Appetizer Essay: Budaya Menulis di Zona Perguruan Tinggi


Budaya Menulis di Zona Perguruan Tinggi
Author: Aulia Priangan
 
Menulis merupakan kegiatan yang sangat kompleks
          Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang kompleks. Dalam kegiatan menuangkan ide dalam bentuk tulisan, banyak aspek kebahasaan yang terlibat. Tak heran mengapa menulis menempati strata tertinggi dalam aspek berbahasa. Oleh sebab itu, karya tulis merupakan cerminan berbagai aspek keterampilan berbahasa.
Bangsa Indonesia sedang gencar-gencarnya mencanangkan program menulis bagi civitas akademika di wilayah perguruan tinggi. Hal ini tercermin dari diturunkannya surat edaran Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Nomor 152/E/T/2012 tertanggal 27 Januari 2012 kepada semua lembaga Perguruan Tinggi di Indonesia. Surat edaran tersebut berisi keputusan Dirjen Dikti yang mewajibkan seluruh mahasiswa baik di Perguruan Tinggi negeri maupun Perguruan Tinggi swasta untuk mempublikasikan karya ilmiah dalam bentuk jurnal sebagai syarat kelulusan. Hal ini dilakukan oleh Dirjen Dikti karena mayoritas sarjana lulusan Perguruan Tinggi tidak bisa menulis. Bahkan para dosennya pun tidak bisa menulis.
          Indonesia merupakan Negara yang memiliki kepadatan populasi yang cukup tinggi. CIA Word Factbook 2004 mencatat bahwa Indonesia menempati urutan keempat dengan predikat kepadatan penduduk di dunia. Logikanya, Indonesia dapat memproduksi karya ilmiah lebih banyak dibandingkan dengan Negara yang jumlah penduduknya lebih sedikit. Namun, hal itu ternyata tidak berlaku di negara kita ini. Malaysia yang jumlah penduduknya lebih sedikit dari Indonesia ternyata mampu menerbitkan karya ilmiah lebih banyak dari indonesia. Jumlah karya ilmiah Indonesia hanya sekitar sepertujuh dari jumlah karya ilmiah Malaysia.
          Rendahnya minat mahasiswa pada dunia menulis bersumber dari minimnya minat membaca. Kegiatan membaca memang berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tanpa membaca, mustahil mahasiswa dapat menulis. Jika membaca adalah proses membuka jendela dunia, melihat wawasan yang ada dan menjadikannya sebagai khazanah pribadi, maka menulis adalah proses menyajikan khazanah tersebut kepada masyarakat luas. Membaca dalam dunia tulis menulis dapat dikatakan sebagai proses mengumpulkan bahan-bahan untuk meracik dan meramu tulisan kita. Tanpa minat membaca yang tinggi sudah dapat dipastikan minat menulis mahasiswa pun rendah. Hal ini berimbas pada minimnya karya tulis yang dihasilkan oleh mahasiswa. Bahkan terkadang menyebabkan mahasiswa menjadi tidak bisa terampil menulis.
Rendahnya budaya menulis berkaiatan erat dengan rendahnya budaya membaca
          Budaya tulis mahasiswa yang rendah berhubungan dengan budaya tulis dosennya. Animo dosen di Perguruan Tinggi untuk menulis buku masih rendah. Ini dapat dibuktikan dari terbitan judul buku di Indonesia yang hanya sekitar 4.000 sampai 5.000 buku pertahun. Angka tersebut terbilang kecil jika dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia yang jumlah penduduknya lebih sedikit dari Indonesia. Malaysia pertahun dapat menerbitkan 6.000 sampai 7.000 buku. Padahal jumlah penduduk Indonesia sekitar 10 kali lipat jumlah penduduk Malaysia. Idealnya, setiap tahun Indonesia menerbitkan 10 kali lipat terbitan Malaysia, yaitu 60.000 sampai 70.000 judul buku, atau kurang lebih sejumlah dosen yang berkualifikasi magister (61.889 orang) dan doktor (12.081 orang) pada PTN dan PTS di Indonesia. Artinya, untuk mengejar Malaysia saja, setiap dosen di Indonesia setiap tahun harus menulis satu buku. Idealnya seorang dosen memang harus terbiasa menulis buku sebagai bentuk karya imliah akademik.
          Kemampuan dosen yang redah dalam dunia tulis menulis membuat mereka menggunakan jalan praktis. Para dosen yang baru pulang dari luar negeri sering merekomendasikan buku-buku impor berbahasa Inggris. Mereka menjejali para mahasiswa dengan buku-buku berbahasa Inggris. Lama kelamaan para mahasiswa akan menganggap bahwa bahasa Indonesia tidak bisa secanggih bahasa Inggris. Dengan munculnya paradigma tersebut di diri mahasiswa menyebabkan mereka menjadi ogah-ogahan mempelajari bahasa Indonesia. Padahal seharusnya para dosen yang baru pulang dari luar negeri tersebut dapat menulis. Menulis buku paduan kuliah dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Rendahnya kemampuan menulis seseorang tidak hanya bergantung pada minat bacanya, tetapi juga bergantung pada penguasaan terhadap bahasa pertamanya. Bahasa pertama memiliki peran penting dalam dunia tulis menulis. Hal ini dikarenakan ketika seseorang telah terampil menulis menggunakan bahasa pertamanya, maka menulis menggunakan bahasa kedua  bukan suatu halangan lagi baginya. Penguasaan bahasa pertama yang mumpuni menjadi fondasi yang kuat bagi penguasaan bahasa lainnya. Menulis digunakan sebagai lambang seseorang telah menguasai suatu bahasa. Hal ini dikarenakan proses menulis sendiri merupakan kegiatan yang kompleks. Ketika menulis semua spek kebahasaan kita kerahkan, seperti memilih-,ilih kata yang akan digunakan, membangun koherensi dan kohesi serta aspek-aspek lainnya.
Menulis merupakan kegiatan yang dianggap sulit oleh sebagian orang. Hal ini dapat dikatakan benar karena menulis merupakan suatu kegiatan yang sangat kompleks. Maka menulis menempati klasifikasi tertinggi dalam aspek berbahasa. Hal ini karena ketika seseorang telah terampil menulis, maka aspek-aspek yang lain telah terampil pula. Oleh sebab itu, menulis dijadikan pintu menuju kelulusan dari suatu suatu lembaga pendidikan tinggi.
Kemampuan menulis yang rendah dikalangan sarjana lulusan PT bahkan para dosennya dapat disebabkan beberapa faktor. Salah satu faktor yang paling mempunyai pengaruh besar adalah kurangnya budaya membaca. Lagi-lagi menulis berhubungan dengan kegiatan membaca. Menulis memang tidak dapat dipisahkan dari membaca karena dari situlah tulisan-tulisan baru berasal. Pembaca yang kritis dapat melahirkan tulisan yang bagus. Penulis terlahir dari pembaca yang kritis.
Budaya menulis di lingkungan perguruan tinggi perlu ditingkatkan. Menulis memang bukanlah hal yang mudah bagi sebagian orang namun bukan berati susah itu tidak bisa bukan? Selain itu untuk mengembangkan budaya menulis diperlukan pula minat membaca yang mumpuni. Menghasilkan tulisan yang bermutu itu memerlukan waktu dan usaha tanpa putus asa. Kegiatan menulis tidak bergantung dari bakat. Menulis murni berasal dari usaha kita siang malam dalam menekuninya. Dalam dunia tulis menulis, bakat hanya berperan 1% saja. Oleh karenanya semua orang pasti dapat menulis dengan trampil. Tentunya terampil tidak datang dengan sendirinya. Untuk dapat terampil menulis dan menghasilkan karya tulis yang bagus diperlukan latihan terus menerus.
Menulislah karena kita ada
Semua orang yang memiliki minat untuk menulis yang tinggi pasti dapat menulis. Terlebih lagi jika mahasiswa dan dosen yang notabenenya bependidikan tinggi. Seharusnya budaya tulis dapat berkembang di wilayah perguruan tinggi. Oleh sebab itu, mulai dari sekarang marilah kita membudayakan menulis. Dengan menulis kita buktikan bahwa kita ada. Menulislah karena kita ada. Menulis merupakan ciri mahasiswa yang produktif.
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment