Critical Review 1 : “Kerukunan Beragama” Apakah Hanya Sekedar Wacana Belaka?

“Kerukunan Beragama” Apakah Hanya Sekedar Wacana Belaka?
(by : Friska Maulani Dewi)


 “Kerukunan” setiap orang di dunia ini pasti mendambakan hal ini dapat terwujud di kehidupan mereka sehari-hari.  Seperti juga halnya rakyat Indonesia.  Siapa di dunia ini yang tidak mendambakan kehidupan yang rukun?  Adakah orang yang merasa senang dengan perpecahan dan kehancuran?  Siapa yang ingin setiap hari di hidupnya dihadapkan dengan perang yang bisa merenggut nyawa orang-orang yang kita sayangi?  Jika anda masih tergolong orang dengan pemikiran waras dan mampu berpikir secara sehat dan benar, anda pasti tidak akan menyukai perang yang bisa menyebabkan perpecahan dan kehancuran.  Lalu bagaimana caranya agar tidak terjadi perang dan kerusuhan-kerusuhan tersebut?  Jawabannya jelas kita harus memelihara kerukunan agar tercipta kehidupan yang nyaman, aman, tentram dan damai.

            Salah satu bentuk kerukunan yang perlu kita junjung adalah kerukunan antar umat beragama.  Kerukunan antar umat beragama merupakan aset yang berharga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di Indonesia ini.  Pasalnya, terdapat 5 agama utama yang diakui telah dianut oleh bangsa Indonesia.  Kelima agama tersebut adalah Islam, Kristen (Protestan dan Katolik), Hindu, Budha dan Konghucu.  Namun, akhir-akhir ini ada juga yang mengatkan bahwa di Indonesia terdapat 6 agama yang diakui.  Ada agama lain selain kelima agama yang tadi telah disebutkan?  Bukan, hal ini karena agama Kristen dibagi menjadi 2 yaitu masing-masing Kristen Protestan dan Kristen Katolik.
Dengan banyaknya agama yang berbeda-beda tersebut, bagaimanakah cara ampuh untuk menjaga kerukunan antar umat beragama? Mengapa kita harus menjaganya?  Apa manfaatnya?  Dan bagaimanakah caranya?  Dalam tulisan ini, saya akan mencoba menelaah lebih dalam lagi tentang hal-hal yang berkenaan dengan kerukunan antar umat beragama tersebut berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Prof. A. Chaedar Alwasilah yang telah dimuat di The Jakarta Post, 22 Oktober 2011 lalu.
Dalam artikel yang berjudul asli “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” tersebut Pak Chaedar membahas tentang kerukunan beragama melalui sudut pandang dan aspek dunia pendidikan.  “Wacana Kelas untuk Memupuk Kerukunan Beragama” mungkin itulah judul artikel tersebut jika diartikan dalam bahasa Indonesia.  Jika dilihat dari judulnya saja, anda pasti sudah bisa menebak bahwa dalam artikel ini Pak Chaedar ini lebih membahas kepada apa yang terjadi pada lingkungan sekolah, khususnya dalam sistem pengajaran yang berlangsung di dalam kelas.
Kualitas suatu bangsa dapat juga terlihat dari sistem pendidikan yang dianut oleh bangsa tersebut.  Hampir semua negara maju yang menyadari tentang hal ini akan membentuk sistem pendidikannya dengan sebaik mungkin.  Salah satu cara untuk membangun sistem pendidikan yang baik dan berkualitas tinggi adalah dengan cara memulai membangun pendidikan dasar yang tinggi pula.  Pendidikan dasar ini ditujukan dengan maksud untuk membekali kepada siswanya keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat dan warga negara yang baik sesuai dengan yang telah diatur dalam Undang-Undang.
Namun, ternyata sampai saat ini masih banyak masalah sosial yang terjadi pada masyarakat Indonesia ini.  Dapat kita lihat dengan mata kepala kita sendiri masih banyak tawuran antar pelajar, bentrokan para pemuda dan banyak bentuk lain dari radikalisme yang terjadi di seluruh Indonesia.  Hal ini mengindikasikan penyakit-penyakit sosial yang semata-mata dapat disebabkan oleh kurangnya rasa kepedulian, kepekaan (respect) dan juga rasa hormat terhadap sesama manusia.
Konflik sosial inilah (termasuk ketidakharmonisan antar umat bergama) yang akan menjadi tugas yang sangat menantang bagi para pendidik di Indonesia.  Mereka harus melakukan yang terbaik guna mempersiapkan generasi muda penerus bangsa dengan dilengkapi karakter-karakter yang baik yang nantinya akan membawa mereka sebagai warga negara demokratis sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Bagaimanakah cara untuk mewujudkan semua tujuan mulia ini?  Kita kembali lagi pada bahasan utama kita tadi yaitu kerukunan antar umat beragama.  Kerukunan antar umat beragama ini seharusnya dikembangkan kepada generasi muda penerus bangsa pada usia sedini mungkin.  Sekolah yang notabene sebagai lembaga pendidikan formal pertama bagi seorang siswa, memiliki peran yang sangat penting mengenai hal ini.  Seperti yang juga dikatakan oleh Pak Chaedar dalam artikel tersebut, berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah cenderung lebih memilih untuk berinteraksi dengan teman-teman sebaya mereka.  Hal ini mungkin disebabkan karena mereka merasa lebih nyaman untuk saling berbagi, membantu dan juga saling menghormati satu sama lainnya.
Lalu bagaimanakah jika terdapat pengaturan multikultural yang terjadi dalam sekolah ataupun kelas mereka?  Faktanya, jika kita melihat pada sekolah sekolah negeri, tidak sedikit juga siswa yang berasal dari latar belakang etnis, agama dan sosial yang berbeda.  Hal inilah yang terkadang bisa menimbulkan masalah dimana pola pikir mereka terkadang berbeda yang membuat sudut pandang mereka terhadap suatu masalah atau suatu keadaan pun akan berbeda pula.  Disinilah tugas menantang bagi seorang guru/pendidik untuk memfasilitasi interaksi-interaksi yang terjadi antar siswa multikultural tersebut.
Dalam artikel tersebut, Pak Chaedar juga menjelaskan bahwa di setiap mata pelajaran yang diajarkan dalam kelas, berlaku juga indikator-indikator dari Classroom Discourse yang umumnya memiliki sifat positif.  Mendengarkan dengan penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan menyatakan pendapat (baik setuju maupun tidak setuju) merupakan beberapa indikator-indikator dari wacana sipil yang harus diterapkan dalam kelas (Classroom Discourse).  Disini siswa juga dilatih untuk mendengarkan secara aktif dengan mempertahankan kontak mata langsung, berdiri diam dan bergiliran dalam berbicara.  Mereka juga harus diajarkanbagaimana untuk menyumbangkan ide-ide yang relevan dengan topik diskusi. Dengan indikator-indikator tersebut diharapkan akan tercapailah sebuah kompromi dengan cara yang tepat, sopan dan juga hormat. 
Jika kita perhatikan pada sekolah dasar, guru kelas memiliki fungsi untuk mengawasi siswa-siswanya hampir sepanjang hari. Dengan begitu diharapkan guru tersebut dapat mengerti dan mengetahui betul bagaimana karakter dari siswanya masing-masing.  Harusnya mereka dapat mengetahui betul bagaimana cara merancang dan memfasilitasi kegiatan interaksi yang dilakukan antar sesama siswanya.  Sehingga ketika siswa-siswanya telah beranjak dewasa dan telah menyelesaikan tahap-tahap pendidikan formal, mereka akan dengan siap memasuki dunia yang sesungguhnya dimana kemampuan untuk berinteraksi dan menjaga hubungan baik dengan orang sekitar sangatlah penting untuk keberhasilan mereka sendiri.
Dalam artikel yang dimuat dalam The Jakarta Post tersebut, Pak Chaedar pun mencantumkan sebuah laporan penelitian yang dilakukan oleh Apriliaswati (2011).  Apriliaswati menyimpulkan bahwa interaksi antar sesama rekan sebaya yang terjadi dikalangan siswa ternyata sangat mendukung classroom discourse yang mempunyai efek positif.  Siswa harus sering diberikan kesempatan-kesempatan untuk berinteraksi dengan satu sama lainnya (teman sebaya) melalui tugas-tugas kelompok.  Karena melalui tugas-tugas kelompok tadi siswa dapat berlatih untuk mendengarkan dengan penuh perhatian, berdebat dengan hormat, dan berkompromi untuk mempersiapkan mereka semua untuk hidup sebagai anggota fungsional dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Memang, sebagai siswa SD mereka masih belum mampu untuk memberikan alasan informasi dan bukti-bukti untuk menguatkan argumen-argumen yang mereka keluarkan.  Akan tetapi, setidaknya mereka telah mampu untuk mengekspresikan kesepakatan (setuju) maupun ketidaksepakatan (tidak setuju) dengan cara yang sopan.  Hal inilah yang nantinya akan menjadi dasar pembelajaran yang juga akan menjadi bekal untuk kehidupan sosial mereka di masa yang akan datang.
Studi Apriliaswati tersebut mengajarkan kepada kita semua bahwa pendidikan di Negara ini harus mengembangkan tidak hanya penalaran ilmiah saja, akan tetapi juga wacana sipil yang bersifat positif.  Penalaran ilmiah memang sangat diperlukan dalam mengembangkan warga negara yang berintelektualitas tinggi, sedangkan kompetensi wacana sipil tadi sangatlah penting untuk menciptakan warga negara yang beradab.  Dan salah satu indikator penting dalam wacana sipil selain interaksi antar sesama adalah menjaga hubungan baik dan kerukunan antar umat beragama.
Ketidakmampuan dalam menjaga hubungan baik dapat merugikan individu itu sendiri dan dapat menyebabkan timbulnya beberapa konflik sosial dalam suatu waktu.  Buktinya? Banyak!  Seperti yang beberapa telah disebutkan oleh Pak Chaedar dalam artikelnya tersebut, diantaranya adalah konflik antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas (2008), Ambon (2009), Papua (2010) dan Singkawang (2010).  Jika kita tidak bisa mengambil langkah yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut, niscaya masalah-masalah seperti ini pasti akan terulang kembali di masa-masa mendatang.
Masalah yang paling parah dan cukup mengganggu kohesi sosial adalah kasus bom bunuh diri yang terjadi di sebuah gereja di Surakata yang terjadi pada akhir tahun 2011 lalu.  Sempat dikhawatirkan hal semacam ini akan membuat rasa saling tidak percaya yang terjadi diantara kelompok-kelompok sosial dan agama dalam masyarakat.  Khususnya pada agama Islam yang sering dicap sebagai agama teroris.  Bahkan sempat tersebar juga isu tidak sedap yang menyatakan bahwa akan ada balas dendam dan serangan serupa dalam masjid-masjid.  Hal-hal seperti inilah yang akan meningkatkan ketidakharmonisan beragama.  Lalu, dimana kerukunan beragama yang katanya kita bangga-banggakan di negeri Indonesia ini?
Itulah pentingnya menanamkan sikap tenggang rasa dan toleransi antar sesama umat manusia di muka bumi ini semenjak usia sedini mungkin.  Jika anda masih ingat, ketika kita SD terdapat pengajaran tentang tenggang rasa dan saling menghormati antar umat beragama dalam pelajaran PPKN atau kewarganegaraan bukan?  Itulah salah satu contoh nyata tentang usaha penerapan wacana sipil yang positif yang salah satunya bertujuan untuk menjaga kerukunan antar umat beragama.
Sebagai bangsa Indonesia harusnya kita merasa bersyukur dan beruntung karena bisa hidup di negara yang nyaman, tentram dan damai ini.  Studi mengungkapkan, Indonesia ternyata merupakan negara dengan toleransi beragama terbaik di dunia.  Orang-orang di luar sana (negara-negara lain) sering kali menyebut dan mengenal Indonesia dengan ciri khas orang-orangnya yang ramah, murah senyum, suka menolong dan saling menghormati satu sama lainnya.  Kerukunan antar umat beragama di Indonesia ini sangatlah tinggi.  Bahkan hal ini pun sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pada pasal 29 ayat 1 dan 2.  Pada ayat 1 berbunyi “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.  Sedangkan pada ayat 2 berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”.  Pasal ini merupakan bentuk perlindungan negara terhadap semua umat beragama yang ada di Indonesia.  Jadi, sudah sepantasnyalah jika kita sebagai warga negara Indonesia yang baik dan taat terhadap peraturan akan menerapkan toleransi antar umat beragama demi terciptanya kerukunan antar umat beragama yang kita dambakan tersebut.
Berangkat dari pasal 29 ayat 1 dan 2 itulah yang menjadi dasar pokok kerukunan umat beragama yang ada di negara Indonesia.  Dari sini pula kita bisa melihat bentuk peneguhan dan penegasan bahwa bangsa Indonesia ini didirikan bukan atas dasar satu agama tententu saja, melainkan juga memberikan kedudukan yang sama dan setara bagi semua agama yang ada dan berkembang di negara Indonesia tercinta ini.
Seperti yang telah dikatakan diatas, Negara telah menjamin dan melindungi terhadap semua umat beragama yang ada di Indonesia.  Hal ini bisa kita lihat dalam contoh konkretnya yaitu jika kita lihat pada kalender, terdapat banyak hari libur dan tanggal merah untuk hari besar agama minoritas di Indonesia ini.  Tidak ada pilih kasih terhadap agama islam yang notabene sebagai agama mayoritas warga negara Indonesia.  Bahkan agama Konghucu yang pengikutnya kurang dari 0,1 persen dari jumlah penduduk Indonesia pun tetap mendapatkan jaminan dan perlindungan dari negara ini.  Tidak hanya agama Konghucu saja, akan tetapi agama minoritas yang lain pun mendapatkan perlakuan yang sama dari negara.
Setiap agama berhak untuk merayakan hari suci atau hari besar agamanya masing-masing.  Tugas kitalah untuk menghormatinya demi tercapainya kerukunan antar umat beragama.  Tidak hanya kita (orang Islam) yang bertoleransi terhadap agama minoritas lain, agama-agama lain pun harus bertoleransi terhadap Islam.  Contohnya: bulan Ramadhan yang lalu, sebuah klenteng di Magelang menggelar acara buka puasa bersama.  Bahkan klenteng tersebut juga membentangkan spanduk besar yang bertuliskan “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa”.  Hal ini mereka maksudkan untuk menghargai umat Muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa saat itu.  Mungkin akan kedengaran sedikit aneh dengan fenomena ini, akan tetapi inilah contoh konkret dari kerukunan antar umat beragama di Indonesia.
Ternyata klenteng di Magelang tadi bukan satu-satunya yang melakukan hal “aneh tapi ajaib” itu.  Terdapat banyak gereja-gereja yang juga melakukan hal demikian. Salah satunya ada gereja di Bandung yang juga mengadakan buka puasa bersama seperti halnya yang dilakukan oleh klenteng di Magelang tadi.  Tentunya hal ini membuat kita tersenyum lega karena ternyata kerukunan umat beragama di Indonesia ini bukan hanya sekedar wacana belaka.
Seperti halnya yang dijelaskan oleh Pak Chaedar Alwasilah dalam artikel yang telah disebutkan diatas tadi, saya banyak merasa sependapat dengan beliau.  Khususnya dalam bahasan yang menyebutkan bahwa sikap tenggang rasa dan toleransi dalam umat beragama harus dipupuk kepada setiap generasi penerus bangsa dari usia sedini mungkin.  Namun, menurut saya akan lebih baik jika Pak Chaedar tidak hanya berfokus pada pengajaran SD saja.  Bagaimana dengan yang terjadi pada jenjang selanjutnya pada jenjang SMP dan SMA?  Siswa SD yang notabenenya masih anak-anak sebenarnya masih berfikiran tidak terlalu matang untuk kehidupan kedepannya.  Apalagi dalam artikel tersebut lebih membahas tentang interaksi yang terjadi antar sesama siswa (teman sebaya) yang notebene masih sama-sama berfikiran kekanakan.  Akan lebih baik lagi jika interaksi yang terjadi lebih banyak antara guru dan siswanya atau antara orang tua dan anaknya.  Intinya, akan lebih baik jika salah satu diantara oknum yang berinteraksi tersebut merupakan orang dewasa, sehingga jika si anak (siswa) tersebut melakukan suatu kesalahan, orang dewasa tersebut akan mampu untuk memberikan contoh yang benarnya.  Jika interaksi yang terjadi hanya antara siswa saja (yang notabene masih sama-sama memiliki pemikiran anak kecil), lalu siapa yang akan membenarkan atau memberikan contoh yang benar jika salah satunya melakukan suatu kesalahan?
Memang benar, jika kita lihat rata-rata siswa lebih merasa nyaman untuk berinteraksi dengan teman sebayanya jika dibandingkan dengan orang dewasa lainnya.  Nah, disinilah tugas kita baik sebagai guru/pendidik, orang tua, dan keluarga untuk membuat agar mereka bisa merasa lebih nyaman berinteraksi dengan kita.  Caranya dengan melakukan pendekatan-pendekatan tertentu dengan siswa atau anak tersebut.  Jika sudah bisa terjalinnya interaksi-interaksi yang baik, sedikit demi sedikit kita bisa menanamkan nilai-nilai positif yang akan menjadi bekal untuk kehidupan siswa/anak tersebut di masa mendatang.  Dan salah satu dari nilai-nilai positif yang bisa kita tanamkan kepada mereka adalah sikap tenggang rasa, toleransi dan menjunjung tinggi kerukunan antar umat beragama.
Jika saya menghubungkan perihal kerukunan antar umat beragama dengan kehidupan saya sebagai mahasiswa, maka saya merasa sangat beruntung dan bersyukur dengan tempat saya berada sekarang.  Pasalnya, saya kuliah di sebuah Institut Agama Islam di Cirebon.  Dilihat dari namanya saja pasti bisa ditebak bahwa seluruh aspek yang ada di dunia perkuliahan saya beragama Islam.  Hal ini tentunya menjadi nilai plus yang akan mempermudah dalam menjalin kerukunan beragama.  Namun, hal yang harus kita sadari, menjaga kerukunan bukan hanya dilihat dari aspek agamanya saja, akan tetapi dilihat juga dari aspek seperti budaya, etnis, latar belakang bahkan bahasa daerah.  Itulah yang menjadi tugas kami sebagai mahasiswa untuk menjaga kerukunan dimulai dari lingkungan terkecil yaitu lingkungan kelas yang dipakai untuk menuntut ilmu sehari-hari.
Jika menengok dari tempat saya menuntut ilmu yang sekarang (kuliah), saya memang berada dalam lingkungan yang terdiri dari orang-orang dengan latar belakang agama yang sama yaitu Islam.  Namun, jika menengok sedikit lebih lama kebelakang, sebelum-sebelumnya saya pun bersekolah di sekolah umum negeri yang notabene banyak berkumpulah siswa-siswa lain dari berbagai macam etnis, agama, budaya bahkan bahasa.  Semenjak saya SD sampai SMA saya selalu mendapatkan teman sekelas yang diantaranya menganut agama yang berbeda.  Apakah perbedaan itu membuat kami mengalami perpecahan dan permusuhan?  Tentu saja tidak.  Teman-temanku itu justru amat sangat memiliki tenggang rasa dan toleransi tinggi sehingga perbedaan-pebedaan yang ada justru membuat segalanya lebih indah dan penuh warna.
Ketika bulan Ramadhan tiba, saya dan teman-teman saya yang beragama Islam menjalankan ibadah puasa.  Teman-teman saya yang beragama lain menghormati kami semua dengan cara tidak makan dan minum di depan kami yang sedang berpuasa.  Sebenarnya, tidak menjadi masalah jika mereka tetap ingin makan dan minum seperti biasanya (tidak perlu sembunyi dari hadapan kami yang sedang berpuasa).  Akan tetapi, ketika ditanya mengapa mereka bersembunyi dari hadapan kami yang sedang berpuasa, teman saya tersebut menjawab, “Saya mungkin bukan orang Islam, tetapi saya tetap ingin menghormati kalian semua yang sedang menjalankan ibadah kalian”.  Lihat, betapa indahnya kerukunan beragama tersebut, bukan?  Saat mendengar jawaban dari temanku itu, saya langsung merasa terenyuh dan mengucapkan banyak terima kasih kepadanya.
Kerukunan yang saya alami dengan teman saya yang berasal dari agama yang berbeda tersebut, sangat mungkin terjadi akibat pengajaran-pengajaran yang telah kami terima semenjak bangku sekolah dasar.  Seperti dalam artikel Pak Chaedar tadi, pertama-tama kami diberikan kesempatan untuk saling berinteraksi dengan teman sebaya (dalam konteks ini adalah teman sekelas).  Kemudian, dengan interaksi-interaksi itulah kami dapat mengenal satu sama lainnya sehingga lama-kelamaan akan timbul rasa peduli (respect) dan juga rasa hormat satu sama lainnya.  Disamping itu, guru kami pun mengajarkan pentingnya rasa tenggang rasa dan toleransi dengan banyak cara, salah satunya (dan yang paling jelas) adalah melalui pelajaran kewarganegaraan.  Inilah yang akan menjadi bekal kami di kehidupan sosial di masa mendatang.
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat kita lihat bagaimana pentingnya kerukunan antar umat beragama.  Kerukunan ini harus kita realisasikan agar tidak hanya menjadi wacana belaka.  Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama, salah satunya adalah melalui Classroom Discourse seperti yang dibahas oleh Pak Chaedar Alwasilah.
Peran pendidik disini ternyata amat sangat berpengaruh besar.  Mereka diberikan tugas yang menantang untuk mempersiapkan generasi muda penerus bangsa dengan karakter-karakter yang baik yang nantinya akan menunjang mereka sebagai warga negara demokratis sebagaimana yang telah tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.  Melalui classroom discourse inilah siswa dilatih untuk saling menghargai sehingga sikap tenggang rasa dan toleransi yang menjadi dasar kerukunan beragama pun akan terbangun.
Namun, tentunya classroom discourse ini bukanlah satu-satunya jalan membangun kerukunan antar umat beragama.  Masih banyak cara lain karena yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan seorang murid (anak) bukan hanya guru saja.  Peran orang tua, keluarga dan lingkungan sekitar tidak kalah pentingnya dengan peran guru, malah bisa dibilang berpengaruh lebih besar terhadap perkembangan seorang siswa (anak).  Lingkungan keluarga pada dasarnya telah ‘mencuri start terlebih dahulu’ dalam membentuk karakter siswa bahkan sebelum dia menginjakkan kakinya di bangku pendidikan formal.  Jika sudah begini, yang bisa kita harapkan hanyalah orang tua, keluarga dan juga lingkungan sekitar tersebut dapat memberikan dampak-dampak positif bagi siswa tersebut.  Karena jika ‘basic’nya saja sudah jelek, akan sangat susah mengubahnya meskipun dengan classroom discourse yang secanggih apapun.
Bagaimana cara menjaga kerukunan beragama, itulah PR kita kedepannya sebagai generasi muda penerus bangsa.  Kita harus berusaha sekuat tenaga agar kerukunan antar umat beragama ini bukan hanya menjadi wacana semata.  Ada satu pepatah jawa yang pas untuk bahasan kali ini, “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”, yang artinya “Kerukunan membuat kita semakin kokoh, bertengkar membuat kita hancur/rusak”.  Jadi, marilah kita semua menjaga kerukunan demi terciptanya negeri yang damai, aman, nyaman dan sejahtera.



References

A.    Chaedar Alwasilah, The Jakarta Post, October 22, 2011
Harahap, Syahrin. 2011. Teologi Kerukunan. Prenada Media. Jakarta.
Hendropuspito, D. 1983. Sosiologi Agama Islam. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
http://id.wikisource.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945
http://www.suarapembaruan.com/home/pemerintah-klaim-kerukunan-beragama-di-indonesia-terbaik-di-dunia/45023

Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment