POTRET BURAM LITERASI
(By: Endang Siti Nurkholidah)
Literasi?
Ketika mendengar kata itu sangat elegan sekali. Kata yang memiliki misteri
dibalik elegansinya itu. Literasi memanglah kata asing jika belum menjamahnya.
Apa sih literasi itu?? Well, literasi menurut KBBI adalah sesuatu yang
berhubungan dengan membaca-menulis. Ketika mendengar kata baca-tulis memang
seperti tidak bisa dipisahkan. Dimana ada kata membaca pasti disitu ada kata
menulis dan istilah literasi atau literer memiliki definisi yang sangat luas
sekali.
Menurut
definisi dari UNESCO literasi yaitu kemampuan mengidentifikasi memahami,
menafsirkan, menciptakan, mengkomunikasikan dan kemampuan berhitung melalui
materi-materi dan variannya. Menurut koichiro Matsura (Direktur UNESCO)
menjelaskan bahwa literasi bukanlah hanya mencakup baca-tulis saja, akan tetapi
mencakup bagaimana berkomunikasi dalam masyarakat terkait dengan pengetahuan,
bahasa dan budaya.
Menurut
bukunya Bapak Chaedar yang berjudul “Rekayasa Literasi” menjelaskan bahwa
literasi adalah kemampuan baca-tulis yang menjadi buah bibir dalam masyarakat,
karena ketidak tahuan (awamnya) masyarakat dengan kata literasi ini. Bahkan
dalam konteks pendidikan di Negara Indonesia istilah literasi jarang dipakai.
Ketika
mengingat sejarah peradaban umat manusia, bahwa bangsa atau Negara yang maju
tidak bisa dibangun dengan mengandalkan kekayaan alam yang melimpah saja, akan
tetapi didapat dari peradaban tulisan atau penguasaan literasi yang dapat
menghasilkan kualitas Negara yang lebih baik lagi.
Perlu
kita ketahui islam pula menganjurkan kita untuk menulis, ketika zaman para
sahabat nabi (Ali Bin Abi Thalib) menganjurkan untuk menulis ilmu yang kita
dapat. Agar ilmu yang kita dapat tidak lepas ataupun hilang. Nah dari
penjelasan ini saja sangat terlihat sekali bahwa literasi (baca-tulis) itu
sangat penting bagi manusia yang ada di dunia. Hal ini menunjukan bahwa agama
islam pun menjunjung tinggi budaya literasi.
Pada
masa silam, membaca dan menulis (literasi) dianggap “cukup” sebagai pendidikan
dasar (umum) untuk membekali manusia kemampuan menghadapi tantangan zaman.
Karena pada zaman sekarang ini merupakan zaman yang serba canggih. Jika manusia
tidak dibekali dengan literasi (baca-tulis), mungkin manusia pada peradaman
saat ini akan tertinggal jauh sekali.
Literasi
selama ini dianggap sekedar persoalan psikologis yang berkaitan dengan
kemampuan mental dan keterampilan membaca-menulis. Padahal literasi adalah
praktik cultural yang berkaitan dengan persoalan social dan politik. Oleh
karena itu pakar pendidikan dunia berpaling ke definisi baru yang menunjukan
paragadigma baru dalam upaya memahami literasi. (Chaedar Alwasilah)
Literasi
dan budaya?? Dalam hal objek studi literasi dan budaya saling bertupang tindih
yang memiliki hubungan variable social dan maknanya atau lebih tepatnya
bagaimana devisi-devisi social dibermanknakan (o’sulivan, 1994:72)
Dalam
buku rekayasa literasi ada tujuh dimensi yang saling terkait dalam hal
literasi. Diantaranya:
1. Dimensi
geografi (local, nasional, region, dan international). Dalam bidang ini,
seseorang bisa dikatakan berliterasi tinggi tergantung pada tingkat pendidikan
dan jenjang vokasionalnya.
2. Dimensi
bidang (pendidikan, komunikasi, administrasi, hubungan dan militer).
Pada
dimensi ini mencakup beberapa dimensi bidang. Literasi bangsa tampak terlihat
pada bidang pendidikan dan komunikasi. Semakin banyak orang yang berliterasi,
maka semakin tinggi pula kualitas pendidikan di Negara tersebut.
Seperti
yang telah dilakukan oleh KAA di bandung yang mengadakan acara pecan Literasi
Asia Afrika 2014 yang memiliki tujuan mengedukasikan masyarakat, khusunya
anak-anak agar lebih dekat dengan museum. (Thomas A Siregar, kepala museum KAA
Bandung). Menurut beliau museum KAA memiliki potensi yang sangat kuat dalam
menyediakan sarana literasi untuk masyarakat.
3. Dimensi
keterampilan (membaca, menulis, menghitung dan berbicara). Pada dimensi ini
yang paling menonjol, yaitu baca-tulis. Kita bisa mengambil contoh sarjana yang
sangat menggemari membaca, tapi tidak semua sarjana mampu menulis. Memang
kualitas menulis juga tergantung dari “gizi” bacaan yang disantapnya. “Gizi”
itu akan tampak ketika seseorang berbicara dan akan lebih bergizi lagi jika
seseorang memiliki kualitas membaca yang bagus.
4. Dimensi
fungsi (memecahkan persoalan mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan,
mengembangkan pengetahuan dan potensi diri). Orang berliterasi akan mampu
memecahkan sebuah masalah dengan baik. Selain itu memiliki potensi untuk meraih
dan menggapai tujuan hidupnya. Maka dari itu, mari budayakan berliterasi agar
semua tujuan yang ingin kita capai bisa kita raih.
5. Dimensi
media (teks, cetak, visual, digital). Ya memang benar sekali, pada zaman
sekarang yang serba canggih, tidaklah cukup jika hanya membaca dan menulis teks
alphabetis saja. Melainkan harus mengandalakan kemampuan membaca dan menulis
teks cetak, visual maupun digital. Selain literasi, penguasaan ilmu tekhnologi
pun sangat penting sekali pada zaman sekarang ini.
6. Dimensi
jumlah (satu, dua, beberapa). Jumlah disini bisa merujuk banyak hal, seperti
bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu, media dan sebagainya.
Orang multiraterat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi. Kemampuan ini
tumbuh karena proses pendidikan yang berkualitas tinggi. Literasi seperti
halnya kemampuan berkomunikasi yang bersifat relative. Mungkin sangat
komunikatif dalam bahasa Indonesia, tapi kurang komunikatif dalam bahasa ibu.
Demikian pula dengan literasi.
7. Dimensi
bahasa.
Ada
literasi singular dan plural. Hal ini beranalogi ke dimensi monolingual,
bilingual dan multilingual. Contoh, jika kita orang sunda tulen dan mahasiswa
jurusan bahasa inggris, berarti kita adalah multilingual dalam bahasa inggris,
Indonesia dan sunda, dan hal ini bisa diartikan multilaterat.
Setelah
mengkaji tujuh ranah literasi di atas, sekarang kita akan melanjutkan pemaparan
selanjutnya. Seyogyanya pendidikan bahasa berbasis literasi dilaksanakan dengan
mengikuti tujuh prinsip dibawah ini, diantaranya:
1. Literasi
adalah kecakapan hidup (life skills) yang memungkin manusia berfungsi maksimal sebagai
anggota masyarakat. Mengenalkan bahasa pada pendidikan dasar dapat melatih dan
memberdayakan siswa memfungsikan bahasa dengan baik dan benar.
2. Literasi
mencakup kemampuan representif dan produktif dalam upaya berwacana secara
tertulis maupun secara lisan. Pendidikan bahasa usia dini membiasakan siswa
berekspresi, baik secara lisan maupun tulisan.
3. Literasi
adalah kemampuan memecahkan masalah. Baca-tulis adalah kegiatan mengetahui
hubungan antar kata dan antar unit bahasa dalam wacana. Bahasa adalah alat
berfikir, karena itu berbahasa yang berliterasi dapat memecahkan masalah dengan
baik pula.
4. Literasi
adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya. Nah pendidikan bahasa
seyogyanya mengajarkan tentang budaya dan kebetulan antar budaya dan literasi
saling bertumpang tindih.
5. Literasi
adalah kegiatan refleksi (diri). Seharusnya pendidikan bahasa menanamkan pada
diri kita kebiasaan melakukan refleksi bahasa maupun bahasa orang lain, yakni
tentang komunikasi.
6. Literasi
adalah hasil kolaborasi. Contohnya antara baca-tulis yang selalu berkolaborasi
dan saling berinteraksi satu sama lain.
7. Literasi
adalah kegiatan melakukan interpretasi. Banyak penulis memaknai alam semesta
dan pengalaman subjectivenya lewat kata-kata dan kemudian ditulis sehingga
menghasilkan sebuah karya tulis yang bagus.
Ketika
terus menerus berbicara tentang literasi , saya piker tidak aka nada habisnya.
Terutama di Negara Indonesia ini yang konon katanya sangat minim bahkan
mendapatkan rapor merah tentang literasi. Oh sangat miris sekali.
Sejak
tahun 1999 indonesia menghadapi dan mengikuti proyek penelitian dunia yang
dikenal dengan PIRLS (Program for International Student Assesment) dan TIMSS
(The third international Matemathic and Science Study) untuk mengukur kemampuan dan sejauh mana kita berliterasi.
Dalam penelitian ini bertujuan membaca tentang Literacy Purposes dan
international purposes. Sedangkan membaca meliputi interprectine, integrating
dan evaluatrol.
Ternyata
baca-tulis (literasi) di Indonesia sangatlah rendah, bahkan dibawah standar
rata-rata tingkat internasional. Skor prestasi membaca Negara Indonesia adalah
407 (semua siswa), 417 untuk perempuan, dan 398 untuk laki-laki. Angka ini
dibawah rata-rata yang seharusnya minimal 500. Sangat miris sekali ketika
mendengar Negara kita yang berarti kurang berliterasi. Survey membuktikan bahwa
Indonesia hanya memiliki HDI 0,711 dan GNI/kapita 810 US $.
Di
Indonesia hanya tercatat 2% saja siswa yang termasuk kedalam kategori tingkat
tinggi dalam membaca, 19% kategori menengah dan 55% kategori rendah. Artinya
45% siswa di Indonesia tidak dapat mencapai skor 44.
Tingkat
literasi di Indonesia sangat jauh tertinggal oleh Negara lain. Artinya
pendidikan nasional kita belum berhasil menciptakan warga Negara yang literat
yang siap bersaing dengan Negara lain di dunia. Ringkasnya dalam skala
internasional, literasi siswa belum kompetitif. Hal ini terlihat pada variable
yang terkait dengan pendidikan literasi, yakni pendapatan perkapita, pendidikan
orang tua dan fasilitas belajar yang minim.
Banyak
membaca tidak menjamin orang rajin menulis. Di Indonesia jauh lebih banyak
ilmuan dari pada penulis. Sampai dengan tahun 2003, Indonesia setiap tahunnya
hanya memproduksi 6000 buku saja dan ini jumlah yang kurang banyak, karena
Negara lain lebih dari 6000 buku yang berhasil dicetak.
Linguistik
(text)
|
Menulis-menulis : Sosiokultural(group)
|
Literasi tidaklah
sesederhana sekedar menguasai alphabet atau mengerti hubungan antara bunyi
dengan symbol tulisan, tetapi mengerti bagaimana symbol itu difungsikan secara
bernalar dalam konteks social. Kualitas literasi pada diri kita akan berkembang
atau kematangan pada diri.
Ada beberapa paradigm
yang penting untuk kita ketahui, diantaranya :
1.
Paradigm #1: decoding yang mengatakan
bahwa graffonem berfungsi sebagai pintu masuknya literasi dan belajar bahasa
dimulai dari menguasai bagian-bagian bahasa. Dalam paradigm ini ada rumus yang
berlaku, seperti:
Perkembangan
literasi= belajar ihwal literasi belajar
literasi belajar melalui
literasi.
2. Paradigm
#2: keterampilan bahwa penguasaan morfem dan kosa kata adalah dasar untuk
membaca. Contoh : siswa dilatih reading comprehention sebagai penguasaan kosa
kata baru. Dengan kata lain siswa membangun literasi dengan diajari terlebih
dahulu dalam pengetahuan tentang literasi, yakni bagaimana caranya memaknai
bentuk bahasa: morfem dan kosa kata.
Dalam
paradigm ini ada rumus yang berlaku, seperti:
Perkembangan literasi= belajar
ihwal literasi belajar literasi
belajar melalui literasi.
3. Paradigm
#3: bahasa secara utuh dilihat dari namanya, paradigm ini menolak pembelajaran
yang menitik beratkan pada focus pada bagian atau serpihan bahasa. Akan tetapi
pembelajaran ini harus pada pembelajaran makna.
Dalam
paradigm ini ada rumus yang berlaku, seperti:
Perkembangan literasi adalah belajar melalui literasi
belajar literasi belajar ihwal literasi.
Jadi dari semua wacan di atas
dapat disimpulkan bahwa literasi memang sangat penting. Dunia tanpa literasi
akan suram. Termasuk Negara yang tidak berliterasipun akan hancur termakan
peradaban yang semakin amazing. Bila rapor anak bangsa (Indonesia) ini merah,
bagaimana Negara kita mau maju? Untuk mengakhiri masalah ini, ada satu cara
yang paling jitu, yaitu mari kita budayakan berliterasi sejak dini. Agar tidak
menyesal dikemudian hari.