Critical Review-1



RELIGIOUS HARMONY: Berseia dan Bersekata Lewat Dialog
(Author: Enok Siti Jaenah)

"Unless we teach our children peace, somebody else will teach them violence."
- Coleman McCarthy
“We must begin to inoculate our children against militarism by educating them...I would rather teach peace than war, love rather than hate. “
-Albert Einstein
"Children are the seed for peace."
- Zelda Arms Neuman
Saat ini kebhinekaan Indonesia sudah tergerus akibat aksi massa intoleran para pelaku yang ‘katanya’ orang beragama. Konflik antar agama yang terjadi dimana-mana seolah menjadi tumbal bagi pluralisme dan kekayaan khazanah agama di Nusantara. Pemicunya tentu tak lain adalah perbedaan yang selama ini selalu dijadikan tersangka untuk kasus ini. Sebenarnya perbedaan tak mesti kita satukan dan kita seragamkan. Perbedaan menciptakan harmoni kehidupan yang indah. Bukankah Tuhan Yang Maha Kuasa telah menciptakan alam raya yang luas ini dengan penuh keberagaman?

Setiap orang punya seribu alasan untuk berbeda. Tapi setiap orang pun juga memiliki jutaan alasan untuk bisa saling memahami setiap perbedaan tersebut. Ketika energi positif menjadi nyawa bagi dua kutub yang berbeda, toleransi dan saling pengertian bisa disepakati. Rasa percaya diri yang positif akan membantu kita memahami bahwa setiap perbedaan itu bukanlah hal yang harus dihindari. Sebab kita tak mungkin bisa menghindarkan diri dari perbedaan yang sudah seperti kulit yang menempel pada daging.
Nusantara ku, nusantara mu, dan nusantara kita semua syarat akan keberagaman. Hidup berdampingan dengan enam agama yang dirangkul bangsa kita, seharusnya menjadikan kita semakin tak berpikir panjang lagi untuk bertenggang rasa. Menurut hasil sensus tahun 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan.
Keberagaman yang kita saksikan sekarang ini lebih mirip seperti benang kusut, kalau terus diabaikan akan semakin semerawut. Rajutlah benang kusut itu dengan jarum solidaritas sosial yang kuat nan kokoh. Seperti konflik agama yang berkepanjangan dan menimpa daerah Poso beberapa tahun silam. Tragedi sadis tersebut tentu masih meninggalkan bekas luka yang mendalam bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu, salah satu media online memuat berita tepatnya pada hari Selasa, 20 Agustus 2013 bahwa ada hal menarik yang perlu kita kaji pasca terjadinya tragedi pertumpahan darah tersebut. Lian Gogali, perempuan 35 tahun ini mendirikan Sekolah Perempuan Mosintuwu untuk merekatkan kembali hubungan Muslim-Kristen.
Menurut Lian, kebanyakan lembaga yang berperan menjembatani perdamaian hanya sementara dan menempatkan perempuan hanya sebagai korban. Bukan agen perdamaian. "Mereka (perempuan) adalah penjaga kehidupan saat laki-laki sibuk membangun strategi perang," Lian menjelaskan. Tantangan yang dihadapi Lian Gogali datang dan pergi. Wanita satu anak ini sempat kebingungan mempertemukan para ibu yang masih bernoda trauma. Sebagian menolak berada dalam satu ruangan bersama dengan mereka yang berbeda agama.
Lian pun membuat delapan “mata pelajaran” di Sekolah Perempuan itu. Semuanya dititikberatkan pada agama, toleransi, dan perdamaian. Pelajaran tak hanya dipraktekkan di kelas, tapi juga dengan berkunjung ke masjid dan ke gereja. Dalam sebuah video terlihat bahwa seorang ibu bertanya kepada ustad tentang makanan dalam pesta pernikahan umat Kristen yang tak boleh dimakan umat Islam. Sang ustad menjelaskan, tak jadi masalah menyantap makanan pemberian kaum Nasrani sepanjang halal.
Standing applause dari seluruh warga Negara Indonesia saja sepertinya belum cukup untuk apresiasi tindakan heroik yang dilakukan Lian. Ada hasil galian dua buah kata kunci dari cerita inspiratif Lian, yaitu “dialog agama.” Dan dua kata kunci ini sejalan dengan jejak tinta A. Chaedar Al-Wasilah dalam bukunya yang bertajuk Politik Bahasa dan Pendidikan (54:1997) tukar menukar gagasan dan pengalaman (berdialog) memperkaya khazanah dan repertoar psikologis keagamaan para pemeluk agama. Dialog bukanlah “adu penalti” untuk menentukan kalah atau menang. Karena pada hakikatnya, dialog antar pemeluk agama adalah dialog dengan nalar dan emosi sendiri. Sehingga pada akhirnya, yang muncul adalah perasaan kesadartuhanan akan kekayaan ruhani atau metareligius. Yaitu introspeksi dan solilokui rohani transcendental.
Prof. Mukti Ali, mantan Menteri Agama RI, menyebut lima macam dialog antar-agama: dialog kehidupan, dialog kerja sosial, dialog antar monastik, dialog untuk do’a bersama, dan dialog diskusi teologi. Dialog diskusi teologi adalah tugas mereka para ahli, pemikir, dan birokrat yang mengatur kehidupan beragama. Jumlah mereka relative sedikit, namun wejangan, fatwa, dan khotbah mereka akan didengar para pengikutnya. Dengan kata lain, mereka sebenarnya harus ekstra berhati-hati dalam menggunakan idiom-idiom agama, terutama dalam hal menyangkut pemeluk agama lain.
Dengan demikian makin jelas dan mendesak, pentingnya untuk merajut kembali persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah basyariyyah) dan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathoniyyah) guna merekatkan kembali persatuan dan kesatuan bangsa. Gagasan untuk melakukan rekonsiliasi, rujuk, atau ishlah nasional adalah suatu tindakan tepat dan bijaksana yang sangat diharapkan oleh masyarakat.
Yang juga tak kalah pentingnya adalah terwujudnya suatu forum kerukunan umat beragama di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Forum tersebut atau yang lebih dikenal dengan nama FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) dibentuk oleh unsur-unsur pemuka agama dan tokoh masyarakat yang difasilitasi oleh pemerintah daerah. Tugasnya adalah melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat, menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati/walikota, mensosialisasikan peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat, dan memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.
Sedemikian penting dan strategisnya peran FKUB tersebut dalam membantu menciptakan kerukunan umat beragama di Indonesia, namun ironisnya selama ini masyarakat kurang menyadari kehadirannya. Bahkan ada diantara kepala daerah/wakil kepala daerah di kabupaten/kota yang tidak mengetahui bahwa dirinya adalah salah satu unsur yang duduk sebagai dewan penasihat FKUB. Sebuah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sesegera mungkin oleh FKUB kabupaten/kota untuk mensosialisasikan keberadaannya agar kerukunan umat beragama senantiasa langgeng di bumi Indonesia. Apabila masyarakat rukun dan harmonis pembangunan berjalan lancar.
Selain FKUB yang sekarang sedang getol menggencarkan dialog antar pemuka agama, maka A. Chaedar Al-Wasilah sendiri lebih memilih untuk menyoroti Classroom Discourse sebagai sentuhan awal untuk selangkah lebih dekat dengan harmonisasi beragama. Pendekatan classroom discourse dibawah bendera Pak Chaedar, menurut Graham Nuthall adalah wacana kelas yang merujuk pada bahasa yang digunakan guru dan siswa untuk berkomunikasi satu sama lain di dalam kelas. Berbicara atau percakapan adalah media di mana sebagian besar mengajar berlangsung, sehingga studi wacana di kelas adalah studi tentang proses pengajaran di kelas dengan cara tatap muka.
Classroom discourse yang digembor-gemborkan A. Chaedar Al-Wasilah dalam artikelnya yng bertajuk “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” (2011), tak lain adalah untuk mendidik anak-anak sekolah dasar untuk mewujudkan kerukunan beragama lewat interaksi sesame teman sebayanya. Di sini program sekolah harus sengaja memfasilitasi interaksi sesame teman sebayanya unruk mengembangkan kepekaan sosial yang positif.
Pada tingkat sekolah dasar, guru kelas berfungsi untuk mengawasi siswa sepanjang hari di sekolah. Mereka harus tahu bagaimana merancang dan memfasilitasi interaksi dengan teman sebaya yang benar, mereka juga harus bisa mengambangkan wacana-wacana positif sebagai bagian dari pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.
Dikutip dari Tempo.Co (Rabu, 21 Agustus 2013), sekolah pembauran Yayasan Sultan Iskandar Muda kini diakui sebagai tonggak pendidikan yang mengedepankan pentingnya hidup bersama di antara komunitas yang berbeda-beda etnis dan agama. Kurikulum sekolah ini unik karena menekankan pada cinta kasih, toleransi dan keberagaman.
Sebuah contoh pengajaran yang khas sekolah ini diceritakan oleh Boimin Pama, seorang guru yang setia mengikuti Sofyan sejak sekolah multikultural itu didirikan. Boimin kini menjadi Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Yayasan Sultan Iskandar Muda. Dalam setiap pelajaran, kata Boimin, para guru sedari awal selalu mencontohkan sebuah kasus dengan realitas keberagaman dalam masyarakat.
Misalnya, kata Boimin, saat memahami pelajaran biologi, sejak tingkat sekolah dasar anak-anak sudah ditanamkan sebuah cerita soal keberagaman.  Sang guru bercerita kepada siswa soal seorang penanam pohon yang beretnis Jawa, yang dipekerjakan oleh seorang Tionghoa. Saat pohon itu tumbuh dan menghasilkan oksigen, ternyata tidak hanya bisa dinikmati sang majikan dan buruhnya, tapi juga siapa saja yang bernaung di bawah kerindangannya.  
Pola ajar semacam itu, kata Boimin, sudah diinisiasi sendiri oleh Sofyan sejak sekolah ini didirikan. Hasilnya, Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda mendapatkan penghargaan dari dunia internasional, serta dijadikan sebagai sekolah model di bidang pembauran dan pencegahan konflik. “Sebenarnya semua berjalan natural seperti sekolah biasanya. Tapi di sini sikap antidiskriminasi dilakukan, bukan hanya diucapkan,” kata dia.
Mungkin analogi yang tepat untuk menggambarkan berita diatas yaitu seperti diciprati air ketika ngantuk. Bagaimana tidak? Ini membuat kita benar-benar melek, Indonesia ternyata tak kalah dengan Negara jerman sekalipun yang menyajikan sekolah dasar tiga agama. kitapun punya Sekolah Pembaharuan Yayasan Sultan Iskandar Muda yang menjunjung tinggi nilai toleransi.
Lian Gogali dengan Sekolah Perempuannya, FKUB dengan dialog antara pemuka agamanya, dan Yayasan Sultan Iskandar Muda dengan kurikulum multikulturalnya. Ketiganya sama-sama membawa misi kerukunan beragama lewat dialog. Dialog yang dimaksud di sini adalah dialog yang senada dengan classroom discourse yang dibawa oleh A. Chaedar Al-Wasilah. Atas nama penanaman kerukunan beragama sejak dini lewat wacana kelas tersebut, beliau menitik beratkan anak-anak usia dini yang diharuskan untuk diajarkan menghargai lingkungan. Terutama di sini adalah rekan sebayanya. Interaksi dengan rekan sebaya sangat penting untuk bahasa, kognitif, dan sosial. Ada aspek pembelajaran yang terjadi selama interaksi tersebut berlangsung.
Mereka belajar bagaimana untuk berdebat, bernegosiasi, dan membujuk. Mereka harus belajar untuk mengatakan hal-hal tanpa menyakiti perasaan. Mereka harus menyelesaikan konflik, meminta maaf, dan dukungan. Interaksi dengan rekan sebaya berfungsi sebagai landasan untuk banyak aspek penting dari perkembangan emosional seperti pengembangan konsep diri, harga diri dan identitas. Anak-anak belajar tentang diri mereka sendiri selama interaksi satu sama lain dan menggunakan informasi ini untuk membentuk rasa diri mereka sendiri dan siapa mereka.
Dialog atau classroom discourse antar pemeluk agama, baik antara siswa dengan siswa ataupun guru dengan siswa, mesti dilakukan dalam suasana komunikatif agar dialog itu tidak sia-sia. Bahasa komunikatif dicirikan oleh sedikitnya kesalah pahaman, sederhananya bahasa yang dipakai, dan terpahaminya materi yang dibicarakan. Dialog akan berhasil antara lain apabila: Petama, para pelaku dialog memiliki wawasan keagamaan yang relative setingkat, sehingga tidak satupun diantara mereka hanya berperan sebagai pendengar dari pada pembicara. Lebih-lebih dalam dialog diskusi teologis.
Kedua, para pelaku classroom discourse seyogyanya menggunakan bahasa yang sederhana agar dimengerti oleh pemeluk agama yang lain, dan sejauh mungkin harus menghindari idiom-idiom keagamaan yang terlampau teknis. Dialog yang terlalu dipoles oleh bahasa asing misalnya, mungkin akan menimbulkan sikap a priori terhadap pelaku dan materi dialog. Di sinilah pentingnya penguasaan bahasa nasional yang baku dan perlunya kemampuan menerjemahkan bahasa istilah agama (dalam bahasa asing) ke dalam bahsa nasional oleh para peserta dialog agama, sekaligus menepis ancaman primordial lingual.
Ketiga, dialog dilakukan dalam forum dan suasana yang netral. Dialog agama dalam rumah ibadah agama tertentu mungkin mengundang keengganan bagi pemeluk agama lain untuk menghadirinya. Tempat-tempat umum seperti hotel, gedung sekolah, kantor pemerintahan, dan sebagainya mungkin lebih cocok untuk kegiatan ini. Dengan kata lain, para birokrat pemerintahan dan lembaga sosial seyogyanya mengayomi para pemeluk semua agama.
Keempat, dialog dilakukan untuk membantu pemerintahan dan masyarakat keseluruhan dalam menangani isu-isu sosial yang terasa melekat dalam keseharian. Adalah tugas para tokoh pemuka agama untuk senantiasa sensitif terhadap persoalan sosial seperti disebut diatas dan mengajukan berbagai alternative pemecahan. Khotbah, dakwah, fatwa, nasihat, kesepakatan, do’a bersama, dan sebagainya yang disampaikan para pemuka adalah juga dialog. Jadi dialog agama dalam konteks dan era reformasi sekarang ini, meskinya tidak ditafsirkan hanya interaksi verbal secara fisik berhadapan dalam forum terbatas.
Sudah saatnya kita melihat nusantara kita yang penuh keragaman ini sebagai khazanah yang benar-benar khazanah seutuhnya. Harta berharga kita yang harus dibentengi dengan toleransi yang kokoh nan super kuat. Toleransi yang diawali dengan cara menerima perbedaan yang ada. Semua pasti sepakat kalau ‘Pelangi ‘  yang berwarna-warni itu  indah.  Semakin terang warnanya, pelangi itu semakin terlihat indah.  Berdasarkan Ilmu Alam, pelangi itu terdiri dari   tujuh warna: merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Masing-masing warna tak pernah bercampur dan tak  pernah saling mengganggu. Komposisi warnanya juga tak pernah saling bertukar, walaupun antara warna terletak diatas warna yang lain. Masing-masing warna juga tak pernah saling mendominasi. Namun justru karena  itulah pelangi terlihat sangat indah.
Warna-warna pelangi mengajarkan pada kita agar selalu bersikap arif dalam menghadapi perbedaan. Sebab, keindahan warna yang muncul, akibat pertemuan antara sinar matahari dan rintik hujan. Dua dzat yang sama sekali berbeda asal  usul dan karakternya. Secara alamiah, Tuhan juga menciptakan manusia secara berbeda-beda dengan  pendapat yang berbeda-beda juga sesuai dengan pemahaman masing-masing. Namun, dalam sebuah tim, satu hal yang harus dijaga adalah sebuah keharmonisan demi  tercapainya tujuan bersama. Bukankah pelangi tak akan terlihat indah jika hanya terdiri satu warna? Begitupun dengan manusia. Jika manusia ini hanya terdiri satu pemikiran saja, maka semua kehidupan akan berjalan monoton, kaku dan menjemukan.
Pluralisme agama dapat terjaga dan terpelihara dengan baik, apabila pemahaman agama yang cerdas dimiliki oleh setiap pemeluk agama. Antar umat beragama perlu membangun dialog dan komonikasi yang intens guna untuk menjalin hubungan persaudaraan yang baik sesama umat beragama. Dengan dialog akan memperkaya wawasan kedua belah pihak yang dapat dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu masyarakat, yaitu toleransi dan pluralisme.
Kewaspadaan terhadap bahaya-bahaya di atas akan memberi harapan untuk tetap terjaganya suatu sistem toleransi di masyarakat yang bersifat evolutif dimana pada mulanya sebagai pembiarandan akhirnya menuju suatu toleransi yang bersifat dialogis dan pro-eksistensi. Dengan itu maka diharapkan tercapai keselarasan hidup bersama dalam masyarakat dengan fondasi yang kokoh sehinggatidak mudah dirusak oleh berbagai faktor baik dari luar maupun dari dalam masyarakat itu sendiri.
Pada akhirnya energi masyarakat dapat dipusatkan dan disatukan bersama sehingga produktivitas masyarakatdiharapkan dapat meningkat dan lebih terarah pada penyelesaian masalah-masalah kemanusiaan yang lebih mendasar dan mendesak untuk dihadapi bersama seperti kemiskinan, kerusakan lingkungan hidupdan berbagai masalah ketidakadilan sosial.
Jika bangsa yang mempunyai ragam agama ini tidak ingin segera berantakan, maka segeralah kita membuka ruang dialog antar agama. Sebab dengan dialog, keutuhan Indonesia sangat mungkin tetap terjaga. Sedangkan Menjaga integritas bangsa adalah kewajiban bagi kita semua.
Dengan demikian, para pelajar dan masyarakat secara keseliruhan, khusunya anak-anak yang dalam usia sekolah dasar akan terlibat dalam dialog sosial. Tanpa disadari bahwa mereka sesungguhnya terlibat dalam classroom discourse antar umat beragama. Setiap pemeluk agama melihat benang merah dari berbagai agama dalam merespon persoalan sosial. Inilah religious kolektif yang mempererat jalinan kebangsaan.
Pencetakan manusia-manusia yang berpendidikan dan bertoleransi tinggi adalah salah satu proyek besar yang sedang dirampungkan pengerjaannya. Konflik-konflik yang pernah terbeber di negeri ini biar kita jadikan pembelajaran dan upaya keras untuk tidak ter-reka ulang kembali. Kini Indonesia lebih terasa teduh dalam pandangan, masyarakatnya yang gemar bergotong-royong, mencintai sesamanya, dan saling terbuka sesamanya adalah pemandangan indah yang memanjakan mata.
Perbedaan bukan lagi benteng yang membentang jarak penghalang untuk saling bertukar kasih, kini perbedaan justru sebagai media yang mencetak generasi yang saling menghargai, menghormati, dan memiliki rasa persatuan yang tinggi. Tetap menguatkan radar interaksi dengan sesama perangkul agama. Berdialog dalam proses pendidikannya menjadikan pintu-pintu toleransi terbuka lebar. Pelajar-pelajar SD pun sudah sedikit demi sedikit bersuara untuk misi perdamaian di tanah air tercinta ini.
Belajarlah dari pelangi yang tampak menawan karena perbedaan waranya. Berdiri tegap dengan posisi yang sejajar dan saling berpegangan tangan tak kalah menawan jika dilakukan dengan penuh rasa kesadaran saling memiliki. Lewat dialog dari hati ke hati ini yang akan memancarkan kemenawanannya. Dan pencipta sesungguhnya dari sang pelangi itu ialah aku, kamu, dan kita semua. Seperti pepatah yang berbunyi berikut: “I have good idea, for if you meet some person from different religion and he want to make argument about God. My idea is, you listen to everything this man say about God. Never argue about God with him. Best thing to say is, 'I agree with you.' Then you go home, pray what you want. This is my idea for people to have peace about religion.”  By -Elizabeth Gilbert
REFERENSI
Alwasilah, A. Chaedar. 2004. Politik dan Bahasa Pendidikan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
Rakhmat, Jalaludin. 1991. Islam Aktual. Bandung. Penerbit Mizan











Comments
1 Comments

1 comments :

Lala Bumela said...

masih bercitarasa 'mahal' nih masakan. Tapi appetizer di parameter mengenai diskursus kelas belum tersaji baik

Post a Comment