GADO-GADO
LITERASI KHAS INDONESIA
By:
IDHAM KHOLID
Indonesia
merupakan negara yang mempunyai ribuan gugusan-gugusan pulau yang tersebar di
seluruh penjuru tanah air, tidak heran Indonesia dijuluki sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia dan juga mempunyai potensi alam yang di dalamnya
mengandung banyak potensi yang menjanjikan (katanya). Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) mempunyai keaneka ragaman adat istiadat dan budaya yang
beragam, serta Indonesia juga mempunyai ribuan bahasa daerah yang menjadi ciri
khas dari masing-masing suatu daerah. Dari Merauke yang terletak di sebelah
ujung timur Indonesia hingga Sabang yang terletak di bagian ujung barat
Indonesia, semuanya menggunakan bahasa ibu mereka sebagai alat untuk
berkomunikasi antar individu di sejumlah daerah. Namun ketika suatu kelompok
dari masing-masing daerah saling bertemu, maka Bahasa Indonesia-lah yang akan
menggantikan bahasa daerah dan masing-masing pihak harus melepas segala macam
atribut bahasa ibu mereka karena seseorang harus secara otomatis melepaskan
bahasa daerahnya dan beralih menggunakan bahasa Indonesia, walaupun logat dari
lidah mereka terlalu kental dan sulit untuk dilepaskan. Bahasa Indonesia
menurut kesepakatan bersama telah resmi sebagai alat pemersatu bangsa karena
sudah ditetapkan di dalam undang-undang 1945 bahwasanya Bahasa Indonesia adalah
bahasa nasional Indonesia. Dengan ribuan bahasa dan potensi yang telah dimiliki
harusnya Indonesia menjadi rujukan literasi dunia, namun apakah bisa?
Dengan
segala macam kelebihan yang ada saat ini, namun sayang sekali posisi Indonesia
di mata dunia masih tergolong dalam negara yang miskin dalam sektor literasi.
Dalam laporan yang dipaparkan oleh Prof. Chaedar Alwasilah dari Univ.
Pendidikan Indonesia (UPI) dalam bukunya Pokoknya Rekayasa Literasi, untuk
mengukur kualitas literasi membaca, matematika, ilmu pengetahuan alam dan
lainnya di Indonesia, Indonesia sejak tahun 1999 telah ikut dalam proyek
penelitian dunia yaitu Progress in International Reading and Literacy Study
(PIRLS), Program for International Students Assesment (PISA), dan the Third
International Mathematics and Science Study (TIMMS). Dari semua temuan yang
dilaporkan, hasilnya sungguh sangat mencengangkan. Presentasi keaktifan para
siswa di Indonesia dalam bidang literasi membaca menduduki peringkat ke 5 dari
bawah, posisinya sungguh sangat rendah jika dibandingkan dengan negara peserta
lainnya karena skor prestasi membacanya hanya berjumlah 407 siswa, berbanding
jauh dengan apa yang didapatkan oleh Rusia yang menempati urutan pertama karena
indeks prestasi membaca para siswanya mencapai 565 siswa.
Indonesia
yang memiliki tingkat literasi membacanya yang sangat rendah, semakin
diperparah lagi dengan kenyataan bahwa di dalam penelitian yang dilaporkan oleh
PIRLS, di Indonesia tidak ditemukan prestasi menulis, sungguh rasanya seperti
sudah jatuh tertimpa tangga. Tingkat literasi kita jauh tertinggal oleh siswa
negara lain, entah apa yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia
sehingga membuat Indonesia tidak mampu menjadi bangsa yang literat dan bahkan
kualitas literasi Indonesia tidak mampu menyaingi negara-negara lain walaupun
hanya ditingkat Asia tenggara.
Masalah
kurangnya minat siswa dalam bidang literasi harusnya menjadi bahan evaluasi
oleh pemerintah Indonesia dan yang terpenting adalah adanya evaluasi dari
seorang guru terhadap pengajaran yang telah diajarkannya. Namun kebanyakan para
guru kita justru malah buta terhadap pentingnya berliterasi, ini menjadi
jomplang ketika seorang gurunya saja tidak mengerti teknik literasi maka tidak
heran para siswanya pun jauh lebih tersesat tentang pentingnya literasi.
Penguasaan literasi dan pedagogi pengajaran literasi mesti dikuasai oleh guru,
namun dengan catatan tidak boleh meninggalkan konteks sosial pembelajaran siswa
seperti suasana rumah, suasana sekolah, dan suasana masyarakat secara
keseluruhan. Menurut penelitian Cole dan Chan 1994, ujung tombak dari
pendidikan literasi adalah seorang guru, dan guru harus mempunyai 6 hal, yakni:
(1) komitmen professional, (2) komitmen etis, (3) strategi analitis, (4)
efikasi diri, (5) pengetahuan bidang studi, serta (6) keterampilan literasi dan
numerasi, jika ke 6 tersebut sudah tertanam pada seluruh guru di Indonesia maka
bukan tidak mungkin Indonesia akan kebanjiran kaum-kaum muda yang literat dan
sangat bagus untuk kemajuan dari suatu bangsa tersebut.
Terkadang
apa yang ingin diterapkan oleh pihak sekolah atau seorang guru agar kualitas
dalam pendidikannya itu bermutu, maka seringkali hal tersebut nantinya akan
berbenturan dengan kurikulum nasional yang menjadikan buku paket sebagai
patokan kurikulum yang sebenarnya tidak membantu siswa untuk berprestasi
sedikitpun dan hanya membuat seorang guru menjadi pemalas apalagi untuk menulis
sebuah karya ilmiah, hal ini sungguh seperti jurus yang jitu untuk pembodohan
massal regenerasi warga Indonesia. Untuk membangun kualitas literasi yang mampu
bersaing di level internasional maka cara yang tepat adalah pemerintah harus
mewajibkan seluruh pelaku pendidikan untuk berbudaya literasi karena literasi
mencakup banyak sekali hal yang saling berkaitan dengan kemajuan suatu bangsa
karena mempunyai peranan penting di dalam peradaban modern dewasa ini.
Manusia
yang literat merupakan mereka yang memiliki potensi untuk membangun bangsanya
sendiri. Potensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki Indonesia saat ini
semestinya menjadi lahan empuk untuk pemerintah Indonesia untuk memupuk
generasi warganya khususnya untuk kalangan yang berkecimpung di dunia
pendidikan baik itu ditingkat sekolah, perguruan tinggi, maupun untuk kalangan
umum. Namun kurangnya informasi yang didapat dan juga kordinasi yang buruk
antar pemerintah pusat hingga ke pemerintah daerah apalagi hingga ke pelosok
negeri menjadi borok yang terus membusuk di tubuh pemerintah kita, akan tetapi
pemerintah selalu mengelak dan enggan untuk disalahkan utuh dalam kasus ini,
alasan yang sering diungkapkan adalah Indonesia itu merupakan negara yang besar
dan luas sehingga susah untuk dijangkau dan butuh waktu yang lama. Alasan
geografis ini sering dijadikan kambing hitam oleh pemerintah, padahal di dalam
sebuah kutipan Mr. Lala Bumela (Dosen writing-4 IAIN Cirebon) ketika ia
berbicara menyampaikan materi tentang pentingnya kesadaran warga Indonesia
untuk berliterasi, Beliau mengatakan; ‘sebenarnya mah alasan geografis dan
banyak penduduk itu tidak masalah’. Seringkali warga kita berfikiran bahwa
kenapa kita sedikit sekali untuk memproduksi karya ilmiah, alasan yang paling
konyol adalah hanya berfikiran bahwa letak geografis satu sama lain di
daerah-daerah itu yang saling berjauhan sehingga susah untuk dijamah dan susah
untuk memperkenalkan budaya literasi ke seluruh warga Indonesia.
Mutu
pendidikan yang ada saat ini rasanya masih amat jauh dari kata sempurna,
fasilitas yang menunjang untuk lamanya belajar serta tidak melupakan pendidikan
dari lingkungan sekitar dan juga lingkungan keluarga, jika kemudian semua
komponen ini disatukan maka akan menciptakan kolaborasi yang apik untuk
menanamkan jiwa literasi kepada siswa. Namun ketika seorang anak berada dalam
lingkungan keluarga, seringkali support yang diberikan sangat kurang, entah
karena kesibukkan dari mereka atau kah memang para orang tua tidak mengerti
dengan apa maksud dan tujuan kita berliterasi.
Iya,
kebanyakan orang tua di Indonesia memang kurang berpendidikan, bahkan jika
dibandingkan dengan negara lain maka prosentasinya amat jauh sekali hanya
tercatat 44% orang tua Indonesia yang memenuhi kriteria sebagai orang tua yang
aktif mendidik anaknya dan berhasil menciptakan atmosfir untuk berliterasi
dilingkungan rumah. Berbanding jauh dengan prestasi yang didapatkan oleh negara
Skotlandia yang mendapatkan 85% dari keaktifan pendidikan di dalam lingkungan
rumahnya, contoh kecilnya para orang tua di daerah Skotlandia sering membacakan
buku, bercerita, menyanyi, bermain huruf, bermain kata, dan membaca nyaring
dilakukan bersama-sama dengan anaknya, sehingga tanpa disadari para orang tua
sedang mengajarkan bagaimana literasi itu.
Para
orang tua yang mempunyai kualitas tinggi untuk membuat suasana keluarga menjadi
kaum literat, maka mereka mempunyai tekad untuk memeberikan buku kepada anaknya
paling sedikit yaitu 100 judul buku dengan 25 judul diantaranya adalah buku
anak-anak. Ini sangat menarik karena para orang tua mengenalkan anaknya tentang
literasi sedini mungkin agar ketika ia dewasa nanti diharapkan menjadi orang
yang literat. Proses yang dijalani agar seseorang menjadi benar-benar orang
yang literat maka proses pendidikan yang dialami membutuhkan waktu yang cukup
lama agar menciptakan kualitas yang mempuni, karena itu pendidikan literasi ini
bisa juga dinamakan sebagai investasi jangka panjang yang berfungsi
transformatif untuk meningkatkan kualitas seseorang dan tentunya akan menjamin
kegiatan sosial ekonomi yang lebih baik berkat budaya literasinya, dengan kata
lain bahwa pendidikan literasi itu pasti mengubah pendapat dan pendapatan. Luar
biasa bukan !
Beberapa
kelebihan dari literasi adalah:
•
Literasi merupakan kecakapan hidup atau life skills yang memungkinkan manusia
berfungsimaksimal di dalam suatu anggota masyarakat.
•
Literasi mencakup kemampuan reseptif dan sangat produktif dalam upaya berwacana
secara tertulis maupun secara lisan.
•
Literasi mampu membuat seseorang berfikir kritis dan sanggup untuk memecahkan
suatu masalah.
•
Literasi adalah refleksi diri dan refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
•
Literasi merupakan hasil kolaborasi dan kegiatan melakukan interpretasi.
Dengan
begitu banyak arti dari literasi ini karena literasi bukan hanya sekedar
kegiatan dalam bentuk membaca dan menulis saja karena di dalamnya mengandung
unsur yang sangat baik jika dipadukan sehingga diharapkan para siswa itu mampu
berbicara banyak di kancah perliteraturan yang berskala internasional,
mengingat bahwa nantinya pengetahuan kabahasaan, kogmitif, pekembangan maupun
pengetahuan sosiokultural para siswa sedikit demi sedikit akan terasah dengan
baik yang nantinya akan semakin meningkatkan dan mampu menciptakan suatu
persaingan antar individu yang sangat baik sekali untuk terjadi di dalam dunia
pendidikan.
Namun
terkadang tingkat keberhasilan dalam menciptakan atmosfir literasi sejak dini
agar bangsa ini literat, kembali lagi bahwa kita harus bercermin diri dan
mengevaluasi apa saja yang kurang di dalam kualitas pendidikan kita karena pada
umumnya main set yang ada dan melekat pada masyarakat Indonesia seakan enggan
dan bodo amat sangat susah sekali dihilangkan, entah minimnya pengetahuan
tentang pentingnya berbudaya literasi atau karena faktor non-teknis yang
menyebabkan warga kita malas untuk berliterasi. Ini tentu menjadi pekerjaan
rumah yang harus segera diperbaiki oleh pemerintah sebelum hujan kecanggihan
dunia modern turun semakin deras lagi, dan juga sikap dan strategi pemerintah
Indonesia untuk bagaimana caranya agar tidak tenggelam di dalamnya.
Jadi
bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ini
sangatlah luas dengan berbagai macam potensi yang ada saat ini. Namun sayangnya
sumber daya manusia yang dimiliki Indonesia saat ini tidak mempuni dan tidak
mampu menciptakan atmosfir sebagai bangsa yang literat. Padahal jika SDM di
Indonesia bahu membahu untuk membangun budaya literasi, akan menciptakan
komposisi yang apik lewat resep dari penggabungan seluruh pelosok negeri ini.
Bukan tidak mungkin Indonesia menjadi bangsa yang berliterasi tinggi dan bisa
menjadi rujukkan literasi tingkat dunia oleh karena kemampuan mengeksplorasi
seluruh sumber daya yang nantinya akan menciptakan warga yang kritis terhadap
sesuatu serta mampu menguasai teknologi terbarukan aagar kualitas literasi kita
bagus dan nantinya akan menambah pendapatan ekonomi lewat budaya literasi. Jadi
sudah tahu tentang pentingnya berliterasi kan? Makanya ayoo kawan mulai dari
sekarang budayakan budaya literasi dalam kehidupan sehari-hari kita. And keep
smile