BUDAYA MENULIS DAN MEMBACA
(By: Dian Eka Indriyani)
Setelah
saya membaca ke-3 artikel itu saya dapat menyimpulkan: pada artikel yang
pertama yaitu tentang “Bukan Bangsa Penulis” itu aa sedikit pro dan kontra
dalam hati saya, sebab pada kenyataannya jika dibilang bukan bangsa penulis
masih banyak penulis yang aktif namun jika bicara kita bangsa penulis mungkin
itu juga kurang, sebab disadari atau tidak jumlah penulis yang ada sekarang
prosentasenya masih kalah dengan negara tetangga kita. Padahal diindonesia
sendiri jumlah mahasiswanya masih terhitung banyak nau sulit untuk menulis dan
jangankan masiswa dosennya pun ssama halnya masih sulit untuk untuk menulis.
Jadi harus bagaimana jika sudah demikian?
Semua
itu mungkin suatu kewajaran bagi kita, karena saya sendiri merasakan dalam hal
ini untuk menulis suatu tugas saja saya masih sulit, apalagi nanti bila harus
menulis jurnal dan harisnya budaya menulis memang di ajarkan sejak kita masuk
dibangku SMA agar nantinya kita tinggal melanjutkan pengetahuan kita dalam
menulis dan agar tidak terlalu kaget serta jauh tertinggal ketika harus
dihadapkan dengan dunia tulis menulis, karena diperkirakan setiap tahun ada 800
ribu mahasiswa yang diwisuda jadi mahasiswa, tetapi untuk menulis dirasa
kemampuannya masih kurang memenuhi. Jadi mungkin memang benar jika lulusan s1 disini
masih kurang memenuhi jika harus dibanding negara lain yang memang mahasiswanya
sudah dituntut keras untuk mampu menulis.
Kemudian artikel yang ke-2 ini membahas tentang “Penulis kuat dan Pembaca Putus asa,
mengapa demkian? Setelah saya membaca dan menyimpulkannya memang benar dinegara
kita, banyak yang menulis namun banyak pula yang sukar untuk membaca. Seorang
pelajar atau mahasiswa saja minat untuk membacanya masih kurang jadi bagaimana
seorang dikatakan pembaca yang kritis bila minat membacanya saja masih kurang.
Bila
dilihat, pembaca yang kritis dia akan mengembangkan dia tentang bentuk isi
konteks. Dia akan lebih kritis menyikapi apa yang dia baca perkatanya,
sedangkan kita sangat sulit untuk melakukan hal tersebut sebab untuk membaca pengetahuan saja kita merasa jenuh
bahkan ketika baru melihatnya saja mungkin rasa itu sudah hadir. Itu terbukti
ketika seorang membaca mengatakan “ saya belum mencapai tingkat itu” atau
“retorikanya terlalu tinggi bagi saya” mereka mengevaluasi diri mereka seolah-olah
mereka tidak memiliki kemampuan tersebut, ataupun bagi seorang siswa kurang
berkosnentrasi ketika ia membaca.
Jika
dilihat dari itu semua sebenrnya berbeda pada ketika mereka membaca, seberapa
banyak minat mereka untuk membaca, karena bukan bagaimana ketika kita
berkonsentrasi saja bila dia hanya itu yang dia pahami. Tetapi sumber ilmu
bukan hanya pada buku itu saja, ketika kita sambil bersantai saja setidaknya
luangkan waktu untuk membaca maka sekecil apapun pasti akan ada yang ditangkap
oleh memorinya. Maka bukan hanya terletak pada konsentrasi saja disini justru
minat bacalah yang nantinya menjadikan kita sebagai pembaca yang kritis. Bukan
bagaimana juga membaca adalah sumber ilmu bukan hanya sekedar melihat,
mendengar dan menulis saja, tulisanpun ketika kita enggan untuk membacanya maka
untuk apa tulisan itu? Jadi, jangan sampai kita menjadi pembaca yang pasif, belajar
untuk mengkritisi setiap bacaan yang ada dan kita mulai belajar untuk
mengembangkan kesadaran kritis bahasa. Yaitu sensitivitas kekuasaan dan
ideologi yang mendasari penggunaan bahasa. Jadi ketika kita tidak memahami teks
yang dibaca, maka kita mampu menjawab alasan mengapa kata-kata itu sulit untuk
kita pahami artinya.
Kemudian
pada artikel yang terakhir yaitu lebih pada “Belajar dan Proses Mengajar: lebih
tentang pembaca dan penulis”. Disini menyatakan bahwa siswa menghadapi
kesulitan dalam membaca teks akademis, baik tertulis awalnya bahasa indonesia
atau diterjemahkan dalam bahasa indonesia atau disajikan dalam bahasa inggris
yang mungkin lebih sulit lagi untuk dipahami. Pada dasarnya penulis dan pembaca
itu ada pada pengetahuannya, semakin banyak ia membaca maka semakin banyak ilmu
yang dia miliki begitu pula untuk menulis semakin banyak pengetahuan dia ketika
membaca dan menulis maka semakin mudah pengetahuan yang dia akan dapatkan.
Setiap
orang mungkin berbeda dalam setiap hal, namun untuk pengetahuan bacaan dan
tulisan yang bisa dijadikan sumber bagi apa yang dia cari dan mulai membuka
jendela pengetahuan yang lebih luas dari sebelumnya. Menulis bukan hanya
dituangkan dalam bahasa pelajaran, untuk memulainya mungkin bisa melalui cerpen
atau puisi, di awali dengan bahasa yang mudah dipahami terlebih dahulu agar
nanti didepan tidak terlalu sulit untuk membaca pada tingkat yang lebih tinggi,
karena sekarang ini masih sangat diperlukan penulis dan pembaca kritis di
Indonesia. Sebab begitu banyak siswa atau mahasiswa kita masih kurang minatnya
untuk membaca jadi jangankan untuk menulis untuk mulai membaca saja masih
dirasa sukar olehnya.
Dari
ketiga artikel itu pada dasarnya membahas tentang budaya membaca dan menulis
yang dirasa memang masih sangat kurang peminatnta, ketika yang menulis saja
masih dirasa kurang untuk memadai, apalagi minat pembaca yang kurang disini.
Alhasil pada pengetahuan masih banyak yang tertinggal, mungkin harusnya kita
sudah mulai berbenah diri, mulai belajar dengan serius untuk menulis, sebisa
mungkin usahakan untuk menulis agar nantinya mampu hasilkan tulisan yang baik.
Begitu pula dalam membaca, cobalah untuk memulai jadi pembaca yang kritis bukan
hanya sekear membaca namun mengkritisi setiap apa yang ada dalam bacaan tersebut.
Seperti
yang sudah saya paparkan juga tadi, bahwa manusia mungkin berbeda-beda dalam
memahami dalam segala yang ada dan pasti mereka juga berbeda-beda dalam
menyikapinya, tapi tidak untuk pengetahuan kita semua dituntut untuk mampu
membaca dan menulis tidak hanya untuk mendengarkannya saja, jadi usakan untuk
menulis dalam setiap kesempatan waktu yang ada dan belajar untuk mulai menyukai
budan membaca, karena sebenarnya kita memiliki kemampuan yang sama dan
tergantung bagaimana kita mengolah kemampuan yang ada dalam diri kita.