3rd
Class Review
Malas Itu;
Ya Bodoh, Ya Miskin
(by.
Endah Jubaedah)
Diduga malas membaca, pengumpulan informasi terasa
“cekak” dan pengembangan daya berpikir tersendat. Terduga telah malas menulis, kemampuan nalar
yang logis perlahan menurun. Sang penduga
yang malas membaca dan menulis, menenggelamkan kesempatan lalu tenggelam
dalam ilmu pengetahuan yang minim dan
terhempas dengan ketidaktahuan. Malas oh
malas, mematikan! Tak dapat dihitung jari berapa jumlah korban yang “mati”
karena kemalasan; bukan ia yang kehabisan tarikan nafas di paru-paru, namun ia
yang hidup tapi hanya diam menggendong rasa malas tinggi-tinggi (madesu: masa depan suram).
Kemalasan selalu pandai memberi penawaran yang
menyenangkan hati, bisikannya menggelikan namun memikat. Mengajak para insan menikmati bahagia sesaat
secara berulang-ulang, selalu terulang, dan diulang-ulangi. Terhindar dari sifat malas ialah keinginan
semua manusia yang berpikir jernih, tak akan ada orang ingin bersahabat dengan
kemalasan sejujurnya. Namun godaan selalu
hilir mudik dari diri, malas mengerjakan tugas misalnya; menunda-nunda
mengerjakan tugas atau melakukan sesuatu yang penting. Bumerang pun datang untuk menegur, resiko
yang harus diterima menjadikan sebuah pelajaran dan mengambil apa yang bisa
dipelajari dari sebuah teguran atau bahkan kesalahan.
Rasa malas juga timbul ketika tugas menulis menagih
untuk dituntaskan, menulis akademik lagi.
Menulis akademik mulai “digalakkan” juga mendapat perhatian lebih, baru
mengenali tapi dipaksa mengenal. Hal ini
tentu karena formula yang terkandung dalam tulisan ber-akademik dinilai
berbobot dengan informasi yang begitu meng-informasi, dan dianggap pantas
menjadi bacaan dan referensi. Ekspektasi
menulis akademik sering membuat “pening” memikirkan teknisnya seperti apa dan
menghasilkan bacaan yang dapat diklasifikasikan sebagai sebuah tulisan akademik
atau sebaliknya. Namun semua
kekhawatiran it akan berlalu selepas kita memutuskan untuk practice secara intens atau terus-menerus.
Demi kebutuhan ragawi untuk mendapatkan asupan yang
sehat dengan cara berliterasi memang tak heran jika menulis menjadi nikotin
yang mesti di-candu, candunya sungguh memekakan hati. Menulis bukan kumpulan kata semata; makna dan
tujuannya pun mesti jelas tertulis dan dipahami pembaca. Perlu kemampuan yang terfokus agar kita dapat
menulis dengan benar, tantangan yang akan menjadikan generasi yang juga
benar. Kemudian tantangan baru dalam
menulis muncul di “critical review” setelah
merekayasa literasi berlalu di “chapter review”, semakin tinggi
ekpektasi menulis yang harus dicapai.
Tak mudah memang untuk mencapainya, namun semua ekspektasi itu akan
tercapai apabila kita besungguh-sungguh mendedikasikan hati untuk menulis.
Belajar membuat sebuah kritik yang logis terhadap
suatu tulisan tentu bukan hal mudah dan tak bisa “asal-asalan”, membuat
critical review menganalisa secara detail tentang apa yang disampaikan penulis
dan mencari hal-hal yang dianggap ganjil dengan alasan yang masuk akal adalah
gambaran sebuah proses pembuatan critical review.
Segalanya harus serba matang karena materi tulisan
yang harus dikritisi adalah sebuah karya tulis seorang penulis negeri yang
ternama, A. Chaedar Alwasilah. Karya
tulisnya sudah menjadi langganan media cetak ternama, buku-bukunya pun telah
berhasil diterbitkan dengan sukses.
Opini-opini dan pemkirannya tertuang dalam tulisan yang berkesan;
menarik, berpengetahuan dan realistis.
Namun ini pula yang menjadikan kami harus berhati-hati dan perlu
berpikir keras dan berulang apa yang selayaknya dapat tersampaikan lewat
pengkritikan terhadap tulisan beliau.
Tentu saja ini bukanlah hal yang bisa dianggap
gampang dan “di-entengkan” karena karya beliau begitu mengilhami para
pembacanya dengan penyampaian menggunakan kata-kata yang unik tetapi lugas,
sehingga para pembaca dengan mudah mengerti isi bacaannya. Kerja keras membuat critical review membuat
rasa malas terpaksa pergi, sungguh tantangan yang sulit ter-elakkan ini
memperdaya hati untuk lebih giat menulis dan membaca. Komposisinya tentu haruslah jelas dan
menjelaskan. Bangun dari rasa malas
bukanlah hal yang mudah namun memudahkan, mudah untuk menjernihkan hati dan
membuka mata serta menyadari bahwa rasa malas dekat dengan kebodohan dan
kemiskinan. Merugilah orang malas itu;
ya bodoh ya miskin.