Literasi Mengajakku Bermaraton Dengan Tugas
(by: Friska Maulani Dewi)
Apa yang ada dipikiran kita ketika mendengar istilah
“Maraton”? Rata-rata banyak orang pasti
akan mengacu pada lari maraton yang biasa dilombakan baik ditingkat RT/RW (pada
17 Agustusan) ataupun yang sampai pada tingkat olimpiade nasional. Kata-kata maraton inilah yang akhir-akhir ini
sangatlah tepat untuk kelangsungan hidupku.
Lari marathon? Bukan! Aku tidak
melakukan lari maraton. Aku bermaraton
dengan tugas-tugas kuliahku.
Jika anda sering melihat di film-film ataupun
sinetron-sinetron di layar televisi anda, pasti disana sering terlihat betapa
menyenangkannya dunia perkuliahan itu. Yang
mahasiswa lakukan hanya mendengarkan dosen yang menerangkan mata kuliah yang
sedang diajarkan, mengobrol dengan teman-teman satu kampus, dan sering bercanda
ria tanpa terlihat kesulitan dan kepusingan yang melanda mereka. Namun, fakta dilapangan ternyata 180 derajat
amat sangatlah berbeda. Itulah yang aku
rasakan saat ini. Tidak ada acara
mengobrol (apalagi untuk membahas hal-hal yang tidak perlu) ataupun melakukan
sesuatu yang membuang waktuku yang (sekarang baru aku sadari) setiap detiknya
amat sangatlah berharga. Tugas, tugas,
dan tugas. Tugas kuliahku itu selalu
datang silih berganti. Satu tugas
selesai, tugas yang lain telah menungguku.
Atau sering juga mereka datang menyerbuku secara bersamaan
(keroyokan). Intinya, maraton tugas
adalah keseharianku semenjak aku menginjakkan kaki di zona perkuliahan. Maraton dengan tugas seperti layaknya makanan
pokok mahasiswa sehari-hari yang akhir-akhir ini sering aku konsumsi.
Pada dasarnya aku kurang menyukai olahraga. Dan salah satu olahraga yang paling tidak aku
sukai adalah lari maraton. Menurut
pendapatku lari maraton hanya akan membuat sekujur tubuhku menjadi terasa
pegal-pegal. Begitu pula yang aku
rasakan dengan maraton tugas ini. Jika
lari maraton membuat sekujur tubuhku menjadi pegal-pegal, maka yang aku rasakan
dengan maraton tugas ini ternyata lebih parah lagi. Pegal yang aku rasakan lebih parah lagi 2
kali lipat jika dibandingkan dengan ketika aku ikut perlombaan lari maraton
dulu. Dengan maraton tugas ini tidak
hanya fisik saja yang capek, tetapi juga otak yang akan merasa capek. Karena selain menggunakan fisik (tangan untuk
menulis/mengetik tugas), kita juga harus menggunakan otak kita untuk
mengerjakan tugas tersebut. Capek?
Pastinya! Aku bukanlah orang yang munafik,
jadi akan jujur aku katakan bahwa maraton tugas ini telah membuatku kehabisan
tenaga dan amat sangat kelelahan. Akan
tetapi, aku tetap tidak akan menyerah.
Tidak ada kata “menyerah” dalam kamus hidupku yang seberapa tebal
halamannya pun masih menjadi rahasia Ilahi.
Maraton tugas inilah yang akan menghiasi halaman demi halaman hidupku
sebagai seorang mahasiswa yang sesungguhnya (bukan seperti yang di film-film
ataupun sinetron-sinetron Indonesia).
Setelah sempat diterpa “badai”, kami kembali bertemu
dengan pelatih kami (Mr.Lala) pada mata kuliah writing 4. Namun, ada yang berbeda pada pertemuan kali
ini karena pertemuan kali ini tidak terjadi pada hari Senin (monster day)
seperti biasanya. Pertemuan ketiga ini
terjadi pada hari Rabu, 19 Februari 2014.
Sebelum memasuki pembahasan materi pembelajaran
selanjutnya, seperti biasa kami ‘ditodong’ untuk mengeluarkan ‘senjata ampuh’
yang telah kita persiapkan semenjak seminggu kemarin. Temanya? Tentu saha (masih) sekitar dunia
literasi. Yap, literacy again, again,
and again! Anehnya sekarang ini literasi
telah sukses menerobos masuk ke dalam kehidupanku layaknya peluru dari sebuah
senjata tajam seorang sniper handal.
Sekarang ‘peluru’ itu telah menjelma sebagai ‘pulpen kehidupanku’ yang
(anehnya) dengan amat sangat sukses menggoreskan setiap informasi-informasi
baru yang ternyata masih banyak hal didunia ini yang belum aku ketahui
sebelumnya. Seperti kata pepatah
“Semakin pintar (banyak tahu) seseorang, maka semakin bodoh dia rasakan”. Karena semakin seseorang banyak belajar,
semakin dia sadari bahwa banyak hal yang tidak diketahuinya, sehingga ia akan
merasa semakin bodoh. Seperti itulah
yang aku rasakan saat ini.
Informasi-informasi baru yang aku dapatkan selama pembelajaranku di
bangku perkuliahan ini, semakin membuatku merasa bodoh karena menyadari semua
ketidaktahuanku. Namun, anehnya aku
justru merasa puas dengan ‘kebodohan’-ku ini.
Karena dengan kebodohanku ini berarti sebagai bukti bahwa aku sedang belajar. Lagipula seseorang itu harus menjadi bodoh
terlebih dahulu agar bisa menjadi orang yang pintar, kan?
Kami semua ‘ditodong’ oleh Mr.Lala untuk
mengeluarkan ‘senjata’ kami yang berkenaan dengan ‘rekayasa literasi’ yang
telah kami kupas tuntas dalam tugas chapter review kami. Namun, ketika dihadapanku dan menodongku
dengan pertanyaan yang beliau berikan, senjataku tidak mampu mengeluarkan
peluru. Aku mencoba dan terus
mencoba. Senjataku pada akhirnya memang
mengeluarkan pelurunya, namun ternyata masih meleset dan tidak tepat sasaran. Tidak perlu aku jelaskan lagi bagaimana
kelanjutannya kan? Ah aku terlalu malu.
Memasuki pembahasan materi pembelajaran ternyata
sang ‘pulpen kehidupanku’ masih enggan untuk beranjak dari zona literasi. Yah, sepertinya beberapa hari kedepan
literasi masih akan mengajakku untuk bermaraton ria. Bahasan kali ini tentu saja (masih) tentang
pengajaran reading & writing yang merupakan tiang pokok literasi. Ternyata dalam pengajaran reading & writing
ini terdapat 4 aspek utama yang harus dilakukan oleh seorang pengembara ilmu,
yaitu:
● Read with high repetition
Untuk lebih ‘masuk’ ke dalam sebuah bacaan, kita
harus benar-benar memahami segala sesuatu yang kita baca. Salah satu cara yang paling ampuh untuk bisa
memahami suatu bacaan adalah dengan terus-menerus membacanya berulang
kali. Dengan demikian, niscaya
lama-kelamaan kita pun akan memahami secara menyeluruh tentang apa yang
dimaksud oleh bacaan tersebut.
● Respons
Setelah kita mengetahui dan memahami segala sesuatu
yang kita baca, tugas kita selanjutnya adalah meresponnya. Maksud dari merespon disini bisa berarti
dengan memberikan pendapat-pendapat kita apakah kita setuju ataupun tidak
setuju. Pernahkah anda mengernyitkan dahi
ketika anda membaca atau mengetahui tentang suatu hal? Itu juga sudah termasuk respon yang kita
berikan. Intinya, disini kita dituntut
untuk menjadi seorang pembaca yang kritis.
Dan kriteria yang paling menonjol dari seorang pembaca yang kritis adalah
“you will not take a text for granted”.
Seseorang pembaca kritis tidak akan menerima dan menelan
informasi-informasi yang ada di dalam suatu bacaan begitu saja. Karena dia akan terlebih dahulu mengolah dan
menganalisis informasi-informasi yang ada dalam teks atau bacaan tersebut
sebelum pada akhirnya dia akan menyatakan setuju maupun tidak setuju perihal bacaan
tersebut.
● (Re)write
Setelah kita memahami dan memberikan respons kita
terhadap suatu bacaan, tahap selanjutnya yang harus kita tempuh adalah
me(re)write-nya atau menulis ulang bacaan tersebut. Tentunya kita menulis dengan menyertakan
pendapat dan sudut pandang kita.
Disinilah kemampuan menulis seseorang dapat terlihat dari bagaimana cara
dia me-(re)write suatu bacaan.
● Produce
Pada akhirnya kita dituntut untuk menghasilkan
‘sesuatu’. Apa yang dimaksud ‘sesuatu’
disini? Tentu saja sebuah karya
tulis. Seperti dikatakan sebelumnya,
membaca dan menulis merupakan suatu paket lengkap yang memiliki ‘hubungan
spesial’ antara satu sama lainnya.
Karena jika kita ingin melihat kualitas seseorang dalam membaca, bisa
kita lihat dari karya-karya tulis yang dia hasilkan (produksi).
“Literacy
is something we do” pertama kali mendengarnya mungkin kita akan mengernyitkan
dahi kita. Namun, jika kita ingat-ingat
lagi, ternyata memang begitulah adanya.
Coba kita pikirkan, ketika kita berbelanja di supermarket, misalnya ketika
kita memilih suatu barang (terutama makanan), kita akan melihat tanggal
kadaluarsanya terlebih dahulu kan? Itu
adalah salah satu contoh literasi. Lalu,
kita juga sering melihat struk belanjaan yang kita dapatkan ketika membayar
belanjaan kita, itu juga literasi.
Bahkan bagi beberapa orang, mereka akan mengumpulkan struk belanjaan
tersebut untuk bisa mengetahui seberapa banyak pengeluaran yang dia habiskan
selama sebulan ini. Dan masih banyak
lagi contoh literasi yang kita lakukan dalam kehidupan kita sehari-hari
walaupun seringnya kita tidak menyadarinya bahwa kegiatan tersebut merupakan
contoh literasi.
Intinya,
literasi ternyata telah merasuk ke dalam setiap aspek kehidupan manusia, baik
mereka sadari ataupun tidak. Seperti
juga yang terjadi pada hidupku sebagai mahasiswa ini. Literasi telah sukses membuatku bermaraton
dengan tugas-tugas kuliahku yang terus datang silih berganti layaknya
kereta-kereta di stasiun.