Ada
Cinta dibalik Tulisan
Anisa
Seseorang yang masih sangat awam dalam membaca atau menulis.
Mereka yang tidak suka membaca ketika
disodorkan teks, mereka akan merasa kecil hati bahkan sampai ada yang
menyalahkan diri sendiri. Mengapa demikian, karena hampir 95 persen mahasisiwa
mengemukakan bahwa mereka tidak mempunyai latar belakang cepat dalam membaca.
Ungkapan tersebut telah memberikan banyak hal, yang dapat kita garis bawahi
menjadi sifat fantastik dalam teks yang diciptakan dalam teks yang diciptakan
oleh seorang penulis.
Pendidikan bahasa di Negara kita
telahgagal dalam mengembangkan pembaca krisis. Banyak lulusan Universias
Indonesia yang sudah belajar bahasa lokal, bahasa Indonesia maupun bahasa
asing tapi tidak bisa menjadi pembaca
krisis. Ketika ada ungkapan dari seseorang, bahwa dia mempuyai wawasan latar
belakang yang sama itu dirinya adalah kontraktif.
Ketika seorang pembaca mengemukakan
bahwa dirinya belum mencapai tingkat tinggi dalam membaca. Itu tanpa mereka
sadari mereka telah mengeritik diri sendiri dengan kurang mengetahui wawasan
dalam membaca. Sebenarnya kita mampu mengevaluasi diri tapi kita tidak bisa
memperbaiki diri kita. Hanya terpaku terhadap apa yang kita dapat tanpa mau
mencari yang lebi. Seorang pembaca juga dituntut untuk bisa berkonsentrasi.
Beberapa yang dapat menyelesaikan
bagaimana pendidikan bahasa di Negara kita. Pertama adalah pendekata dalam
membaca dan menulis. Kedua membaca datang dari menulis., ketiga yaitu seseorang
yang rajin membaca tidak terlepas dari keahlian mereka dan intelektual dalam
menulis. Pembaca krisis itu dia sangat percaya antara penulis dan membaca itu
sama tanggung jawabnya terhadap makna dalam sebuah karya tulisa atau teks.
Orang-orang muslim telah diingatkan
pada surat An-nisa ayat 63, yang artinya untuk berbicara kepada orang lain
dalam sebuah kata yang efektif untuk mencapai diri batin mereka, untuk cendekiawan
muslim, kemudian dan menulis komunikatif yaitu sejalan dengan ajaran agama.
Disini agama islam menganjurkan seseorang muslim untuk bisa membaca dan
kemudian menulis. Tentunya sesuai dengan ajaran islam. Subkhanallah betapa
besarnya budaya membaca dan menulis dalam sebuah Negara atau kehidupan.
Sebagai seorang yang telah
menngeluti dunia menulis pak Waston, lebih tepatnya dalam karyanya Pak Waston
sebuah artikel kuat pembaca. Pembaca tak berguna (Jakarta Post-Januari 2014).
Jika sebagai non Indonesia mampu membangun Indnesia Beliau mampu mengkeritik
yang mampu membangun Indonesia untuk membaca. Sebuah pancingan yang dapat
memicu kemarahan Indonesia untuk membaca. Kenapa, karena Negara kita, Negara
Indonesia itu sangat lemah dan sukar untuk membaca.
Dalam sebuah artikel kita tidak
hanya bisa menarik kesimpulan dari suatu masalah tapi juga menyelesaikan sebuah masalah. Seorang siswa diberikan sebuah
teks akademik awalnya menggunakan bahasa Indonesia kemudian ditranslet kedalam
bahasa Inggris. Itu pasti tidak dapat dipungkiri kalau budaya membaca Negara kita masih sangat minim peminat
dan sukar untuk mau membaca sebuah artikel, teks apalagi buku.
Survice juga telah membuktikan,
beberapa mahasiswa yang ada di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
pada tanggal 02 februari memberikan bukti bahwa
siswa tidak mampu mengidentifikasikan sebuah tema atau potongan prosa
dalam bahasa Indonesia (prosa Indonesia). Itu dikemukakan oleh Dr. Iman, entah
apa alasan Beliau melakukan ini dan buat apa. Yang pasti Beliau mencoba untuk
membuat sesuatu kritikan untuk kemajuan mau membaca, dan menulis serta usaha untuk
memahami sesuatu baik informasi atau apapun dari artikel atau sebuah buku.
Disini kita dituntut untuk bisa
menulis sejak dini. Sejak SMP harusnya ketika UAS atau UTS dianjurjkan untuk
membuat cerpen saja agar otak mereka terbiasa untuk menulis. Sehingga di
harapkan ketika mereka kuliah tidak perlu membuat Sekripsi, Tesis ataupun
Sertasi. Karena mereka telah terbiasa dalam menulis jadi otak kita sudah diasa.
Dengan dekian budaya menulis dalam Negara kita bisa berkembang, tapi sayangnya
pendidikan membaca dan menulis tidak diberikan terhadap para siswa sesuai
dengan kurikulum pendidikan.
Bangsa indonesia dianggap sebagai
bukan bangsa penulis. Surat yang dikirim oleh Jenderal Pendidikan Tinggi nomor
152/E/T/2012, kepada Rector, ketua, directur perguruan tinggi swasta di seluruh
Indonesia tentang karya ilmiah telah memicu pro contra dilingkungan kampus
sejalan dengan pemikiran masing-masing. Asosiasi perguruan tinggi swasta
(Aptisi) terang-terangan membokait aturan tersebut. Ini sungguh sangat membuat
kita terpukul bak di luncurkan bom Atom di Indonesia.
Negara kita seharusnya mengeluarkan
80 ribu judul pertahun, bukan 8 ribu pertahun. Kita lipatkan 10 kali, dari 8
ribu judul menjadi 80 ribu judul pertahun. Yang menjadi pertanyaan sekarang
apakah Negara kita mampu melakukan itu dan apakah kita benar-benar siap.
Kemampuan menulis artikel jurnal seperti yang telah dihimbau oleh directur
Jenderal Pendidikan Tinggi adalah literasi tingkat tinggi, yaitu kemampuan
dalam memproduksi pengetahuan. Para Sarjana setelah membaca berbagai informasi
dan melakukan penelitian harus mampu mengajukan sudut pandang baru, kesimpulan,
rumus, serta teori agar dapat memperkokoh pengetahuan.
Seberapa dalam dan canggih sebuah
temuan atau penelitian bergantung pada akademinya S1, S2, S3 selamanya itu
untuk kelulusan. Mahasiswa dituntut untuk menulis skrisi, tesis, atau sertasi
dengan kekhasaan dalam bidang masing-masing. Disini kita dituntut sangat kersa
untuk membuat karya ilmiah. Jadi sekripsi, tesis dan disertasi adalah bagian
dari genre tulisan akademik (academic writing). Secara garis besar dengan
menulis sekripsi mahasiswa mampu belajar menulis akademik, dengan menulis tesis
mahasiswa belajar meneliti, dan dengan disertasi mahasiswa membangun teori atau
rumus baru. Semuanya melaporkan hasil telaahan, pengamatan, atau eksperimen.
Jadi kita mulai dari sekarang
budayakan menulis, cintai menulis, dan biasakan menulis. Karena dengan menulis bisa menggenggam dunia dan tentunya
mempunyai wawasan yang luas. Disemester 2 kita dituntut untuk membaca. Semester
sekarang kita dituntut untuk membiasakan menulis
Kesimpulan
Kita dituntut keras untuk bisa
menulis dan membuat orang mau menulis. Karena menulis itu juga mempunyai
pengaruh terhadap citra Negara kita yang dianggap bukan bangsa penulis. Kita
harus membuktikan bahwa Negara kita, bangsa kita kita mampu menulis. Tentunya
dengan rumus dan metode yang benar. Selain menulis kita juga harus membaca dan jadilah
pembaca yang krisis. Mampu memberikan argumen-argumen terhadap tulisan yang
menurut kita kurang bagus. Agar ketika kita disodorkan dan menyuruh meresume
atau yang baru tidak semerta-merta melainkan melalui prosedur. Agar tidak
terciptapelecehan intelektual.
Budayakan
menulis dari dini atau SMP dengan cara memberikan soal untuk membuat cerpen
bukan materi-materi lagi. Selain siswa merasa jenuh, wawasan mereka juga hanya
terpaku pada soal materi-materi saja. Ini bertujuan agar para murid terbiasa untuk
menulis. Dengan harapan ketika mereka kuliah nanti tidak ada sekripsi, tesis,
atau disertasi. Kenapa, karena para mahasiswa telah mampu menulis. Jadi tidak
perlu menulis sekripsi, tesis ataupun disertasi yang hal itu asalnya termasuk
kedalam academic writing dan curiculume pendidikan.