Kembalinya Rasa Takut
By: idris afandi
Pada minggu kemarin tepatnya pada tanggal 10 februari 2014. Saya
pada saat itu tidak mengikuti mata kuliah writing and composition 4 yang
dipandu oleh dosen yang fenomenal, tegas, dantajam terparcaya, namanya adalah
Mr. Lala Bumela (Mr. Elbi).
Saya tidak
mengikuti mata kuliah writing and composition 4 karena kuangnya informasi dari
teman-teman pada saat pertemuan pertemuan pertama. Pada saat pertemuan ke-2
saya tidak mengikuti mata kuliah Mr. Lala lagi karena mendadak kambuh sakit
yang diderita saya. Saya mencari informasi kepada teman-teman karena saya
merasa tertinggal sangat jauh pada mata kuliah ini. Pada writing and
composition kali ini sangatlah berat banget. Disamping kita harus menulis class
review yang sebanyak 5 halaman, kita juga harus mengetik ulang tulisan
tersebut. Kita juga menulis sebuah chapter dalam setiap pertemuannya yang
sebanyak 10 halaman, jadi total semua tulisan kita setiap minggu adalah
sebanyak 15 halaman.
Saya merasa
bingung karena menghadapi yang sama pada saat saya berada di semester 2 dan 3,
tepatnya matakuliah writing and composition 2 dan phonology. Pada saat ini
perasaan saya waspada 2 sudah mendekati awas.
Pada pertemuan
ke-2 tepatnya minggu kemarin, Mr. Lala menerapkan method seperti pada waktu
mata kuiah phonologi. Beliau membagi dalam 2 kelompok, dan beliau menanyakan
materi pada setiap mahasiswa yang sudah ditulis disetiap di class review
pertama. Itu semua menurut informasi yang saya dapatkan sebelumnya. Setelah itu
Mr. Lala memberikan tugas sebelumnya adalah para mahasiswa disuruh oleh Mr.
Lala untuk membikin class review yang bagus dan didalam class review tersebut
jangan kebanyakan isinya curhatan kita pada pertemuan sebelumnya. Kita harus
membikin chapter sebanyak 10 lembar yang semuanya itu kita harus menulisnya
denagn teliti dan benar-benar bagus.
Sesudahnya saya
membaca buku yang dirujukan oleh Mr. Lala untuk dibaca, bahwasannya buku
tersebut menjelaskan tentang Cultural Analysis of Text yang diciptakan oleh
Mikko Lehtonen. Dalam buku tersebut Mr. Mikko mencoba untuk mengembangkan
Contextual cultural nature of textual meaning. The meaning of world mengalami
kemunduran untuk mengadakan atau mengorganisir mereka sendiri kedalam cerahnya
pemandangan ditempat yang sangat indah. Pada faktanya manusia yang dilahirkan
sudah kemampuan, special kemampuan indranya yang diantaranya adalah melihat,
mendengar, meraba, mencium, dan perasa. Pada penjelasan tersebut bahwa manusia
biasa adalah bukan lebih dari Culture kemudian Nature. Kita tidak semestinya
yang utama pada ‘budaya’ atau ‘kealamian’, tapi kita harus mengutamakan
keduanya.
Seperti orang yang
menciptakan arti dalam tulisan, pada text menggunakan speech, writing, sound
and visual image. Konsep pada tulisan mendefinisikan bahwa dalam critical
relationship untuk gagasan pada bahasa sebagai komunikasi, ketika bahasa
dilihat sebagai sedikit nyata ‘medium’ dari komunikasi dan dimana ‘subject’
dipahami sebagai individual. Poin dari yang pertama dalam definisi tulisan itu
adalah bahwa ‘meaning’ adalah sebuah hasil yang segnifikan, dan segnifikan itu
termasuk bahasa yang tidak dapat dipisahkan. Menurut buku Mikko Lehtonen
menjelaskan bahwasannya teks perkembangannya sangatlah pelan. Adanya teknologi
mereka tidak menunjukan masa konsumsi mereka. Teks bias dibedakan menjadi 3
bagian, antara lain: The mechanical reproduction text, ketika yang paling
sentral adalah teknologi percetakan. The electronic reproduction of text,
dimana elektronik pengiriman teks berpindah kedalam bagian. The digital reproduction
f text, semuanya itu bentuk pemberian sekaligus dalam budaya sekarang.
Media dan teks,
untuk bagian mereka dari bagian yang terus-menerus selalu berlomba-lomba. Media
adalah bagian dari politik dan ekonomi adalah mesin yang sangat kuat pada
media, tapi mereka juga sekaligus bagian dari pengguna ‘meaning production’
pada analisa teks, bahwasannya teks sebagai wujud yang tidak hanya sebagai
pertanyaan dan jawaban setelah arti dan hanya satu arti. Seperti yang dikatakan
Roland Barthnes bahwa teks adalah keproduktifan.
Setiap teks selalu
mempunyai conteks yang nengelilingi dan
menembus pada keduanya. Pada tradisi gagasan dari teks dan conteks, kalau
konteks adalah dilihat sebagai ‘backround’ yang terpisahkan dari teks, yang
mana dalam peranan beberapa macam-macam dari tradisional informasi yang bias
dijadikan pertolongan dalam pemahaman teks mereka sendiri. Dalam macam-macam
gagasan pada konteks, itu jatuh pada pembaca menjadi penerima yang positif.
Konteks tidak ada sebelum penulis atau teks, tak ada seorang pun diluar dari
mereka (penulis atau teks). Konteks adalah anggota teks yang tidak selalu
bersama dengan teks, yang konteks bisa berarti tergantung konteksnya apa.
Konteks meliputi semua seperti faktor-faktor bahwa penulis dan pembca membawa
kedalam kemampuan dan kerangka-kerangka pada keputusan nilai. Konteks juga
meliputi subtansi fisik materinya yang mengangkat penyampaian teks.
Pembaca tunggal di beberapa wakta dan tempat yang keberadaannya.
Itu tumpang tindih,bagaimanapun pembaca tidak semestinya menentukan satu sama
lain membaca bias dibedan beberapa macam aktifitas. Pembaca bias membaca teks
kata demi kata atau melangkah kembali dan seterusnya dalam teks apa yang
menarik si pembaca pada saat itu. Tidak cukup dengan belajar membaca saja untuk
menegaskan bahwa mereka aktif dalam formation meaning. Hanya ada pengecualian
berkenaan dengan membaca, membaca adalah pertanyaan dan pembaca mencoba untuk
menghasilkan sebuah ‘correct’ kebenaran arti dalam teks. Lebih dulu dalam teks
budaya kita sangat mudah dipahami sebagai entities sendiri pada suasana si
pembaca tidak banyak pembaca menganggap bahwa sebuah teks itu ada beberapa yang
tidak tepat objek yang terpisah dari segala hal lainnya, yang mana pembaca
kembudian sebagai subjek percobaan untuk menghasilkan sebuah ‘objective
interpretation’. Writing juga memiliki cara-cara tertentu untuk mempersembahkan
sesuatu.