appetizer: Rendahnya Literasi dan Pola Pikir Masyarakat Indonesia



Rendahnya Literasi dan Pola Pikir
Masyarakat Indonesia (appetizer-1)
                                                                                    
                                                                                       Oleh Fatimah  
            Literasi adalah hal yang harus kita terapkan pada masyarakat Indonedia agar menjadi negara yang kuat dan sejajar dengan negara-negara lain di dunia. Namun seperti yang kita ketahui bahwa tingkat literasi di Negara Indoneia masih sangat rendah.
            Pada ajang PIRLS (progress in International Reading Literacy Study) yang merupakan studi internasional tentang literasi membaca untuk siswa Sekolah Dasar (SD) yang dilakukan 5 tahun sekali. Tahun 2011, ajang ini diikuti oleh 45 negara. Hasilnya adalah negara Indonesia menempati peringkat ke 41 dari 45 negara dalam literasi membaca. Hal itu sebagai bukti bahwa pada jenjang sekolah dasar saja kita sudah tertinggal jauh dengan negara lainnya di dunia.
            Ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya literasi di indonesia yang berdampak pada pola pikir masyarakatnya. Hal yang sangat berpengaruh pada literasi adalah pendidikan, karena jika pendidikan di suatu negara baik, maka tingkat literasi pada negara tersebut juga baik, begitupun sebaliknya. Oleh karena itu sistem pendidikan di negara Indonesia masih banyak yang perlu dibenahi.
            Tengok saja kurikulunm pendidikan di negara indonesia. Di Indoesia kurilkulum sering sekli diganta-ganti, seperti trial and error. Mulai dari di berlakukannya sisem KBK(Kurikulum Berstandar Kompetensi) tahun 2004 oleh kemendikbud yang hanya bertahan selama 2 tahun tanpa memperlihatkan mutu pendidikan yang lebih baik dari sebelumnya. Kemudian kurikulum KBK diganti dengan sistem KTSP(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) tahun 2006 dan kurikulum ini pada tahun 2013 telah diganti lagi dengan kurikulum 2013(kurtilas) yang resmi diresmikan pada tanggal 15 juli pada tahun lalu. Kenyataannya kurikulum KTSP saja belum diterapkan secara maksimal namun sudah langsung diganti dengan kurikulum 2013 yang hanya butuh waktu 6 bulan saja untuk menyiapkannya, tergolong sangat singkat.
            Pada kurikulum 2013 tidak di tekankan untuk bisa membaca pada jenjang TK, sehingga masih banyak siswa yang tidak bisa membaca pada awal masuk sekolah dasar. Padahal justru disinilah awal pembentukan karakter mereka apakah mereka akan menjadi masyarakat yang mempunyai budaya literasi yang tinggi atau hanya sekedar menjadi pelengkap pendidikan di masa yang akan datang.
            Mari kita tengok negara yang mempunyai sistem pendidikan yang sangat baik di dunia yaitu Firlandia. Negara dengan jumlah penduduk yang hanya sekitar 5 juta jiwa. Bandingankan dengan Indonesia yang jumlah penduduknya lebih dari 200 juta jiwa.
            Wajar saja jika Firlandia mendapat predikat negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Negara tersebut sangat menekankan masyarakatnya untuk mengikuti PAUD(Pendidikan Anak Usia Dini). Bahkan budaya membaca sudah ditekankan sejak dini. PAUD adalah kunci dasar untuk membangun karakteristik manusia yang sesungguhnya. Pada jenjang dasar ini diharapkan nantinya akan menciptakan manusia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal didalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan pada masa dewasa. Apalagi anak usia PAUD adalah anak-anak pada masa keemasan, karena 90% pertumbuhan otak terjadi pada usia balita dan 85% brain path sebelum anak masuk sekolah dasar. Berbeda dengan negara indonesia yang belum mewajibkan masyarakatnya untuk mengikuti pendidikan sedini mungkin, yaitu seperti pada jenjang PAUD.
            Tidak hanya dari faktor siswa namun yang lebih berpengaruh terhadap budaya literasi adalah para cendekiawan, para tenaga pengajar di tingkat dasar, menengah, atas hingga perguruan tinggi. Tenaga pengajar pada perguruan tinggi atau orang-orang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikannya hingga S1,S2 atau S3 masih sangat sedikit yang memproduksi tulisan untuk di baca. Negara Indonesia hanya dapat memproduksi 8 ribu judul pertahun. Itu adalah masalah literasi tulis yang masih sangat rendah.
            Disisi lain minat baca di indonesia masih sangat rendah pula. A. Chaedar Alwasilah memberikan pertanyaan dalam surveinya kepada mahasiswa pascasarjana di bandung dengan sampel 40 mahasiswa jurusan Matematika dan 60 mahasiswa jurusan Bahasa. Pertanyaan yang di ajukan beliau dalam surveinya adalah ‘jika anda tidak memehami teks yang anda baca, apa alasannya?’ jawaban dari mahasiswa pascasarjana tersebut bermacam-macam. Mereka beralasan bahwa mereka tidak memiliki background membaca yang tepat, keahlian penulis terlalu tinggi, angka tersebut masih di luar kapasitas mereka sebagai pelajar baru, retorika itu terlalu rumit atau mereka tidak dapat berkonsentrasi sehingga mereka tidak memahami teks yang mereka baca.
            Kebanyakan masyarakat di Indonesia enggan membaca bacaan yan tidak disukai oleh mereka. Sehingga ribuan buku karya ilmiah terbit percuma saja jika pembacanya masih jauh dari harapan. Mayarakat belum mampu menjadikan kegiatan membaca-menulis sebagai suatu kewajiban terhahad warga negara yang ingin negaranya sejajar dengan dengan negara lain. Dalam hal ini kebiasaan baik pada masyarakat perlu ditanamkan sedini mungkin seperti yang telah di lakukan negara Firlandia. Untuk apa pejabat giat melakukan studi banding di berbagai bidang dan menghabiskan uang rakyat yang tidak sedikit namun belum ada apa-apa yang dapat diterapkan atau belum ada kemajuan yang berati.
            Bila di bandingkan dengan Negara tetangga, yaitu Malaysia dan singapura negara Indoesia tertinggal sangat jauh. Negara Malaysia mampu menerbitkan buku sekitar 80 ribu judul buku per tahun. Itu membuktikan bahwa negara Malaysia mempunyai kebudayaan literasi yang cukup tinggi tidak heran jika taraf hidup masyarakatnya di atas Indonesia. Negara Singapura juga mempunyai budaya literasi yang tinggi. Negara ini sangat memperhatikan kesejahteraan guru dengan memberi gaji sekitar 45 juta perbulan. Hal itu membuat kinerja para pendidik tidak asal-asalan, karena guru adalah orang yang memberikan kesan kepada anak didiknya mengenai literasi.
            Oleh karena itu, menulis dan membaca harus di galangkan sedini mungkin agar masyarakat indonesia adalah masyarakat yang mempunyai litersai yang tinggi dan pola pikir yang baik. Perlu adanya pembenahan pada sistem pendidikan di Indonesia yag masih belum tergolong baik jika di bandingan dengan negara lain.
   


Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment