Chapter Review : Bukan Lagi Literasi Kuno



Bukan Lagi Literasi Kuno
(by : Asy Syifa Rahmah Ihsani)


Literasi adalah hal yang sangat penting untuk memajukan kehidupan bangsa.  Suatu negara atau bangsa bisa dikatakan maju apabila budaya literasi mereka sudah berjalan dengan baik.  Sebab jika tingkat literasi suatu negara sudah sangatlah tinggi maka bangsa tersebut akan mengalami kemajuan yang pesat.  Baik dalam bidang pendidikan, teknologi, politik, dan bahkan ekonomi.

Di era modern ini  literasi diartikan tidak hanya sebatas kemampuan membaca dan menulis saja.  Seperti yang dipaparkan Prof. Chaedar dalam bukunya yang berjudul Pokoknya Rekayasa Literasi bab 6 Rekayasa Literasi (hal 159-160) bahwa Literasi adalah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik.  Jadi lietarasi itu adalah suatu budaya yang sangat mempengaruhi sosial dan politik.  Apabila literasi suatu negara itu rendah maka tingkat sosial dan politiknya pun akan rendah pula.  Meskipun demikian tentu saja literasi masih sangat kental kaitannya dengan penggunaan bahasa, dan sekarang literasi menembus tujuh dimensi yang saling terkait.
Dimensi geografis (lokal, nasional, regional, dan internasional).  Di sini literasi seseorang bisa dikatakan berdimensi lokal, nasional maupun internasional dilihat dari dimana dia berada dan tingkatan sosial ataupun jenis pekerjaan dan tingkat pendidikannya.  Contohnya saja seorang diplomat, diplomat harus memiliki literasi yang berdimensi internasional karena diplomat bekerja di luar negeri dan sering berhubungan dengan orang-orang dari luar negeri.  Berbeda dengan seorang bupati yang notabenenya bekerja di kabupaten yang masih bisa berliterasi menggunakan Bahasa Indonesia.   Jadi untuk bupati minimalnya harus berliterasi nasional.
Kemudian dimensi bidang (pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dan sebagainya).  Literasi bangsa tercermin melalui tingkat kemajuan bidang-bidang tersebut.  Tingkat kemajuan militer misalnya sangat bergantung pada kecanggihan teknologi suatu negara.  Begitu pula dengan pendidikan.  Pendidikkan yang berkualitas terjamin akan menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi juga.
Yang ketiga adalah dimensi keterampilan (membaca, menulis, menghitung, berbicara).  Tingkat literasi seseorang dapat diukur dengan keahlian membaca dan menulisnya karena memang kedua hal tersebut adalah akar dari literasi. Tapi bagaimana dengan berbicara dan menghitung?  Setiap sarjana pasti bisa membaca tapi tidak semuanya bisa menulis.  Bagus tidaknya tulisan sangat tergantung sekali pada stimulan (bacaan) yang dia masukan ke dalam otaknya.  Stimulan itu akan nampak pada saat dia berbicara.  Orang yang sudah menjadikan membaca sebagai kebutuhan hidup dia akan mengeluarkan kalimat-kalimat yang bermanfaat pada saat berbicara atau mengeluarkan pendapat.  Untuk menjadi sarjana yang memiliki kualitas tinggi tidak cukup hanya dengan keahlian baca tulis dan berbicara saja, melainkan harus memiliki keterampilan menghitung juga.
Dimensi selanjutnya adalah dimensi fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi diri).  Tidak diragukan lagi untuk orang yang literat karena pendidikannya bisa memasuki dimensi fungsi ini.  Orang yang berliteratur tinggi akan mudah dalam memecahkan suatu masalah, dia akan berfikiran cerdas dan cermat pastinya dalam memecahkan masalah tersebut.  Untuk pekerjaan tidak perlu cemas untuk orang yang berliteratur tinggi, karena hanya dengan duduk manis sambil menulis saja uang akan datang dengan sendirinya.  Dengan demikian pengetahuan juga dapat dikembangkan seluas-luasnya semua tujuan pun akan tercapai dengan mudahnya.
Yang ke lima dimensi media (teks, cetak, visual, digital).  Di era sekarang ini akan sangat tertinggal jika seorang mahasiswa, sarjana ataupun masyarakat hanya mempunyai keahlian membaca dan menulis teks alfabetis.  Masa sekarang seorang mahasiswa, sarjana dan yang lainnya harus memiliki keahlian membaca dan menulis teks cetak, visual , dan digital.  Penguasaan IT sangat penting di sini sebab di era modern teknologi memang merajai pasar dunia.
Selanjutnya dimensi jumlah (satu, dua, beberapa).  Jumlah dapat merujuk keberbagai macam hal, seperti bahasa, variasi bahasa, media, peristiwa tutur, ataupun bidang ilmu.  Orang yang multilaterat akan dengan mudah berinteraksi dalam situasi apapun.
Dimensi terakhir adalah dimensi bahasa (etnis, lokal, nasional, regional, internasional).  Dimensi ini disamakan denggan dimensi monolingual, bilingual atau dimensi jumlah.  Untuk orang Jawa yang berkuliah di jurusan Bahasa Inggris bisa dikatakan orang tersebut multilingual ataupun multiliterat.  Akan tetapi jika orang tersebut tidak respect atau peduli pada budaya Jawa, maka literat kejawaan orang tersebut sangat buruk.
Selain ada tujuh dimensi diatas ada juga sebelas gagasan kunci tentang literasi yang menunjukan perubahan paradigma literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini.
·         Ketertiban lembaga-lembaga sosial. Hidup bermasyarakat ini difasilitasi oleh lembaga-lembaga sosial dari mulai RT, RW, lurah, DPRD sampai Presiden.  Lembaga-lembaga ini mampu menjalankan tugasnya karena fasilitas bahasa maka munculah bahasa politik.  Bahasa politik adalah bahasa yang dijadikan sebagai alat persuasi sehingga sarat dengan eufimisme (Tentang Bahasa Politik Eric Bentley)
·         Tingkat kefasihan relatif.  Dalam berinteraksi kita memerlukan kefasihan berbahasa dan berliterasi.  Yang perlu dikuasai adalah kefasihan (literasi) minimal atau literasi yang diperlukan untuk memainkan peran yang berfungsi dalam berinteraksi.
·         Pengembangan potensi diri dan pengetahuan.  Literasi merupakan modal awal untuk mengembangkan potensi diri.  Pada tahap tinggi literasi adalah modal utama bagi mahasiswa untuk memproduksi dan mereproduksi ilmu pengetahuan.  Para calon sarjana harus bisa membuat tulisan akademik.
·         Standar dunia, rujuk mutu sudah dikembangkan ke tingkat internasional.  Sehingga tingkat literasi atau pendidikan suatu bangsa mudah dibandingkan dengan bangsa lainnya.  Ini gagasan yang bagus, karena dengan begitu ini akan menmotivasi Indonesia untuk meningkatkan mutu pendidikan.
·         Warga masyarakat demokratis.  Media merupakan salah satu pilar demokrasi.  Masyarakat yang literat akan mampu menghidupkan media.  Dengan kata lain pendidikan literasi harus mendukung terciptanya demokrasi bangsa.  Negara yang memiliki literasi yang tinggi maka akan menghasilkan negara yang tinggi.  Seperti Athena (Yunani) sering dirujuk sebagai “Ibu Demokrasi” karena berakar pada tradisi literasi yang kuat, berkat penemuan alfabet (Basis Literasi Demokrasi : Yudi Latif – Republika).
·         Keragaman lokal.  Manusia literat tahu betul dengan keragaman bahasa dan budaya lokal maka dia akan bersifat global.  Dengan demikian semakin berwawasan global semakin sensitif dan antisipatiflah dia dengan keragaman lokal.
·         Hubungan global.  Agar kita (Indonesia) bisa bersaing dengan negara lain kita harus memiliki literasi tingkat dunia.  Literasi tingkat ini bergantung pada dua hal, yaitu penguasaaan teknologi informasi dan penguasaan konsep atau pengetahuan yang tinggi.
·         Kewarganegaraan yang efektif.  Warga negara yang efektif yakni warga negara yang mampu mengubah diri, menggali potensi diri, serta berkonstribusi bagi keluarga, lingkungan, dan negaranya.
·         Bahasa Inggris ragam dunia.  Bahasa Inggris kini dipelajari oleh bangsa - bangsa di seluruh dunia, maka munculah Bahasa Inggris dengan kekhasan negara masing-masing, seperti Singlish dan lainnya.
·         Kemampuan berfikir kritis.   Perlu diingatkan lagi bahwa literasi bukan sekedar baca tulis saja.  Melainkan juga menggunakan bahasa itu secara fasih, efektif dan kritis.  Berbicara merupakan tindakan literasi dan merupakan keputusan politik.  Pengajar bahasa harus mengajarkan keterampilan berfikir kritis.
·         Masyarakat semiotik.  Semiotik adalah ilmu tentang tanda atau simbol.  Manusia tidak bisa terlepas dari sebuah simbol.  Untuk bisa membaca simbol dengan baik maka manusia harus memiliki kemampuan literasi.
Setelah mengkaji tentang tujuh dimensi dan sebelas frase kunci literasi, pendidikan bahasa berbasis literasi harus dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip berikut :
1.      Literasi adalah kecakapan hidup (life skills) yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
2.      Literasi mencakup reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan.
3.      Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah.
4.      Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
5.      Literasi adalah kegiatan refleksi (diri).
6.      Literasi adalah hasil kolaborasi.
7.      Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi.
Begitu pentingnya literasi untuk kemajuan suatu negara namun sepertinya Indonesia negara kita tercinta masih belum juga sadar akan hal itu.  Terbukti dengan banyaknya nilai merah yang tercatat dalam rapor merah literasi anak negeri halaman 168-172.  Tingkat literasi siswa Indonesia masih tertinggal jauh oleh siswa-siswa negara lain. Ini berarti pendidikan nasional kita belum berhasil menciptakan warga negara yang berliterasi tinggi.
 Selain itu sampai tahun 2003 hanya 6.000 buku (termasuk terjemahan) yang diterbitkan oleh Indonesia sementara Jepang mampu menerbitkan 60.000 buku 10 kali lipat dari Indonesia.  Bisa dilihat Jepang adalah negara yang sangat maju, baik dalam pendidikan, ekonomi, politik apalagi teknologi.  Itu semua karena Jepang memiliki tingkat literasi yang tinggi.  Untuk mencapai tingkat literasi yang tinggi yang harus diperbaiki adalah pendidikan literasinya.
Untuk merubah pendidikan literasi Indonesia, perlu diadakannya rekayasa literasi.   Sebelum mengetahui apa itu rekayasa literasi sebaiknya kita pahami dulu apa arti rekayasa.  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia rekayasa adalah penerapan kaidah-kaidah ilmu dalam pelaksanaan perancangan, pembuatan  konstruksi , serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efisien.  Jadi rekayasa literasi penerapan dari ilmu literasi ke dalam masyarakat.  Adapun menurut Prof. Chaedar rekaya literasi adalah upaya yang disengaja dan sistemis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya melalui penguasaan bahasa secara optimal.  Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan pembudayaan.  Sekolah adalah tempat yang sangat ideal untuk belajar berliterasi dan menjadikan anak negeri berliterasi tinggi. Selain itu keluarga juga memiliki peranan yang penting dalam membentuk budaya literasi.
Perbaikan rekayasa literasi senantiasa menyangkut empat dimensi ; 1) linguistik atau fokus teks, 2) kognitif atau fokus minda, 3) sosiokultural atau fokus kelompok, 4) perkembangan atau fokus pertumbuhan (Kucer, 2005 : 293-4).  Literasi di sini meliputi keterampilan membaca dan menulis.  Dengan demikian rekayasa literasi berarti merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi di atas, sebagaimana yang tampak dalam tabel berikut ini.  Pengajaran membaca dan menulis memang harus ditempatkan dalam keempat dimensi yang saling terkait.  Pengajaran bahasa (language arts) yang baik menghasilkan orang literat yang mampu menggunakan keempat dimensi ini secara serempak, aktif, dan terintegrasi.  Dia menggunakan bahasa secara efektif dan efisien.



 




     Dimensi di atas dimaknai sebagai berikut :
·         Dimensi pengetahuan kebahasaan (fokus pada teks)
Membaca dan menulis itu memerlukan pengetahuan kebahasaan yang luas.  Seperti sistem bahasa untuk membangun makna dan struktur teks, sintaksis, morfologi, semantik, otografi.  Persamaan dan perbedaan bahasa lisan dan tulis.  Serta harus memahami ragam bahasa yang mencerminkan kelompok.
·         Dimensi pengetahuan kognitif (fokus pada minda)
Pengajaran membaca dan menulis hendaknya bisa mengajarkan kepada siswa bagaimana kita supaya aktif, selektif, dan konstruktif saat membaca dan menulis.  Mampu memanfaatkan pengetahuan yang ada untuk membangun makna.  Menggunakan proses mental dan strategi untuk menghasilkan makna.
·         Pengetahuan perkembangan (fokus pada pertumbuhan)
Menjadi literat adalah proses ‘menjadi’ atau secara berangsur mengetahui sejumlah pengetahuan.  Berliterasi adalah sebuah proses ‘menjadi’ secara berkelanjutan yakni melalui pendidikan sepanjang hayat.
·         Pengetahuan sosiokultural (fokus pada kelompok)
Membaca dan menulis itu memerlukan pengetahuan tentang : 1) tujuan dan pola literasi yang beragam, 2) aturan dan norma dalam melakukan transaksi dengan menggunakan bahasa tulis sesuai dengan kelompok yang beragam, 3) fitur-fitur linguistik dari berbagai teks untuk berbagai tujuan di dalam dan untuk silang kelompok ,  4) bagaimana menggunakan literasi untuk  memproduksi, menggunakan, mempertahankan, dan mengontrol pengetahuan di dalam ataupun silang kelompok, 5) bentuk-bentuk dan fungsi literasi tertentu yang bernilai tinggi, 6) kemampuan melakukan kritik teks dari berbagai kelompok.  Intinya mengajarkan literasi itu mengajarkan sejumlah kepekaan tekstual dan kultural lintas kelompok dan lembaga.
            Kegiatan literasi seperti yang terlihat pada diagram di atas selalu secara serentak melibatkan keempat dimensi (bahasa, kognitif, sosial, dan perkembangan).  Literasi tidak sesederhana sekedar menguasai alfabet atau sekedar mengerti huubungan antara bunyi dan simbol tulisan, tetapi bagaimana kita memfungsikan simbol-simbol tersebut secara bernalar dalam konteks sosial.  Kualitas literasi berkembang seiring dengan kematangan diri.  Litersai merupakan kemampuan berbaca-tulis dan malah bagi bagi sebagian orang literasi memiliki konotasi bahwa orang literat itu tidak hanya sekedar berbaca-tulis tetapi juga terdidik dan mengenal sastra.
            Sayangnya ada asumsi dikalangan pendidik dan ahli bahasa yang menganggap tidak perlu mengenalkan sastra asing di sekolah karena terlalu sulit.  Selama ini pengajaran bahasa tidak mengajarkan literasi.  Pengenalan terhadap teks seperti iklan, surat lamaran , ramalan cuaca, puisi, cerita dan lain sebagainya harusnya lebih diperhatikan lagi supaya siswa mengetahui pusparagam literasi. 
            Mengajarkan literasi pada intinya menjadikan manusia yang secara fungsional mampu berbaca-tulis, terdidik, cerdas, dan menunjukkan apresiasi terhadap sastra.  Pendidikan di Indonesia sudah berhasil menciptakan manusia yang terdidik tapi pada umumnya kurang memiliki apresiasi terhadap sastra dan khususnya belum bisa menciptakan manusia yang berbudaya.  Meluruskan rekayasa literasi seharusnya diawali dengan pemahaman atas berbagai paradigma pengajaran literasi.  Dalam garis besarnya ada tiga paradigma pengajaran litersasi, yaitu decoding, skills, dan whole language (kucer 2000).
            Paradigma decoding menyatakan bahwa grafofonem berfungsi sebagai pintu masuk literasi, dan belajar bahasa dimulia dengan menguasai bagian-bagian bahasa.  Dengan kata lain, siswa membangun literasi dengan terlebih dahulu diajari tentang literasi, yakni bagaimana memaknai kode bahasa (makanya disebut decoding).  Dengan proses ini, pembelajaran diharapkan mampu berliterasi mandiri.  Rumusnya : perkembangan literasi = belajar tentang literasi            belajar literasi             belajar melalui literasi.
            Paradigma keterampilan, bahwa pengusaan morfem dan kosakata adalah dasar untuk membaca.  Siswa membangun literasi dengan diajari terlebih dahulu dalam pengetahuan tentang literasi, yakni cara memakai bentuk-bentuk bahasa seperti merfem dan kosakata.  Rumusnya : perkembangan literasi =                  belajar literasi           belajar melalui literasi.
            Terakhir paradigma bahasa secara utuh,  paradigma ini menolak pembelajaran yang meletakkan  fokus pada serpihan bahasa.  Pengajaran bahasa meski berfokus pada pembelajaran makna.  Siswa dihadapkan pada teks otentik yang kontekstual untuk mendapatkan makna baru bukan kosakata baru.  Rumusnya : perkembangan literasi adalah belajar melalui literasi kemudian belajar literasi dan belajar tentang literasi.
            Paradigma adalah cara pandang dan pemaknaan terhadap suatu objek tertentu ( baca pengajaran literasi).  Perubahan sudut pandang membawa sejumlah konsekuensi sampai ke motede dan teknik pengajaran yang hasilnya dapat diukur.  Misalnya dengan perubahan orientasi dari hasil ke proses, guru bahasa akan lebih menghargai proses dari pada hasil.  Tidak menentukan target yang sama bagi semua siswa, karena kemampuan menulis siswa itu berbeda.  Demikian pula dengan fokus pada ekspresi diri, guru akan mendorong siswa menulis sesuai dengan hobi masing-masing.
Untuk itu, kita sebagai bangsa Indonesia harus merubah paradigma kita terhadap pengajaran literasi.  Kita tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama : banyak ahli satra ataupun ilmuan yang tidak bisa menulis.  Banyak dosen, guru dan mahasiswa ataupun sarjana juga tidak bisa menulis.  Apa yang membuat hal demikian terjadi di Indonesia?   Metode dan pengajaran literasinya kah? Ya benar.  Namun bukan hanya itu,  dimensi sosial dan politik juga turut andil dalam hal ini.  Apabila pemerintah dan kepala sekolah mengangap pembelajaran kebudayaan kurang penting maka guru pun tidak mampu membuat suasana yang kondusif untuk mengajarkan literasi.  Paradigma pengajaran literasi Indonesia harus benar-benar dirubah supaya pengajaran literasi bisa berjalan dengan baik dan pendidikan Indonesia mampu menciptakan anak negeri yang berliterasi tinggi.
Sekarang kita harus menerapkan ilmu literasi semaksimal mungkin.  Jangan sekadar membaca  menulis untuk kepentingan sendiri saja.  Kita harus lebih peduli akan bangsa kita tercinta ini.  Ayo kita sama – sama menjadikan Indonesia negara yang maju dengan meningkatkan literasi kita dan menerapkan literasi kita untuk Indonesia.


Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment