Appetizer-1
INDONESIA GAK DOYAN NULIS
(by.
Endah Jubaedah)
Apalagi
yang harus ditulis dan diwacanakan? Jika bangsa kita memang tak pernah sadar
keharusannya untuk menulis. Berapa
banyak lagi inspirasi dan motivasi yang harus bermunculan agar giat menulis? Jika
hanya beberapa hitungan jari orang-orang yang terinspirasi. Kegemaran menulis memang begitu sulit menjadi
kebiasaan masyarakat bangsa kita, terbiasa ngerumpi lebih cocok dan tak pernah
tertinggal. Sungguh asyik bila obrolan
semakin memanas dan memanjang, enggan mengakhiri. Lupa waktu pun bukan halangan untuk absent dari aktivitas ngerumpi, justru
semakin banyak obrolan-obrolan yang akan menambah kehangatan suasana dan merasa
“betah” ngerumpi. Fenomena ngerumpi
mampu menghipnotis masyarakat kita secara besar-besaran dari berbagai lapisan,
mencatatkan kegemarannya di peringkat tertinggi. Bagaimana tidak? Aktivitas yang satu ini
sudah menjadi budaya yang sulit dihilangkan.
Lalu
adakah budaya menulis dari bangsa kita? Rasanya tidak. Sejak dari dulu pun bangsa kita tak pernah
terbiasa dengan pendididikan sebagai kebutuhan pokok, dan setelah berkembangnya
zaman pun tak membuat masyarakatnya menyadari pentingnya pendididkan terutama
menulis. Jangankan menulis, membaca saja
yang lebih mudah tak sampai diminati.
Ini bukan sekedar wacana tetapi kenyataan pahit yang harus kita sadari
betul perubahannya.
Meskipun
kaum minoritas tapi ada diantaranya yang gemar dan menggeluti bidang menulis
lalu menghasilkan karya-karya sastra yang berkualitas dan layak, namun jika
kita persentasekan dari banyaknya jumlah masyarakat Indonesia tentu belum
memenuhi standar negara berpendidikan baik.
Malah dunia pendididikan kita berada pada posisi yang tidak baik
kualitasnya. Berbagai program
pendididkan pun dikeluarkan pemerintah dengan wacana memperbaiki kualitas
pendidikan, mempermudah rakyat mengenyang pendididkan sekolah; terbukanya program
wajib belajar sembilan tahun, bantuan dana bagi anak yang kurang mampu, hingga peluang
mendapatkan beasiswa untuk siswa/i berprestasi pun tersedia. Peluang memperoleh keberhasilan dalam menulis
seyogyanya terbuka dan tersedia hanya saja kita kurang bersabar dan tidak
ter-update tentang isu-isu atau informasi menulis.
Selain
itu menulis memupuk kita menjadi pribadi intelektual yang mempunyai kualitas,
namun tetap saja keinginan atau tuntutan menulis sangat minim untuk
diminati. Nyatalah bahwa bangsa kita
tetap nyaman “memeluk” kemalasan untuk berliterasi. Sehebat apapun ilmu pengetahuan yang
ditawarkan dan secanggih apapun teknologi yang tersedia, jika kita tidak mampu
untuk ber-inovasi dan ber-eksplorasi ya tentu cita-cita bangsa untuk maju pun
sulit terlaksana. Bangsa kita telah
dimanjakan dengan perubahan zaman yang menembus dunia, akan tetapi hal ini tak
cukup memberi dampak yang baik bagi keberlangsungan masyarakatnya, justru rasa
malas semakin mendarah daging dan membutakan.
Buta,
bangsa kita seolah buta atau entah sengaja menutup mata dengan segala keterlambatan
diri menyambut, menjalankan, dan jauh dari prediksi bagaimana seharusnya bangsa
Indonesia menelaah dan menyaring segala perubahan yang dunia buat. Keaadaan yang nampak, bangsa ini semakin
menikmati dempuran yang dibuat oleh dunia.
Contohnya seperti penggunaan gadget
yang tengah digandrungi oleh semua kalangan, banyak produk asing yang sukses
memasarkan gadget-nya di Indonesia.
Minat yang sangat antusias ini terkadang memunculkan kecemburuan sosial
sehingga setiap individu ingin memilikinya.
Konflik sosial yang terjadi ini dipahami betul oleh para pelaku
perdagangan bebas dunia, terutama China.
Produk-produk Negara penguasa perdagangan bebas dunia ini meroketkan
kesempatan mereka di banyak Negara dan menuai sukses, berbagai bentuk dan jenis
produk mereka suplai untuk memenuhi kebutuhan masyarakatdi berbagai
Negara. Indonesia mencatatkan sebagai
salah satu konsumen terbanyak yang berminat terhadap produk China, salah
satunya penjualan gadget yang melambung.
Hal ini dikarenakan harganya yang dianggap relatif terjangkau sehingga
memicu minat tingi, terutama bagi konsumen masyarakat menengah.
Terlihat
bahwa masyarakat kita memang ingin
dimanjakan tanpa berpikir bagaimana membangun pengetahuan untuk menciptakan
sesuatu, sama halnya dengan menulis; entah mengapa sulit tertawarkan. Sumber daya manusia yang melimpah tak lantas
membuat limpahan pengetahuan pula, mencetak generasi-generasi yang berliterasi
sungguh kasar jalannya untuk terealisasi.
Bahkan orang yang berpendidikan pun banyak yang malas untuk menulis
dengan dalih tidak hobi menulis, tapi ini bukan hanya sekedar hobi atau suka - tidak
suka. Menulis adalah kebutuhan naluriah
tubuh untuk mengembangkan pengetahuan sebagai penyokong kehidupan, jika dalam
batinnya telah dipupuk rasa gemar menulis maka hobi itu sudah tak berlaku lagi:
menulis adalah kebutuhan yang manfaatnya sunnguh luar biasa.
Berkenaan
dengan para sarjana yang enggan menulis, setidaknya mereka pernah dipaksa menulis ketika menghadapi studi akhir
di perkuliahan ataupun ketika melanjutkan sarjana selanjutnya dan diwajibkan untuk
menulis; skripsi,tesis, atau disertasi.
Tapi hal itu tidak menjamin bahwa mereka mampu menulis, kadang ada saja
jalan yang tak seharusnya ditempuh tapi diambil agar bisa lulus menjadi seorang
sarjana. Ketika proses penulisan
skripsi, tesis, atau disertasi tiba waktunya, bermunculan para joki yang
menawarkan kemampuan menulis mereka untuk memenuhi tugas akhir sang calon
sarjana. Para joki menulis ini rela
menjual karyanya atas nama menjadi karya milik orang lain, tak lain agar
mendapat keuntungan yang sebut saja “fantastis” untuk ukuran sebuah karya tulis
pribadi.
Kecurangan ini tentunya menjadi salah satu
penyebab yang dapat mengikis moral dan menumbuhkan mental tikus para sarjana, mengapa
ini terjadi? Tak lain dan tak bukan karena minat literasi yang tak pernah terlintas
di hati mereka, selalu ingin instant. Ekspektasi mereka memakai toga lebih penting
dibanding dengan kemampuan menulis, benar adanya bukan? Bangsa Indonesia gak
doyan nulis!