Urgensi Merevisi
Sistem Pendidikan di Negara Tercinta Kita
Author: Aulia Priangan
Pendidikan merupakan roda penggerak kemajuan suatu
negara. Semakin maju pendidikannya maka semakin maju pula negara tersebut. Hal
ini menunjukkan bahwa pendidikan laksana sebuah mantra ajaib yang dengannya dapat
merubah apapun. Betapa digdayanya pendidikan bagi kelangsungan hidup warga
negara dan negaranya.
Pendidikan begitu sangat digdaya dalam suatu negara
karena pendidikan merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan pengetahuan
yang kelak menjadi bekal dalam mengarungi kehidupan di tengah masyarakat.
Pendidikanlah yang turut serta dalam menciptakan masyarakat. Pendidikan akan
mencetak manusia yang berkualitas baik dari segi spiritual, intelegensi dan
skill. Selain itu pendidikan juga merupakan proses mencetak generasi penerus
bangsa.
Pendidikan suatu negara dilaksanakan dalam sebuah sistem.
Sistem yang berkaitan dengan pendidikan disebut sistem pendidikan. Sistem
pendidikan adalah suatu strategi atau cara yang akan dipakai untuk melakukan
proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan agar para pelajar dapat secara
aktif mengembangkan potensi mereka.
Sistem pendidikan sangat berkorelasi dengan pendidikan di
suatu negara. Semakin mutakhir, canggih dan apik suatu sistem pendidikan di
sebuah negara, maka semakin bagus pula mutu pendidikan di negara tersebut.
Selain itu, sistem pendidikan yang apik dapat pula menghasilkan manusia yang
berkualitas baik dari segi spiritual, intelegensi dan skill.
Setiap negara mendambakan semua warga negaranya memiliki
kualitas baik dari segi spiritual, intelegensi maupun skill. Seyogianya, warga
negara yang telah mengenyam pendidikan dapat berindikasi seperti yang
didambakan oleh negara. Namun, terkadang terdapat beberapa hal yang tidak
relevan dengan angan-angan suatu negara.
Sistem pendidikan merupakan penanggung jawab bagi
tingginya mutu pendidikan di suatu negara. Selain itu, sistem pendidikan yang
digunakan oleh suatu negara sangat bepengaruh pada negara tersebut. Hal ini
terjadi karena mutu pendidikan yang bagus dapat tercipta dari sistem pendidikan
yang bagus pula.
Warga negara yang berindikasi sebagai manusia yang telah
mengenyam pendidikan seyogianya memanifestasikan pendidikan tersebut dalam
kehidupan mereka. Seperti yang telah diulas di atas bahwa manusia yang berpendidikan
memiliki kualitas yang baik dalam segi spiritual, intelegensi dan skill. Maksud
dari pernyataan ini adalah manusia yang berpendidikan tidak akan mungkin
mengakibatkan masalah atau konflik sosial dalam tatanan kemasyarakatan dan
negaranya. Manusia yang berpendidikan akan menghargai perbedaan diantara sesamanya
dan menjunjung tinggi sikap demokrasi. Selayaknya, konflik dan permasalahan
sosial tidak menjamur di negara yang memiliki mutu pendidikan tinggi.
Pendidikan dapat terselenggara dalam sebuah sistem pendidikan. Jadi pendidikan
yang baik akan menghasilkan calon masyarakat yang baik serta pendidikan yang
kurang baik tentu akan menghasilkan masyarakat yang kurang baik pula. Baik
buruknya, berhasil tidaknya suatu pendidikan bergantung pada sistem pendidikan
yang dijalankan oleh suatu negara. Oleh karenanya, sistem pendidikan sangat
berperan penting dalam mencetak generasi penerus bangsa.
Harian The Jakarta
Post pada tanggal 22 Oktober 2011 silam, menerbitkan sebuah artikel dalam
kolom opininya yang bertajuk “Classroom
Discourse to Foster Religious Harmony”. Artikel tersebut merupakan buah
karya dari seorang Profesor Universitas Pendidikan Indonesia yang bernama Prof.
A. Chaedar Alwasilah. Profesor Universitas Indonesia tersebut mengatakan di
awal artikelnya bahwa kualitas suatu bangsa dapat dilihat dari sistem
pendidikan yang dipraktekkan oleh negara tersebut.
Artikel yang ditulis oleh Prof. Chaedar yang
bertajuk “Classroom Discourse to Foster
Religious Harmony” mengangkat tentang konflik dan masalah sosial yang
belakangan ini sering terjadi di Indonesia, negara tercinta kita. Prof. Chaedar
Alwasilah mengatakan bahwa terjadinya konflik dan masalah sosial tersebut
karena gagalnya sistem pendidikan yang digunakan oleh negara kita. Indonesia,
dalam sistem pendidikannya tidak membekali siswa dengan keterampilan dasar
untuk mengembangkan kehidupan sebagai individu, anggota masyarakat dan warga
negara. Prof. Chaedar juga mengatakan dalam artikelnya bahwa konflik sosial dan
ketidak harmonisan antara umat beragama yang sering terjadi di masyarakat
merupakan tantangan bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik demi
mempersiapkan generasi penerus bangsa yang demokratis dengan karakter yang baik
sesuai dengan UU Sisdiknas.
Selain itu, Prof. Chaedar juga mengatakan
bahwa pendidikan jangan hanya mengembangkan penalaran ilmiah saja, tetapi juga
harus mengembangkan wacana sipil positif. Penalaran ilmiah sangat diperlukan
dalam mengembangkan warga intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat
penting untuk menciptakan warga negara beradab. Hal ini senada dengan studi
yang dilakukan oleh Aprilliaswati (2011) terhadap anak kelas empat di sebuah
Sekolah Dasar di Pontianak, kota dimana bentrokan antar entnis sering terjadi.
Oleh sebab itu, Prof. Chaedar menyarankan agar sistem
pendidikan di Indonesia melaksanakan interaksi sebaya sebagai salah satu
kegiatan rutin di kelas. Dalam kegiatan ini siswa diberi kesempatan untuk
berinteraksi dengan satu sama lainnya melalui tugas-tugas kelompok untuk
berlatih mendengarkan dengan penuh perhatian, berdebat secara sopan dan mempersiapkan
mereka untuk hidup sebagai anggota fungsional dari susunan masyarakat yang
demokratis. Dengan kata lain, dalam artikenya yang bertajuk “Classroom Discourse to Foster Religious
Harmony” Prof. Chaedar menyarankan agar sikap-sikap demokrasi
ditanamkan sejak sedini mungkin melalui sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan
yang wajib di negara tercinta kita dimulai dari tingkat Sekolah Dasar. Oleh
karena itu, di sekolah-sekolah dasar sudah harus ditanamkan prinsip-prinsip
demokrasi dan mempraktekkannya dalam kegiatan pembelajaran di kelas, salah
satunya tugas kelompok.
Di akhir artikelnya, Prof. Chaedar
Alwasilah mengatakan sebagai bangsa Indonesia yang memiliki banyak perbedaan,
selayaknya pendidikan liberal di negara tercinta kita harus mencakup
pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa dan budaya. Dengan demikian dapat
didefinisikan bahwa pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap
rabun terhadap orang lain. Pada dasarnya, ini merupakan penempaan kamil insan,
yaitu orang yang ideal yang memenuhi kriteria untuk mengasumsikan setiap
pekerjaan atau petunjuk sebagai warga negara yang demokratis.
Kemajuan suatu
negara tercermin dari kualitas pendidikan di negara tersebut. Negara maju
seperti Jepang memiliki sistem pendidikan yang berkualiatas maka tak heran
negara matahari terbit tersebut sekarang berada sederetan dengan Amerika
Serikat. Padahal kita tahu dan hafal betul bahwa beberapa hari sebelum Indonesia
merdeka, Jepang diluluh-lantahkan karena serangan bom atom yang dijatuhkan di kota
Nagasaki dan Hiroshima oleh tentara sekutu pada akhir perang dunia kedua.
Namun, dari rentang waktu yang tidak jauh berbeda dengan negara Indonesia yang
saat itu memulai debutnya sebagai negara merdeka, Jepang berhasil lebih unggul
dari Indonesia. Bahkan meninggalkan Indonesia jauh dibelakangnya. Negara
matahari tersebut berhasil bangun dari keterpurukkannya dan membangun kembali
negaranya. Hal yang melatarbelakangi pesatnya kemajuan Jepang adalah
pendidikannya. Negara matahari tersebut sangat mengagungkan pendidikan. Oleh karenanya,
tak mengherankan jika saat ini negara matahari terbit tersebut sekarang berada
di peringkat keempat teratas mutu pendidikan.
Pendidikan di
Indonesia masih belum berhasil menciptakan manusia yang berkualitas baik dari
segi spiritual, intelegensi dan skill apalagi sampai taraf meningkatkan
kualitas bangsa. Krisis moral yang dialami negara tercinta kita diyakini banyak
kalangan akibat gagalnya sistem pendidikan yang digunakan. Selain itu, indeks
pembangunan manusia (IPM) atau Human
Development Index (HDI) yang merosot tidak terlepas dari rendahnya mutu
pendidikan di negara tercinta kita, Indonesia.
Data UNDP tahun
200 tentang Human Development Report
atau Human Development Indeks
menunjukkan dari 174 negara, Indonesia menempati posisi yang memprihatinkan.
Negara tercinta kita berada pada posisi ke-109, hanya satu tingkat di atas
Vietnam. Sementara Malaysia berada pada posisi ke-56, Brunai diposisi ke-25 dan
Singapura berada diperingkat ke-22. Dengan kata lain, semua negara ASEAN berada
pada kisaran angka ke-100, kecuali negara kita yang tercinta ini. Hanya Jepang
yang mampu berada diposisi empat besar. Perolehan klasemen tersebut merupakan
bukti dari rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Pendidikan
merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas bangsa. Kemajuan
beberapa negara di kancah dunia tidak terlepas dari kemajuan yang dimulai
memalui pendidikannya. Negara tercinta kita, Indonesia, juga menyakini pernyataan
tersebut. Namun pada kenyataannya, sistem pendidikan di negara tercinta kita
belum menunjukkan keberhasilan yang diharapkan. Sistem pendidikan di Indonesia
masih belum mampu menghasilkan manusia yang berpendidikan tinggi. Oleh sebab
itu, benar apa yang dikatakan oleh Prof. Chaedar dalam artikelnya yang dimuat
dalam harian The Jakarta Post yang
bertajuk “Classroom Discourse to Foster
Religious Harmony” bahwa sistem pendidikan Indonesia memang gagal
menghasilkan manusia-manusia penerus bangsa yang memiliki kualitas yang baik
dari segi spriritual, intelegensi dan skill serta beradab.
Konflik dan
permasalahan sosial yang kerap terjadi di lingkungan masyarakat merupakan
indikasi dari gagalnya sistem pendidikan di Indonesia. Dikatakan sistem
pendidikannya gagal karena tidak mampu mencetak manusia yang berkualitas baik
dari segi moral atau budi pekerti atau adab. Pendidikan yang bermutu tinggi selayaknya
mencetak siswa yang merupakan calon anggota masyarakat dengan moral yang baik
dan beradab, salah satunya adalah menghargai pendapat orang lain atau
menghargai perbedaan. Dengan ditanamkannya pemahaman dan pengertian pada siswa
sejak usia dini tentu akan membuatnya paham di kemudian hari bahwa perbedaan
adalah hal wajar dalam kehidupan. Setiap manusia pasti memiliki keunikan
tersendiri dari dirinya.
Sistem
pendidikan Indonesia ternyata masih kurang memperhatikan aspek moral atau budi
pekerti dalam pembelajaran. Sistem pendidikan kita lebih berorientasi pada
ranah kognitif. Telah lama memang negara tercinta kita mengorientasikan
tujuannya pada ranah kognitif dan membiarkan ranah afektif untuk tidak
diupayakan aplikasinya. Kebanyakan dari kita beranggapan bahwa jika aspek
kognitif dikembangkan secara benar, maka aspek afektif akan ikut berkembang
secara postif. Hal ini merupakan kesalahan asumsi yang sangat serius.
Pengabaian
ranah afektif merugikan perkembangan peserta didik baik secara individu maupun
masyarakat secara keseluruhan. Tendensi yang ada adalah bahwa peserta didik
tahu banyak tentang sesuatu, namun mereka kurang memiliki sikap mental, minat,
moral dan juga apresiasi (afektif) dalam bentuk perilaku keseharian sebagai
buah dari pengetahuan yang dimilikinya.
Sistem
pendidikan yang berorientasi pada ranah kognitif ternyata menghasilkan dua
produk. Pertama, pembunuhan kreatifitas berpikir dan berkarya serta hanya
menciptakan pekerja. Kurikulum dalam sistem pendidikan Indonesia sangat membuat
peserta didik menjadi pintar namun tidak cerdas. Sistem pendidikan nasional
yang telah berlangsung hingga saat kini masih cenderung mengeksploitasi pemikiran
peserta didik. Hal ini menyesatkan paradigma pendidik yang menurut John Dewey
pendidikan adalah untuk hidup bukan untuk bekerja. Selain itu, Ki Hajar Dewan
mengatakan bahwa pendidikan berfungsi untuk memanusiakan kembali manusia yang
mengalami dehumanisasi. Sehingga, semestinya sistem pendidikan di negara
tercinta kita juga berorientasi pada ranah afektif.
Produk kedua
dari reaktan sistem pendidikan yang terlalu berorientasi pada ranah kognitif
ialah pengesampingan ranah afektif (merasa) sehingga peserta didik hanya
tercetak sebagai generasi-generasi yang pintar tapi tidak memiliki
karakteristik yang dibutuhkan oleh bangsa kita ini.
Menjamurnya
permasalahan dan konflik sosial yang muncul di negara tercinta kita merupakan
salah satu akibat dari diterapkannya sistem pendidikan yang hanya berorientasi
pada ranah kognitif. Sebut saja tawuran antara pelajar dan konflik berlatar
belakang SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) di negara tercinta kita. Berikut
akan dipaparkan beberpa konflik dan masalah sosial yang kerap terjadi di negara
tercinta kita, Indonesia.
Permasalahan
sosial yang pertama adalah tawuran antara pelajar yang semakin marak di negara
yang kondang dengan keramahan dan kesopanannya ini. Hantu bernama tawuran
tersebut telah merasuki siswa-siswa sekolah. Hantu bernama tawuran tersebut
juga bertandang bukan hanya pada pelajar Sekolah Menengah Atas saja namun juga
pelajar Sekolah Menengah Pertama tak luput dari hasutannya. Harian Tempo
menyebutkan bahwa Komisi Nasional Anak (Komnas Anak) mencatat ada 299 kasus
tawuran pelajar sepanjang Januari sampai Oktober 2013. Dalam 299 kasus
kekerasan antar pelajar SMP dan SMA itu menelan 19 korban jiwa. Tawuran antar
pelajar menjadi potret buram dunia pendidikan Indonesia.
Permasalahan
yang kedua adalah seringnya terjadi perselisihan yang dilatar belakangi SARA
(Suku, Agama, Ras dan Antar golongan). Indonesia memang terkenal dengan
keragaman etnis, bahasa dan budaya serta agamanya. Namun, Indonesia pun cukup
terkenal dengan konflik sosial yang terjadi akibat dilatar belakangi
perbedaan-perbedaan yang dimilikinya. Misalnya saja konflik Sampit yang terjadi
2001 silam yang dilatarbelakangi perbedaan suku. Selain itu masih ada beberapa
konflik, seperti konflik Ambon (1999-2000), Poso (1998-2001), serta baru-baru
ini ada kasus Sampang, Madura dan Lampung selatan pada tahun 2012.
Kasus-kasus
diatas merupakan indikasi dari sistem pembelajaran negara tercinta kita,
Indonesia, yang masih berorientasikan ranah kognitif. Pada kasus pertama,
tawuran, para pelajar sebenarnya adalah anak-anak yang cerdas secara kognitif
tetapi tidak secara afektifnya (moral). Para pelajar yang terlibat tawuran
tentu bukan siswa yang beradab atau berbudi pekerti luhur. Hal ini
mengindikasikan bahwa memang sistem pendidikan di negara tercinta kita perlu
mengadakan revisi. Kasus yang kedua, konflik sosial yang terjadi di masyarakat
ternyata merupakan kurangnya pemupukkan akan sikap-sikap demokrasi pada peserta
didik sejak sedini mungkin. Sikap-sikap demokrasi dapat terangkum dalam wacana
sipil. Oleh karenanya, sistem pendidikan di Indonesia seyogianya menambahkan
dua aspek di dalamnya, ranah afektif dan wacana sosial. Hal ini senada dengan
yang disampaikan oleh Prof. Chaedar bahwa seharusnya sistem pendidikan
disamping berorientasi pada ranah kognitif (dalam artikelnya Prof.Chaedar
menyebutnya dengan penalaran ilmiah) juga harus memuat wacana sipil di
dalamnya. Wacana sipil sendiri dapat terangkum dalam ranah afektif.
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Berdasarkan pengertian pendidikan diatas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa pendidikan bukan hanya sekedar mencerdaskan peserta
didik (ranah kognitif), tetapi juga mendidiknya agar menjadi manusia yang
memiliki akhlak yang mulia (ranah afektif) dan pendidikan pula harus membekali
peserta didik dengan keterampilan untuk melangsungkan kehidupannya di
masyarakat.
Sistem
pendidikan di negara tercinta kita ternyata perlu menambahkan wacana sipil
seperti yang dikatakan oleh Prof. Chaedar dalam artikelnya yang dimuat pada 22
Oktober 2011 silam. Mendengarkan penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide atau
pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidak sepakatan
serta mencapai kompromi dengan cara hormat merupakan indikator dari wacana
sipil. Dalam wacana sipil tersebut, peserta didik dilatih agar menghargai
perbedaan yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Serta selayaknya wacana
sipil seperti ini ditanamkan pada peserta didik sejak sedini mungkin, layaknya
penanaman ranah kognitif dalam proses pembelajaran.
Indikator-indikator
wacana sipil perlu diberikan kepada peserta didik untuk menjadi bekal ketika
menjadi anggota masyarakat. Ranah kognitif yang diberikan di sekolah tidak
memberikan bekal yang cukup ketika peserta didik menjadi anggota masyarakat. Dalam
lingkungan masyarakat, wacana sipil lebih relevan dengan kehidupan
bermasyarakat. Hal ini karena dalam lingkungan masyarakat, pengetahuan ilmiah
tidak begitu penting. Wacana sipil-lah yang memiliki peran penting dalam
kehidupan bermasyarakat karena dari situlah peserta didik diajarkan prinsip
dasar bahwa setiap manusia berbeda-berbeda.
Sistem
pendidikan formal memang memegang peran penting dalam pembentukkan karakter
peserta didik. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan ada jenis pendidikan
lain yang dapat mempengaruhi karakteristik peserta didik tersebut.
Pendidikan
dapat terjadi dimana saja. Bukan hanya terbatas pada lingkungan persekolahan
maupun perkuliahan. Pendidikan merupakan kegiatan belajar yang terus
berlangsung selama seseorang hidup. Kita mengenal tiga jenis pendidikan di
Indonesia yaitu pendidikan formal, informal serta non formal. Mengenai sistem
pendidikan yang telah panjang lebar diuraikan di atas tadi merupakan ranah
pendidikan formal.
Karakter
peserta didik yang berakhlak mulia sebenarnya tercipta juga melalui pendidikan
informal. Pendidikan informal adalah pendidikan yang diselenggrakan dalam
lingkungan keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu masyarakat dan
merupakan pranta sosial. Peserta didik sebelum memasuki pendidikan formal tentu
akan didik terlebih dahulu dalam pendidikan informal. Hal ini sesuai dengan
yang diyakini oleh umat muslim bahwa ibu adalah madrasah pertama bagi
anak-anaknya. Oleh sebab itu, bukan hanya intalasi pendidikan formal saja yang
ikut serta dalam menciptakan generasi penerus bangsa yang berkualiatas dari
berbagai aspek dan menjunjung tinggi wacana sipil namun pendidikan informal
juga harus ambil bagian.
Artikel
bertajuk “Classroom Discourse to Foster
Religious Harmony” mengatakan bahwa ketidak harmonisan agama merupakan
tantangan bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan
generasi penerus bangsa yang sesuai dengan UU Sisdiknas. Menurut paham penulis,
pendidik dalam pernyataan di atas bukan hanya ditujukan pada pendidik dalam
lingkungan pendidikan formal saja, akan tetapi pendidik dalam lingkungan
informal pun turut serta dalam upaya melakukan persiapan peserta didik untuk
menjadi penerus bangsa yang sesuai dengan UU Sisdiknas.
Sebenarnya,
peran serta pendidikan informal dinilai jauh lebih banyak dalam mencetak
generasi penerus bangsa yang berkualitas dari segi spiritual, intelegensi dan
skill. Hal ini karena peserta didik meluangkan waktu lebih banyak di lingkungan
pendidikan informal (keluarga dan masyarakat). Peran serta pendidikan formal
hanya sebagian kecil saja. Yakni saat peserta didik melaksanakan proses
pembelajaran di sekolah.
Pendidikan
merupakan hal yang paling krusial dalam tatanan kehidupan manusia. Pendidikan
mengandung makna yang sangat kompleks dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas. Selain mencetak manusia yang intelektual, pendidikan juga mencetak
manusia yang berakhlak mulia dan melengkapi manusia dengan keterampilan yang
akan dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karenanya, masyarakat
yang berkualiatas tercipta dari sistem pendidikan yang berkualitas pula.
Pendidikan yang
berkualitas baik akan diperoleh dari sistem pendidikan yang berkualitas pula.
Sistem pendidikan yang menghasilkan manusia-manusia berpendidikan yang berkulaitas
tinggi tidak hanya berorientasi pada satu ranah saja, yaitu kognitif. Namun
berorientasi pula pada ranah afektifnya. Dalam ranah afektif tersebutlah
terselip wacana sipil yang sangat berguna dalam kehidupan bermasyarakat kelak.
Wacana sipil hendaknya ditanamkan pada setiap individu sejak sedini mungkin.
Penanaman wacana sipil bukan hanya dilakukan di lingkungan pendidikan formal,
akan tetapi dalam lingkungan informal juga. Kedua lingkungan pendidikan
tersebut berperan serta dalam pembentukkan manusia yang berkualitas baik dalam
segi spiritual, inetegensi dan skill.
Sistem
pendidikan yang baik akan berjalan lancar dan menghasilkan output (masyarakat)
yang baik pula. Semakin maju suatu negara biasanya semakin canggih, mutakhir
dan apik pula sistem pendidikannya. Hal ini karena pendidikan yang baik
tercipta dari sistem pendidikan yang baik pula. Sedangkan pendidikan sendiri
merupakan motor penggerak kemajuan sebuah bangsa. Dengan kata lain, sistem
pendidikan suatu bangsa menentukan kualitas pendidikan bangsa tersebut. Oleh
karenanya, apabila Indonesia hendak mengejar ketertinggalannya dalam debut
internasional hendaklah merevisi sistem pendidikannya terlebih dahulu. Baik
sistem pendidikan dalam pendidikan formal maupun pendidikan informal.
Referensi: