From Writing to
Promoting
(By: Enok
Siti Jaenah)
Dunia
telah lama mengakui tentang fakta terkenal bahwa kemampuan menulis para
intelektual Indonesia sangat kurang. Coba kita ingat-ingat, mungkin cukup
dengan hitungan jari untuk mengetahui jumlah dosen yang mengajar menggunakan
literatur yang ditulis mereka sendiri. Padahal di dalam Amerika academic
culture mereka punya mantra sakti yaitu
“All professors are the same until one of them writes a textbook.”
Hampir semua program
sarjana
dan pascasarjana di setiap
Negara
mengharuskan
mahasiswanya untuk menulis
skripsi, tesis, atau disertasi untuk bias
wisuda. Namun,
persyaratan
seperti itu tidak lantas bias
menyulap para wisudawan menjadi penulis yang handal. Mayoritas dari mereka
justru menganggap kegiatan itu sebagai korban tabrak lari, setelah menulis
skripsi tesis ataupun disertasi kemudian meninggalkannya begitu saja, dan lebih
celakanya hanya dilakukan sekali dalam seumur hidup.
Lemahnya
keterampilan menulis di Indonesia harus saya katakana karena masih berlakunya pepatah
“berlayar di atas angin.” Kaum intelektual Intelektual Indonesia telah dicuci
otaknya bahwa bahasa nasional kita tidak cukup canggih untuk menjadi
bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.
Mereka lebih memilih meloncati bahasa ibu untuk bias berlayar di atas angin.
Label
“useless” untuk bahasa Indonesia sepertinya sudah melekat rapat dibenak mereka.
Karena mereka berpikir bahasa Indonesia sudah dipelajarinya sejak mereka
pertama kali bias berbicara. Itu salah besar, bagaimana tidak? Buktinya mereka
sedikit sekali terampil menulis dalam bahasa inggris karena menganggap sudah
sangat mahir berbahasa Indonesia.
Alangkah
lebih baik jika kita lebih peka kepada sejarah bahasa Indonesia yang
diperjuangkan hidupnya lewat para pemudanya. Tapi justru sekarang pemudanya
sendiri yang membiarkan bahasa Indonesia tercecer dan terinjak-injak oleh yang
punyanya sendiri. A. Chaedar al wasilah (2006:111) sering kali kita lupa bahwa
keterampilan menulis sangat bergantung pada keterampilan menulis dalam bahasa
Indonesia. Bagaimana mungkin sesorang dapat berekspresi tulis dalam bahasa
asing sementara ia masih sulit berekspresi dalam bahasa ibunya.
Sungguh
tragis bahwa sebagian besar anggota fakultas di jurusan bahasa inggris memiliki
toleransi nol dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai dasar untuk kemahiran
bahasa Inggris. Mereka menganggap bahwa lulusan SMA sudah meiliki podasi yang
kuat untuk mengembangkan keterampilan menulis. Tetapi nyatanya sungguh tidak
sesuai, seperti yang saya kutip berikut. (A. Chaedar Al Wasilah, 2006:109) Jamu
mujarab tapi mungkin pahit untuk mengobati penyakit ini adalah reposisi dan
redefinisi MKU BI di semua PT. MKU ini harus diberi darah baru agar mampu
melejitkan literasi epistemic para mahasiswa.
Kampanya
gencar yang dilakukan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi dalam publikasi
Internasional yang ditunjang oleh kemampuan yang memadai dalam bahasa
Indonesia. Sebaiknya kita mendorong penulis pemula untuk mempublikasikan dalam
bahasa Indonesia dan kemudian dalam bahasa inggris secara bertahap.
Sejalan
dengan penulis pemula tadi, menulis amatiran jangan dianggap spele atau
dianggap hanya buang-buang waktu. Mengawali menulis dengan cara amatir
merupakan sarana lanjutan dari hasil pelatihan menulis untuk coba menerapkan
menerapkan berbagai teori dan teknik penulisan. Dari prosesmenulis matiran
tersebut, sesorang akan mendapat berbagai pengalaman dan masukan selama proses
penulisan berlangsung.
(A.Rahmat Rosyadi, 2008:3) salah
satu cara untuk menerapkan hasil pelatihan menulis adalah memulai menulis
sekarang juga dengan cara menulis amatiran. Menulis amatiran juga berarti
menulis tanpa memperhatikanberapa honorium atau royalty yang akan diterima dari
pihak lain.
Selain itu, untuk mempromosikan
bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pada saat
itu pula untuk mengembangkan kompetisi maksimum dari kepercayaan diri sebelum
menulis dalam bahasa inggris. Jangan terlalu bermimpi tinggi untuk menduniakan
bahasa Indonesia, langkah sederhana untuk menumbuhkan rasa percaya diri
terhadap kepemilikan bahasa nasional cukup dengan memulai dari diri sendiri,
mencintai bahasa Indonesia, memperbaiki segala keterbatasandalam menguasai
bahasa Indonesia, serta tetap menjunjung tinggi keberadaannya.
Di zaman yang dikatakan modern ini,
justru kita bangsa besar bertanah air satu tanah air Indonesia, berbahasa satu
bahasa Indonesia malah lebih enjoy menggunakan bahasa gaul yang justru merusak
bahasa sendiri. Sungguh ironi, di Negara sendiri dilupakan tapi di negeri lain
justru digali dan diminati. Seperti di Jepang, mereka mengakui bahwa bahasa
jepang asli adalah turunan dari tiga bahasa yaitu melayu, sunda,dan papua.
(Kompasiana, 04 september 2013)
Di sisi lain, bangsa kita masih
bertindak sebagai konsumen dan produsen ilmu pengetahuan modern. Hamper
sebagian besar buku-buku yang beredar di berbagai took buku adalah hasil dari
terjemahan bahasa asing. Bangsa ini minim inovasi penemuan da penciptaan karya.
Akibatnya tidak ada waktu yang intensif bagi pengguna bahasa Indonesia untuk
secara konsisten menggunakan bahasa Indonesia sebagai bagian dari proses
pengembangan budaya.
Inilah saatnya kita melanjutkan
usaha mengisi bahasa Indonesia agar penuh dengan muatan inovasi local
nusantara, dengan cara lebih banyak menulis karya sastra dan mempublikasikan
hasil penelitian ilmiah. Dengan demikian, cara tersebut memiliki fingsi ganda:
untuk mempromosikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan pada saat yang sama pula ditumbuh embangkanlah kompetisi dan kepercayaan
diri sebelum menulis dalam bahasa kedua (bahasa Inggris).