APPETIZER: GOOD READER IS GOOD WRITER



                                                                                                        APPETIZER ESSAY 1
                                                                                                                                           BY: EVI ALFIAH
GOOD READER IS GOOD WRITER
Literasi adalah kecakapan hidup yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.  Literasi mencakup kemampuan reseptif dan productif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan.  Sejak zaman dahulu para Filsuf Yunani Kuno sekitar abad ketiga-kelima SM, sudah bermunculan karya-karya tulis. Mereka meninggalkan pemikiran-pemikiran hebat secara tertulis.  Itu berarti literasi sudah ada sejak zaman dahulu.
Demikian juga dengan halnya membaca. Sekitar tahun 610 M,  Malaikat Jibril turun dari langit menemui Rasulullah yang sedang merenung di Gua Hiro.  Malaikat Jibrilpun menginstruksikan Nabi Muhammad SAW agar bacalah! Bacalah! Bacalah! Apa yang mesti dibaca? Tentunya bukanlah tulisan melainkan kondisi alam.  Bahwasannya alam dan segala fenomenanya juga merupakan karya tulis yang perlu dibaca.
Berbicara mengenai literasi, ada yang kurang di Negara Indonesia ini.  Seperti yang tertera di wacana 6.2 yang berjudul (Bukan) Bangsa Penulis.  Bahwasannya mayoritas sarjana lulusan perguruan tinggi kita tidak bisa menulis.  Bahkan para dosennyapun mayoritas tidak bisa menulis.  Jumlah karya ilmiah dari perguruan tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia.  Harusnya ini menjadi cambuk untuk bangkit dari ketertinggalan itu, tapi Indonesia harus extra hard mengejar ketertinggalannya karena Indonesia sangat jauh tertinggal apa lagi jika dibandingkan dengan Negara-negara maju lainnya.  Harus berlari cepat untuk mengejarnya. 
Benar saja di sebuah wacana yang say abaca pada sebuah blog yang dipost-kan oleh Totok Amin Soefiyanto, Ed.D yang berjudul Mencetak Macan Kertas.  Indonesia harusnya bisa mencetak macan kertas, yang artinya Indonesia memiliki penulis-penulis hebat serta sarjana-sarjana yang bisa menulis dengan munculnya surat Dirjen Pendidikan Tinggi Nomor 152/E/T/2012 tentang Publikasi Karya Ilmiah yang tertanggal 27 Januari 2012.
Secara berjenjang,  lulusan S-1 harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah.  S-2 membuat makalah untuk jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi Dikti.  Lulusan S-3 menulis makalah  yang terbit di jurnal internasional.  Permasalahannya yang terjadi di Negara kita ini adalah gagapnya menulis dan mnimnya membaca,  untuk itu tidak mudah atau bahkan sedikit minat pelajar negeri ini untuk menempuh jenjang pendidikan tinggi.  Banyaknya pelajar yang putus sekolah. Banyak juga pelajar yang berpendidikan tinggi hingga sarjana tetapi masih gagap dalam menulis.  Factor-faktor yang menyebabkan hal ini terjadi sudah cenderung lumrah.  Diantaranya adalah factor kurangnya membaca.  Hal itu adalah salah satu factor mengapa sarjana kita gagap dalam menulis.
Selain itu, banyaknya pengaruh dari factor lingkungan sarjana kita menjadi gagap menulis.  Selain minimnya membaca, juga tersediannya cara-cara dan alat untuk menyelamatkan kesarjanaannya.  Maksudnya banyak sarjana menulis bukan hasil karya sebenarnya, adanya manipulasi dan kecurangan demi mengelabuhi wajib menulis ini seperti copy paste atau hasil karya orang lain.  Ketika sudah seperti ini, jelas saja sarjan-sarjana kita gagap menulis yang pada kenyataannya mereka tidak siap bersaing dengan sarjana-sarjana produksi negara asing.  Hal itu membuat literasi di Negara Indonesia masih rendah entah dari segi baca maupun tulis. 
Seperti yang diungkapkan pada wacana 6.3 yang berjudul Powerful Writers versus The Helpless Readers.  Hampir 95 % dari mahasiswa Pak Chaedar adalah Blemed Themselves.  Mereka mengatakan tidak memiliki background membaca yang tepat, keahlian penulis sangat tinggi, angka tersebut masih di luar kapasitas mereka sebagai pelajar baru, retorika itu terlalu rumit atau mereka tidak bisa berkonsentrasi ketika membaca.  Hal itu menurut saya mungkin alas an untuk kesekian kalinya, karena pada dasarnya masyarakat kita ini belum bisa move on dari kebudayaan yang terus berkembang biak yaitu ‘ngobrol’.  Warga Indonesia lebih suka berbicara daripada menulis dan membaca. Dengan demikian, waktu terus berjalan tapi tidak banyak pengetahuan baur yang bisa diserap.  Masyarakat yang kuat dalam tradisi membaca akan kuat pula dalam tradisi menulis.  Bisa dibayangkan jika para pelajar, mahasiswa kita jika memiliki tradisi membaca yang kuat, maka kemungkinana negara kita akan dapat bersaing dengan negara maju lainnya.
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ketiga wacana dari (Bukan) Bangsa Penulis, Powerful Writers versus The Helpless Readers. Dan Learning and Teaching Process : More about Reades and Writers berisi tentang kritik tentang minat baca-tulis masyarakat di negara kita yang masih cukup rendah.  Untuk merespon hal tersebut, pendapat saya adalah pertama, tiap-tiap pelajar harus ditanami minat-minat baca-tulis sejak dini.  Kedua, lebih ketatnya jenjang tulisan bagi para sarjana agar mendidik sarjana berikutnya yang kritis dan berfikir ilmiah.  Ketiga, dibukanya taman baca di tiap daerahnya agar dapat menyentuh ke semua penjuru dan kalangan.  Ketika budaya baca di negara kita baik, maka budaya tulispun mengikuti baik pula dan negara kita dapat memproduksi orang-orang yang kritis dalam membaca dan menulis.  Negara kita otomatis akan menjadi negara yang memiliki literasi tinggi.

Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment