3rd Class Review
Saatnya Melek Literasi
By Hanifatus Sholihah
Pada pertemuan ketiga ini, kita tidak belajar dihari yang seperti
biasanya. Kita berjumpa dengan Mr.Lala pada hari rabu, tanggal 19 Februari
2014. Ini semua dapatterjadi diakibatkan oleh ulah kita sendiri dan kekurangaktifan
kita saat di kelas.
Masih membahas seputar academic writing. Untuk kalangan
anak-anak IAIN khususnya anak bahasa inggris, menulis adalah menjadi suatu hal
yang biasa. Namun, menulis literasi ini masih menjadi hal yang fenomenal karena
sebelumnya kita belum pernah dijejalkan hal-hal yang ekstrim, yang berbau
ilmiah dan menantang. Bahkan tidak sedikit mahasiswa yang merasa kerepotan dan
angkat tangan untuk melewati tantangan yang kian hari kian rumit ini.
Semangat yang tinggi serta tekad yang kuat untuk mencapai apa yang
sudah ditargetkan, membuat hati kita menjadi semakin terbuka dan cakrawala
keilmuan kita kian hari kian terasah supaya literasi kita semakin tajam.
Oleh karena itu, medan yang akan kita tempuh sangatlah curam,
berkerikil dan berkelok-kelok. Tidak akan semudah kita membalikkan telapak
tangan karena dibutuhkan skill, kerja keras, kuat fisik serta semangat yang tinggi untuk
bisa menghadapi kelak apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang.
Belajar di area literasi, tidak akan pernah lepas dari belajar
linguistik. Dimana dalam linguistik terdapat prinsip momentum. Prinsip momentum
adalah apa yang kita lakukan harus sesuai pada momennya. Mr Lala bilang bahwa
hanya di IAIN lah yang writing nya sedikit demi sedikit mulai menjamah
di area academic writing.
Lantas dengan kenyataan tersebut, kita seharusnya berbangga hati
karena dengan hal kecil itu sudah membuktikan bahwa kita sudah selangkah lebih
unggul daripada yang lain. Khususnya di semester 4 bahasa Inggris, adalah para
bibit-bibit unggul yang harus ditanam ditempat yang subur dan rajin disiram
agar dapat tumbuh dengan sempurna. Kita seharusnya tidak boleh merasa terbebani
atas ide-ide briliant Mr. Lala pada kelas writing 4 kali ini. Kita
harusnya sadar bahwa menulis akademis itu dapat memberikan pengaruh yang luar
biasa kepada kita untuk kedepannya.
Mr Lala mengemukakan agar kita bisa mencontoh salah satu
universitas di India (S2). Mereka setiap harinya tidak pernah diajarkan akan
teori-teori mengenai academic writing. Kampus atau universitasnya saja
luasnya mungkin tidak seberapa jika dibanding dengan IAIN sekalipun. Namun
perbedaannya terletak pada kualitas dosen di India itu sudah bertaraf
internasional. Jadi kualitas menjadi prioritas utama. Buktinya terlihat pada
saat ujian, mereka diperintah oleh dosennya untuk mengerjakan hasil ujian di
kertas folio besar dengan tulis tangan dan berlembar-lembar.
Kualitas yang ditampakkan oleh India, sejatinya itulah alasan
mengapa India mampu menciptakan dan mempunyai bollywood dimana bollywood
mampu memproduksi 10 sampai 12 film per tahunnya. Selain di India, melalui
bakat literasi yang tinggi, Amerika mampu membuat hollywood yang mana hollywood
dapat menciptakan dua kali lipat film dibandingkan dengan India.
Dari contoh diatas, itu dapat dijadikan gambaran bahwa tingkat
kesadaran akan literasi yang tinggi, membuat seseorang bisa menumpahkan suatu
mahakarya dan membuat kaya pula. Dan lagi, jika tidak ada seorang literat yang
berkemampuan luar biasa maka tidak akan terwujud atau terealisasi dengan
kemunculan film-film yang mampu membuat orang mengacungkan jempol.
Menurut William Butler Yeats pendidikan itu tidak diibaratkan
dengan mengisi sebuah ember kosong, tetapi sebuah pencahayaan dari api. Jadi
diri kita diibaratkan sebuah obor sedangkan jiwa kita adalah api nya. Jadi
pengetahuan yang kita miliki, bergantung dari diri kita memperlakukan obor itu
seperti apa. Apakah obor itu akan kita buat semakin besar apinya, tergantung
dari sistem pendidikan dan proses belajar kita.
Berdasarkan Michael Barber, penyebab dari seseorang malas itu
adalah karena bodoh dan miskin. Bodoh dan miskin sesungguhnya bukanlah gift dari
tuhan, melainkan sesuatu yang diciptakan sendiri. Orang yang menomorsatukan
pendidikan dipastikan sebagai orang yang highly literate, numerate, well –
informed, and capable of learning constantly. Terutama kita, di era ke-21
ini dituntut untuk hidup tinggi, maksudnya hidup dengan kekayaan literasi dan
membiarkan menjadi seseorang yang percaya diri. Untuk itu, daya tahanpun harus
tinggi.
Dikutip dari Danica Hubbard “berbagi teks satu sama lain setiap
hari membuka pintu kesuksesan”. Menjelajahi tantangan dalam ruang kelas
tradisional dan sebuah pengaturan online sangat menarik. Sebagai seseorang yang
kaya akan literasi diharapkan dapat mencari cara yang variatif untuk bertukar
informasi, mempertahankan pengetahuan serta ide-ide dalam beberapa genre
sehingga dapat memunculkan inovasi kreatifitas mengajar.
Berdasarkan yang bapak Chaedar ungkapkan bahwa pada abad ke-21,
standar kelas dunia akan menuntut bahwa setiap orang yang sangat melek nuruf,
mampu berhitung, menerima dan memilah informasi yang baik, mampu belajar
terus-menerus dan percaya diri mampu memainkan peran sebagai warga masyarakat
yang demokratis.
Lilis (2001) fokus pada suatu academic writing yang disebut
dengan “essayist literacy” yaitu mencerminkan kedua peran gerbang
penjaga memainkan pengaturan akademik dan pentingnya menunjukkan pengetahuan
akademik. Katanya essayist literacy is not a specific genre but ‘institutionalized
shorthand for a particular way of constructing knowledge which has come to be
privileged (hak istimewa) within the academy’ (Lilis, 2001 : 20).
Dibawah ini terdapat elemen-elemen sebagai pembuka dalam academic
writing, adalah :
Pertama, kohesi. Kohesi yaitu gerakan halus atau “aliran” antara
kalimat dan paragraf.
Kedua, kejelasan. Kejelasan adalah makna yang muncul dari
komunikasi yang sangat jelas.
Ketiga, urutan logis. Yaitu acuannya terdapat pada berurutannya
dari informasi yang logis. Dalam penulisan akademik, penulis cenderung bergerak
dari umum ke khusus.
Keempat, konsisten. Konsisten adalah proses dari menulis harus
dilakukan terus menerus agar meningkat.
Kelima, yaitu unity. Merupakan kesatuan yang mengacu pada
pengecualian informasi yang tidak secara langsung berhubungan dengan topik yang
dibahas dalam paragraf tertentu.
Selanjutnya yaitu keringkasan. Keringkasan ini ialah cara kita
menggunakan kata-kata. Tulisan yang bagus dengan cepat sampai ke titik dan
menghilangkan kata yang tidak perlu pengulangan.
Setelah itu, kelengkapan. Sementara informasi berulang-berulang
atau tidak perlu harus dihilangkan, penulis memiliki wewenang memberikan
informasi penting mengenai suatu topik tertentu.
Selain itu, ragam (variety) membantu pembaca dengan menambahkan
beberapa “bumbu” untuk teks.
Terakhir yaitu formalitas. Menulis akademik adalah formal dalam
nada. Itu berarti bahwa kosakata dan struktur bahasa yang canggih yang
digunakan. Selain itu, penggunaan kata ganti seperti “I” dan konstruksi yang
harus dihindari.
Destinasi itu berhubungan dengan kompetensi. Dalam sebuah
kompetensi ini, Mr Lala menginginkan kampus kita sebagai “centre of
excellences”dimana ingin membuka lembaga ‘TOEFL Internasional’. Rekayasa
literasi pasti berperan penting didalamnya, agar apa yang menjadi harapan dapat
terealisasi. Rekayasa literasi yaitu pengajaran reading dan writing. Komponen-komponen
yang mendukung pengajaran R+W yaitu belajar, penelitian, basic (knowledge) dan
space shuttle.
Hubungan antara reading-writing adalah sebagai berikut :
-
Read with high
repetition
Pada proses membaca, kita harus selalu intens (terus menerus).
Belajar dari membaca tidak bisa dilakukan hanya satu kali, tetapi
berulang-ulang supaya adanya evolusi dan hal ini merupakan hal penting karena
saat membaca harus dilakukan analisis.
-
Respon /
kritisi
Pada bagian respon, bentuknya ada dua macam, yaitu diskusi dan juga
tertulis.
-
(Re) write
Setelah kita membaca secara intens, kita buktikan seberapa jauh
pemahaman dan tingkat literasi kita dapat dilihat dari cara dia menuliskan
kembali dengan gaya bahasa masing-masing individu.
-
Reproduce
Adalah meniru apa yang disampaikan atau pesan penting yang akan
disorot untuk menciptakan adanya suatu pembahasan.
Dalam menulis sebuah puisi dengan berita sangat berbeda. Puisi
lebih bersifat personal dan strategi pencapaiannya yaitu tingkat aestheticnya
atau keindahannya sedangkan berita bersifat umum dan menyeluruh dan strategi
pencapaiannya dengan tingkat “efferent”. Rekayasa memajukan repetisi yang
tinggi. Sistem bahasa juga harus dipelajari atau dikuasai. Seorang linguis
harus jago dalam berbahasa.
Dengan adanya tingkat rekayasa literasi yang tinggi, Belanda mampu
menjadi produsen sayuran terbesar di dunia, walaupun di negeri Belanda tidak
banyak lahan yang dapat ditanami sayuran, tetapi mereka menggunakan cara
“Rekayasa Genetika”. Selain itu, negeri ini juga mampu menjadi sebagai produsen
bunga. Meskipun sumber terbatas, tetapi mereka semua kaya karena tingkat
literasi mereka yang tinggi, dan apabila dibandingkan dengan Indonesia yang
sumber daya alamnya melimpah, masih kalah jauh dibanding dengan Belanda karena
tidak ada kemauan dan kemampuan untuk mengolahnya.
Ken Hyland (2006) mengemukakan bahwa literasi adalah sesuatu yang
kita lakukan. Contohnya apabila kita membeli sebuah obat, pasti kita akan
mengecek tanggal kadarluarsa terlebih dahulu. Dan itulah yang dinamakan
literasi, sesuatu yang kita lakukan secara spontan dan sadar serta hal itu
dilakukan berulang-ulang. Hamilton (1998) yang mengutip Hyland (2006 : 21)
melihat literasi sebagai suatu aktifitas yang menyebabkan adanya interaksi
antara manusia.
Hyland further dalam opininya yaitu “melek akademik menekankan kita
dalam penggunaan bahasa, disebut dengan praktek keaksaraan, didukung
oleh lembaga sosial dan hubungan kekuasaan. Keberhasilan akademis berarti
memperkenalkan diri kita dengan cara dihargai oleh disiplin kita, mengadopsi
nilai-nilai, keyakinan serta identitas diri dalam mewujudkan wacana akademik.
Sedangkan menurut Kern (2003) : literasi mengacu kepada pengetahuan umum dan
keakraban dengan literatur.
Literasi adalah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan
sosial politik. Sedangkan rekaya literasi adalah upaya sengaja dan sistematis
untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara
optimal. Penguasaan bahasa menjadi pintu masuk menuju kependidikan dan
pembudayaan. Contohnya : sekolah membangun literasi sebagai proses dan hasil
belajar bahasa di sekolah sering dijadikan rujukan dalam upaya mengukur tingkat
literasi.
Definisi anyar mengenai literasi terus menjamur sesuai dengan
tuntutan “zaman edan” saat ini sehingga apabila sangkut pautnya dengan
perubahan pengajaran itu tidak dapat dihindari. Model literasi ala Freebody dan
Luke (2003), yaitu breaking codes of texts, itu dapat kita pecahkan
dengan menguasai semiotik. Participating in the meanings of text, disitulah
kita berperan menjadi seorang pembaca sekaligus penulis. Using text
functionally, teks yang kita akan baca atau akan kita perbaharui dengan
menulis ulang itu harus digunakan sebagaimana fungsinya. Terakhir yaitu critically
analysing and transforming texts, apa yang sudah kita lakukan (saat sebagai
reader-writer) kita harus memberikan analisis yang kritis, maksudnya
menciptakan tindakan yang tidak puas dengan apa yang orang lain berikan dan
kita sajikan dan selalu membuat pembaharuan. Teks tersebut juga harus mampu
menjadi “perubah” bagi seorang literat.
Beda sekali dengan Prof. A. Chaedar alwasilah yang meringkas
penjelasan Freebody dan Luke (2003) menjadi : memahami, melibati, menggunakan,
menganalisis dan mentransformasi.
Hal-hal yang berhubungan dengan rekayasa literasi, mencakup hal-hal
seperti berikut:
-
Rujukan
literasi terus berevolusi, sedangkan linguistik tetap (konstan)
-
Studi literasi
tumpang tindih bersama objek studi budayanya serta dengan dimensinya yang luas
-
Pendidikan
salah satu tolak ukur dalam menghasilka literasi. Pendidikan dengan kualitas
tinggi akan menjamin literasi berkualitas tinggi pula
-
Modal hidup
kita adalah reading, writing, arithmetic and reasoning
-
Orang
multiliterat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi dengan siapapun
-
Masyarakat yang
tidak literat tidak mampu memahami bagaimana hegemoni diwacanakan lewat media
massa
-
Pengajaran
bahasa harus mengajarkan keterampilan berfikir kritis
-
Garis finish
pendidikan literasi adalah GURU dengan kriteria : komitmen profesional,
komitmen etis, strategi analitis, dan reflektif, efikasi diri, pengetahuan
dalam bidang studi serta keahlian literasi dan numerasi (Cole dan Chan 1994
dikutip dari Prof. Chaedar, 2012)
-
Dimensi dari
rekayasa literasi yaitu linguistik (bahasa), kognitif (pengetahuan atau
kecakapan) sosiokultural dan perkembangan.
-
Rekayasa
literasi = merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi
diatas.
-
Kern (2003),
mengarahkan literasi kepada “suatu pengetahuan umum dan keakraban dengan
literatur / literasi.”
-
Orang literat
terdidik karena mengenal sastra.
Mewujudkan suatu bangsa sebagai bangsa literat haruslah hebat tidak
hanya dalam reading dan writing saja tetapi sejauh mana kita
bertaaruf dengan sastra. Selain itu, ciri orang literat juga tingkat numerate
harus tinggi karena orang yang tinggi literasi dan numerasinya akan dapat survive
di zaman yang sudah banyak berevolusi ini. Orang literat ataupun multiliterat
dapat bertahan hidup dan mengikuti perkembangan dalam keilmuan serta dapat
berinteraksi dimanapun dengan siapapun dan dalam situasi apapun. Literasi juga
tidak lepas dari belajar linguistik. Sebenarnya pengajaran bahasa mengajarkan
berfikir kritis. Tingkat pendidikan yang berkualitas tinggi pasti kualitas
literasinya pun tinggi, sehingga saat proses reading-writing kita dapat
melakukan analisis kritis. Dan uniknya rujukan literasi terus berevolusi
seiring berjalannya waktu perkembangan keilmuan sedangkan rujukan linguistik
akan tetap konstan (tidak berubah).