Paksakan Membaca dan Menulis Menjadi Budaya (Appetizer-1)
(Karya: Fitri
Maulidah)
Kementrian pendidikan Indonesia harusnya
mendukung gagasan yang diusulkan oleh Direktur Jendral Pendidikan tinggi yang
diberikan pada tanggal 27 Januari 2012 itu. melihat begitu jauh perbedaan
perkemnbangan bangsa kita Indonesia ini dengan Negara lain dalam masalah
pendidikan, mentri Pendidikan Indonesia harusnya panas melihat situasi ini jika
mereka ingin indonesia unggul dalam pendidikan. Apalagi yang harus dipertimbangkan,
saat ini kita tahu jumlah karya ilmiyah yang dihasilkan perguruan tinggi kita
masih sangat tertinggal jauh dari Negara tetangga, Malaysia.
M. Nuh, mentri pendidikan mnenyatakan “ Surat
edaran dikti tidak ada kekuatan hukum. Tapi kita berusaha mendorong ke arah
sana”. Senin 27 Januari 2012, kicauan M. Nuh pada para wartawan di tengah
Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK).
Menurut saya, pernyataan seperti itu secara
tidak langsung telah meremehkan kemampuan Bangsa. Seperti halnya kita kalah sebelum
perang. Bagaimana pendidikan di Negara kita ini bisa maju, mentrinya saja hanya
mendorong bukan memaksakan. Dalam article yang ditulis oleh A. Chaidar
Alwasilah di Pikiran Rakyat, 28 februari 2012 ditulis bahwa selama ini
perguruan tinggi di Indonesia mewajibkan mahasiswa menulis skripsi, tesis, dan
disertasi untuk mengasah keterampilan menulis, meneliti, dan melaporkannya
secara akademik. Bisa dikatakan bahwa mahasiswa belajar menjadi seorang
profesional yang akan memperoleh pekerjaan.
Dibandingkan dengan semua perkuliahan di AS,
yang memaksa mahasiswa banyak menulis essay seperti laporan, observasi,
ringkasan bab, review buku dan masih banyak lagi. Namun tugas tersebut tidak
jarang dikembalikan lagi oleh dosen dengan komentar kritis, jadi mahasiwa tersebut
mengulang dan memperbaiki, hal tersebut membuat nalar dan argumen mahasiswa
benar-benar terasah. Jadi, tidak ada yang namanya keharusan menulis tesis,
skripsi, apalagi article jurnal.
Indonesia harusnya bisa melihat peluang yang
diusulkan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi, tidak hanya cenderung memenuhi
kebutuhan pasar saja. Mampu menghasilkan karya sastra bisa meningkatkan
kualitas berfikir bangsa, apalagi jika penulis buku-buku atau article jurnal
pendidikan itu berasal dari bangsa kita sendiri. Pastinya akan lebih tepat
dalam memahami karakter orang Indonesia, dan dapat mengenai sasaran yang
diharapkan penulis itu sendiri.
Sebelum menulis, orang-orang indonesia telah
digembar-gembor untuk membaca, khususnya para siswa. Tidak sedikit para siswa
membaca hanya sekilas, tanpa memahami apa yang mereka baca. Apa yang salah dari
bangsa Indonesia? Data mengenai buruknya kemampuan membaca anak-anak indonesia
sangat berdampak pada kurangnya pemahaman mereka dalam memahami berbagai bidang
ilmu pengetahuan dan matematika. Seperti data hasil tes yang dilakukan oleh
Trends in International Mathematies and Science Study (TIMSS) pada tahun 2003
di 50 Negara di Dunia terhadap para siswa kelas II SLTP, siswa-siswa Indonesia
hanya mampu meraih peringkat ke-34 dalam bidang matematika dengan nilai 411 di
bawah rata-rata internasional 467.
Sedangkan untuk hasil tes bidang ilmu
pengetahuan hanya mampumenduduki peringkat ke-36 dengan nilai 420 yang juga
dibawah rata-rata internasional 474. Namun,
jika kita lihat perbandingan dengan anak-anak malaysia yang berhasil
menduduki peringkat ke-10 di bidang matematika, membuktikan betapa jelas
kecerdasan anak-anak bangs akita sangat jauh tertinggal dibawah negara-negara
berkembang yang lain.
Beberapa faktor yang bisa dilihat sebagai sebab
tejadinya kemampuan membaca anak yang rendah adalah sarana dan prasarana
pendidikan, yaitu perpustakaan dan buku-bukunya yang belum mendapat prioritas
khusus dalam penyelenggaraannya. Mengapa saya mengatakan demikian, karena
kegiatan membaca dibutuhkan adanya buku-buku yang bermutu dan terus
diperbaharui dalam menunjang proses pembelajaran.
Selain faktor yang bisa dilihat seperti sarana
dan prasarana tersebut, ada juga faktor yang tidak dapat dilihat namun melekat
pada diri anak-anak bangsa kita. Seperti survey yang dilakukan A. Chaidar pada
para siswanya yang ditulis dalam articlenya. Hampir 95 persen sisiwa
menyalahkan dirinya sendiri. Mereka berdalih bahwa mereka tidak memiliki latar
belakang yang bagus untuk membaca. Tingginya bahasa yang ditulis oleh sang
penulis juga tak luput menjadi alasannya. Teori yang ditulis terlalu rumit, dan
ada juga yang beralasan mereka tidak bisa konsentrasi ketika membaca.
Padahal untuk menjadi bangsa yang lebih maju,
atau pribadi yang lebih baik, seharusnya kita dapat berfikir kritis dalam
melihat suatu teks (bacaan). Nukan malah memberi jarak antara bacaan yanf kita
baca, dan mengasihani diri snediri dengan alasan-alasan yang menjerumuskan.
Bahasa yang digunakan adalam wacana yang ditulis, juga mempengaruhi pemahaman bacaan.
Jadi penulis akademik harus benar-benar mengetahui content dan context dalam
penulisannaya ditunjukan untuk keperluan yang seperti apa.
Hal tersebut dapat menghasilkan pembaca yang
kritis dalam menanggapi sebuah konteks bacaan. Seorang pembaca yang kritis
dalam menanggapi sebuah teks yang dibacanya, tidak akan memberi peluang untuk
alasan apapun yang dapat menghambat perkembangannya sendiri dalam memahami dan
meningkatkan kemampuan membaca serta menulis.