Apakah Baca –Tulis dapat Menjunjung Tinggi Bangsa?
(By: Desi Diana)
Rasanya antara
mungkin dan tidak mungkin, hanya dengan membaca dan menulis dapat menjunjung
tinggi bangsa. Khususnya bangsa kita
bangsa Indonesia. Bila hal ini dikaitkan
dengan kaum muda seperti anak-anak dari SD, SMP,SMA dan para mahasiswa atau pun
para orang-orang yang sudah menempuh S1,S2 dan S3 itu sangatlah sudah terbiasa
dengan yang namanya baca-tulis.
Namun, yang sudah
kita ketahui bahwa kemampuan menulis akademik bangsa Indonesia masih rendah dan
belum diakui benar oleh dunia internasional.
Hal ini disebabkan karena masyarakat Indonesia terlalu lama menjadi pembicara
dan pendengar sehingga tidak mampu menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan
dengan baik. Ada sebuah kalimat “Linguists were and remain conviced by Noam
Chomsky of the Massachusetts Institute of Technology, who discovered that
however disparate human languages seem, all share a common, basic structure,
seemingly hardwired into the brain”.
Lalu, apakah bisa baca-tulis dapat menjunjung tinggi bangsa ini?
Indonesia sudah
beberapa kali mendapat penghargaan karena juara di olimpiade Fisika maupun
Matematika. Kita begitu berbangga,
tetapi kebanggaan kita tak akan bertahan lama karena yang kita kejar hanyalah
kuantitas. Indonesia hanya mampu
menghafal rumus untuk diuji. Kapankah
kita dapat berkreasi dan berinovasi untuk menciptakan teori maupaun hal-hal
yang dapat berguna dan akan terus ada selama kita hidup, maupun selama kita
sudah tidak ada di dunia ini. Kreasi
kita dapat di kenang dan di kenal di dunia internasioanal, seperti kita membuat
nobel, buku pengetahuan dan buku-buku lainnya.
Pada jaman globalisasi ini, banyak para
mahasiswa-mahasiswa kita yang hanya bisa copy paste setiap mereka membuat
sebuah skripsi, thesis, maupun disertasi.
Diseluruh Indonesia tentang karya
ilmiah telah memicu pro dan kontra. “
Mayoritas sarjana lulusan PT kita tidak bisa menulis. Bahkan para dosennya pun mayoritas tidak bisa
menulis,” Kata Dirjen Pendidikan Tinggi.
Perguruan Tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan
dengan Malaysia, yakni hanya sekitar sepertujuh.
“Menulis adalah jelas merupakan proses yang
kompleks, dan menulis kompeten
sering diterima sebagai
keterampilan bahasa terakhir yang diperoleh,” (Liz Hamp-Lyons, Study Writing Cambridge 2006). Menulis merupakan suatu keterampilan
berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung. Kita semua pernah belajar menulis dan membaca
pada waktu sekolah dasar. Itu adalah
bekal untuk para siswa untuk menulis dengan baik.
Sedangkan membaca adalah suatu cara untuk
mendapatkan informasi dari sesuatu yang ditulis. Kita tahu bahwa buku adalah jendela
dunia. Banyak sekali manfaat membaca
untuk kita, diantaranya, yaitu :
1.
Ketika sibuk membaca, seseorang terhalang masuk dalam
kebodohan.
2.
Dengan membaca, seseorang bisa mengembangkan keluwesan dalam
menilis, dan
3.
Dengan sering membaca, seseorang bisa menguasai banyak kata
dan mempelajari berbagai model kalimat, lebih lanjut lagi ia bisa meningkatkan
kemampuannya untuk menyerap konsep dan untuk memahaminya. Lalu, menguasainya untuk menulis.
Bangsa kita, bangsa
Indonesia sebenarnya bisa untuk menjadi bangsa yang berliterasi. Karena apa? Karena kita sudah mengenal
tulisan dan membaca itu sejak kanak-kanak.
Sebenarnya anak yang diajarkan membaca dan menulis sejak dini, sangat
mempengaruhi kemampuan membaca dan menulis anak dimasa depan. Dolores Durkin merupakan peneliti yang
pertama kali mendalami masalah ini, pada tahun 1958-1964 dan mengadakan
berbagau studi untuk meneliti. Sejak
dini, kita semua sudah diajarkan membaca dan menulis. Saatnya para sarjana kita, mengembangkan dan
berkreasi untuk menempuh sesuatu yang dapat membanggakan bangsa Indonesia. Akan tetapi, semuanya berjalan dengan sangat
lambat, para mahasiswa kita hanya menginginkan dan mendapatkan sesuatu itu
dengan cara yang mudah dan itu sangatlah tidak baik plagiarisme..
Bagaimana bangsa
Indonesia mau maju dan dikenal oleh dunia internasonal? Para sarjananya maupun
dosennya mayoritas tidak bisa menulis.
Mungkin membaca pun mereka jarang, masa kalah dengan negara tetangga
kita Malaysia. Padahal, penduduk Malaysia
sekarang sekitar 25 juta orang, hamper sepersepuluh populasi Indonesia. Bila rata-rata terbitan buku di Indonesia
sekarang sekitar 8 ribu judul pertahun, maka untuk mengimbangi Malaysia,
mestinya kita mampu menerbitkan buku 10 kali lipat, yaitu 80 ribu judul
pertahun. Mampukah kita? Bisakah kita?
Banyak sekali
pertanyaan yang ada pada essay yang saya buat.
Bagaimanakah saya bisa mendapatkan jawabannya? Semuanya ada pada diri
kita masing-masing jawabannya. Mari kita
junjung bangsa Indonesia ini dengan prestasi yang luar biasa, hanya dengan kita
cintai dan sukai membaca maupun menulis.
Wajibkan diri kita untuk meluangkan waktu walau hanya sedetik, semenit
maupun sejam untuk membaca buku, koran, dan buku lainnya. Apapun itu, marilah kita membaca dengan hati
yang tenang dan memahaminya. Bangsa
Indonesia harus memproduksi mahasiswa dan dosen yang produktif menulis, perlu
pembenahan pembelajaran baca-tulis yang benar ditingkat SMA.
Maka dari itu, mari
kita menjunjung tinggi bangsa Indonesia melalui membaca dan menulis. Ini adalah tugas kita untuk member perubahan
kepada teman-teman kita untuk bangkit, khususnya para mahasiswa dan para
dosen. Tunjukan kreasi dan bakat kita kepada
dunia internasioanal. Kita pasti bisa
“menulislah walau satu kata, bacalah walau satu kata.” Bangsa Indonesia bangsa penulis, wujudkanlah
kalimat itu anak-anak Indonesia. Menurut
Dr. Freddy K Kalidjernih, bahwa hanya dengan latihan menulis, yang serius,
terarah dan sesuai kaidah penulisan akademik seorang penulis dapat mempublikasikan
apa yang telah dituliskan dengan baik sehingga bermanfaat bagi pembacanya. Keep
Crafting for Writing!