Appetizer
Essay 1
Alasan di Balik Tirai “Tidak Mampu
Menulis”
Author:
Ida Fauziyah
Menulis
merupakan suatu proses mengekspresikan diri. Menulis juga merupakan suatu jalan
untuk mengetahui sesuatu, jalan untuk menghdirkan ulang sesuatu, jalan untuk
untuk memproduksi sesuatu. Menulis juga merupakan salah satu skill yang harus
dimiliki seorang mahasiswa. Namun, apabila mahasiswa tidak mampu menulis itu
salah siapa? Siapa yang harus disalahkan? Mahasiswa ataukah dosen? Akan tetapi,
adakah orang yang ingin disalahkan?
Sejauh
yanng kita ketahui kemampuan menulis di kalangan mahasiswa di Indonesia sangat
kurang, atau bahkan sama sekali tidak mampu. Menurut survei, Indonesia kalah
jauh dengan negara satu rumpun dengan negara kita; Malaysia. Sungguh miris
mendengarnya jika kita melihat jumlah penduduk Indonesia yang lebih banyak
daripada Malaysia.
Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi juga merasa kecewa melihat kenyataan tersebut. Wajar
saja, mengingat beliau adalah orang pertama yang bertanggung jawab mengawal
publikasi ilmiah d kalangan pergururan tinggi. Bayangkan, jika Anda bertanggung
jawab terhadap suatu pekerjaan namun, pekerjaan tersebut tidak berjalan sesuai
dengan apa yang Anda atau Masyarakat harapkan. Jelas Anda kecewa bukan?
Kewajiban
menulis khususnya jurnal merupakan kewajiban bagi para dosen. Jurnal merupakan
bukti kepakaran dan spesialisasi keilmuan penulisnya. Alasan lain yaitu menulis
skripsi, thesis dan disertasi bagi mahasiswa adalah untuk melatih keterampilan
menulis, meneliti dan melaporkan hasil kerja mereka secara akdemik, sehingga
dapat memudahkan mereka untuk menulis artikel jurnal jika suatu saat menjadi
dosen.
Faktanya,
kenyataan berkata lain. Banyak mahasiswa yang tidak mampu untuk menulis.
Ketidakmapuan tersebut bisa saja disebabkan oleh para mahasiswanya itu sendiri,
atau bahkan oleh dosen yang salah pengajaran. Dewasa ini, realita tersebut
bukanlah rahasia umum lagi.
Mahasiswa
memiliki banyak alasan agar tidak disalahkan ketika mereka tidak mampu menulis.
Dengan alasan bahwa meulis sangat berkaitan erat dengan membaca, mereka
berdalih kurangnya buku bacaan yang ada di perpustakaan maupun di toko buku.
Sehingga mereka kekurangan sumber atau bahan bacaan sebagai referensi untuk
tulisan mereka.
Sangkalan
berikutnya, ketika mereka membaca buku ang kualitasnya jauh di atas kemampuan
dan pengetahuan mereka, mereka cenderung kurang percaya diri terhadap
capability dan latar belakang pengetahuan yang mereka miliki. Jika mereka tidak
mampu memahami isi dari buku tersebut, mereka justru cenderung bersikap
fatalistik (sikap putus asa) terhadap teks tersebut.
Bagi
sebagian dari mahasiswa kita menganggap bahwa untuk membaca dan memahami teks
yang kualitasnya lebih dari pengetahuan yang mereka miliki saja sangat sulit,
apalagi jika harus menuliskannya atau memproduksi teks yang baru dengan bahasa
mereka sendiri. Sadar atau tidak, sebenarnya mereka telah merehkan diri mereka
sendiri. Alasan lain, menurut mereka, mereka seringkali terjebak dalam masalah “sulitnya
menemukan ide”. Sehingga, ketika mereka tak kunjung menemukan apa yang
mereka cari, mereka akan putus asa dan enggan untuk melakukannya kembali.
Kemudian bahkan sampai berfikir tidak akan menulis.
“Sulit menemukan tempat
dan suasana yang sesuai untuk menulis”. Alasan ini juga
banyak menjadi pilihan jawaban ketika mereka diberikan pertanyaan mengapa tidak
mampu menulis. Mereka beranggapan seolah-olah kata-kata tersebut pantas
diucapkan oleh orang-orang yang berfikir. Miris memang mendengarnya.
Keterkaitan
antara menulis dan membaca membuat kedua kegiatan akademik tersebut tidak dapat
dipisahkan. Apabila Anda ingin menulis, maka Anda harus banyak membaca.
Begitupun sebaliknya, dengan menulis kita mampu memproduksi bahan bacaan.
Simbiosis mutualisme tersebut jelas akan menghasilkan pembaca dan penulis yan
produktif.
Dr.
Chaedar benar dengan mengatakan bahwa tingkat membaca Anda menentukan kekuatan
tulisan Anda. Jadi, kualitas tulisan Anda akan terlihat ketika Anda banyak
membaca. Dengan membaca, pengetahuan akan terakumulasikan sehingga Anda dapat
berbagi pengalaman yang telah Anda dapatkan melalui tulisan.
Menurut
Dr. Chaedar, penulis dan pembaca harus kritis. Mereka harus mengetahui makna
yang tersirat dari sebuah teks. Contoh pembaca yang kritis bila ditanya “Mengapa Anda tidak mampu memahami teks
tersebut?”, dia akan menjawab “Penulisnya
yang tidak kompeten untuk menhadirkan ide untuk menghibur para pembaca”.
Begitupun sebaliknya jika penulis kritis apabila dihadapkan pertanyaan seperti
itu.
Apabila
dilihat dari sudut pandang sebaliknya, ketidakmampuan mahasiswa dalam menulis
disebabkan oleh dosen yang salah pengajaran, jelas berbeda. Menurut Dr. Chaedar
dalam artikelnya yang berjudul “Powerfull
Writers Versus Helpless Readers”, yang juga telah dibuktikan oleh Dr.
Watson melalui hasil pengamatannya; bahan dan cara pengajaran di kelas tidaklah
relevan (tidak tepat) untuk diguanakan di perguruan-perguruan inggi di
Indonesia. Mereka para dosen yang mendapatkan phD di luar negeri hanya
menyampaikan dalam bentuk teori dan pengetahuan (yang mereka peroleh dari hasil
studi mereka di luar negeri) kepada mahasiswanya.
Menurut
pendapat saya, jelas itu tidak dibenarkan, karena para dosen seharusnya
mengajarkan bagaimana agar mahasiswa mampu berbicara, mendengarkan, membaca dan
menulis yang benar sesuai dengan aturan. Mereka seharusnya tidak hanya
mendapatkan teori dan materi melainkan juga praktek langsung.
Banyak
buku referensi dari luar negeri yang sudah pasti tidak menggunakan Bahasa
Indonesia sebagai kata pengantarnya. Penggunaan buku-buku tersebut tidak cukup
benar adanya., karena jika kita mampu menulis dan menertibkan buku-buku sendiri
itu bisa lebih baik. Dengan demikian, secara tidak langsung kita telah
menunjukkan kecintaan dan kebanggan kita terhadap Bahasa Indonesia yang kita
sebut sebagai bahasa nasional negara kita.
Di
sis lain, dengan menulis buku sendiri, kita juga dapat membuktikan kemampuan
menulis kita tanpa harus bergantung kepada buku-buku luar negeri. Hal ini juga
sebagai pembuktian akan kemajuan bangsa kita, sekaligus mematahkan pandangan
sebelah mata dari negara lain atau bahkan masyarakat indonesia sendiri.
Jadi,
siapa yang akan bertanggung jawab jika mahasiwa atau bahkan lulusan-lulusan
perguruan tinggi di Indonesia tidak mampu menulis? Siapa yang harus disalahkan?
Mahasiswa atau dosen? Jika kita berfikir, jawabannya ada pada diri kita semua
sebagai bagian dari bangsa Indonesia. So,
let’s change and fix it!