar pendidikan.
Maka dalam membangun sebuah pendidikan yang berkualitas diperlukan sebuah sistem pendidikan yang menjunjung tinggi nilai - nilai pancasila yang dijabarkan melalui sejumlah program seperti pendidikan berbasis karekter, pendidikan berbasis gender, pendidikan berbasis hak asasi manusia, pendidikan berbasis kearifan local, pendidikan berbasis perdamaian dan pendidikan berbasis multikultural.












Chaedar Alwasilah, The Jakarta Post, October 22, 2011
Harahap, Syahrin. 2011. Teologi Kerukunan. Prenada Media. Jakarta
Fadjar, A Malik. 2005. Holistika Pemikiran Pendidikan. PT Rajagrafindo Persada. Jakarta
Al Wasilah, A. Chaedar, Pokoknya Rekayasa Literasi, 2012
Wacana Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya Vol. 9 No. 1 April 2004 Teori & Metodologi Ilmu Budaya
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment