Transisi Kehidupan yang Berliterasi (Class Review 3)



Transisi Kehidupan yang Berliterasi
Author : Dwi Arianti

Rabu siang, 19 Februari 2014 merupakan pertemuan ketiga dengan mata kuliah Writing 4. Pertemuan ini adalah awal menuju pertarungan yang sebenarnya. Pertarungan diri dengan 2500 kata yang masih menjadi rahasia. Dengan berbekal ribuan kata bahasa Inggris yang tersuguhkan pada artikel yang berjumlah tiga halaman, saya dituntut untuk mampu menemukan 2500 kata rahasia yang tak tahu kapan datangnya. Semua itu, harus direkayasa menjadi 2500 kata yang indah yang penuh makna.
Ketika berbicara mengenai rekayasa literasi, satu hal yang teringat dalam benak saya adalah pendidikan. Pendidikan memang menjadi pusat perhatian bagi kehidupan yang maju. Pendidikan yang bermutu akan membuat kehidupan suatu negara menjadi maju. Dari sini, perlu yang namanya transisi kehidupan menjadi lebih berliterasi.
Menurut pernyataan yang diungkapkan oleh Willian Butler bahwa “Education is not the filling of a pail, but the lighting of a fire”. Pernyataan ini bermakna bahwa pendidikan bukan untuk mengisi sebuah ember menjadi penuh, tetapi bagaikan menyalakan api pada obor (come with a torch not a bucket). Lantas apa yang menjadi apinya? Api tersebut adalah soul atau jiwa.
Kehidupan berliterasi memang menjadi faktor atau unsur penting yang dibutuhkan oleh negara Indonesia. Kita harus membuka mata lebar-lebar bahwa negara India memiliki Bollywood. Amerika juga memiliki hollywood. Hal tersebut karena masyarakatnya memiliki kehidupan yang sangat berliterasi tinggi, sehingga perlu disadari bahwa literasi memang kunci penting membangun bangsa yang peradabannya maju. Seperti halnya pendapat dari Michael Barber yang mengatakan bahwa “ In the 21st century, world class standards will demand that everyone is highly literate, highly numerate.....”. pernyataan ini menjelaskan bahwa setiap orang yang hidup pada abad ke-21 ini harus dituntut untuk berliterasi tinggi (highly literate). Kata literate menjadi kunci pertama dari pernyataan tersebut.
Berbicara mengenai literasi, sebenarnya sesuatu yang tidak asing dilakukan oleh seseorang. hal ini karena literasi adalah something we do. Menurut Hamilton (1998), literacy as an activity located in the interactions between people. Literasi merupakan aktivitas atau kegiatan yang ditemukan dalam interaksi dengan orang-orang. Literasi juga dapat didefinisikan sebagi praktek kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial politik yang ada.
Literasi yang ada di Indonesia, hendaknya perlu melakukan rekayasa. Apa yang direkayasa? Jawabannya adalah pengajaran literasinya itu sendiri (membaca dan menulis). Pengajaran terdiri dari pembelajaran dan penelitian. Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan sitematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penggunaan bahasa yang optimal. Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan pembudayaan (Chaedar Alwasilah, 2012:172).
Me-rekayasa sesuatu seperti halnya literasi, mungkin adalah suatu cara atau upaya yang tepat umtuk memperbaiki suatu keadaan menjadi lebih baik. sebagian sampel dari rekaya adalah negara Belanda. Belanda adalah produsen sayuran dan bunga terbesar di dunia. Secara geografis, Belanda merupakan negara kecil yang terletak di bawah laut. Akan tetapi, Belanda bisa dan mampu menjadikan negaranya sebagai produsen sayuran dan bunga terbesar. Hal ini karena Belanda melakukan suatu rekayasa yang disebut rekayasa genetika. Dari sini maka dapat dikatakan bahwa merekayasa sesuatu ternyata merupakan cara atau pilihan yang dapat dilakukan.
Berpindah kembali pada pembahasan mengenai rekaya literasi, hal yang perlu diperbaiki dalam literasi Indonesia adalah sistem pengajaran bahasa yang meliputi membaca (reading) dan menulis (writing). Reading dan writing inilah yang merupakan literacy engineering atu teknik keaksaraan. Ada empat dimensi dari rekayasa literasi yang meliputi linguistik (teks), kognitif (minda), perkembangan (growth) dan sosio cultural (group). Dimensi yang pertama adalah linguistik. Dimensi ini merupakan dimensi awal yang harus diketahui oleh para guru dalam pengajaran bahasa karena dalam linguistiklah seorang guru dapat mengetahui sistem bahasa.  Dimensi linguistik dapat mempengaruhi ketiga dimensi lainnya seperti kognitif, perkembangan dan sosio cultural.  Dengan mengetahui sistem bahasa, seorang guru dapat mengetahui pengetahuan yang dimilikinya. Setelah itu, guru tersebut akan mengalami perkembangan mengenai apa yang diketahuinya serta mempengaruhi pada sosioculturalnya.
Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai elemen atau bagian dari Academic Writing. Ada sembilan bagian diantaranya yaitu:
1.      Cohesion (Kohesi)
Kohesi adalah adanya aliran antara kalimat dan paragraf yang memiliki hubungan sehingga menjadi satu kesatuan dengan satu ide pokok.
2.      Clarity (Kejelasan)
Kejelasan adalah makna yang ditulis atau apa yang diniati (diinginkan) tersampaikan dengan sangat jelas.
3.      Logical order (Urutan yang logis)
Hal ini mengacu pada logical ordering atau urutan yang logis dari sebuah informasi. Di dalam academic writing, penulis cenderung bergerak dari general (umum) kepada specific (khusus).
4.      Consistency (Ketetapan)
Bagian ini mengacu pada keseragaman atau ketetapan penulis dalam gaya penulisannya.
5.      Unity (Kesatuan)
Secara sederhana, kesatuan mengarah kepada pengecualian informasi yang tidak secara langsung berhubungan dengan topik yang secara langsung dengan topik yang dibahas dalam paragraf tertentu.
6.      Conciseness (Keringkasan)
Keringkasan adalah ekonomis atau hemat menggunakan kata-kata. Tulisan yang baik dengan cepat sampai ke titik tujuannya dan menghilangkan kata yang tidak dibutuhkan serta tidak melakukan pengulangan kata (redundancy).
7.      Completeness (Kelengkapan)
Penulis harus memberikan informasi penting secara lengkap mengenai suatu topik tertentu.
8.      Variety (Keragaman)
Keragaman ternyata dapat membantu pembaca dengan adanya penambahan beberapa “bumbu” pada teks.
9.      Formality (Formalitas)
Academic writing sifatnya formal dalam tone. Ini berarti bahwa kosakata canggih dan struktur tata bahasa yang digunakan harus bersifat formal. Selain itu, penggunaan kata ganti “I” atau saya dan contraction haruslah dihindari.
            Pada dasarnya, pendidikan adalah faktor penting yang menjadi pusat menuju kehidupan yang maju. Untuk mencapai pendidikan yang kualitas yang bermutu, tentunya perlu yang namanya transisi pada kehidupan yang berliterasi. Literasi adalah kemampuan baca tulis agar literasi di Indonesia mendapat minat yang tinggi. Salah satu caranya yaitu dengan melakukan rekayasa literasi.
Rekayasa literasi adalah cara atau upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan menusia terdidik dan berbudaya lewat penggunaan bahasa yang optimal. Ada empat dimensi dari rekayasa literasi diantaranya linguistik, kognitif, perkembangan, dan sosio cultural. Keempat dimensi tersebut saling berhubungan satu sama lain. Oleh karena itu, marilah kita sebagai generasi muda untuk membiasakan diri untu hidup berliterasi. Hal ini karena, dengan melakukan transisi menuju kehidupan yang berliterasi akan membawa kita menuju kehidupan yang maju.

Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment