Merenda Keharmonisan dalam Pluralitas Agama
Melalui Pendidikan dan programming Anak Usia
Dini
(Oleh Fatimah)
Pendidikan adalah suatu hal yang
sangat urgen di dalam suatu negara. Jika pendidikan di suatu negara baik maka
dapat dipastikan masyarakatnya adalah masyarakat yang literat sehingga tingkat
kesejahteraan dan toleransinya tinggi.
Menurut UU Republik Indonesia Nomor
20 tahun 2013 tentang sistem pendidikan nasional bahwa pendidikan merupakan
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan, yang diperlukan dirinya dimasyarakat.
Terdapat kaitan antara pendidikan, pluralitas
agama dan manusia (kususnya siswa sekolah dasar) untuk mewujudkan keharmonisan
antar umat beragama. Agama dan manusia tidak dapat dipisahkan seperti dua sisi
mata uang logam. Manusia membutuhkan agama untuk menetralisir perasaan yang
membuat hatinya gundah. Ketika dalam keadaan yang tidak menentu manusia mencurahkan
kemelut hidupnya kepada Tuhan yang diyakininya sehingga tercipta rasa tentram
dalam hatinya. Hal tersebut adalah bagian dari kecerdasan spiritual dimana
masyarakat modern semakin jauh dari kebutuhan spiritualnya.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
agama merupakan ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan
kepada tuhan Yang Maha Esa, serta tata kaidah yang berhubungan dengan manusia
dan lingkungannya.
Indonesia mempunyai 5 agama yang
dilegalkan oleh pemerintah. Kelima agama tersebut antara lain Islam, Kristen
(Katolik dan Protestan), Hindu, Budha dan Khong Hu Chu serta beragam
kepercayaan nenek moyang yang masih di anut oleh suku-suku yang ada di
Indonesia (Idan Hermanto:2010). Sangat plural. Pluralitas agama tersebut dapat
memicu gesekan antar agama jika kita tidak pintar bertoleransi. Kata harmonis
tentu akan sangat jauh dari hidup antar umat beragama. Ini menjadi permasalahan
klasik yang belum bisa diatasi baik oleh pemerintah maupun masyarakat sebagai
pemeluk suatu agama.
Untuk memupuk kerukunan antar umat
beragama dapat dimulai sedini mungkin. Seperti di terapkan pada siswa sekolah
dasar. Karena pada pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan siswa
keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu,
anggota masyarakat dan warga negara. Keterampilan dasar ini juga merupakan dasar
untuk pendidikan lebih lanjut.
Banyak masalah sosial yang berulang
seperti tawuran pelajar, bentrokan pamuda dan bentuk lain dari radikalisme di
seluruh Indonesia adalah indikasi dari penyakit sosial yaitu semata-semata
kurangnya kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain dari kelompok yang
berbeda.
Konflik sosial serta ketidak
harmonisan agama khususnya merupakan tantangan bai pendidik dalam melakukan
yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berkutnya sebagai warga negara yang
demokratis dengan karakter yang baik sebagaimana diatur dalam sistm pendidikan
nasional.
Agar tujuan tersebut dapat
diwujudkan maka kerukunan uamat beragama harus di kembangkan di sekolah pada awal
usia mungkin. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia
sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Dalam
konteks tersebut anak-anak dapat berinteraksi dengan saling menghormati,
membantu, berbagi, dan umumnya sopan terhadap satu sama lain.konsep interaksi
dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial
(Rubbin, 2009).
Siswa berasal dari latar belakang
etnis, agama, dan sosial yang berbeda-beda dan pola pikir mereka dominan
dibentuk oleh latar belakang mereka. Sekolah harus dapat memfalitasi hubungan
antar siswa yang mempunyai latar belakang yang ber nacam-nacam tersebu untuk
mengemban wacana sipil positif.
Sikap yang baik dalam berinteraksi
antar umat beragama dalam kegiatan di sekolah contohnya seperti mendengarkan
seseorang yang sedang berbicara di depan kelas dengan penuh perhatian,
menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan
kesepakatan dan ketidak sepakatan, bergiliran berbicara, dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat.
Hal tersebut berlaku disetiap mata pelajaran di sekolah.
Guru kelas dalam sekolah dasar berfungsi untuk mengawasi siswa hampir
sepanjang hari. Sang guru harus tau bagaimana memfasilitasi inetraksi eman
sebaya dengan benar. Ketika mereka menyelesaikan pendidikan formal, siswa
memasuki dunia dimana kemampuan unuk menjaga hubungan baik sangat penting untuk
keberhasilan individu. Sebaliknya, ketidak mampuan untuk menjaga hubungan baik
dapat merugikan indvidu dan dapat menyebabkan tingkat konflik sosial tertentu dalam
suatu masyarakat tertentu.
Sebuah laporan penelitian oleh
Apriliaswati (2011) menyimpulkan bahwa interaksi teman sebaya dalam dukungan
wacana kelas sipil yang positif di kalangan siswa. Interaksi rekan dalam studi sosial,
kelas Indonesia dan Pancasila tidak mengganggu jika guru mengelola secara
efektif. Berisik tidak selalu negatif.
Ini bisa menjadi bukti ri
Data dari Apriliaswati diproleh
dalam penelitian tindakan tiga siklus yang dilakukan dengan enpat kelas dari 34
siswa disebuah sekolah dasar di Pontianak, kota yang sering terjadi kerusuhan
antar agama dan kepercyaan. Studi ini membuktikan bahwa sekolah harus berfungsi
sebagai laboratorium untuk latiham masyarakat sipil.
Siswa sekolaha dasar belum mampu
memberikan alasan informasi dan bukti argument mereka tapi dapat
mengekspresikan kesepakatan dan ketidak sepakatan dengan cara yang sopan.
Selain itu, para siswa saling percata satu sama lain sehingga kompromi dan
konsesus dapat di capai dengan cara sipil.
Studi Apriliaswati mengajarkan
kepada kita bahwa pendidikan tidak harus mengembangkan penalaran ilmiah saja,
tetapi juga wacana positif sipil positif. Penalaran ilmiah sangat diperlukan
dalam mengembangkan warga intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat
penting untuk eniptakan warga negara yang beradab.
Pendidikan kita saat ini gagal untuk
memberikan para siswa dengan kompetensi wacana sipil. Sebagian besar politisi
dan birokrat menduduki kursi karena mereka telah mengkuti pendidikan yang
tinggi. Sayangnya, banyak dari mereka tidak memiliki kompetensi tersebut.
Bahkan tidak sedikit para politisi
dan birokrat yang mempunyai tingkah laku tidak sesuai dengan tingkat
pendidikannya. Contohnya insiden pada tahun 2010 anggota parlemen saling
bertukar kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam sidang yang disiarkan
langsung di seluruh nageri. Politisi in telah memerikan contoh yang sangat
miskin moral, bagaimana berperilaku yang benar. Kejadian ini menunjukkan bahwa
pendidikan pendidikan politik belum cukup untuk mempromosikan kompetensi dan
acana sipil.
Ketka politisi dan birokrat gagal
dalam mendiik masyarakat, sekolah dala hal ini harus berperan aktif membeikan
contoh yang arif kepada masyarakat. Guru SD harus memberikan kesematan kepada
siswa untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu interaksi dengan siswa lain
dari agama yang berbeda, etnis, dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda.
Sekolah yang di kelola oleh tenaga
pendidik dan siswa yang mempunyai latar belakang agama, etnis dan kelompok
sosial yang berbeda harus menyediakan tempat ibadah bagi siswa dari semua
agama. Siswa akan belajar bagaimana orang lain melakukan ritual keagamaan. Ini
akan menjadi bentuk efektif pendidikan agama dalam lingkungan sekolah
multilateral.
Cara tradisional pengajaran agama
telah dikritik karena menekankan aspek teologis dan ritual, sementara
mengabaikan aspek0aspek sosial, interaksi horizontal toleransi antar pengikut
agama yang berbeda.
Fisuf pndidkna amerika Emerson
(1837) mengatakan bahwa “ seorang pria harus menjadi seorang pria sebelum ia
bisa menjadi petani yang baik, pedagang atau insinyur.” Hal tersebut
menunjjukkan bahwa Emerson menggaris bawahi pentingnya pendidikan liberal untuk
mebuat pria sejati. Pria sejati memiliki pengetahuan untuk menghindari
pemahaman yang parsial.
dalam negara indonesia pendidikan
liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama, dan minoritas bahasa dan
budaya. Terlepas dari karir mereka (politisi), insinyur, petani, atau pengusaha
– siswa harus diberikan pengetahuan yang memadai
Dengan demikian pendidikan liberal
bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun terhadap orang lain. Pada
dasarnya, itu menempa insan kamil yaitu orang yang ideal yang memenuhi kriteria
untuk mengasumsi setiap pekerjaan atau penunjukkan sebagai warga negara yang
demokratis.
Problematika antar umat beragama
dapat kita pecahkan dengan “jurus” toleransi terhadap agama lain. Cara
menanamkan “jurus” toleransi tersebut dapat di aplikasikan dalam kegiatan
belajar-mengajar (ranah pendidikan) yang di dalamnya terdapat siswa dan guru
sebagai pemeran utamanya. Pengaplikasian hal tersebut harus di mulai sedini
mungkin seperti pada pendidikan anak usia dini.
Pada
pendidikan anak usia dini merupakan kunci dasar untuk membangun karakteristik
manusia yang sesungguhnya. Karena jika bangunan dasar yang kita miliki kokoh
maka dapat kita prediksi kuatnya bangunan yang berdiri di atasnya. Begitu juga
sebaliknya, jika bangunan dasar yang kita miliki tidak kokoh maka dapat di
prediksi pula nasib bangunan yang berdiri diatasnya. Oleh karena itu pada
jenjang dasar ini diharapkan nantinya akan menciptakan manusia yang berkalitas,
bertoleransi tinggi terhadap perbedaan yang di miliki oleh setiap individu sehingga
memiliki kesiapan yang optimal didalam memasuki pendidikan dasar serta
mengarungi kehidupan pada masa dewasa. Apalagi anak usia PAUD adalah anak-anak
pada masa keemasan, karena 90% pertumbuhan otak terjadi pada usia tersebut dan
85% brain path sebelum anak masuk sekolah dasar.
Melaui
kegiatan pendidikan anak usia dini (pra TK) para orang tua siswa yang
mendampingi anak-anaknya, secara tidak sadar mereka berbaur dengan orang tua
siswa lain yang berbeda agama, suku ataupun aliran. Dalam interaksi tersebut
terjalin komunikasi yang lebih dekat sehingga melupakan segala identitas yang
membedakannya. Hasil dari interaksi yang baik antar orang tua siswa pada
kegiatan pendidikan anak usia dini dapat berdamapak positif bagi anak sebagai
siswa di pendidikan anak usia dini tersebut. Contohnya orang tua akan menyuruh
anaknya untuk berbuat baik pada teman-teman tanpa memandang latar belakang
agamanya. Berbagi apa yang ia punya kepada rekan-reakannya.
Berlanjut
pada menenamkan jurus toleransi kepada siswa sekolah dasar. Bebagai penelitian
telah menunjukkan bahwa anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi
dengan rekan-rekan mereka. Dalam konteks sekolah, itu adalah hubungan dimana
rekan –rekan menghormati, membantu, berbagi dan umunnya sopan terhadap satu sama
lain. Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori
pembangunan soaial (Rubin: 2009).
Pada
kedua jenjang pendidikan tersebut (pendidikan anak usia dini dan pendidikan
sekolah dasar) peran seorang guru sangatlah penting. Guru dalam hal ini bukan
hanya sekedar meberikan ilmu dan skor tetapi mampu memberikan nasihat, contoh
serta dapat menanamkan nilai-nilai yang baik bagi peserta didiknya. Karena kedua
jenjang tersebut merupakan jenjang awal yang dapat membentuk kepribadian siawa
di masa yang akan datang.
Faktanya
tenaga pendidik di Indoesia masih jauh dari harapan. Seharusnya memberikan
contoh yang baik namun masih ada saja oknum guru yang berbuat tidak baik
seperti kasus seorang guru mencabuli muridnya, memperkosa, melakukan kekerasan
terhadap siswa yang dapat mencoreng pendidikan di Indonesia. Jika seperti ini
maka tujuan pendidikan yang di jabarkan oleh UU Republik Indonesia No. 20 tahun
2003 semakin jauh dari terwujud. Seharusnya melalui perilaku guru yang baik
terhadap orang lain dapat menjadi contoh bagi siswanya untuk dapat menerapkan
kebaikan dalam hidupnya sehingga akan terjalin kerukunan dengan orang lain yang
berbeda agama, suku, ras atau aliran.
Selain
guru dan lembaga pendidikan berperan dalam merenda kerukunan umat beragama di
indonesia, masih terdapat faktor lain seperti faktor lingkungan, keluarga dan
organisasi di sekolah untuk merekatkan
kerukunan antar umat beragama. Indonesia merupakan negara yang beragama turun
temurun, maksudnya adalah anak akan megikuti agama dari orang tuanya atau orang
tua menuntut anaknya untuk memeluk agama yang mereka peluk. meskipun Negara mengaturnya
dalam UUD 45 pasal 28 dan 29 menjamin kebebasan beragama.
Pasal 28 E:
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali.Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaannya, menyatakan pikiran
dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Pasal 29:
Negara berdasar atas ketuhanan Yang Maha Esa.Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Seorang anak
lahir membawa genetik bawaan dari orang tuanya, kemudian mendapatkan
pengetahuan kebenaran dari orang tua, pendidikan dan lingkungan. Kebenaran dari
anak tersebut adalah kebenaran menurut kerangka yang diberikan kepada dirinya.
Beda negara, beda pendidikan, beda lingkungan
akan menyebabkan perbedaan pemahaman kebenaran. Dengan pemahaman tersebut maka
kita bisa mengapresiasi kebenaran sebagaimana yang dipahami oleh orang lain.
Pada
prakteknya orang tua yang fanatik terhadap agama yang di peluknya akan
meninggikan agamanya serta menganggap agama paling benar dan merendahkan agama
orang lain. Hal itu menjadi doktrin bagi anaknya untuk membenci agama lain.
Sikap fanatik terhadap agama harus kita hindari dan sebagai orang tua seharusnya
dapat memberikan kebebasan ketika anak tersebut dianggap sudah bisa memilih
untuk memeluk agama yang dia yakini.
“Sejak lahir, kita berhadapan
dengan kepercayaan. Bukan pendidikan tetapi kepercayaan. Bukan pula pendidikan
tentang kepercayaan-kepercayaan tetapi dogma dan doktrin dengan salah satu
kepercayaan yang sudah baku. Sudah tidak ada tawar menawar lagi. Sejak lahir,
seorang anak sudah diberi cap agama tertentu. la tidak diberi kesempatan untuk
memilih dan harus menerima apa yang sudah ditentukan oleh kedua orangtuanya
baginya. Hak pilih kita sudah dirampas sejak kelahiran. Generasi Robot. Sudah
di-set, di-program, dan dikendalikan oleh remote control
yang berada di tangan masyarakat. Robot tidak membutuhkan rasa percaya diri.
Cukuplah ia berserah diri pada pemegang kendalinya. Bahkan ia tidak memiliki
kesadaran bahwa dirinya bergerak hanya bila digerakkan oleh sang pengendali.
Kita hidup sebagai budak dari dogma, doktrin, kepercayaan, lembaga, institusi,
atau kepentingan lain dari masyarakat tertentu. Kita tidak merdeka, belum
merdeka. Kita tidak memahami arti kebebasan” ……. “Manusia tidak diciptakan atau
tercipta untuk menjadi robot. la pun tidak lahir untuk menciptakan robot-robot
manusia dan tidak berhak mengubah manusia menjadi robot yang dapat di-set
dan di-program. Sebagian besar Generasi Robot bahkan tidak sadar bahwa
kemanusiaan dalam diri mereka sudah mati. Kemanusiaan mereka sudah dirampas
sejak lahir. Kita telah menjadi korban dari kepentingan-kepentingan pribadi
orang tua kita yang seharusnya memfasilitasi untuk berkembang dan tidak
mengerdilkan jiwa kita supaya mengikuti kehendak mereka. Celakanya, orangtua
kita pun demikian. Mereka pun adalah korban dari sistem yang sama.
Ujung-ujungnya bukan mereka pula yang memegang kendali tetapi sebuah sistem
yaitu masyarakat bersama institusi-institusi buatannya yang memegang kendali.
Dengan kondisi seperti ini, rasanya sulit membawa perubahan total, drastis, dan
sekaligus bagi seluruh umat manusia.” (Krishna, Anand. (2010). Neospirituality
& Neuroscience Puncak Evolusi Kemanusiaan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama)
“Seorang anak kecil di
bawah usia lima tahun memperoleh conditioning dari orang tua,
mendapatkan programming dari masyarakat.
Lalu, berdasarkan conditioning dan programming yang diperolehnya
ia menjadi Hindu atau Muslim atau Kristen atau Katolik atau Buddhis, atau entah
apa. Ia mulai melihat Kebenaran dari satu sisi, dan seumur hidup ia melihat
Kebenaran dari satu sisi saja.” (Krishna, Anand. 2002).
Menurut
krishna anand bahwa hal yang paling utama mempengaruhi agama apa yang akan kita
peluk adalah dari coditioning orang tua terhadap anaknya. Kemudian
mendapatkan progamming dari masyarakat yang di perolehnya dan stelah keluarga
dan masyarakat mempengaruhi maka ia mulai berfikir dan meutuskan aga,ma apa
yang ia akan yakini.
Seluruh
pertikaian, termasuk (mungkin harus dikatakan ‘lebih-lebih’) pertikaian
berdasar agama terjadi hanya karena perbedaan conditioning itu. Kita lupa bahwa di balik kondisi-kondisi tersebut ada
Langit Mahaluas yang tak terbagi oleh awan conditioning – Langit
Kebenaran Yang Satu Adanya. Pertikaian terjadi karena kegagalan kita melihat
Langit Kebenaran. Kita memperhatikan awan melulu. (Krishna, Anand. (2001). Atma
Bodha Menggapai Kebenaran Sejati Kesadaran Murni dan Kebahagiaan Kekal.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Pada
Sekolah Dasar di Solo, perbedaan
keyakinan tersebut tidak mempengaruhi pergaulan di masyarakat. Teman-teman ada
yang orang tuanya berasal dari Muhammadiyah, NU, Katholik, Protestan,
Kelenteng, Pangestu tetapi itu tidak mempengaruhi hubungan pergaulan. Pada
waktu itu (1960) toleransi bersifat nyata, sesuai dengan budaya kita.
Pertanyaannya, mengapa intoleransi semakin banyak terjadi di masyarakat masa
kini? Apakah program kebenaraan yang diberikan lebih keras dibanding zaman
dulu? Apakah anak-anak kita sudah dijejali program kebencian terhadap mereka
yang berbeda keyakinan secara repetitif intensif?
Pengulangan
secara repetitif intensif membuat sesuatu menjadi nyata. “Adolf Hitler menulis dalam otobiografinya bahwa jika
kebohongan diulangi secara terus-menerus, maka pikiran manusia akan
mempercayainya. Kebohongan pun diterimanya sebagai kebenaran. Pengulangan
adalah metode hypnosis. Apa yang diulangi secara terus-menerus itu akan terukir
pada dirimu. Inilah yang menyebabkan ilusi dalam hidup. (Krishna, Anand.
(2012). Neo Spiritual Hypnotherapy.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Contoh
nyata dari pengulangan secara repetitif intensif yang berhasil adalah
pemasangan iklan. “Industri periklanan
sepenuhnya berlandaskan pengulangan. Para pemasang iklan mempercayai ilmu
tersebut. Produsen rokok mengulangi terus menerus bahwa mereknyalah yang
terbaik. Awalnya, barangkali kita tidak percaya. Tetapi setelah diserang terus
menerus dengan pengulangan, kita akan luluh juga. Seberapa lama kita dapat bertahan dan tidak mempercayai iklan
yang membombardir mind kita? Secara perlahan tapi pasti, kita mulai mempercayai
iklan itu. Hitler: Adalah pengulangan yang membedakan kebenaran dari kepalsuan.
(Sering kali) kepalsuan yang diulangi secara terus-menerus diterima sebagai
kebenaran. Manusia bisa mempercayai apa saja. Ia bisa percaya pada kepalsuan.
Ia bisa dibohongi dengan sangat mudah… ia dapat mempercayai apa saja yang
diulangi secara terus-menerus!”.
Bukan Masalah Agama tetapi Masalah
Programming “Masalah terbesar yang dihadapi oleh bangsa kita bukan
masalah agama. Tetapi masalah conditioning, masalah programming.
Dan, masalah ini pula yang dihadapi oleh setiap bangsa, oleh seluruh umat
manusia. Kita sudah terkondisi, terprogram untuk mempercayai hal-hal tertentu.
Padahal kepercayaan harus berkembang sesuai dengan kesadaran kita. Jika terjadi
peningkatan kesadaran , maka kepercayaan pun harus ditingkatkan. Seorang anak
kecil mempercayai ibunya. Menjelang usia remaja, ia mulai mempercayai para
sahabatnya, pacarnya. Kalau sudah bekerja, ia akan mulai mempercayai rekan
kerjanya. Bersama usia dan pengalaman hidup , kepercayaan dia pun berkembang
terus. Ia bahkan mulai mempercayai berita di koran. Ia akan mempercayai siaran
radio dan televisi. Kepercayaan yang berkembang terus ini sangat indah.
Kepercayaan yang berkembang terus itu membuktikan bahwa kesadaran anda sedang
meningkat. Sampai pada suatu ketika, anda akan mempercayai Keberadaan. Pada
saat itu, kepercayaan anda baru bisa disebut “spiritual”…… (Krishna, Anand.
(2002). Menemukan Jati Diri I Ching Bagi Orang Moderen. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama)
Kepatuhan Buta terhadap Programming
“Kepatuhan buta terhadap programming dapat membuat manusia menjadi mesin,
persis seperti robot, membuat kita menjadi komputer. Program yang diberikan
dapat menentukan setiap tindakan, ucapan, pikiran, perasaan dalam diri kita.
Komputerisasi umat manusia sudah terjadi sejak ribuan tahun yang lalu. Mereka
yang berkuasa, mereka yang menjadi pemimpin, mereka yang berada pada pucuk
pemerintahan telah melakukan programming. Tentu saja, programming ini harus
menguntungkan mereka, kita hidup dalam ketidaksadaran. Sepertinya dibawah
pengaruh hipnotis massa. Tindakan, ucapan, pikiran bahkan perasaan kita pun
sesuai dengan programming yang telah diberikan kepada kita.” (Krishna, Anand.
(1998). Tetap Waras di Jaman Edan, Visi Ronggowarsito Bagi Orang Modern.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).
Masalah
kerukunan di antara perbedaan agama dan latar belakang sosial bukan semata-mata
kesalahan suatu agama yang mendoktrin pengikutnya untuk fanatik terhadap agama
sendiri dan membenci agama lain. Pada intinya semua agama mempunyai dogma-dogma
sebagai pengontrol pengikutnya jika berbuat pelanggaran karena mengenal adanya
dosa.
Pada
zaman dahulu, belum zamannya komputer, akan tetapi para pemuka agama dapat
memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk menghormati keyakinan orang lain.
Kita ambil contoh dari ajaran islam yang memuat toleransi umat beragama dalan
Qur’annya. Ayat berikut ini pada saat ini sering diberi pengertian tambahan
yang membuat kita kurang rasa toleransi terhadap keyakinan lain.
Sesungguhnya
orang-orang mumin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang
Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari
kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Rabb mereka, tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS.
2:62)
Dari
pembahasan mengenai pemecahan masalah pluralitas agama tersebut, kita dapat
menarik faktor-faktor apa saja yang dapat meningkatkan rasa toleransi antar
umat beragama seperti melaui penanaman nilai-nilai pada anak-anak usia dini dan
dasar. Dimana pada usia tersebut anak-anak lebih senang berinteraksi dengan
teman sebaya. Dalam lingkungan sekolah anak usia tersebut di didik untuk dapat
saling memberikan ide-ide saat berdiskusi di kelas, berpendapat dan menghargai
pendapat orang lain, mendengarkan secara seksama mendapat orang lain, dan masih
banyak hal positif lain yang dapat di terapkan dalam hidup di tengah masyarakat
yang plural melalui pendidikan anak usia dini dan pendidikan sekolah dasar.
Dalam hal ini guru di tuntut dapat memfasilitasi anak-anaknya dalam
berinteraksi dengan rekan sebayanya yang mempunyai latar belakang agama dan
soosial yang berbeda.
Selain melaui
penanaman nilai-nilai pada anak-anak usia dini dan dasar, cara lain untuk dapat
meningkatkan tingkat kerukunan dalam beragama adalah peran orang tua dan lingkungan
sekitar. Oramg tua harus bisa memberikan kebebasan memeluk agama kepada
anaknya. , karena Seorang anak kecil di bawah usia lima tahun memperoleh conditioning
dari orang tua, mendapatkan programming
dari masyarakat. Lalu, berdasarkan conditioning dan programming
yang diperolehnya ia menjadi Hindu atau Muslim atau Kristen atau Katolik atau
Buddhis, atau entah apa. Ia mulai melihat Kebenaran dari satu sisi, dan seumur
hidup ia melihat Kebenaran dari satu sisi saja.
Semua
permasalahan yang menyangkut kerukunan beragama bukan semata-mata salah suatu
agama namun masalah conditioning oleh
orang tua, masalah programming yang dailakukan oleh masyarakat. Pada dasarnya semua agama mengajarkan
kabaikan kepada pemeluknya. Kabaikan atara pemeluk adan Tuhan juga kebaikan
antara sesama pemeluk dan lingkungan alam.
Jika semua pihak berperilaku sesuai dengan
aturan yang dimiliki setiap agamanya maka bukan tidak mungkin negara Indonesia
yang mempunyai 5 agama resmi akan hidup harmonis dengan pluralias tersebut.
Referensi
- · Hermanto, Idan. 2010. Pintar Antopologi, Tunas Publishing:Jokjakarta.
- · UUD 1945
- · UU RI NO.20 tentang sistem pendidikan
- · Krishna, Anand. 2001. Atma Bodha Menggapai Kebenaran Sejati Kesadaran Murni dan Kebahagiaan Kekal. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
- ---------------------2012. Neo Spiritual Hypnotherapy. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
- · ---------------------2010. Neospirituality & Neuroscience Puncak Evolusi Kemanusiaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- ---------------------2002. Menemukan Jati Diri I Ching Bagi Orang Moderen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- ---------------------1998. Tetap Waras di Jaman Edan, Visi Ronggowarsito Bagi Orang Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.