Rekayasa Literasi: Implementasi Bagi Para Literate Sejati (Chapter Review-2)

Rekayasa Literasi: Implementasi Bagi Para Literate Sejati
(By: Enok Siti Jaenah)
Tema melek huruf selalu pekat dalam setiap jejak tinta A. Chaedar Al Wasilah. Ambisi beliau untuk mengangkat bangsa Indonesia sebagai bangsa berliterasi tampaknya masih terus berpacu. Dalam buku ter-anyarnya kata Literasi masih terpampang nyata, dan “Rekayasa Literasi” adalah salah satu sub bab inti di dalam buku ini. Tak bisa dipungkiri mantra sakti “Rekayasa Literasi” ini adalah bentuk implementasi bagi para literate sejati yang sedang memacu kuda untuk bisa sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang empunya melek aksara.

Rekayasa literasi bercerita tentang makna literasi yang semakin berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan makna tersebut mengikuti perkembangan zaman yang bergerak cepat. Perkembangan zaman yang pesat juga membukakan tirai penutup literasi. Sekarang kita tahu bahwa literasi tak melulu tentang baca-tulis. Literasi adalah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik. Oleh karenanya para pakar pendidikan dunia berpaling kepada definisi baru tentang literasi.
Selain itu, dewasa ini kata literasi banyak disandingkan dengan kata-kata lain, misalnya literasi komputer, literasi virtual, literasi matematika dan sebagainya. Hal tersebut merupakan transformasi makna literasi karena perkembangan zaman. Oleh sebab itu, Freebody dan Luke menawarkan model literasi sebagai berikut: (1) Memahami konteks dalam teks; (2) Terlibat dalam memaknai teks; (3) Menggunakan teks secara fungsional; (4) Melakukan analisis dan mentransformasikan teks secara kritis. Keempat peran literasi ini dapat diringkas kedalam lima verba: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis dan mentransformasikan teks. Itulah hakikat ber-literasi secara kritis dalam masyarakat demokratis.
Meskipun mengalami pergeseran makna, literasi masih berurusan dengan penggunaan bahasa. Kini literasi menjelma sebagai kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang saling terkait.
  1. Dimensi Geografis (lokal, nasional, regional, dan internasional): Bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring sosial dan vokasionalnya (kecakapan kejuruan).
  2. Dimensi Bidang (pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dsb): Literasi suatu bangsa tampak dalam dimensi ini. Pendidikan yang berkualitas tinggi menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula. Hal ini karena bidang pendidikan merupakan ujung tombak kebangkitan suatu bangsa.
  3. Dimensi Keterampilan (membaca, menulis, menghitung, berbicara): Literasi seseorang tampak atau tercermin dari dimensi ini. Semua sarjana mampu membaca, akan tetapi tidak semua sarjana mampu menulis. Oleh sebab itu, keterampilan sangat diperlukan. Selain itu, tidak cukup dengan mengandalkan literasi saja (dalam hal ini membaca dan menulis) namun harus juga memiliki kemampuan numerasi (keterampilan menghitung)
  4. Dimensi Fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi diri): Orang yang literat karena pendidikannya mampu memecahkan masalah dan mengatasi semua tentang kehidupan yang menghampirinya.
  5. Dimensi Media (teks, cetak, visual, digital): Menjadi seorang literat zaman sekarang orang harus mengandalkan kemampuan membaca dan menulis teks cetak, visual dan digital. Perkembangan IT sangat penting dan berpengaruh banyak terhadap gaya berliterasi.
  6. Dimensi Jumlah (satu, dua, beberapa): Jumlah dapat merujuk pada banayak hal, misalnya bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu dan media. Literasi seperti halnya kemampuan berkomunikasi, bersifat relatif.
  7. Dimensi Bahasa (etnis, lokal, nasional, regional, internasional): Ada literasi yang singular dan ada yang plural.
Pendidikan bahasa yang berbasis literasi seyogianya dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip sebagai berikut:
1.      Literasi adalah kecakapan hidup (life skills) yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
Pendidikan bahasa sejak tingkat dasar melatih dan memberdayakan siswa untuk memfungsikan bahasa sesuai dengan konvensinya dalam kehidupan nyata seperti cara membuat CV, surat lamaran kerja, membaca jadwal penerbangan, membaca menu, dan lain sebagainya.
2.      Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan.
Pendidikan bahasa sejak dini membiasakan siswa berekspresi, baik secara lisan maupun secara tulisan.  Di tingkat tinggi, (maha)siswa mampu mereproduksi ilmu pengetahuan berupa karya ilmiah, fiksi, dan sebagainya.  Dengan kata lain, (maha)siswa secara bertahap melakukan konstruksi dan rekonstruksi, karena bahasa itu sendiri bersifat konstruktif dan generatif.
3.      Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah.
Pendidikan bahasa juga melatih siswa untuk dapat berpikir kritis,.  Bahasa adalah alat berpikir.  Mengajarkan bahasa seyogianya melatih siswa untuk bisa menggunakan bahasa dengan nalar.
4.      Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
Berbaca-tulis selalu ada dalam sistem budaya (kepercayaan, sikap, cara, dan tujuan budaya).  Pendidikan bahasa seyogianya mengajarkan pengetahuan budaya.  Dengan mengetahui seluk-beluk budaya dan sejarah suatu negara, kita akan bisa mengenal lebih dalam lagi dengan negara tersebut.
5.      Literasi adalah kegiatan refleksi (diri).
Penulis dan pembaca senantiasa berpikir tentang bahasa dan mengaitkannya dengan pegalaman subjektif dan juga dunianya.  Pendidikan bahasa seyogianya menanamkan pada diri (maha)siswa kebiasaan melakukan refleksi atas bahasa sendiri maupun bahasa orang lain.  Hal ini bertujuan untuk mempermudah komunikasi yang berlangsung antara (maha)siswa tersebut dengan orang lain.
6.      Literasi adalah hasil kolaborasi.
Berbaca-tulis selalu melibatkan kolaborasi antara dua pihak yang saling berkomunikasi.  Penulis (tidak) menuliskan sesuatu berdasarkan pemahamannya ihwal calon pembaca.  Pembaca pun harus mengerahkan segala pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya untuk memaknai tulisan tersebut.  Pendidikan bahasa sejak dini melatih siswa menggunakan bahasa melalui kegiatan kolaboratif.  Segala keterampilan berbahasa sebaiknya dibangun lewat kegiatan kolaborasi.
7.      Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi.
Penulis memaknai (menginterpretasikan) alam semesta dan pengalaman subjektifnya lewat kata-kata dan pembaca memaknai interpretasi sang penulis.  Pendidikan bahasa sejak dini seyogianya melatih (maha)siswa melakukan interpretasi (mencari, menebak, dan juga membangun makna) atas berbagai jenis teks dalam wacana tekstual, visual dan digital di berbagai ranah kehidupan dan bidang ilmu.
      Wacana pengajaran bahasa asing selalu hiruk-pikuk dengan dialog debat tiada henti ihwal paradigma pengajaran bahasa asing. Table berikut menggambarkan perubahan sudut pandang tentang pengajaran bahasa.
Tadinya…
Kini…
♦ Bahasa adalah sistem struktur yang mandiri
♦ Bahasa adalah fenomena sosial
♦ Fokus pengajaran pada kalimat-kalimat yang terisolasi.
♦ Fokus pada serpihan-serpihan kalimat yang saling terhubung
♦ Berorientasi ke hasil
♦ Berorientasi ke proses
♦ Fokus pada teks sebagai display kosakata dan struktur tata bahasa
♦ Fokus pada teks sebagai realisasi tindakan komunikasi
♦ Mengajarkan norma-norma preskriptif dalam berbahasa
♦ Perhatian pada variasi register dan gaya ujaran
♦ Fokus pada penguasaan keterampilan secara terpisah (discrete)
♦ Fokus pada ekspresi diri
♦ Menekankan makna denotatif dalam konteksnya
♦ Menekankan nilai komunikasi

      Paradigma adalah cara pandang dan pemaknaan terhadap objek pandang (baca: pengajaran literasi).  Perubahan sudut pandang yang terjadi pada perubahan paradigma pengajaran literasi ini tentunya membawa sejumlah konsekuensi sampai kepada metode dan teknik pengajaran yang kasat mata dan hasilnya pun dapat kita ukur.
Bisa kita lihat pada tabel diatas bahwa terjadi perubahan-perubahan yang cukup signifikan pada pengajaran literasi.  Seperti misalnya perubahan yang terjadi dari yang tadinya pengajaran literasi berorientasi ke hasil, kini berorientasi kepada prosesnya.  Hal ini bisa berarti guru bahasa tidak lagi mempermasalahkan tentang apa atau berapa banyak tulisan yang dihasilkan oleh siswanya, melainkan sang guru lebih fokus tentang bagaimana tulisan tersebut diproses mulai dari A sampai dengan Z oleh siswa tersebut.
Contoh lain perubahan paradigma pengajaran literasi adalah guru bahasa tidak lagi menentukan target yang sama bagi semua siswa, misalnya seribu kata dalam esai naratif.  Hal ini dikarenakan pertimbangan bahwa dalam proses menulisnya setiap siswa memiliki hobi dan gaya masing-masing yang tentunya akan berbeda satu sama lainnya.
Demikian pula dalam perubahan yang terjadi pada fokus yang tadinya teretak pada penguasaan keterampilan secara terpisah (discrete) menjadi lebih fokus kepada ekspresi diri.  Intinya, yang penting berekspresi tulis.  Masalah kesalahan ejaan, tata bahasa dan kosakata dapat dibenahi seiring berjalannya waktu.  Disinilah siswa dituntut untuk berekspresi dan menunjukkan karakter diri masing-masing yang sesungguhnya.
Akhirnya dengan lahir rekayasa literasi ini, marilah kita singsingkan lengan baju untuk mengganti tinta merah di atas rapor literasi bangsa Indonesia dengan menyandang gelar literate sejati. Bangsa yang maju tidak terlihat dari sumber daya alam yang melimpah ruah, namun terlihat dari berapa banyak jumlah manusia berkualitas yang ada untuk membangun negara tersebut.  Dan salah satu cara paling jitu bin mujarab yang bisa dilakukan untuk menciptakannya adalah dengan cara menanamkan budaya literasi.


Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment