Makna dibalik Sebuah Hubungan
(By.
Aneu Fuji Lestarie)
Detik demi detik telah berlau. Kini bukan lagi saatnya kita tertidur dengan
lautan mimpi yang membawa kita ke alam khayal.
Namun, sekarang adalah saatnya dimana kita harus bangun dari mimpi untuk
terus melangkah maju dan menghadapi hari-hari yang penuh tantangan menuju
perjalanan yang berkualitas.
Pada pertemuan kedua dalam mata
kuliah writing 4 yang jatuh pada hari senin tanggal 10 Februari 2014, Mr. Lala
mengusungkan tema tentang “Knowing Who Really We Are”. Beliau menjadikan tema tersebut sebagai
penjelasan siapa kita di mata kuliah 4 ini. Apakah kita MULTILINGUAL WRITER
seperti yang beliau perspektivkan???
Pada pertemuan ini masih membahas
tentang literasi dimana ada tiga orientasi teaching dari Mr. Lala, antara lain
academic writing, critical thingking dan writing.
1.
Academic writing
Academic writing bersifat
formal,impersonal, evidence, objective, presise dan analytical. Sehingga dalam menulis academic writig kita
harus memilih kata/ bahasa yang digunakan dan biasanya bahasanya yang digunakan
itu agak sedikit kaku.
2.
Critical thinking
Seorang critical thinking selalu
teliti dalam menulis. Pertama, he will
not take a forgected. Kedua, relating to
other text. Ketiga, using rich point of view.
3.
Menulis
Menulis bukan hanya pengekspresian
diri dalam sebuah tulisan saja. Namun
menulis adalah “a way of knowing something”, “a way of representing something”
dan “a way of reproducing something”.
Menurut
Hyland (2004:4) writing is practice based on expectations: teh reader’schances
of interpreting the writer’s purpose are incresed if the writer takes the
trouble to anticipate what the reader might be expecting based on previous text
he or she has read the same kind.
Berbeda
dengan Lehtonen yang mengataka bahwa seorang penulis dikatakan penulis hanya
ketika ia sedang menulis saja, beda dengan pembaca yang merupakan pembentuk
makna dari sebuah teks, karena pengetahuan sebuah teks tergantung dengan
pembacanya sampai sejauh mana ia memberi makna pada teks tersebut.
Teks memiliki dua sifat, yaitu physical
dan semiotik. Teks bersifat
physical artinya ada wujudnya, dan teks dapat bersifat semiotik hanya jika teks
tersebut memiliki physical form.
Perpustakaan melestarikan teks pada mikrofin yang artinya teks bukan hanya
berbentuk kertas saja, akan tetapi teks dapat berupa tulisan, pidato, gambar,
musik atau simbol-simbol lainnya, yang terpenting adalah teks itu terorganisir
dan ada kombinasi simbolik yang relatif.
Ada tiga karakteristik teks, yaitu materialitas, hubungan
(huruf kata, kalimat/ seluruh teks) formal dan kebermaknaan
(memiliki linkup alam/budaya atau non-tekstual/tekstual fenomena.
Berbeda dengan konteks, sifat
konteks terikat dengan teks, namun Duck memahami bahwa konteks terikat
dengan pronoun. Setiap teks
selalu memiliki konteks yang saling berhubungan dengan teks-teks lain. Teks juga tidak mungkin terlepas dari konteks
karena teks sebagai semiotik tidak akan hidup tanpa pembaca, intertext, situasi
dan fugsi yang setiap saat saling berhubungan.
Konteks dilihat sebagai pemisah
background teks yang dalam peran jenis tertentu tambahan informasi dapat
menjadi bantuan dalam memahami teks itu sendiri. Teks iu seperti puzzle (teka-teki) dengan
satu dan hanya satu solusi untuk memecahkannya dan konteks adalah sejumlah
referensi yang mana sebagai pemecah untuk menemukan solusi masalah puzzle
tersebut.
Jadi, ikatan texts, context, reader,
writer dan meaning tidak akan terpisahkan.
Text dan reader tidak akan exist secara bebas satu sama lainnya, namun
mereka akan saling menghasilkan. Tidak
ada teks tanpa pembaca dan juga sebaliknya.
Konteks tidak akan ada sebelum adanya penulis atau teks, karena sesuai
dengan arti harfiahnya yaitu con-teks yakni selalu ada bersama-sama. Konsep utama dari teks, conteks, reader dan
writer adalah kategori akhir yang tidak dapat dijelaskan dengan arti saja.
Namun kualitas masing-masing memiliki berbagai situasi tertentu dimana saling
menghasilkan sebuah makna dan disitulah peran meaning yang berarti.