Chapter review 1
Evolution of
literacy
(By
: Evi Alfiah)
Bermulai dari definisi literasi
yang selalu berevolusi dan pemaknaannya semakin kompleks serta meluas. Definisi (lama) literasi adalah kemampuan
membaca dan menulis (7th Edition Oxford Advanced Learner’s
Dictionary, 2005 : 898). Hingga beralih
ke definisi baru yang menunjukan paradigm baru dalam upaya memaknai literasi
dan pembelajarannya. Semula literasi
hanya dianggap persoalan psikologi yang berkaitan dengan kemapuan mental dan
keterampilan baca-tulis, padahal literasi adalah praktik cultural yang
berkaitan denagn persoalan social dan politik.
Hingga ada ungkapan literasi computer, literasi virtual, literasi
matematika, literasi IPA dan sebagainya.
Melihat persoalan di atas dapat
disimpulkan bahwa pandangan terhadap literasi tidaklah sempit. Bahkan ia meluas dan mungkin di masa yang
akan datang bermunculanlah literasi-literasi yang lainnya. Semakin berkembangnya zaman, semakin pula
dibutuhkan kecakapan untuk hidup sesuai dan menyeimbangi perkembangan zaman dan
dengan literasi orang bisa melakukan hal tersebut.
Atas perkembangan zaman yang
digambarkan tersebut juga, Freebodg and
Luke menawarkan model literasi sebagai berikut : (1) Memahami kode dalam teks (breaking the codes of texts), (2)
Terlibat dalam memaknai teks (participating in the meanings of texts), (3)
Menggunakan teks secara fungsional (using texts functionally), (4) Melakukan
analisis dan mentransformasi teks secara kritis (critically analyzing and
transforming texts). Keempat peran
literasi ini diringkas ke dalam lima verba : memahami, melibati, menggunakan,
menganalisis, dan mentransformasi teks.
Itulah hakikat berliterasi kritis dalam masyarakat demokratis.
Dalam banyak hal objek study
literasi bertumpang tindih dengan objek study budaya yang berfokus pada
hubungan-hubungan antara variable social dan maknanya. Literasi tetap berurusan dengan penggunaan
bahasa, dan kini merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi
yang saling terkait.
Ø Dimensi
geografis (local, nasional, regional dan internasional). Literasi seseorang dikatakan berdimensi
local, nasional, regional atau internasional bergantung pada tingkat pendidikan
dan jejaring social dan vokasionalnya.
Diplomat misalnya, lebih sering ditntang untuk memiliki literasi
Internasional daripada bupati.
Ø Dimensi
bidang (pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dsb). Litersi bangsa tampak di bidang pendidika,
komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dan sebagainya. Tingkat dan efisiensi layanan public dan
militer misalnya, bergantung pada kecanggihan teknologi komunikasi dan
persenjataan yang digunakan. Demikian
juga dengan pendidikan. Pendidikan yang
berkualitas tinggi menghasilkan literasi yang berkulitas tinggi pula.
Ø Dimensi
keterampilan (membaca, menulis, menghitung, dan berbicara). Literasi seseorang tampak dalam kegiatan
menbaca, menulis, menghitung, dan berbicara.
Setiap sarjana pasti mampu dalam membaca tapi tidak semua sarjana mampu
menulis. Untuk menjadi sarjana yang
baik, orang tidak cukup dengan mengandalkan literasi, diapun mesti memiliki
numerasi (keterampilan menghitung).
Ketiga keterampilan tersebut sering disebut 3R yaitu reading, writing and arithmetic
(tradisi barat).
Ø Dimensi
fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan,
mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi diri.
Ø Dimensi
media (teks, cetak, visual, digital)
Ø Dimensi
bahasa (etnis, local, nasional, regional, internasional). Ada literacy yang singular, ada literaties
yang plural. Hal ini beranalogi ke
dimensi monolingual, bilingual, dan multilingual.
Dari pembahasan definisi di atas ada 11
gagasan kunci tentang literasi yang menunjukkan perubahan paradigm literasi
sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengethuan sekarang
ini. 11 gagasan kunci tersebut ialah
sebagai berikut :
ü Ketertiban
lembaga-lembaga social
Hidup
bermasyarakat difasilitasi oleh lembaga-lembaga social, misalnya RT, RW,
kelurahan, sampai dengan DPR dan presiden sebagai mesin birokrasi untuk
menjamin ketertiban social atau institusional orders.
ü Tingkat
kefasihan relatif
Setiap interaksi
memerlukan kefasihan berbahasa dan literasi yang berbeda. Yang perlu dikuasai adalah kefasihan
(literasi) mnimal atau literasi yang diperlukan untuk memainkan peran
fungsional dalam setiap interaksi.
ü Pengembangan
potebsi diri dan pengetahuan
Literasi
membekali orang kemampuan mengembangkan segala potensi dirinya.
ü Standar
dunia
Dalam persaingan
global sekarang ini rujuk ilmu mutu dikembangkan ke tingkat internasional
sehingga tingkat literasi suatu bangsa (baca: kualitas pendidikannya) mudah
dibandingkan dengan bangsa lain.
ü Warga
masyarakat demokratis
Pendidikan
seharusnya menghasilkan manusia literat, yakni manusia yang memiliki literasi
memadai sebagai warga negara yang demokratis.
ü Keragaman
lokal
Manusia literat
sadar mengenai keragaman bahasa dan budaya local atau cerlang budaya
(Ayatrohaedi : 1986) dan manusia local membangun literasi dalam konteks
lokalnya sebelum memasuki konteks nasional, regional dan global.
ü Hubungan
global
Dampak teknologi
komunikasi, kini semua orang adalah warga dunia, dan untuk bersaing di tingkat
dunia, semua orang harus memilik litersi tingkat dunia.
ü Kewarganegaraan
yang efektif
Litersi
membekali manusia kemampuan menjadi warga negara yang efektif, yakni warga
negara yang mampu mengubah diri, menggali potensi diri, serta berkontribusi
bagi keluarga, lingkungan dan negaranya.
ü Bahasa
Inggris ragam dunia
Hubungan dan
jejaring global memerlukan bahasa yang dapat diterima oleh semua pihak. Bahasa Inggris dipelajari oleh bangsa-bangsa
di dunia. Namun, karena setiap bangsa
masih kental dengan etnis dan budaya lokalnya itu menyebabkan munculnya
berbagai ragam bahasa Inggris.
ü Kemampuan
berfikir kritis
Litersi bukan
sekedar mampu membaca dan menulis, mel;ainkan juga menggunakan bahasa itu
secara fasih, efektif, dan kritis.
ü Masyarakat
semiotik
Semiotik adalah
ilmu tentang tanda, termasuk persoalan ikon, tipologi tanda, kode, struktur,
dan komunikasi. Budaya adalah system
tanda dan untuk memaknai tanda manusia harus menguasai literasi semiotik.
Setelah mengkaji tujuh ranah literasi
dan 11 fase kunci literasi di atas, pendidikan berbasis literasi seharusnya
dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip sebagai berikut:
1. Literasi
adalah kecakapan hidup (life skill)
2. Literasi
mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis
maupun secara lisan
3. Literasi
adalah kemampuan memecahkan masalah
4. Literasi
adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya
5. Litersi
adalah kegiatan refleksi
6. Literasi
adalah hasil kolaborasi
7. Literasi
adalah kegiatan melakukan interpretasi
Dari pembahasan di atas, member gambaran
bahwa kemajuan suatu bangsa tidak hanya bisa dibangun dengan bermodalkan
kekayaan alam yang melimpah melainkan berawal dari peradaban buku atau
penguasaan litersi yang berkelanjutan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Namun yang terjadi sekarang,
budaya literasi sudah semakin ditinggalkan oleh generasi muda Indonesia. Padahal pendidikan berbasis budaya literasi
merupakan aspek penting yang harus diterapkan dilembaga-lembaga sekolah guna
untuk memupuk minat dan bakat dalam diri para pelajar di negara ini.
Orang literat adalah oarng yang terdidik
dan berbudaya. Rekayasa literasi adalah
upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan
berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju
kependidikan dan pembudayaan. Sekolah
berperan sebagai lembaga pendidikan formal yang merupakan situs pertama untuk
membangun literasi yang pada umumnya disokong oleh pemerintah dengan demikian
mudah diintervensi oleh berbagai kebijakan, inovasi, dan program uji coba
pemerintah. Kegiatan literasi dalam
keluarga dan dalam masyarakat berkontribusi pada tingkat literasi.
Perbaikan rekayasa literasi senantiasa
menyangkut empat dimensi; (1) linguistik atau fokus teks, (2) kognitif atau fokus
mind, (3) sosiokultural atau fokus kelompok, (4) perkembangan atau focus
pertumbuhan (Kucer, 2005 : 293-4).
Sementara itu Kern (2000 : 38) menyebut 3 dimensi, yaitu dimensi linguistik,
sosiokultural, dan kognitif/metakognitif.
Dengan demikian, rekayasa literasi berarti merekayasa pengajaran membaca
dan emnulis dalam empat dimensi di atas sebagimana yang tampak pada tabel
berikut ini :
( Dimensi Literasi Membaca dan Menulis)
Pengajaran membaca dan menulis harus
ditempatkan dalam keempat dimensi yang saling terkait. Pengajaran bahasa (language arts) yang baik menghasilkan orang literat yang mampu
menggunakan keempat dimensi ini secara serempak, aktif dan terintegrasi. Dia menggunakan bahasa secara efaktif dan
efisien.
Bagaimana literasi diajarkan bergantung
pada paradigma tentang literasi itu.
Secara turun-temurun, wacana
pembelajaran bahasa terfokus pada empat keterampilan bahasa (menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis). Dalam
pembelajaran bahasa asing, istilah atau pendekatan literasi kurang
dikenal. Istilah yang lazim dikenal oleh para guru adalah empat
keterampilan berbahasa, paling-paling plus budaya dan hampir tidak pernah
menyebut sastra.
Mengajarkan literasi pada intinya
menjadikan manusia yang secara fungsional mampu berbaca-tulis, terdidik, cerdas
dan menunjukkan apresiasi terhadap satra.
Pendidikan di Indonesia relatif berhasil memproduksi manusia terdidik
tapi pada umumnya kurang memiliki apresiasi terhadap sastra khususnyadan
humaniora umumnya. Rekayasa literasi
seharusnya diawali dengan pemahaman atas berbagai paradigm pengajaran
literasi. Dalam garis besarnya, ada tiga
paradigm pembelajaran literasi, yaitu : decoding,
skills dan whole language ( Kucer
: 2000).
Dari pembahasan sebelumnya, dapat
ditarik kesimpulan bahwa pentingnya menanamkan leterasi semenjak dini. Eksistensi literasi yang sangat mendukung
berkembangnya suatu bangsa jika diterapkan di negara ini. Literasi menjadikan manusia secara
fungsional, mampu berbaca-tulis, terdidik, cerdas dan menunjukkan apresiasi
terhadap sastra. Literasi tidak hanya
mencakup keterampilan baca-tulis, tapi mencakup seluruh aspek dalam kecakapan
untuk hidup yang lebih baik.