Be Good Education with Literacy Engineering
(By.
Aneu Fuji Lestarie)
Senin,
17 Februari 2014 bukanlah hari keberuntungan warga PBI-A. Kala itu hujan dan gemuruh petir yang
menghiasai hati kita. Harapan itu seakan
hilang dan mungkin tak akan kembali.
Kejadian
itu terulang kembali, kejadian yang mengingatkanku pada mata kuliah writing
2. Permasalahan yang berbeda dengan
kesalahan yang sama yaitu ‘ketidak kompakan’ kita dalam mencapai satu tujuan
yang sama. Seharusnya hal ini tak
terulang kembali, namun rasa keegoisan dari masing-masing inividulah yang mengakibatkan
hal ini terjadi lagi.
Namun
akhirnya, masalah ini pun terselesaikan dan kita pun bisa mengikuti mata kuliah
writing 4 kembali. Rabu, 19 Februari
2014 merupakan hari pengganti mata kulaih writing 4 yang hampir hilang. Pada pertemuan ke-3 ini masih berada dalam
area literasi. Dari hasil chapter review
kita dalam bukunya Prof. Chaedar Al Wasilah Mr. Lala menanyakan sebenarnya apa
sih yang harus direkayasa dalam literasi??
Pada
zaman globalisasi ini, dominasi Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) semakin
kuat dalam kehidupan manusia. Iptek
soelah-olah “malaikat iamjinatif” bagi kreatifitas dan produktifitas, mampu
merekayasa apa saja dengan semaksimal mungkin bagi kepentingan hidup
manusia. Tak satu pun kekayaan alam bisa
dieksplorasi dan dimanfaatkan oleh manusia kecuali dengan penguasaan iptek
secara sempurna.
Akan
tetapi, pendidikan di Indonesia masih tergolong dalam kategori yang
rendah. Masih banyak dari masyarakat
yang buta aksara. Pada tahun 1966,
UNESCO telah menetapkan bahwa pada tanggal 8 September sebagai Hari Aksara
Internasional (HAI). Hal itu dipicu
karena adanya keprihatinan dari semua negara anggota PBB bahwa pada tahun 1960
dari sekitar 1,9 miliar jumlah pendidik dunia, sekitar 735 juta orang atau 40%
dari orang dewasa menyandang buta aksara.
Buta aksara ini berkaitan dengan kebodohan, kemiskinan dan
keterbelakangan yang menjadi penghambat bagi perkembangan peradaban dan
pembangunan manusia.
Oleh
karena itu, maka harus adanya perbaikan pendidikan untuk mencapai kemajuan suatu
bangsa, yaitu dengan merekayasa literasi.
Perekayasaan ini tertuju kepada ‘pengajrannya’ yaitu pengajaran reading
dan witing. Masyarakat Indonesia adalah
masyarakat yang illaterat. Hal itu
disebabkan karena pendidikan Indonesia belum berhasil menciptakan pengajaran
yang baik dalam hal membaca dan menulis.
Tujuan
pembangunan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian buku dan perpustakaan menjadi
komponen paling penting yang harus disediakan.
Dengan adanya perpustakaan dapat membantu para pelajar untuk
meningkatkan budaya membacanya.
Pendidikan tidak akan dinilai sebagai pendidikan yang berkualitas jika
para pendidik dan peserta didik tidak dilengkapi perpustakaan sebagai salah
satu sumber penegtahuan.
Setelah
pengajaran membaca, kemudian yang harus direkayasa adalah pengajaran
menulis. Prestasi menulis di Indonesia
sangatlah tergolong rendah. Prestasi
menulis itu tergantung dengan kemampuan membaca. Tanpa kegiatan membaca yang banyak, seseorang
akan sulit menjadi seorang penulis. Akan
tetapi hal itu tidak menjamin seseorang untuk rajin menulis. Apalagi yang tidak mau membaca, mungkin ia
tidak pernah mau untuk menulis. Terbukti
sampai tahun 2003, Indonesia setiap tahun memproduksi buku 6000 buku (termasuk
terjemahan), karena jauh lebih banyak ilmuwan daripada penulis.
Sehingga,
disinilah pentingnya adanya rekayasa literasi yaitu dengan merekayasa
pengajaran membaca dan menulis. Dalam
konteks pembelajaran di sekolah, seorang guru harus menguasai tehnik pengajaran
siswanya, yaitu menguasai tentang literasi dan pedagogi pengajaran
literasi. Dengan kata lain, membangun
literasi bangsa harus diawali dengan membangun guru yang profesional, dan guru
yang profesional hanya dihasilkan oleh pendidikan guru yang profesional juga.
Selain
itu, proses dan pembelajaran bahasa di sekolah juga menjadi rujukan dalam
mengukur tingkat literasi. Orang yang
mau belajar bahasa harus jago linguistik terlebih dahulu, karena linguistik
merupakan teks yang selalu diakses.
Dalam perbaikan rekayasa literasi juga senantiasa menyangkut dengan
dimensi literasi. Sehingga merekayasa
pengajaran membaca dan menulis harus ditempatkan dalam empat dimensi literasi,
yaitu linguistik atau fokus teks, kognitif atau fokus minda, sosiokultural atau
fokus kelompok dan perkembangan atau fokus pertumbuhan.
Dengan
melakukan literasi dapat mengubah pola pikir kita dan juga mengubah paradigma
dan ilmu pengetahuan yang ada di Indonesia.
Untuk mengembangkan potensi literasi ada empat strategi yang harus
dilakukan yaitu:
v Read
with high reputition
v Respond
: discussion or bainstorming
v (Re)write
v (Re)produce
Menurut
Hyland, “literacy is something we do”.
Artinya, semua yang kita lakukan adalah bentuk dari kita berliterasi,
karena literasi merupakan bagian integral dari sebuah konteks. Academik literasi menekankan bahwa pendekatan
menuju penggunaan bahasa dan disebut dengan ‘melek praktek’.
Jadi,
pendidikan yang berkualitas tergantung peran seorang guru yang ada di
dalamnya. Membangun pendidikan yang
berkualitas idaklah mudah, seorang gru harus benar-benar memahami pengajaran
pedagogi sehingga dapat merekayasa pengajaran membaca dan menulis, dan dapat
mengembangkan potensi literasi pada para pelajar untuk membangun suatu bangsa
yang berintelektual tinggi.