1st
Appetizer Essay
“Hubungan Misterius” Antara Membaca
& Menulis
By: Friska Maulani Dewi
Menulis sangatlah
penting untuk dilakukan setiap orang.
Dengan menulis seseorang bisa melakukan komunikasi dengan orang lain
melalui media yang berupa bahasa tulis.
Bahkan Ahmadi (1990) mendefinisikan “Menulis merupakan suatu perbuatan
atau kegiatan komunikatif antara si penulis dan si pembaca.” (Lia, 2007). Menulis sendiri dibagi menjadi beberapa
jenis, seperti menulis surat, menulis karangan ataupun menulis karya ilmiah.
Idealnya jika setiap
orang sudah terbiasa dengan melakukan komunikasi melalui bahasa tulis
(menulis), maka mereka pasti sudah ahli dalam dunia tulis-menulis. Namun, fakta yang ada di lapangan sangatlah
mengejutkan sekaligus juga mengecewakan. Ternyata, masih banyak orang Indonesia yang
tidak bisa menulis. Yang lebih
mencengangkan lagi, banyak diantaranya merupakan mahasiswa, sarjana lulusan PT
atau bahkan para dosennya pun mayoritas masih tidak bisa menulis. (A.Chaedar
Alwasilah, Pikiran Rakyat, 28
Februari 2012). Hal ini sungguh
memprihatinkan bagi bangsa Indonesia.
Lalu, apa sih penyebab di balik “penyakit” ini?
Pada dasarnya,
mahasiswa dituntut untuk bisa menulis.
Namun, tentunya bukan hanya sembarang menulis saja. Mereka harus mampu mengajukan sudut pandang
baru dalam bentuk kesimpulan, rumus ataupun teori untuk memperkaya dunia
pengetahuan. Dengan menulis skripsi
mahasiswa belajar menulis akademik, dengan menulis tesis mahasiswa belajar
meneliti, dan dengan disertasi mahasiswa membangun teori ataupun rumus baru.
(A.Chaedar Alwasilah, Pikiran Rakyat,
28 Februari 2012)
Namun sayangnya,
kurangnya minat para mahasiswa untuk membaca menjadi tembok besar dan kokoh
yang menghalangi “impian-impian mahasiswa” tersebut. Loh, mengapa kita jadi membahas tentang minat
membaca? Bukankah kita tadi sedang
membahas tentang rendahnya kualitas menulis yang terjadi pada kalangan
mahasiswa? Jawabannya tentu saja karena
kedua kegiatan tersebut, baik membaca maupun menulis ternyata memiliki
“hubungan misterius yang spesial” yang saling mempengaruhi dan bahkan saling
berkaitan erat satu sama lainnya.
Membaca merupakan
referensi untuk menulis. Dengan membaca
kita dapat mengumpulkan informasi-informasi baru yang dibutuhkan dalam
menulis. Dengan menulis kita dapat
menguraikan informasi-informasi baru tersebut dalam media bahasa tulis. Seluas apakah pengetahuan yang dimiliki oleh
seseorang akan menentukan sejauh mana kekuatan orang tersebut dalam menulis. Pengetahuan tersebut dapat kita peroleh
apabila kita rajin membaca. Jadi,
bagaimana bisa seseorang menulis jika dia tidak suka membaca? Akan sangat mustahil apabila seseorang bisa
menulis kalau yang bersangkutan tidak suka membaca.
Kurangnya minat membaca
ternyata banyak penyebabnya. Seringkali
banyak macam alasan yang dikemukakan oleh orang-orang yang kurang minat dalam
membaca. Pembaca sering mengatakan,
“Saya tidak miliki latar belakang pengetahuan yang sepadan dengan si
penulis”. Mereka yang mengatakan
demikian berpendapat bahwa keahlian sang penulis sangatlah tinggi dan melebihi
kapasitas mereka sebagai “orang baru dalam dunia baca-tulis”. Atau ada juga beberapa yang mengatakan, “Saya
belum mencapai level si penulis itu. Levelnya terlalu tinggi untuk saya”. Jika anda termasuk orang yang sering mengucapkan
kalimat tersebut, berarti anda telah menjatuhkan level diri anda sendiri. Apa anda mau seperti itu?
Namun, dari beberapa alasan
yang sering terdengar untuk menjawab pertanyaan “Mengapa anda tidak/kurang
berminat terhadap membaca?”, ada satu jawaban yang seringkali kita dengar dari
si pembaca, yaitu: “Saya tidak bisa berkonsentrasi dan fokus ketika membaca,
jadi saya merasa malas untuk membaca”. Sungguh
ironis mendengar jawaban seperti ini.
Setiap orang memang memiliki gaya membacanya masing-masing. Jadi, jika anda termasuk kategori orang yang
cerdas, anda pasti bisa tahu bagaiamana cara membaca yang tepat dan membuat
anda nyaman sehingga anda bisa berkonsentrasi dengan baik terhadap bacaan yang
sedang anda baca.
Alasan-alasan yang
dikemukakan tadi terdengar sangat menyedihkan dan juga terkesan sangat
mengada-ada. Setiap orang (khususnya
para mahasiswa) seharusnya bisa menjadi seorang pembaca yang kritis. Pembaca yang kritis percaya bahwa terdapat
hubungan tertentu antara si penulis dan juga si pembaca yang akan membentuk
suatu arti dari sebuah bacaan itu sendiri.
Jika sewaktu-waktu ada pertanyaan “Ketika kamu sudah membaca suatu
bacaan namun tetap tidak bisa mengerti tentang apa yang kamu baca, lalu apakah penyebabnya?” Seorang pembaca kritis akan langsung menjawab
dengan lantang “Itu karena si penulis tidak cukup berkompeten untuk
menyampaikan ide-ide yang ada di dalam bacaan tersebut”. Seorang pembaca yang kritis pasti akan bisa
menangkap ide-ide yang disampaikan oleh si penulis seberapapun tingginya level
si penulis tersebut. Namun, tentunya
seorang pembaca kritis tidak akan langsung menerima segala sesuatu yang dia
baca begitu saja. Dia pasti akan
menganalisanya terlebih dahulu sebelum nanti akan memutuskan apakah yang
ditulis oleh si penulis itu benar dan sesuai dengan fakta yang ada atau malah
ternyata salah dan hanya mengada-ada saja.
Sekarang pertanyaannya adalah ‘Bagaimana sih cara agar bisa menjadi
seorang pembaca yang kritis?” jawabannya
simple “Tingkatkan dulu minat anda untuk membaca!”
Seorang pembaca kritis
akan menangkap dan melahap semua ide-ide yang disampaikan oleh si penulis. Apapun tema bacaannya tidak akan menjadi
masalah bagi seorang pembaca kritis. Jika
mahasiswa Indonesia seperti ini, niscaya mereka pasti tidak akan merasa
kesulitan ketika dituntut untuk menulis dengan tema apapun. Namun, kenyataannya tidak demikian. Rata-rata
mahasiswa Indonesia hanya akan sukarela membaca apa yang menurut mereka menarik
dan berkaitan erat dengan latar belakang kehidupan mereka. Hal inilah yang bisa jadi penyebab
terbatasnya ide-ide mereka ketika menulis.
Mereka hanya puas berada pada “zona aman” mereka saja. Seharusnya mereka lebih berani lagi untuk
keluar dari “zona aman” mereka dengan menggali informasi-informasi baru
meskipun informasi tersebut tidak ada kaitannya dengan latar belakang kehidupan
mereka. Dengan begitu, mereka tidak akan
menemukan rintangan yang berarti ketika mereka dituntut untuk menulis sekalipun
dengan tema yang berbeda-beda.
“Kemampuan dan minat menulis kita masih kurang berkembang jika
dibandingkan dengan kemampuan dan minat membaca. Padahal jika kita perhatikan
kemampuan dan minat membaca kita sendiri masih terbilang cukup rendah.
Bayangkan saja bagaimana rendahnya kemampuan dan minat menulisnya.” (Abdul,
2011) Rendahnya kemampuan dan minat
untuk menulis ini sungguh sangatlah memprihatinkan. Lalu, apakah penyebab terjadinya “fenomena”
menyedihkan seperti ini?
Usut punya usut
ternyata ada begitu banyak penyebab “fenomena” menyedihkan ini. Jika kita ambil contoh seperti yang terjadi
pada kalangan mahasiswa saja, terdapat banyak penyebabnya. Salah satu penyebab yang paling menonjol dan
sering dijadikan alasan oleh mereka adalah “rendahnya motivasi dari dalam diri
mereka sendiri”. Mayoritas para
mahasiswa merasa enggan untuk menulis karena mereka telah mensugesti diri
mereka sendiri bahwa mereka tidak dapat menulis dan tidak akan bisa
menulis. Perasaan seperti inilah yang
seharusnya segera disingkirkan dari pikiran seorang mahasiswa sejati. Karena pada dasarnya jika kita sudah memiliki
niatan dari dalam diri kita sendiri untuk terus bergerak maju dan terus-menerus
mencoba untuk membuat perubahan-perubahan yang signifikan, maka tidak akan ada
lagi kata-kata “tidak bisa” di dalam kamus hidup kita.
Ada juga yang
mengatakan bahwa “fenomena” menyedihkan ini bisa terjadi akibat rendahnya
kunjungan ke perpustakaan. Seperti yang
kita sudah bahas diatas tadi, membaca merupakan referensi dan kunci untuk
menulis. Jika kita melihat suatu
perpustakaan yang sepi akan pengunjung, tentu akan langsung terbesit di benak
kita bahwa minat orang-orang untuk membaca sangatlah kurang.
Memang membaca itu bisa
dilakukan dimana saja, tidak harus di perpustakaan saja. Jika kita lihat orang-orang di negara-negara
maju di dunia ini, mereka sering sekali terlihat sedang membaca di
tempat-tempat umum, seperti stasiun, terminal dan di dalam kendaraan umum. Mereka menggunakan waktu luang yang mereka
miliki untuk membaca. Mereka sering
terlihat membawa buku saku hingga buku besar nan tebal untuk dibaca di tempat
umum tersebut. Hal ini menunjukkan betapa tingginya jiwa literasi yang mereka
miliki. Namun, berbeda dengan yang biasa
kita lihat di tempat-tempat umum di negeri ini.
Masyarakat Indonesia jarang yang menghabiskan waktu luang dengan
membaca. Mayoritas dari mereka lebih
suka menggunakan waktu luang yang mereka miliki untuk mengobrol, bermain HP
atau bahkan tidur. Inilah cerminan jelas
dari rendahnya budaya literasi yang terjadi di negara ini.
Dari beberapa
penjabaran diatas tadi, bisa kita lihat bahwa terdapat “hubungan misterius”
yang terjalin antara membaca dan menulis.
Keduanya ternyata sangatlah berkaitan dengan erat. Kita tidak akan bisa menulis jika kita tidak
membaca dan begitu pula sebaiknya. Maka
dari itu, budayakanlah jiwa membaca dan menulis bagi setiap generasi penerus
bangsa ini, khususnya para mahasiswa.
Seperti yang dikatakan oleh Stephen King “Membaca adalah pusat yang tidak bisa dihindari oleh seorang penulis.” Adapun seorang sastrawan K.H.Zainal Arifin
Thoha (Alm) mengungkapkan, “Dengan
menulis aku ada, dengan menulis aku hidup, dan dengan menulis aku dibaca…”