Class Review 3 : Literasi Mengajakku Bermaraton Dengan Tugas

Literasi Mengajakku Bermaraton Dengan Tugas
(by: Friska Maulani Dewi)

Apa yang ada dipikiran kita ketika mendengar istilah “Maraton”?  Rata-rata banyak orang pasti akan mengacu pada lari maraton yang biasa dilombakan baik ditingkat RT/RW (pada 17 Agustusan) ataupun yang sampai pada tingkat olimpiade nasional.  Kata-kata maraton inilah yang akhir-akhir ini sangatlah tepat untuk kelangsungan hidupku.  Lari marathon?  Bukan! Aku tidak melakukan lari maraton.  Aku bermaraton dengan tugas-tugas kuliahku.

Jika anda sering melihat di film-film ataupun sinetron-sinetron di layar televisi anda, pasti disana sering terlihat betapa menyenangkannya dunia perkuliahan itu.  Yang mahasiswa lakukan hanya mendengarkan dosen yang menerangkan mata kuliah yang sedang diajarkan, mengobrol dengan teman-teman satu kampus, dan sering bercanda ria tanpa terlihat kesulitan dan kepusingan yang melanda mereka.  Namun, fakta dilapangan ternyata 180 derajat amat sangatlah berbeda.  Itulah yang aku rasakan saat ini.  Tidak ada acara mengobrol (apalagi untuk membahas hal-hal yang tidak perlu) ataupun melakukan sesuatu yang membuang waktuku yang (sekarang baru aku sadari) setiap detiknya amat sangatlah berharga.  Tugas, tugas, dan tugas.  Tugas kuliahku itu selalu datang silih berganti.  Satu tugas selesai, tugas yang lain telah menungguku.  Atau sering juga mereka datang menyerbuku secara bersamaan (keroyokan).  Intinya, maraton tugas adalah keseharianku semenjak aku menginjakkan kaki di zona perkuliahan.  Maraton dengan tugas seperti layaknya makanan pokok mahasiswa sehari-hari yang akhir-akhir ini sering aku konsumsi.
Pada dasarnya aku kurang menyukai olahraga.  Dan salah satu olahraga yang paling tidak aku sukai adalah lari maraton.  Menurut pendapatku lari maraton hanya akan membuat sekujur tubuhku menjadi terasa pegal-pegal.  Begitu pula yang aku rasakan dengan maraton tugas ini.  Jika lari maraton membuat sekujur tubuhku menjadi pegal-pegal, maka yang aku rasakan dengan maraton tugas ini ternyata lebih parah lagi.  Pegal yang aku rasakan lebih parah lagi 2 kali lipat jika dibandingkan dengan ketika aku ikut perlombaan lari maraton dulu.  Dengan maraton tugas ini tidak hanya fisik saja yang capek, tetapi juga otak yang akan merasa capek.  Karena selain menggunakan fisik (tangan untuk menulis/mengetik tugas), kita juga harus menggunakan otak kita untuk mengerjakan tugas tersebut.  Capek? Pastinya!  Aku bukanlah orang yang munafik, jadi akan jujur aku katakan bahwa maraton tugas ini telah membuatku kehabisan tenaga dan amat sangat kelelahan.  Akan tetapi, aku tetap tidak akan menyerah.  Tidak ada kata “menyerah” dalam kamus hidupku yang seberapa tebal halamannya pun masih menjadi rahasia Ilahi.  Maraton tugas inilah yang akan menghiasi halaman demi halaman hidupku sebagai seorang mahasiswa yang sesungguhnya (bukan seperti yang di film-film ataupun sinetron-sinetron Indonesia).
Setelah sempat diterpa “badai”, kami kembali bertemu dengan pelatih kami (Mr.Lala) pada mata kuliah writing 4.  Namun, ada yang berbeda pada pertemuan kali ini karena pertemuan kali ini tidak terjadi pada hari Senin (monster day) seperti biasanya.  Pertemuan ketiga ini terjadi pada hari Rabu, 19 Februari 2014.
Sebelum memasuki pembahasan materi pembelajaran selanjutnya, seperti biasa kami ‘ditodong’ untuk mengeluarkan ‘senjata ampuh’ yang telah kita persiapkan semenjak seminggu kemarin.  Temanya? Tentu saha (masih) sekitar dunia literasi.  Yap, literacy again, again, and again!  Anehnya sekarang ini literasi telah sukses menerobos masuk ke dalam kehidupanku layaknya peluru dari sebuah senjata tajam seorang sniper handal.  Sekarang ‘peluru’ itu telah menjelma sebagai ‘pulpen kehidupanku’ yang (anehnya) dengan amat sangat sukses menggoreskan setiap informasi-informasi baru yang ternyata masih banyak hal didunia ini yang belum aku ketahui sebelumnya.  Seperti kata pepatah “Semakin pintar (banyak tahu) seseorang, maka semakin bodoh dia rasakan”.  Karena semakin seseorang banyak belajar, semakin dia sadari bahwa banyak hal yang tidak diketahuinya, sehingga ia akan merasa semakin bodoh.  Seperti itulah yang aku rasakan saat ini.  Informasi-informasi baru yang aku dapatkan selama pembelajaranku di bangku perkuliahan ini, semakin membuatku merasa bodoh karena menyadari semua ketidaktahuanku.  Namun, anehnya aku justru merasa puas dengan ‘kebodohan’-ku ini.  Karena dengan kebodohanku ini berarti sebagai bukti bahwa aku sedang belajar.  Lagipula seseorang itu harus menjadi bodoh terlebih dahulu agar bisa menjadi orang yang pintar, kan?
Kami semua ‘ditodong’ oleh Mr.Lala untuk mengeluarkan ‘senjata’ kami yang berkenaan dengan ‘rekayasa literasi’ yang telah kami kupas tuntas dalam tugas chapter review kami.  Namun, ketika dihadapanku dan menodongku dengan pertanyaan yang beliau berikan, senjataku tidak mampu mengeluarkan peluru.  Aku mencoba dan terus mencoba.  Senjataku pada akhirnya memang mengeluarkan pelurunya, namun ternyata masih meleset dan tidak tepat sasaran.  Tidak perlu aku jelaskan lagi bagaimana kelanjutannya kan?  Ah aku terlalu malu.
Memasuki pembahasan materi pembelajaran ternyata sang ‘pulpen kehidupanku’ masih enggan untuk beranjak dari zona literasi.  Yah, sepertinya beberapa hari kedepan literasi masih akan mengajakku untuk bermaraton ria.  Bahasan kali ini tentu saja (masih) tentang pengajaran reading & writing yang merupakan tiang pokok literasi.  Ternyata dalam pengajaran reading & writing ini terdapat 4 aspek utama yang harus dilakukan oleh seorang pengembara ilmu, yaitu:
      ●    Read with high repetition
                  Untuk lebih ‘masuk’ ke dalam sebuah bacaan, kita harus benar-benar memahami segala sesuatu yang kita baca.  Salah satu cara yang paling ampuh untuk bisa memahami suatu bacaan adalah dengan terus-menerus membacanya berulang kali.  Dengan demikian, niscaya lama-kelamaan kita pun akan memahami secara menyeluruh tentang apa yang dimaksud oleh bacaan tersebut.
●    Respons
                  Setelah kita mengetahui dan memahami segala sesuatu yang kita baca, tugas kita selanjutnya adalah meresponnya.  Maksud dari merespon disini bisa berarti dengan memberikan pendapat-pendapat kita apakah kita setuju ataupun tidak setuju.  Pernahkah anda mengernyitkan dahi ketika anda membaca atau mengetahui tentang suatu hal?  Itu juga sudah termasuk respon yang kita berikan.  Intinya, disini kita dituntut untuk menjadi seorang pembaca yang kritis.  Dan kriteria yang paling menonjol dari seorang pembaca yang kritis adalah “you will not take a text for granted”.  Seseorang pembaca kritis tidak akan menerima dan menelan informasi-informasi yang ada di dalam suatu bacaan begitu saja.  Karena dia akan terlebih dahulu mengolah dan menganalisis informasi-informasi yang ada dalam teks atau bacaan tersebut sebelum pada akhirnya dia akan menyatakan setuju maupun tidak setuju perihal bacaan tersebut.
●    (Re)write
                  Setelah kita memahami dan memberikan respons kita terhadap suatu bacaan, tahap selanjutnya yang harus kita tempuh adalah me(re)write-nya atau menulis ulang bacaan tersebut.  Tentunya kita menulis dengan menyertakan pendapat dan sudut pandang kita.  Disinilah kemampuan menulis seseorang dapat terlihat dari bagaimana cara dia me-(re)write suatu bacaan.
●    Produce
                  Pada akhirnya kita dituntut untuk menghasilkan ‘sesuatu’.  Apa yang dimaksud ‘sesuatu’ disini?  Tentu saja sebuah karya tulis.  Seperti dikatakan sebelumnya, membaca dan menulis merupakan suatu paket lengkap yang memiliki ‘hubungan spesial’ antara satu sama lainnya.  Karena jika kita ingin melihat kualitas seseorang dalam membaca, bisa kita lihat dari karya-karya tulis yang dia hasilkan (produksi).
            “Literacy is something we do” pertama kali mendengarnya mungkin kita akan mengernyitkan dahi kita.  Namun, jika kita ingat-ingat lagi, ternyata memang begitulah adanya.  Coba kita pikirkan, ketika kita berbelanja di supermarket, misalnya ketika kita memilih suatu barang (terutama makanan), kita akan melihat tanggal kadaluarsanya terlebih dahulu kan?  Itu adalah salah satu contoh literasi.  Lalu, kita juga sering melihat struk belanjaan yang kita dapatkan ketika membayar belanjaan kita, itu juga literasi.  Bahkan bagi beberapa orang, mereka akan mengumpulkan struk belanjaan tersebut untuk bisa mengetahui seberapa banyak pengeluaran yang dia habiskan selama sebulan ini.  Dan masih banyak lagi contoh literasi yang kita lakukan dalam kehidupan kita sehari-hari walaupun seringnya kita tidak menyadarinya bahwa kegiatan tersebut merupakan contoh literasi.

            Intinya, literasi ternyata telah merasuk ke dalam setiap aspek kehidupan manusia, baik mereka sadari ataupun tidak.  Seperti juga yang terjadi pada hidupku sebagai mahasiswa ini.  Literasi telah sukses membuatku bermaraton dengan tugas-tugas kuliahku yang terus datang silih berganti layaknya kereta-kereta di stasiun.
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment