Appetizer Essay: Virus Menulis dari Kebiasaan Membaca


1stEppetizer Essay
Virus Menulis dari Kebiasaan Membaca
(By : Erni Nuro)
Rendahnya minat atau bakat menulis dari bangsa kita masih dalam posisi yang sangat rendah. Memang benar pendapat yang dilontarkan oleh Dirjen Pendidikan. Sebenarnya, kebudayaan menjiplak yang menyebabkan mahasiswa malas untuk menulis. Kebiasaan itu membuat mahasiswa menganggap sepele menulis dan sama sekali tidak menghargai karya orang lain. Tidak ada lagi kesadaran untuk belajar menulis dan membuat analisis sendiri. Apalagi saat tugas banyak dan harus dikumpulkan besok. Maka jalan yang ditempuh adalah menjiplak pekerjaan teman atau dari internet. Itu yang menyebabkan mental menulis mahasiswa kita rendah. Selain itu penulis-penulis kita merasa kurang dihargai karyanya, itu pula yang menyebabkan penulis malas untuk membuat suatu karya. Menurut survei PERC 1.285 Manajer Asing, perlindungan hak cipta “Di Indonesia menempati posisi teratas negara paling buruk dalam perlindungan HKI untuk tingkat ASIA” (Kompas.com 25 Agustus 2011)
          Jika kita melihat kegiatan pembelajaran mulai dari SD hingga SMA. Sejak SD kita sudah mulai belajar cara menulis dengan benar mulai dari mengarang, membuat puisi, pantun serta karangan-karangan yang lainnya. Di SMP kita sudah dikenalkan cara membuat cerpen, naskah drama dan membuat laporan study tour. Selanjutnya di SMA kita dilatih untuk membuat karya tulis ilmiah, membut cerpen dan meresensi sebuah buku. Jadi tidak ada alasan lagi kalau kita tidak bisa menulis.
          Permasalahannya sekarang ini adalah mahasiswa yang masih banyak yang kurang mampu membuat karya ilmiah ataupun jurnal yang berkualitas. Jangankan dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Kita lihat saja di lingkungan perguruan tinggi, setiap mahasiswa diwajibkan untuk mengasilkan suatu karya tulis atau ilmiah, baik berupa proposal, maupun laporan. Tetapi, mahasiswa yang kita kenal sebagi kaum intelektual kenyatannya masih kesulitan membuat karya tulis.
          Mengenai jurnal, saat ini menurut informasi yang beredar di internet mengenai jurnal adalah bahwa surat edaran DIKTI (Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi) mengenai penerbitan jurnal ilmiah akan dijadikan syarat kelulusan S1. DIKTI beralasan bahwa membuat keputusan jurnal ilmiah sebagi syarat kelulusan bagi mahasiswa karena masih rendahnya publikasi ilmiah. Perguruan Tinggi (PT) Indonesia dibanding negara lainnya seperti Malaysia, menurut data yang dikeluarkan oleh DIKTI terhitung perjanuari 2010 Indonesia telah mempublikasikan 7.530 jurnal ilmiah dari 48 universitas. Angka tersebut terbilang kecil jika dibandingkan dengan Malaysia sebanyak 31.028 jurnal ilmiah dari lima universitas.
          Memang seharusnya kita akui Indonesia berada diposisi terendah mengenai pendidikan termasuk jurnal ilmiah. Menurut Sri Harintah ketua pusat dokumentasi ilmiah Indonesia LIPI dan asisten Deputi Bidang Data Informasi IPTEK Kementrian Riset dan Teknologi Agus Sediadi, jumat (27/4) menyatakan bahwa “Dari sekitar 3.000 jurnal ilmiah di Indonesia, yang terakreditasi 208 saja. Penyebab ketidaklayakan jurnal ilmiah itu antara lain minim naskah dan kualitas”. Hal ini menunjukan bahwa jurnal hasil karya anak bangsa kita masih diposisi yang sangat rendah. Banyaknya jurnal ilmiah yang tak memenuhi syarat, teutama pada rendahnya kualitas isi dan inkonsistensi edisi penerbitan, serta ketidaktepatan referensi. “posisi Indonesia jauh dibawah Singapura atau Malaysia. Namun posisi ketiga setelah Singapurandan Filipina” (Thomas Reuters). Dengan demikian berarti Indonesia memnduduki posisi nomor empat dari lima negara ASEAN. Ternyata publikasi riset menonjol Indonesia itu hanya kedokteran klinik dan Ilmu Fauna dan Flora.
          Dari pernyataan-pernyataan diatas menunjukan bahwa kurangnya kesadaran anak bangsa Indonesia akan pentingnya menulis. Oleh karena itu seharusnya pemerintah menyiapkan program pelatihan penulisanoleh para editor jurnal ilmiah di Indonesia yang terkreditasi, bahkan kalau bisa disetiap kampus di Indonesia. Negara kita tidak bisa dibandingkan dengan negara-negara yang maju seperti Amerika Serikat ataupun yang lainnya. Karena kwalitas pendidikan dinegara kita masih jauh dari standard internasional. Disebabkan karena ketidaksemangatan anak bangsa Indonesia dalam belajar didukung dengan pemerintah yang semakin tak bertanggung jawab atas hal ini. Namun tidak semua anak bangsa Indonesia demikian. Universitas Negeri Udayana atau disebut UNUD pernah meraih peringkat sepuluh besar sebagi perguruan tinggi di Indonesia penghasil jurnal ilmiah terbanyak. Walaupun pernah mengalami penurunan yang signifikan.
          Mengenai bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan menjadikan bahasa Indonesia eksis di di dunia internasional perlu terus digelorakan. Penentu suksesnya bahasa Indonesia menjadi pergaulan dunia adalah dengan menjadikan bahasa Indonesia sebagai ilmu pengetahuan. Salah satunya cara untuk meningkatkan bahasa Indonesia sebagai ilmu pengetahuan yaitu dengan adanya prinsip tujuan kebijakan mengenai peningkatan kemampuan menulis jurnal ilmiah dengan menghindari plagiarism. Hal tersebut pada akhirnya akan meningkatkan daya saing bangsa. Dengan ditingkatkanya karya ilmiah (jurnal) yang dihasilkan oleh anak bangsa kita, kita dapat menjadikan bahasa Indonesia sebagai ilmu pengetahuan. Akan tetapi hal ini memerlukan dukungan penuh dari pemerintah, dengan mengedepankan pendidikan sebagai kunci sukses bangsa Indonesia.
Faktanya, kebijakan pemerintah dan satuan serta kesadaran PT (Perguruan Tinggi) belum mendukung sistem pendidikan, yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam menulis. Oleh karenanya untuk membangun kompetensi menulis perlu dilakukan beberapa hal, seperti membangun kesadaran kepada mahasiswa, bahwa menulis merupakan salah satu ketrampilan hidup (life skill) bukan hanya sebatas kemampuan akademik, menciptakan budaya menulis melalui kebijakan institusi atau PT baik dibidang kurikulum maupun non kurikulum (program-program PT). Kesadaran mahasiswa dalam menulis akan tumbuh apabila adanya pemahaman bahwa menulis bermanfaat bagi diri dan kehidupannya dimasa depan. Pada umumnya menulis banyak dipahami sebagai sebuah ketrampilan sulit, khususnya menulis ilmiah. Persepsi tersebut akan menjadi kendala dalam membangun menulis, untuk itu harus dihindari. Menumbuhkan kecintaan menulis dapat dimulai dari menulis fiksi. Dengan sering bertambahnya pengetahuannya, maka keinginan untuk menulispun akan muncul.
Tanpa kita sadari  menulis itu memiliki banyak manfaat diantaranya seperti untuk memahami diri sendiri, membangkitkan kepercayaan diri, memunculkan ide dan gagasan sendiri, memberi kontribusi pada orang lain atau masyarakat, meningkatkan kreatifitas serta sebagai wadah meluapkan berbagai masalah diri yang tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.” Orang yang terbiasa menulis, akan senantiasa meperhatikan prinsip-prinsip dalam menulis, diantaranya seperti mnegedepankan kejujuran serta melatih kesabaran dan kepekaan sosial. Hal tersebut akan menjadikan menulis berfikir logis, rasional dan sistematis, hal ini sangat diperlukan dalam membanguninterpersonal yang baik” (tutur dari salah satu mahasiswa UNUD).
Kemudian mengenai pendidikan bahasa yang telah gagal dalam mengembangkan pembaca kritis di negara kita ini memang menjadi berita yang memilukan. Memang benar terdapat hubungan yang erat antara membaca dan menulis. Pengalaman membaca yang dimiliki seseorang dapat menentukan kekuatan orang tersebut dalam menulis. Ilmu pengetahuan misalnya, ilmu pengetahuan biasanya didapat dari hasil membaca, sementara menulis dapat digunakan sebagai mediauntuk mengekspresikan ilmu pengetahuan kita dalam bentuk tulisan. Mungkin itulah yang dimaksud dengan membaca menentukan kekuatan menulis. Oleh karena itu sebaiknya kita  membiasakan menuangkan kembali apa yang pernah kita baca dalam bentuk tulisan. Tulisan ini dapat berupa refleksi, respon, pendapat, ataupun yang mewakili ekspresi diri. Sementara yang terjadi di dunia pendidikan kita, kita terbiasa menjadi pembaca pasif. Kebiasaan membaca dan menghafal dengan harapan kita dapat memahami apa yang kita baca. Proses menuliskan pemahaman atas apa yang telah dibaca biasanya tertunda beberapa lama pada waktu membuat tugas atau ujian. Akibatnya pemahaman atas hasil bacaan pun lenyap tanpa bekas.
          Permasalahanya dalam dunia kampus yang di alami anak-anak bangsa kita tentunya di dunia akademi, tugas membuat paper, makalah atau pun essay sudah menjadi makanan sehari-hari bagi mahasiswa. Banyak sekali dosen yang memberi tugas serupa bahkan dengan deadlin yang hampir bersamaan. Fenomena copy paste dan plagiat pun tak terkalahkan lagi bertebaran di berbagai sudut kampus. Sementra dari sisi dosen, perintah dosen yang tidak jelas,atau sikap dosen  yang cuek dalam mengahadapi siswa yang copy paste ini menunjukan permasalahan yang tak terlihat dan di anggap sepele. Permasalahan-permasalahan yang sepele semacam inilah yang akan mengakibatkan mahasiswa atau pelajar di negara kita. Tidak mampu berkarya dan menjadi pembaca serta penulis kritis yang handal. Selain itu alasan mengapa mahasiswa indonesia tidak mempunyai jiwa kritis dalam membaca dan menulis, melainkan alasan karena mereka tidak punya ide apa yang harus di tulis. Akibatnya kita terbiasa menjadi pembaca dan penulis pasif.
          Sebenarnya jika kita sudah terbiasa menjadi pembaca aktif,kita akan mengasah kemampuan berpikir kritis dan pada pada akhinya akan meningkatkan kemampuan menulis kritis juga. Jadi,jika kita banyak membaca,menjadi pembaca aktif dan berdialog dengan teks bacaan, maka kita akan dapat meningkatkan kemampuan menulis.

Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment