(Bukan)
Bangsa Penulis
(By: Hanifatus Sholihah)
Surat Direktur Jenderal Pendidikan
Tinggi Nomor 1 52/E/T/2012, tertanggal 27 Januari 2012 kepada para rektor,
ketua, direktur perguruan tinggi negeri dan swasta di seluruh Indonesia tentang
karya ilmiah telah memicu pro dan kontra di lingkungan kampus sejalan dengan
sudut pandang dan peran masing-masing. Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta
(Aptisi) terang-terangan memboikot aturan tersebut.
Menurut saya, faktor yang memicu pro
dan kontra terhadap karya ilmiah adalah karena kita (orang Indonesia) bukanlah
bangsa yang gemar menulis, tetapi kita lebih senang mencari informasi (melalui
televisi atau sejenisnya) ataupn mendengar informasi dari orang lain, tidak
kreatif mencari tahu informasi sendiri.
Dirjen Pendidikan Tinggi adalah
orang pertama yang paling bertanggung jawab terhadap publikasi ilmiah di
kalangan perguruan tinggi. Beliau merasa jengkel karena mayoritas sarjana
lulusan Perguruan Tinggi kita tidak bisa menulis, bahkan para dosennya pun
mayoritas tidak bisa menulis.
Pada kenyataannya saat ini jumlah karya
ilmiah dari Perguruan Tinggi di Indonesia kalah banyak dengan Malaysia yang
hanya sekitar sepertujuh. Penduduk Malaysia yang berjumlah sekitar 25juta
orang, hampir sepersepuluh populasi Indonesia.
Contohnya,
Indonesia mampu menerbitkan buku delapan ribu judul/tahun untuk mengimbangi
Malaysia harus menerbitkan buku 10 kali lipat yaitu 80 ribu judul/tahun.
Kemampuan menulis artikel jurnal –
seperti dihimbau oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi – adalah literasi
tingkat tinggi, yakni kemampuan mereproduksi ilmu pengetahuan. Contohnya, para
sarjana setelah membaca berbagai informasi dan melakukan penelitian harus mampu
mengajukan sudut pandang pembaharuan untuk menarik suatu kesimpulan, rumus atau
teori untuk memperkaya khazanah pengetahuan.
Seberapa canggih temuan seseorang
dilihat dari tingkatan akademiknya S-1, S-2 dan S-3. Selama ini untuk
kelulusannya, mahasiswa harus menulis skripsi, tesis maupun disertasi dengan
kekhasan bidang studi masing-masing. Jadi tradisi penelitian dan pelaporan ilmu
alamiah tidak boleh dipaksaterapkan pada ilmu humaniora. Pemaksaan demikian
adalah arogansi akademik dan pelecehan terhadap epistemologi keilmuan.
Jadi apa bedanya antara skripsi,
tesis dan disertasi? Semuanya termasuk genre tulisan akademik (Academic
Writing). Jika diambil suatu kesimpulan maka dengan menulis skripsi
mahasiswa belajar menulis akademik, dengan tesis mahasiswa belajar meneliti,
dan dengan disertasi mahasiswa membangun teori atau rumus baru. Semuanya
melaporkan hasil telaahan, pengamatan atau eksperimen.
Mengapa
Artikel Jurnal?
Dalam literartur keilmuan, jurnal
tidak identik dengan skripsi, tesis dan disertasi. Artikel jurnal adalah
artikel yang dimuat dalam sebuah jurnal, bisa berbentuk hasil penelitian,
pengamatan atau kajian pustaka. Sifatnya itu ilmiah, didukung oleh bukti-bukti
data atau referensi lainnya. Jurnal dikelola oleh tim yang ahli dalam bidang
keilmuan tertentu dan setiap naskah dibaca oleh blind reviewer, yaitu
mitra bestari yang tidak mengetahui identitas penulis naskah, karena sengaja
disembunyikan oleh pengelola.
Panjang skripsi ilmu sosial bisa
sampai 100 halaman, tesis 200 halaman dan disertasi 400 halaman, sedangkan
artikel jurnal hanya 15-20 halaman. Tidak mudah bagi seorang penulis merubah
skripsi, tesis dan disertasi kedalam artikel jurnal karena naskah saja harus
diseleksi dengan ketat.
Diperkirakan setiap tahun ada 800
ribu mahasiswa yang di wisuda jadi sarjana di 3.150 kampus swasta. Sementara
itu, rata-rata satu jurnal memuat tujuh sampai sepuluh artikel. Lalu, berapa
banyak jurnal yang diperlukan dan siapakah pengelolanya? Bila ini dipaksakan,
dipastikan akan terjadi fenomena “asal terbit jurnal-jurnalan”.
Penelitian Krashen (1984) di
perguruan tinggi Amerika Serikat menunjukkan bahwa para penulis produktif
dewasa adalah yang sewaktu SMA-nya banyak membaca karya sastra, berlangganan
koran atau majalah dan di rumahnya ada perpustakaan. Untuk menyiapkan ilmuwan
dan peneliti yang produktif menulis, para siswa harus ‘dipaksa’ jatuh cinta
pada karya sastra.
Mewajibkan kelulusan S1 dan S2
menulis artikel jurnal rasanya tidak tepat. Mengapa? Karena sesungguhnya yang
terjadi akan menumpuknya mahasiswa di akhir program yang menuntut masalah biaya
hidup, SPP dan biaya-biaya hidup lainnya. Menjadi sesuatu yang realistis jika mewajibkan
para dosen setiap tahun menulis artikel jurnal atau buku teks. Jadi, yang tidak
membiasakan menulis atau tidak menjadikan menulis sebagai suatu kebutuhan
sebaiknya jangan pernah bermimpi jadi seorang dosen! (A.Chaedar Alwasilah, Pikiran
Rakyat, 28 Februari 2012)
Artikel
2 : Powerful Writers versus
Helpless Readers
Suatu waktu Bapak Chaedar
mengumpulkan pertanyaan meliputi 40 anak matematika dan 60 anak bahasa lulusan
sekolah Bandung, yaitu : If you do not understand the text you are reading,
what is the reason?
Mungkin kalian akan melakukan survei langsung kembali, dan senang
sekali jika kalian akan menemukan hal yang sama. Hampir 95 persen siswa
menyalahi dirinya sendiri. Mereka berkata, saya tidak mempunyai background
membaca, keahlian para penulis sangat tinggi, maka bacaan menjadi melebihi
kapasitas mereka sebagai seseorang yang baru belajar, itu terlalu complicated
atau juga mereka tidak dapat berkonsentrasi saat membaca.
Respon-respon tersebut mengindikasi banyak hal, dengan garis
dibawah menjadi sikap fatal yang terbentuk dari seorang powerful writer. Pembaca
menjadi malas karena hanya menjadi spoon-fed dengan kekuatan penulisnya.
Mereka ini adalah seorang pembaca pasif.
Saya akan melakukan sebuah hipotesis tentang pendidikan bahasa kita
yang gagal untuk mengembangkan critical readers. Alasannya adalah karena
lulusan Universitas yang ada di Indonesia sudah belajar bahasa daerah, bahasa
Indonesia, dan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris in the K-12 plus
four-years college.
Pembaca yang kritis akan mengembangkan pada sebuah bentuk kesadaran
konten dan konteksnya. Bentuk yang menggunakan linguistik simbol digunakan
penulis, konten itu adalah maksud atau arti yang didiskusikan dan konteks
kembali kepada sosial dan lingkungan fisik ketika tulisan diproduksi.
Ketika pembaca berkata, “ saya itu tidak memiliki background pengetahuan
sama sekali” dirinya selalu menyangkal. Pembaca, khususnya yang sudah lulus
dengan sukarela mambaca apa yang mereka anggap menarik atau menunjang background
mereka. Jelasnya, penyangkalan diri mengindikasi kekurang-percayadirian.
Pembaca yang lain berdalih, “keahlian penulis yang sangat tinggi”
atau “itu melebihi kapasitas saya sebagai orang yang baru belajar,”mereka
menjauhi diri mereka dari penulis dengan menurunkan diri mereka kedalam
keputusasaan. Demikian sugesti kuat mengenai penulis itu diatas pembaca.
Pembaca yang lain berpendapat,”saya tidakdapa menjangkau level itu”
atau “bahasanya terlalu tinggi untuk saya”, mereka menilai diri mereka sendiri
seperti jika mereka tidak ada pengetahuan atau kapasitas untuk berinteraksi
dengan penulis.
Semua tanggapan diatas menunjukkan literacy profile dari
lulusan universitas & mencerminkan bagaimana pendidikan bahasa menempati
kota ini,harus ada penjelasan.
Pertama, hubungan pendekatan antara reading
dan writing karena percaya atau tidak bahwa bacaan yang kita baca
menentukan kekuatan dari tulisan kita. Kebiasaan mempraktekkan di sekolah untuk
menunda menulis panjang setelah membaca. Konsekuensinya, kemampuan writing
tidak berkembang dibandingkan dengan kemampuan reading.
Kedua, pendidikan bahasa kita telah
memproduksi siswa yang orientasi reading daripada orientasi writing.
Demikian siswa cenderung mengembangkan sikap yang fatalistis pada sebuah teks
atau bacaan. Bacaan tersebut dirasa terlalu tinggi bagi pembaca yang lemah.
Pembaca yang kritis percaya bahwa
penulis dan pembaca itu sama-sama bertanggungjawab untuk membuat sebuah makna.
Saat ada pertanyaan: “When you do not understand the text you are reading,
what is the reason?” seorang pembaca kritis akan menjawab bahwa seorang
penulis tidak cukup kompeten menyampaikan ide-ide dan menghibur pembacanya.
Para pemikir muslim mengingatkan
pada sebuah ayat Al-Qur’an yang berkata bahwa mereka harus membuat qaulan
baligha (An-Nisa : 63), namely to speak to the audience an effective
word to reach their inner selves. Untuk
para pemikir muslim, berbicara dan menulis yang komunikatif adalah sejalan
dengan pelajaran religius.
Ketiga,
siswa yang orientasinya pada reading akan sangat sulit menjadi para intelek yang
orientasinya pada writing, menghiraukan keahlian mereka. Ketika mereka akan
menulis, mereka harus menggunakan peribahasa yang mudah dimengerti. Mereka
kurang sensitif pada fisik dari bakal bacaan mereka.
Ternyata
para pemikir diluar negeri tidak perlu lebih memproduksi pada tulisan textbook. Malahan dari tulisan textbook
di
Indonesia itu sendiri, mereka acapkali menjawab untuk merekomendasikan
pentingnya textbook, yang mana di desain untuk bukan Indonesia. Diulangi
bahwa seorang Grice’s mximz (penulis ahli) telah melanggar.
Ada
bahaya lain pada pengguan textbook. Mahasiswa kita yang rata-rata jumlahnya lebih dari
2,6 juta, mengindoktrin bahwa bahasa nasional kita tidak cukup berpengalaman
atau tidak cukup menarik untuk menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kekurangan
dari kelemahan tulisan mereka itu sendiri, mereka merekomendasikan textbook.
Tanpa
disadari mereka menunjukkan sebuah perlawanan diam terhadap perjanjian baru,
yang mana mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Inilah
saatnya untuk para intelek muda kita menjunjung tinggi bahasa nasional kita
dengan menulis textbook dalam bahasa Indonesia. Pendidikan K-12 harus
memajukan hubungan produktif reading-writing untuk mengembangkan para penulis muda yang akan
menjadi penulis senior dan nanti, pada penyelesaian kemajuan belajar mereka,
para penulis intelek.
(A.Chaedar Alwasilah, The Jakarta Post, January 14 Januari, 2012)
Artikel 3 :
Learning and Teaching Process : More about Readers and Writers
Sebagai
seseorang yang telah memperkenalkan belajar dan juga mengajar di Indonesia
lebih dari 40 tahun, Chaedar Alwasilah artikelnya tentang Powerful
Writers versus Helpless Readers memperoleh beberapa chord.
Jika bukan orang Indonesia saya sekarang
mengajukan pendapat yang mana menimbulkan resiko kemarahan para pembaca
Indonesia, seraya artikel Chaedar rupanya termasuk juga, saya hanya dapat
memohon untuk penyebab biasanya bahwa kita semua memberikan respon untuk
meningkatkan kualitas berfikir kritis di kota ini.
Benar
adanya bahwa siswa kesulitan dalam membaca academic texts dimana menulis dengan asli berbahasa
Indonesia atau ditranslet kedalam Indonesia atau disajikan dalam bahasa
Inggris, adalah benar-benar tidak dapat disangkal.
Hasil
dari analisis yang dilakukan oleh mahasiswa Indonesia sebagai presentasi Dr.
Imam Bagus pada karya tulisnya baru-baru ini yang disajikan saat konferensi di
UPI memperlihatkan hal yang mengejutkan mahasiswa menjadi tidak sanggup
mengidentifikasi tema utama artikel yang berterus terang mengenai prosa
Indonesia pada ujian pilihan ganda.
Sebuah
pertanyaan Dr. Imam, apakah yang melatarbelakangi ketidakcakapan ini? Dia telah
menjawabnya sendiri dengan istilah kurang kompetennya pada bagian instruksi
guru kepada murid-muridnya. Jawabannya sendiri adalah bahwa situasi adalah
lebih rumit daripada sebagian dari beberapa alasan yang Dr. Chaedar telah
berikan.
Ada
alasan lain juga, bagaimanapun, kita membutuhkan suatu pertimbangan. Dasar atau
hal pokok yang terlihat oleh saya bahwa mengenai silabus dan sistem ujian, yang
mana guru-guru di sekolah memaksa diikuti, yang mudah merusak perkembangan dari
pemikiran kritis dan kompetensi bahasa. Sayangnya, tidak ada ruang untuk
menguraikan kritiknya dalam sistem melebihi mudahnya mengatakan bahwa meskipun
tingginya detail spesifik kurikulum yang digunakan oleh mereka sendiri,
menunjukkan bukti pertimbangan hati-hati yang dibutuhkan siswa, sistem diambil
untuk mengecilkan hati keseluruhan siswa dari reading and writing.
Dr.
Chaedar berargumen bahwa sungguh benar sekolah anak di Indonesia menganjurkan
untuk menulis. Mereka tidak butuh itu sebagai tujuan dari ujian nasional, yang
mana bahwa mereka hanya memilih kotak yang benar pada ujian pilihan ganda.
Tentu
saja, melalui menulis sekolah anak benar-benar pelengkap terbaik untuk mempelajari
tentang kemungkinan-kemungkinan mengekspresikan emosi, ide-ide dan pencerminan
serta membentuk image/gambaran dan deskripsi melalui kata-kata pada sebuah
halaman dan pada ujian lisan.
Hanya
pada penggambaran Dr. Chaedar, yang memiliki maksud sederhana untuk diikuti
mahasiswa yang belum lulus yaitu apa yang telah mereka pelajari dengan
penggunaan textbook yang telah dosen peroleh dari US
or Australia or the UK. Hasilnya adalah mahasiswa tidak dapat berbahasa
Inggris dengan fasih dan dengan benar, biarkan dengan sendirinya menulis baik
dengan berbahasa Inggris, atau tidak sejak mereka tidak diberikan dorongan pada
petunjuk ini dan beberapa yang dosen mereka baca, mereka tertarik membaca
literatur.
Sayangnya
tidak ada satupun tidak writing ataupun reading memberikan kepentingan yang berhak mereka dapat
pada kurikulum sekarang ini untuk mengajarkan bahasa Indonesia. Bagaimana itu
dapat diperbaiki adalah barangkali sebuah mata pelajaran untuk artikel yang
lain.
(C.W Watson, The Jakarta Post, 11 February, 2012)
Summary
Tidak
dapat dipungkiri bahwa minat reading and writing negara Indonesia masih sangan rendah. Bagaimanapun
juga sangat sulit untuk mendorong serta memaksa seseorang untuk menyukai hal
diatas. Tetapi jika kita ingin menjadi orang yang berbeda, maka terapkanlah
didalam diri agar kita ingin membaca dan menulis. Alasannya dengan lebih banyak
membaca dan menulis kita akan memperolah informasi yang mungkin orang lain
tidak ketahui dan dengan memperbanyak menulis, diharapkan tulisan yang kita
buat akan bisa menjadi tulisan yang berbasis Academic Writing. Dan poin terakhir yang saya ingat dari artikel pertama, janganlah
kamu bermimpi menjadi seorang dosen jika kamu tidak gemar menulis. Untuk memacu
agar kita gemar menulis dimulai dari dalam diri kita, biasakan terlebih dahulu,
maka lama-kelamaan kita akan merasa interest dengan reading and
writing. Oleh sebab itu, reading and writing adalah dua buah
komponen yang tidak dapat terpisahkan karena saat kita menulis maka kita juga
harus menjadi the best reader dan begitu pun sebaliknya agar kita
menjadi generasi muda yang maju yang menikmati dan berusaha meningkatkan reading
and writing kita.