chapter review



GURIH BUMBU LITERASI
 (by. Endah Jubaedah)
Literasi memang tengah gencar diperbincangkan dan menjadi wacana yang menawan, mendengar kata-katanya saja para pembaca mulai tergiur menikmati sensasi berliterasi.  Literasi menawarkan darah segar untuk kehidupan baru, menopang para tokoh tertutup untuk membuka dunia dengan cara yang lebih baik yakni dengan menjadi pelaku literate.  Untuk mengenal lebih lengkap apa itu literasi, berikut beberapa hal yang berkenaan.

Dikutip dari 7 Edition Oxfor Avanced Learner’s Dictionary, 2005 : 898), mendefinisikan (dianggap lama) literasi adalah kemampuan membaca dan menulis.  Namun, mengapa pengertian ini dianggap telah usang? Masyarakat modern ini mulai menyadari bahwa literasi tidak bisa hanya mengandalkan kemampuan membaca dan menulis saja.  Berdasarkan definisi baru yang menunjukkan paradigma baru maka literasi pun ikut berubah, mengapa? Literasi (membaca dan menulis) diangap tidak mampu menghadapi tantangan zaman yang mengalami “erupsi”; memenas dari waktu ke waktu.  Literasi memiliki anggapan hanya sekedar persoalan psikologis, yang berkaitan dengan kemampuan mental dan eterampilan baca-tulis, padahal literasi adalah praktik cultural yang berkaitan dengan persoalan politik dan sosial.
Dengan berbagai perubahan paradigma tersebut, muncullah polemik yang menguntungkan, yaitu definisi baru dari literasi.  Freebody dan Luke telah membuka jalan pembangunan literasi yang lebih dinamis, sesuai dengan perkembangan zaman; pertama memahami kode dalam teks (breaking the codes of texts), kedua terlibat dalam memaknai teks (participating in the meaning of texts), ketiga menggunakan teks secara fungsional (using texts functionally), keempat melakukan analisis dan mentransformasi teks secara kritis (critically and transforming texts).  Langkah berikut adalah penciptaan karya tulis yang kritis dalam mayarakat demokratis.  Ke-kritisan berliterasi telah terlihat jelas, poinnya adalah memahami, melibatkan, menggunakan menganalisis dan mentransformasi teks.
Uraian, materi, teori dan berbagai macam tulisan bermunculan seiring ovolusi yang berubah pesat dan juga kompleks.  Menurut O’ Sulivan, 1994 : 71, dalam banyak hal objek studi literasi bertumpang tindih dengan objek studi budaya, yang berfokus pada hubungan-hubungan antara variable sosial dan maknanya – atau lebih tepatnya bagaiman divisi-divisi sosial dibermaknakan.  Sedangkan literasi malah semakin menyibukkan diri dengan perubahannya yang begitu signifikan.
Literasi tidak akan pernah tak berhubungan dengan penggunaan bahasa, akan selalu dikaitkan dengan penggunaan bahasa.  Menggapa? Karena kata -kata yang tertulis tak ada jika di dunia tidak ada bahasa atau ragam bahasa, lebih tepatnya penggunaan bahasa.  Ini merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi.
Ada salah satu dimensi yang mencuri perhatian, yaitu dimensi bahasa termasuk didalamnya etnis. lokal, nasional, regional, internasional. Ternyata literasi itu ada singular dan plural dan analogi dari keduanya ke-dimensi monolingual, bilingual dan multi ligual. Sangat menarik sekali mempelajari seseorang yang multilaterat, kemudian tergugah ketika dicontohkan tentang seorang mahasiswa yang tinggal di Indonsia menggambil kuliah jurusan bahasa Inggris dan berasal dari Sunda.  Jika ia sangat literat terhadap bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, tetapi menghitamkan budaya sunda itu berarti ia bukan merupakan seseorang yang dikategorikan sebagai seorang multilaterat.  Justru literasi kesundaannya sangat sempit dan gelap.
Begitu memang fenomena atau gambaran yang tercermin dari berbagai individu bangsa kita, sulit menyeimbangkan apa yang seharusnya ia butuhkan dan lepaskan.  Ada yang literasi bahasa Inggrisnya tinggi, tapi bahasa bangsanya dan budayanya sendiri tak dijamah, sepeti yang telah dicontohkan.  Ada juga yang berbudaya tinggi tetapi memasuki jurusan bahasa Inggris hanya untuk sebuah gelar, tetapi dalam prosesnya setengah-setengah atau tidak bersungguh-sungguh.  Maka sama saja keduanya bukan orang yang ber-multi laterate.
Seperti yang telah dibahas di paragraf -paragraf sebelumnya, bahwa literasi memerlukan pemikiran yang kritis.  Literasi tentu bukan hanya sekedar membaca dan iseng menulis, justru saat ini pendobrakan globalisasi berpengaruh terhadap dunia literasi.  Literasi tidak pula terlepas dari budaya sebagai refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.  Selain memupuk perkembangannya, literasi juga tak hanya melulu tentang perombakan dan perubahan yang lebih kompleks, malah literasi menggajarkan kita agar tidak lupa diri dan terlalu terbawa arus globalisasi yang sudah seharusnya di-filter terlebih dahulu.

Literasi adalah sebuah gambaran dimana kita harus berhasil menggabungkan kebangkitan era modern dan pertahanan budaya.  Koneksi dari penggabungan inilah yang menjadi poin penting dan ciri khas gaya berlitersai.  Pembunuhan budaya yang sering kita temui justru membunuh penganut budaya itu sendiri menjadi seseorang yang tidak bernilai, berbudaya tidak tetapi terlalu ber-modern banyak merusak akhlak dan norma seseorang kebanyakan.  Jadi, berlitersilah selagikita masih kuat menopang gejolak dunia, terutama bagi kaum generasi baru atau remaj- remaja dan anak-anak agar terbiasa berliterasi. 
Survei menyatakan ketertarikan orang-orang Indonesia terhadap menulis dan membaca belum memenuhi kriteria dan kategori, masih jauh dari ekspektasi prestasi membacanya masuk ke dalam kategori yang sangat tinggi.  Hanya 2% saja yang memenuhi kuota terbaik, 19% masuk ke dalam kategori menengah, dan 55% masuk ke dalam kategori rendah.  Berarti 400 sebagai  standar skor tidak dapat Indonesia raih, sedih jika kita lihat prosentase angka Negara lain yang sangat tinggi dan terus meningkat.
  Lalu apa yang akan kita perbuat setelah rapor merah yang kita raih, haruskah kita tetap berdiam diri? Harus seburuk apalagi kualitas dunia pendidikan kita, baru kita terbangun? Atau rasa tidak peduli sudah terlalu membalut diri? Harusnya Indonesia menjadi Negara yang tak hanya jumlah penduduknya saja yang besar, tetapi kualitas sumber daya pendidikan dan sumber daya manusia yang berpendidikan pun harus besar pula.  Itu harapannya.
Berbagai kategori dari hasil survei yang nyata dan memilukan menjadi kepahitan yang mau tidak mau harus ditelan oleh bangsa kita.  Seharusnya kepahitan itu dapat terganti dengan prestasi yang lebih manis, jika setiap individu dapt berubah dan mengubah kebiasaannya dengan aktivitas yang bersifat literasi.  Kapan pun atau dimana pun kita dapat melakukan kegiatan be-literate, tidak hanya lembaga yang dapat melngsungkan kegiatan jendela matahari dunia.  Dunia ini sudah tua dan banyak berubah akan dengan  tetapi kehidupan semakin muda dan baru; berbeda dengan yang dulu.  Eksplirorasi dan progress sangat dianjurkan dalam prosesnya untuk menengok bangsamu sendiri, begitu sendu menelan literasi yang tak teratur.

Literasi sudah ber-evolusi lebih “gendut” dan “kencang”, semakin menguatkan kualitas pertahanannya di zaman ini.  Jika tubuh kering kita tidak mendapat nutrisi yang bersifat literate, maka angin akan membawa tubuh yang tk bervitamin hilang tersapu angin.
Implementasi dari literasi yang terdidik dan berbudaya telah menerbangkan wacana yang semestinya menjadi angin segar untuk kemajuan sebuah bangsa.  Implementasi yang terpusat ini harus secara optimal tertertama melalui lembaga pendidikan formal sebagai pembangunan literasi pertama.  Nah, perbaikan rekayasa literasi menyangkut empat dimensi; lingustik atau focus teks, kognitif atau focus minda, sosiokultural atau focus kelompok, perkembangan atau focus pertumbuhan.  (Kucer, 2005 : 293 – 4).
Sedangkan menurut Kern (2000 : 38) menyebutkan tiga dimensi, yaitu dimensi linguistic, sosiokultural, dan kognitif atau metakognitif.  Kemudian tempat literasi yang pas dan baik itu berbeda pada empat dimensi tadi yang saling berhubungan.  Penunjang implementasi literasi membaca dan menulis adalah pengajaran bahasa atau language arts yang baik menghasilkan orang literate yang mampu menggunakan keempatdimensi ini secara serempak, aktif dan terintegrasi.
Berikut dimensi literasi membaca dan menulis: (Linguistik (texts), Sosiokultural (group), Kognitif (mind), Perkembangan (growth).  Maka, literasi membaca dan menulis akan terciptaa dengan baik jika keempat dimensi tersebut terhubung dan terpusat.  Tentu dengan pengguanaan bahas secara efektif dan efisien.
Salah satu makna dari dimensi tersebut ialah pengetahun perkembangan (focus pada pertumbuhan).  Proses menjadi seorang yang ber-literate perlu berangsur untuk menguasai sejumlah pengetahuan ihwal: (1) pembelajar yang aktif dan konstruktif dalam perkembangan literasinya, (2) pemakai berbagai strategi dan proses mengonstruksi berbagai dimensi literasi seperti pengumpulan data, mengajukan hipotesis, menguji hipotesis, dan memodifikasi hipotesis, (3) pengamatan atas, dan melakukan transaksi dengan mereka yang lebih fasih di dalam dan di luar kelompok sosial dan lembaga seperti terkait etnik, budaya, agama, keluarga, pekerjaan, sekolah dan pemerintahan, (4) bagaimana menggunakan dukungan dan mediasi dari pelaku literasi yang lebih fasih di dalamdan di luar kelompok sosial dan lembaga, (5) pemanfaatan pengetahuan yang diperoleh lewat  membaca, (6) bagaimana menegosiasi makna tekstual.  Itu dia kenapa kesadaran berliterasi teramat harus berproses sepanjang helaan nafas yang masih tertinggal (belum meninggal), bahagia rasanya jika setiap makanan yang kita santap selalu berbumbu literasi.  Gurih!
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment