Kerukunan beragama pilar
kekuatan bangsa
(By: Iiz Lailatus Saidah)
Pendidikan memiliki
peranan penting dalam kehidupan manusia. Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 13
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 bahwa Pendidikan Dasar diselenggarakan untuk
mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan
dasar yang diperlukan untuk hidup di dalam masyarakat. Pendidikan yang teladan selalu berupaya
membina kerukunan beragama dalam kehidupan siswa dibangku sekolah, agar
siswa bisa berinetraksi dengan sesama.
Para siswa harus membiasakan
untuk hidup rukun dengan sesama teman di sekolah dengan cara saling perduli
satu sama lain dan saling berbagi atau tolong menolong dengan teman di sekolah.
Sikap rukun juga harus diterapkan di sekolah, contohnya rukun dengan teman
sekelas walaupun berbeda agama, ras dan juga suku bangsa.
Pendidikan sejatinya
berperan penting untuk mencerdaskan bangsa, bayak tokoh-tokoh Indonesia yang
berpendidikan tinggi, para pemimpin kita pun berpendidikan tinngi. Akan tetapi
sayangya sikap dan moral mereka lah yang sangat disayangkan, kenapa? Karenea
orang-orang yang berpendidikan tinggi belum tentu mempunyai sikap dan moral
yang baik.
Buktinya banyak
pejabat-pejabat yang menyalahgunakan jabatannya, koruptor berkeliaran
dimana-mana, mereka tidak merasa malu akan hal itu, sunnguh miris sekali
Indonesia ini. Bukan hanya itu, rasa toleransi antar sesamanya pun sangatlah
rendah, mereka tidak rukun satu sama lain, saling berpecah belah, terutama
dalam hal agama.
Kerukunan
agama adalah hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi,
saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan
pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan
bernegara. Kerukunan agama itu sangat penting dalam kehidupan.
Pendidikan agama memainkan peran yang sangat penting dalam pembentukan
karakter dan mengkonstruksi pemikiran siswa. Bangsa Indonesia adalah bangsa
yang heterogen dalam segala aspek baik itu ras, adat istiadat dan tentunya
agama. Jarang sekali kita temukan bangsa yang homogen di dalam suatu masyarakat.
Terdapat ayat suci Al-Qur’an yang
menjelaskan bahawa kita harus saling mengenal satu sama lain, dalam Al-Qur’an
Allah berfirman:
“Hai
manusia, kami ciptakan kamu dari satu (pasangan) laki-laki dan perempuan, dan
kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku bangsa supaya kamu saling mengenal.
Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling
bertakwa. Allah Maha Tahu, Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat: 13)
Berdasarkan
article Pa Chaedar tentang “Wacana ruang kelas untuk memupuk kerukunan
beragama” menyatakan bahwa salah satu tujuan pendidikan dasar adalah untuk
memberikan siswa dengan keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka
sebagai individu, anggota masyarakat dan warga Negara. Keterampilan dasar
ini merupakan dasar untuk pendidikan lebih lanjut. Jadi, pendidikan dasar
adalah pondasi bagi para siswa untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta
memberikan pengetahuan dan keterampilan untuk hidup di masyarakat.
Akan
tetpai di zaman sekarang ini, banyak para pelajar yang memiliki sikap tidak
seperti seorang pelajar, banyak tawuran pelajar dimana-mana, bentrokan pemuda
dan bentuk lain radikalisme di seluruh Indonesia. Ini adalah penyakit sosial,
karena semata-mata kurangnya kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain dari
kelompok yang berbeda. Islam mengajarkan kepada kita agar hidup rukun dan
saling menghormati satu sama lain, tidak memandang ras, budaya, suku maupun
agama. Kita hidup didnia ini tidak sendiri, kita membutuhkan orang lain untuk
membantu kita.
Dengan
adanya konflik sosial dan ketidakharmonisan dalam agama khususnya, Pa Chaedar
berpendapat bahwa ini merupakan tantangan bagi pendidik dalam melakukan
yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya. Untuk mewujudkan tujuan
ini, kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah awal usia mungkin
karena anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan
rekan-rekan mereka. Dalam konteks sekolah, anak-anak bisa menghormati,
membantu, berbagi, dan umumnya sopan terhadap satu sama lain. Konsep interaksi
dengan rekan sebayanya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial
(Rubin, 2009).
Dalam
pengaturan multikutural, siswa berasal dari latar belakang etnis, agama dan sosial
yang berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang mereka.
program sekolah harus sengaja memfasilitasi interaksi rekan untuk
mengembangkan wacana sipil postif. Indicator wacana sipil termasuk
mendengarkan penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide, mengajukan pertanyaan,
menyatakan kesepakatan, dan mencapai kompromi dengan cara hormat. Pada sekolah dasar guru kelas berfungsi
untuk mengawasi siswa untuk hampir sepanjang hari.
Akan
tetapi, sangat disayangkan pendidikan kita saat ini gagal untuk memberikan para
siswa dengan kompetensi wacana sipil. Pa Chaedar berpendapat agar guru SD harus
memberikan kesempatan kepada siswa untuk memupuk pengalaman bermakna, yaitu
interaksi dengan siswa lain dari agama yang berbeda, etnis dan dari kelompok-kelompok
sosial yang berbeda. Seharusnya disekolah-sekolah atau kampus-kampus harus
menyediakan tempat ibadah bagi siswa dari semua agama. Dengan itu siswa akan
belajar bagaimana orang lain melakukan ritual keagamaan. Dan ini akan
menjadi bentuk efektif pendidikan agama dalam lingkungan sekolah multikultural.
Filsuf
Amerika pendidikan, Emerson (1837) pernah berkata, “A man must be a man
before he can be a good farmer, trademan, or engineer.” Artinya, penguasaan
atas ilmu-ilmu liberal sangat penting yaitu sebagai fondasi bagi pengembangan
keterampilan. Pendidikan liberal bertujuan untuk membebaskan siswa dari sikap
rabun dan provinsi terhadap orang lain.
Saya
menanggapi opnini dari Pa Chaedar dalam artikelnya yang berjudul “Classroom
Discourse to Foster Religious Harmony”. Pa Chaedar berpendapat, “untuk
menerapkan kerukunan umat Bergama harus dikembangkan disekolah pada awal usia
mungkin” karena pemikiran siswa-siswa sekolah dasar masih bisa diarahkan,
mereka masih bisa diatur dan tidak membangkang. Sikap membiasakan untuk
hidup rukun dengan sesama teman di sekolah dengan cara saling perduli satu sama
lain, dan saling berbagi atau tolong menolong dengan teman di sekolah itu
sangatlah penting. Sikap rukun juga harus diterapkan di sekolah, contohnya
rukun dengan teman sekelas walaupun berbeda agama, ras dan suku bangsa.
Agar tidak terjadinya
pertentangan antar agama, seperti dizaman sekarang ini banyak sekali maraknya
aksi terorisme di Indonesia yang didominasi oleh kelompok muda, yang usianya
masih tergolong muda, bahkan ada yang masih berusia belasan tahun. Dari
maraknya kasus-kasus terorisme yang didominasi oleh anak muda, nampaknya
menjadi pekerjaan yang sangat urgen bagi para praktisi pendidikan ditingkat
dasar untuk terus menggelorakan pemahaman tentang pentingnya wawasan kerukunan
antar umat beragama dan keyakinan. Karena jika pemahaman tentang keberagaman
tidak diterapkan sejak dini, akan meminimalisir aksi-aksi intoleransi bahkan
kekerasan antar umat beragama.
Kerukunan
agama itu sangat penting dalam kehidupan. Karena tanpa adanya rasa rukun dalam
beragama akan dapat menimbulkan gesek-gesekan negative yang tidak diinginkan.
Karena adanya fungsi kerukunan agama dapat menjaga ketentraman masyarakat,
saling menghormati antar umat bersama, mencegah terjadinya pertentangan antara
agama, dan mempersatukan perbedaan antar umat beragama.
Perbedaan bukanlah
merupakan kendala bagi kita, jadikanlah perbadaan itu sebagai kekayaan bangsa
kita, perbedaan dapat kita satukan dengan semangat persatuan dan kesatuan. Mengembangkan sikap
persatuan dan persaudaraan harus mampu menerima perbedaan yang ada dan jadikan
pedoman bahwa perbedaan tersebut adalah suatu kekayaan budaya yang ada di
Indonesia. Sikap persatuan dan persaudaraan merupakan salah satu pengamalan
nilai-nilai Sumpah Pemuda.
Pa Chaidar pun
menyatakan bahwa pada sekolah dasar, guru kelas brfungsi untuk mengawasi
siswa hampir sepanjang hari, saya sependapat dengan beliau artinya peran
guru dalam mengembangkan kerukunan beragama di sekolah itu sangat penting,
karena gurulah yang membimbing dan mengarahkan siswanya.
Selain itu juga guru
menjadi peranan penting untuk membuat para siswanya memiliki rasa toleransi
beragama. Agar sikap toleransi antar agama melekat dalam diri mereka, disela
mengajarnya seorang guru harus memberikan informasi dan mengarahkan para
siswanya tentang wawasan saling menghargai dan menghormati antar sesama.
Siswa-siswa pendidikan dasar akan mendengar apa yang dibicarakan oleh gurunya
dikelas.
Guru
merupakan profesi yang mulia, memiliki tugas yang berat. Guru mampu mencetak
anak dari tidak tahu menjadi tahu. “Anak didik bagaikan kertas putih, apa yang
dituliskan di atasnya maka itulah yang tersurat. Kalau merah tintanya, jadilah
ia merah. Kalau hitam warnanya, maka hitamlah warna kehidupannya.
Hati-hati dan sungguh-sungguhlah dalam memberikan pendidikan kepada anak
sekolah”.
Sebuah contoh
di Sumogawe, sebuah desa kecil di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Tepat
di ujung desa sebelum masuk Desa Getasan, ada sebuah Sekolah Dasar (SD) tepat
berada di pinggir jalan. Dilihat dari luar, tak ada yang istimewa. SD Negeri
Sumogawe 3, nama sekolah itu, adalah tempat bagi kurang lebih 160an anak
menimba ilmu tingkat dasar.
Meski tampak
tidak ada yang istimewa, tapi lingkungan sekitar sekolah tersebut terhitung
istimewa. Disamping kanan sekolah, ada dua buah rumah ibadah, Wihara dan
Gereja. Diseberang jalannya ada mushola. Mushola itu berhimpit dengan Gedung
Sekretariat Majelis Wakil Cabang (MWC) Nahdlatul Ulama (NU) Kecamatan Getasan,
Kabupaten Semarang. Sudah bisa ditebak, bahwa masyarakat di sekitar SD itu
berasal dari latar belakang agama yang beragam, Islam, Kristen, Buddha dan
Katolik.
Lingkungan
sosial yang beragam itulah yang juga dijumpai di SDN Sumogawe 3. Anak-anak yang
bersekolah di SD itu, juga berasal dari latar belakang agama yang berbeda.
Bahkan perbedaan kuantitasnya tidak berbeda jauh. Karenanya, SD ini
berkesempatan untuk menanamkan dan menerapkan wawasan tentang keberagaman,
toleransi antar umat beragama dan keyakinan sejak dini trhadap anak didik
mereka.
SDN Sumogawe
3 ini bisa memahatkan sinar kebersamaan sejak mereka di sekolah dasar, bukan
dicekoki dengan rasa kebencian terhadap penganut agama lain. SD Sumogawe terbilang
cukup revolusioner, dimana dalam satu sekolah sudah dibuatkan 3 bangunan tempat
belajar masing-masing agama. Tiga bangunan itu berupa Mushola (tempat belajar
dan praktek ibadah siswa-siswa yang beragama Islam), Cetiya (Budha) dan Kapel
(Kristen dan Katolik). Ketiga bangunan ini berdiri persis berdampingan,
berjejer rapat. Patut diacungi jempol, para guru di SD Sumogawe 3 ini
benar-benar menerapkan pemahaman keberagamanya dalam keseharianya sebagai
seorang guru.
Gurunya
pun dalam memberikan materi pelajaran juga selalu menyisipkan wawasan-wawasan
tentang keberagaman, dan selalu memberi masukan kepada anak-anak agar rukun
dengan semua agama. Selain itu juga selalu mengajarkan kepada siswa-siswanya agar
bisa hidup berdampingan dengan agama yang lain. http://elsaonline.com/?p=1046
Contoh diatas sungguh
sangat mengesankan, karena di satu sekolah terdapat tiga tempat ibadah yang
berbeda, dan para siswanya pun sudah hidup rukun dari sejak sekolah dasar
dengan satu sama lain walaupun mereka dari kalangan yang berbeda. Dengan kita
menerapkan kerukunan beragama disekolah sejak dini, itu akan memupuk rasa
toleransi yang tinngi terhadap siswanya.
Akan tetapi tidak
banyak juga yang berselisih dikarenakan perbedaan itu sendiri, di Indonesia
banyak sekali terjadi konflik antar agama. Contohnya pada akhir abad ke 20 pada
tahun 1998 bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri Insiden Ambon pecah. Sebabgai
lanjutan dari konflik ini terjdi pertikaian anatar agama di Halmahera dan Poso.
Memang tidak dapat
dipungkiri bahwa di berbagai tempat dan waktu sering terjadi kecenderungan
sebagian pemelik agama merasa ketidak cocokan dengan umat beragama yang lain.
Gejala ini merupakan salah satu dampak dari perubahan sosial yang terjadi,
namun perlu diingat bahwa ketidakmampuan mengantisipasi perubahan sosial yang
begitu cepat dan tidak dapat dikuasai dan dikendalikan, tidak hanya terjadi di
Negara berkembang separti Indonesia, akan tetapi masyarakat di negeri maju
seperti di Amerika dan Eropa pun kerap kali mengalaminya.
Perubahan sosial yang
terjadi, dari dahulu hingga sekarang sering kali diikuti oleh berbagai konflik
yang dibelakangnya tersangkut agama. Sehingga sulit dihindari munculnya
sentiment yang dilatarbelakangi oleh suku, agama, ras,dan antar golongan.
Dunia memang sedang dilanda arus perubahan
yang cepat dan tidak terelakkan, sehingga berakibat pada perubahan sosial.
Dalam banyak konflik kekerasan dan kerusuhan, agama kerap kali diikutkan dan
bahkan telah menjadi pemicunya. Agama tidak mengajarkan konflik dan kekerasan,
agama selalu mengajarkan perdamaian dan kerukunan.
Agama atau
keberagamaan masyarakat ketika berpapasan dengan modernitas tampaknya tidak
bisa menghindarkan diri dari benturan-benturan akibat perubahan sosial.
Perubahan sosial dapat menjadi titik penentu dalam perkembangan agama.
Dalam masyarakat
majemuk seperti Indonesia, agama dapat menjadi suatu faktor pemersatu. Namun
beberapa hal, agama dapat juga dengan mudah disalahgunakan sebagai alat pemecah
belah. Pakar sosiologis Islam Klasik, Ibnu Khaldun juga menyimpulkan bahwa
perasaan seagama mungkin perlu, namun tidak cukup untuk menciptakan perasaan
memilki kelompok atau kesatuan sosial.
Sering kali
kebanyakan umat beragama, termasuk pemerintah dan tokoh-tokoh agama, kurang
peka terhadap potensi dan gejala konflik. Baru setelah potensi itu menjadi
gelombang konflik, umat dan tokoh-tokoh agama merasa kebingungan dan kerepotan.
Karena terusik
harmonitas antar umat beragama, maka muncul harapan akan kehadiran konsep
beragama yang lebih lapang, terbuka, penuh toleransi, dan kearifan, agar
keraguan dan pesimisme terhadap kemampuan agama sebagai sumber pencerahan dan
acuan praktis bagi masyarakat yang harmonis di masa yang akan datang.
Toleransi
antar umat beragama bila kita bina dengan baik akan dapat menumbuhkan sikap
hormat menghormati antar pemeluk agama sehingga tercipta suasana yang tenang,
damai dan tenteram dalam kehidupan beragama termasuk dalam melaksanakan ibadat
sesuai dengan agama dan keyakinannya. Melalui toleransi diharapkan terwujud
suatu ketenangan, ketertiban serta keaktifan menjalankan ibadah menurut agama
dan keyakinan masing-masing. Dengan sikap saling menghargai dan saling menghormati
itu akan terbina kehidupan yang rukun, tertib, aman dan damai.
Di
era reformasi menuju Indonesia baru mari kita berupaya semakin meningkatkan
kualitas hidup. Salah satunya adalah bagaimana seharusnya kita bina atau
menjalin hubungan toleransi dengan benar. Kita perlu dan wajib membina dan
menjalin kehidupan yang penuh dengan toleransi. Apalagi kita sebagai manusia,
secara kodrat tidak bisa hidup sendiri. Hal ini berarti seseorang tidak hidup
sendirian, tetapi ia berteman, bertetangga, bahkan ajaran agama mengatakan kita
tidak boleh membedakan warna kulit, ras, dan golongan. Sikap dan perilaku
toleransi dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, di manapun kita berada,
baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, bahkan
berbangsa dan bernegara.
Apabila
kita kembali kepada wacananya Pa Chaedar bahwa pendidikan kita saat ini gagal
untuk memberikan para siswa dengan kompetensi wacana sipil. Indikator
wacana sipil termasuk mendengarkan penuh perhatian, menyumbang ide-ide atau
pendapat, mengajukan pertanyaan menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan,
dan mencapai kompromi dengan cara hormat. Bagaimana tidak gagal, jarang sekali
siswa sekolah dasar yang bisa mengemukakan pendapatnya, apalagi untuk
berdiskusi.
Kebanyakan
di sekolah dasar, siswa hanya memperhatikan gurunya saja, dan hanya menerima
pelajaran yang berikan oleh gurunya, mereka belum bisa untuk memberikan atau
mengemukakan pendapatnya masing-masing.
Selain itu Pa Chaedar
juga menyinggung tentang pendidikan liberal yang bertujuan membebaskan siswa
dari sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain. Pendidikan liberal itu sendiri
adalah pendidikan yang diniati untuk memperluas wawasan (maha) siswa, tidak
sekedar pelatihan teknis dan professional. Tantangna terbesar bagi pendidikan
liberal adalah sejauh mana pendidikan liberal menanamkan prinsip-prinsip pendidikan
agar lulusan siap menghadapi perubahan dunia.
Pendidikan liberal adalah
suatu jenis pendidikan dimana pendidikan yang terbaik adalah yang ada untuk
melatih anak agar berfikir secara kritis dan objektif, mengikuti bentuk dasar
proses ilmiah, dan melatih anak untuk meyakini hal-hal tersebut berdasarkan
pengetahuan ilmiah. Sementara pendidikan umum lebih terfokus pada
pengembangan pribadi dalam skala yang lebih luas tidak sekedar aspek
intelektual, tetapi semua aspek, yaitu intelektual, emosi, sosial, dan moral peserta
didik
Menteri
Agama (Menag) RI Suryadharma Ali mengatakan bahwa kerukunan antar umat beragama
di negeri ini merupakan kekuatan dan modal dasar untuk membangun bangsa yang
majemuk menuju kemajuan seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa. Umat
beragama di Indonesia hendaklah melihat perbedaan sebagai sebuah kekuatan dan
keindahan. Sebab, tanpa perbedaan kehidupan ini hampa atau tidak bermakna.
Untuk itu, rakyat Indonesia harus mampu menciptakan kebersamaan di tengah
perbedaan.
Pendidikan adalah
modal utama kualitas suatu bangsa, pendidikan pun memiliki peranan penting bagi
kehidupan manusia. Pendidikan diawali dengan pendidikan sekolah dasar, di
pendidikan dasarlah siswa akan menerima penegtahuan baru dan sedikit demi
sedikit bisa menanamkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hal ini guru
lah yang berperan penting mengarahkan siswanya untuk menanamkan dalam kehidupan
sehari-hari apa yang telah dipelajari di sekolah. Karena guru mempunyai
pengaruh yang santa tinggi dalam hal ini.
Wacana kelas bisa jadi
alternatif utama dalam membangun kerukunan antar umat beragama, dikelas siswa
mampu berinteraksi dengan satu sama lain, saling bertoleransi, saling
menghormati, menghargai. Selain itu mereka juga bisa sharing atau bercerita
tentang agamanya masing-masing. Itupun suatu pengetahuan baru bagi siswa.
Akan tetapi disisi
lain smua itu sulit untuk menerapkan agar kerukunan beragama diterapkan
langsung di sekolah atau dikelas, karena tetap pendidikan utama bagi anak-anak
adalah keluarag yaitu orang tuanya. Orang tualah yang harus ekstra dalam
mendidik ank-anaknya. Pendidikan disekolah hanya mencakup pelajaran yang
diajarkan oleh gurunya saja, edkit gurunya mengajarkan bagaiman bersikap dan
berperilaku dan sikap saling menghormati antar sesame, karena lung lingkup
sekolah sangat terbatas.
Perbedaan bukanlah
merupakan kendala bagi kita, jadikanlah perbadaan itu sebagai kekayaan bangsa
kita, perbedaan dapat kita satukan dengan semangat persatuan dan kesatuan.
REFERENCE
A.
Chaedar Alwasilah, The Jakarta Post, October 22, 2011
A. Chaedar alwasilah, pendidikan Umum dan Liberal